Sasmuko SA. 1998a. Pengaruh Pemberian Ethrel terhadap Produksi Getah Kemenyan Styrax sumatrana J.J.SM. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai
Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 14 Nomor 1. Sasmuko SA. 1998b. Pengolahan dan Tata Niaga Kemenyan di Sumatera Utara.
Makalah Utama Ekspose Hasil Penelitian BPK-PS. Pematang siantar. Sasmuko SA. 2003. Potensi Pengembangan Kemenyan Sebagai Komoditi Hasil
Hutan Bukan Kayu Spesifik Andalan Propinsi Sumatera Utara . Makalah
Seminar Nasional Himpunan Alumni – IPB dan HAPKA Fakultas Kehutanan IPB. Wilayah Regional Sumatera. Medan.
Singarimbun M dan Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.
Supriadi P. 2003. Prospek Pengelolaan Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan bukan Kayu dalam Mendukung Kebijakan Soft Landing Pengelolaan Hutan
. Makalah Seminar Nasional Himpunan Alumni – IPB dan HAPKA Fakultas
Kehutanan IPB. Wilayah Regional Sumatera. Medan. Start D, Hovland I. 2004. Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers.
London: Overseas Development Institut. Yuniandra F. 1998. Pemasaran Getah Kemenyan Styrax Spp di Kabupaten
Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara. Di dalam: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
. Bogor: Institut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation.
ABSTRACT
MARUARI SITOMPUL. Studi on Incence Styrax sp. Forest Management at Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province. Under direction of
LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Incense gum as non timber forest product has high economic value and used as raw material for perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, soaps and ciggaret
industry. The incense forest need to be developed to increase farmer’s income. The purpose of this study is to identify social, economic and ecological aspect, to
identify incense forest management problems and to formulate strategies for developing incence forest management. The research was conducted in
Simarigung and Sampean Villages, Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province from May to August 2010. Incense forest management is a part
of culture and local people knowledge. Incense forest has social, economic and ecological benefits. In average, farmers acquired income Rp 13,233,500year
60.69 of total income from incence. Result of SWOT analysis shows that to develop the incense forest, it is needed to reduce internal weakness and use or
optimize opportunity throught strategies such as:
intensify extension activities, forming farmer groups andor cooperative, supervision of the incense gum
marketing system, intensive farming system and the use of incense superior seedlings.
Keywords: incence forest, non timber forest product, management, strategy, incomes
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki hutan tropis yang di dalamnya terkandung kekayaan alam yang melimpah. Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh bangsa Indonesia
saja, bangsa-bangsa lain di dunia juga setuju dengan klaim ini bahkan menyebut hutan tropis Indonesia sebagai mega biodiversity. Sebutan ini diberikan
be r
dasarkan fakta sebenarnya bahwa Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire Republic Demokratic Congo dimana di
dalamnya terkandung keanekaragaman hayati Dephut 2007. Kekayaan alam yang terkandung di dalam hutan Indonesia seharusnya
dapat diandalkan sebagai modal pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Sejak Indonesia merdeka hutan sudah
dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan, namun kenyataanya masih banyak warga Indonesia yang tinggal di sekitar atau berdekatan dengan hutan hidup di
bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2010 sebanyak 64,23 penduduk miskin tinggal di pedesaan Hamzirwan 2010 yang umumnya berdekatan dengan hutan.
Dengan laju perusakan hutan yang mencapai 1,08 juta ha per tahun pada tiga tahun terakhir Kemenhut 2010 sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya hutan
yang berpaham antroposentris Keraf 2006 dan timbulnya berbagai konflik di daerah akibat dari terpinggirkannya masyarakat lokal semakin memperjelas
bahwa ada yang kurang dengan sistem pengelolaan hutan. Era baru pengelolaan hutan di Indonesia dimulai sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Selain mengakui
keberadaan hutan hak dan memberi kesempatan kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan, juga memandang bahwa hutan sebagai sumberdaya memiliki
multi fungsi, memuat multi kepentingan serta menghasilkan multi produk. Hasil hutan bukan kayu HHBK merupakan salah satu produk hutan yang memiliki
keunggulan dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK
selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.
Untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait upaya
pengembangan hasil hutan bukan kayu dimaksud. Dengan pengembangan hasil hutan bukan kayu baik yang berasal dari kawasan hutan maupun luar kawasan
hutan melalui kebijakan pengembangan HHBK diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat
sekitar hutan dari HHBK serta menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan hutan, meningkatkan devisa sektor kehutanan bukan kayu dan terciptanya
lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari komoditas HHBK Dephut 2009. Selain itu dengan pengembangan hasil hutan bukan kayu ini
diharapkan terjadinya optimalisasi pemanfaatan HHBK, yang meliputi jumlah jenis, bentuk dan tahap pengolahan serta mutunya dan terjadinya optimalisasi
potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan dan lainnya
yang dapat meningkatkan ekonomi lokal dan nasional. Sejalan dengan adanya upaya pemerintah pusat dalam mengembangkan
HHBK, pemerintah daerah mendukung program tersebut dengan menggali semua potensi yang ada untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya. Humbang
Hasundutan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, memiliki potensi sumberdaya alam untuk dikembangkan sebagai salah satu sentra
produksi hasil hutan bukan kayu yaitu kemenyan. Kemenyan adalah sejenis getah yang dihasilkan oleh pohon kemenyan Styrax spp melalui proses penyadapan.
Sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu getah kemenyan dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.35Menhut2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, kemenyan ditetapkan sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu HHBK nabati yang masuk
dalam kelompok resin.
Menurut Jayusman 1997 ada dua jenis kemenyan yang tersebar di Sumatera Utara, yaitu kemenyan toba Styrax sumatrana J.J.SM dan kamenyan
durame Styrax benzoin. Kedua jenis tanaman kemenyan ini termasuk Ordo Ebenales, Family Styraceae
dan Genus Styrax. Sebaran hutan kemenyan di Sumatera Utara pada tahun 2007, Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas
tanaman kemenyan yang terluas yaitu kurang lebih 16.359 ha, sementara Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki hutan kemenyan kurang lebih seluas
5.593 ha. Berbanding lurus dengan luasan tanaman kemenyan yang dimiliki, Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan juga merupakan dua
kabupaten yang paling banyak memproduksi getah kemenyan. Pada tahun yang sama, Tapanuli Utara memproduksi sebanyak 3.634,12 ton dan Humbang
Hasundutan sebanyak 1.403,23 ton BPS Provinsi Sumatera Utara 2008. Berdasarkan luasan dan jumlah produksi, Kabupaten Tapanuli Utara dan
Humbang Hasundutan merupakan dua kabupaten yang potensial untuk dijadikan sebagai sentra produksi dan pengembangan tanaman kemenyan di Provinsi
Sumatera Utara. Di Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri yang merupakan salah satu
daerah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara, sebaran tanaman kemenyan ditemukan pada 6 kecamatan dari 10 kecamatan. Kecamatan Dolok Sanggul
merupakan kecamatan yang memiliki hutan dan atau kebun kemenyan paling luas, yaitu 1.618,5 ha diikuti Kecamatan Sijamapolang dengan luasan 1.150 ha BPS
Kab. Humbahas 2009. Masyarakat di daerah ini sudah sejak lama mengenal dan mengusahakan kemenyan sebagai sumber mata pencaharian. Menurut Affandi
2003 pemanfaatan kemenyan sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan sudah berlangsung sejak abab ke-17 dan dampak dari perdagangan kemenyan
tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal. Melalui pengelolaan hutan kemenyan telah mampu memberikan kontribusi yang besar
terhadap ekonomi rumah tangga petani kemenyan, yaitu sebesar 70-75 Simanjuntak 2000, diacu dalam Nurrochmat 2001. Namun sampai saat ini
pengelolaan dan pengolahan kemenyan oleh masyarakat masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan.
Melihat ketersediaan sumberdaya yang ada, hutan kemenyan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sarana meningkatkan
pendapatan petani kemenyan secara langsung dan meningkatkan perekonomian pedesaan secara tidak langsung. Selain sebagai sumber pendapatan, melalui
pengelolaan hutan kemenyan dapat dijadikan sebagai sarana dalam melestarikan hutan melalui pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka
mengembangkan dan meningkatkan manfaat dari hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan ini diperlukan penelitian-penelitian baik dari aspek ekologi
maupun sosial-ekonomi petani pengelolanya.
1.2. Perumusan Masalah
Pengelolaan hutan kemenyan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun
temurun dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Kearifan ini muncul sebagai bagian dari cara masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya
alam yang ada guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan keberadaan atau eksistensinya bertahan sampai sekarang merupakan bukti bahwa sistem
pengelolaan hutan kemenyan ini selain memiliki manfaat ekologi dan nilai-nilai sosial, juga mememiliki potensi dan prospek yang baik bila dilihat dari aspek
ekonomi untuk dikembangkan ke depan. Namun sampai saat ini masih banyak permasalahan-permasalahan yang
dialami masyarakat. Selain sistem pengelolaannya yang masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan, dalam hal
pemasaran petani sering kali kurang menikmati hasil dari penjualan getah kemenyan karena menerima margin keuntungan yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan pelaku pasar pedagang pengumpul. Selain karena posisi tawar yang rendah, informasi harga dan pasar yang kurang menjadi penyebabnya.
Disamping itu harga getah kemenyan sering mengalami fluktuasi terutama menjelang dan sesudah hari raya besar keagamaan Jayusman 1997.
Apabila pengelolaan hutan kemenyan berhasil ditingkatkan dan dikembangkan yang ditandai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas getah
kemenyan serta didukung harga penjualan yang baik akan memberikan dampak