diambil rata-ratanya secara keseluruhan, masing-masing petani responden memiliki kebun kemenyan seluas 0,95 ha.
Tabel 11. Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas kebun kemenyan No
Kelas Luas ha Jumlah Responden
Jiwa Persentase
Total Luas ha
1 1
22 37
11 2
1,0 – 1,99 33
55 36
3 ≥ 2
5 8
10 Total 60
100 57
Rata-rata 0,95
5.1.2. Status Kepemilikan Lahan
Untuk status kepemilikan kebun atau hutan kemenyan beserta pohon yang tumbuh di dalamnya, masyarakat punya aturan tersendiri. Setiap desa didominasi
oleh marga tertentu. Menurut Nurrochmat 2001 aturan ini dimulai sejak masuknya kelompok marga tertentu ke dalam suatu daerah berhutan yang belum
di tempati oleh marga lain. Tujuannya adalah untuk membangun tempat tinggal pemukiman baru yang lahannya masih subur. Karena masyarakat meyakini
bahwa kawasan yang masih berhutan mampu menyediakan kebutuhan hidup. Seiring pertambahan jumlah penduduknya dimana posisi mereka sudah
semakin kuat, mereka mengklaim bahwa lahan yang mereka buka dengan batas- batas tertentu menjadi milik mereka termasuk tanaman kemenyan yang tumbuh di
dalamnya dan hal itu diakui oleh kelompok marga lain yang bertetangga dengan mereka. Dengan demikian kebun kemenyan menjadi milik kelompok marga.
Misalnya sebagai contoh untuk Desa Simaringung dikuasai dan didominasi oleh Marga Simamora dan untuk Desa Sampean didominasi oleh Marga Simanullang.
Hal ini diperkuat dengan petani kemenyan yang menjadi responden dari kedua desa, dimana dari Desa Simarigung mayoritas Marga Simamora dan dari Desa
Sampean, responden mayoritas Marga Simanullang. Pembauran antar marga terjadi melalui proses pembentukan rumah tangga
baru. Bagi masyarakat setempat Suku Batak pada umumnya dalam hal pernikahan, haram hukumnya apabila menikah dengan satu marga sekalipun itu
sudah kerabat jauh. Oleh karena itu, kaum laki-laki yang sudah cukup umur akan
mencari pasangan ke daerah marga lain dan sebaliknya para kaum perempuan juga akan dinikahi oleh laki-laki dari daerah lain.
Bagi mereka yang memilih tinggal di daerah asalnya ataupun di daerah pasangannya, sebagai sumber mata pencaharian mereka mengusahakan lahan
yang diwariskan oleh orang tuanya. Proses pembauran ini sudah terjadi dari generasi ke generasi hingga sekarang. Dalam hal pembagian warisan, para orang
tua menurunkan harta warisan kepada keturunanya tanpa membedakan anak laki- laki atau perempuan. Sama halnya dengan kebun kemenyan sudah menjadi harta
warisan. Untuk kebun kemenyan sendiri karena penggarapan yang dilakukan sudah
semakin intensif dan telah diwariskan secara turun temurun, maka rasa kepemilikan secara pribadi semakin kuat. Hubungan perorangan dengan tanahnya
semakin kokoh sehingga pada akhirnya lahan tersebut diklaim sebagai tanah milik pribadi dan bukan milik marga lagi.
Namun yang sering menjadi kekhawatiran bagi para petani kemenyan adalah status hutan kemenyan yang mereka kuasai sejak ratusan tahun yang lalu
ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan negara. Petani merasa takut dan khawatir bahwa dengan status ini menjadikan lahan mereka akan diambil alih
oleh negara dan mereka akan dipindahkan dari wilayah itu. Kekhawatiran ini diperkuat dengan kehadiran pihak swasta yang diberi izin oleh pemerintah untuk
mengelola hutan. Kejadian ini sudah terjadi di beberapa desa dimana pihak swasta sudah mulai menebangi tanaman kemenyan untuk perluasan areal penanaman
hutan tanaman industry HTI. Pernyataan kekhawatiran ini diungkapkan oleh beberapa petani kemenyan responden pada saat wawancara.
5.1.3. Bertani Kemenyan sebagai Budaya dan Kearifan Lokal
Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan sebagai masyarakat lokal, umumnya memiliki
pengetahuan dan budaya lokal dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam pemanfaatannya yang dipelihara dan diwariskan secara turun-temurun.
Budaya adalah suatu cara hidup meliputi keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dalam