menempuh pendidikan lebih tinggi maka sangat jarang sekali tetap tinggal di daerah tersebut. Pada umumnya mereka akan lebih memilih mengadu nasib
mencari pekerjaan di luar daerah. Situasi ini menjadikan orang-orang yang tinggal di daerah hanya para orang tua dan orang-orang yang berpendidikan
rendah.
c. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan sangat penting untuk diketahui yang berhubungan terhadap konstribusi pendapatan yang
diperoleh untuk kegiatan usahatani maupun untuk konsumsi rumah tangga. Di samping itu dengan mengetahui jumlah anggota juga dapat diketahui ketersediaan
jumlah tenaga kerja dalam petani itu sendiri. Dari olahan data diketahui bahwa jumlah anggota keluarga responden
bervariasi mulai dari 1-7 jiwa dan sebanyak 28 dari total seluruh responden memiliki 4 anggota keluarga. Apabila dihubungkan dengan umur petani maka
diperoleh fenomena bahwa semakin tua petani memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada saat usia tua, umumnya
keturunan mereka sudah membentuk keluarga yang baru.
e. Pengalaman Bertani
Faktor pengalaman bertani atau lama waktu petani terlibat secara langsung dalam mengelola hutan kemenyan sangat penting untuk diketahui. Hal ini
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan penguasaan keterampilan petani dalam mengelola kebun kemenyan. Semakin lama seorang petani terlibat
langsung maka akan semakin banyak pula pengalaman dan keterampilan dalam memproduksi getah kemenyan.
Dari hasil penelitian di lapangan, lama pengalaman bertani para petani kemenyan yang menjadi responden bervariasi mulai dari 10-50 tahun berbanding
lurus dengan usia petani itu sendiri. Dari keseluruhan responden, sebanyak 30 dari responden memiliki pengalaman bertani kemenyan antara 30-39 tahun. Pada
umumnya petani sudah mulai dilibatkan dalam usahatani kemenyan pada saat usia 10 tahun terutama anak laki-laki untuk membantu orang tuanya pada kegiatan
pembersihan lahan dan mereka sudah mulai menyadap getah kemenyan secara langsung pada usia 15 tahun remaja hingga sekarang.
f. Luas Pemilikan Lahan dan Hutan Kemenyan
Pada kedua desa lokasi penelitian penggunaan lahan oleh masyarakat diperuntukkan sebagai tempat pemukiman beserta pekarangannya, fasilitas umum,
kebun, sebagian kecil sawah dan hutan termasuk di dalamnya hutan kemenyan. Tiap desa memiliki beberapa dusun yang jarak antar dusun tidak terlalu jauh.
Pemukiman penduduk berjejer berhadap-hadapan mengikuti arah jalan desa. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa rata-rata responden
memiliki lahan seluas 1,31 ha yang terdiri dari rumah dan pekarangan, sawah, kebun dan hutan kemenyan Tabel 10. Keberadaan sawah tidak terlalu banyak,
hanya sebagian kecil masyarakat mengusahakannya di kanan-kiri sungai. Namun untuk kebun, setiap masyarakat hampir memilikinya yang ditanami dengan kopi
dan tanaman semusim lainnya. Lahan yang diperuntukkan menjadi kebun biasanya lahan-lahan yang berada dekat dengan pemukiman.
Tabel 10. Luas rata-rata pemilikan lahan petani responden No Penggunaan Lahan
Luas Lahan ha 1 Rumah
Pekarangan 0,044
2 Sawah 0,053
3 Kebun Ladang
0,263 4 Hutan
Kemenyan 0,950
Rata-Rata Total 1,310 Khusus untuk hutan kemenyan sendiri mayoritas masyarakat dari kedua
desa lokasi penelitian Simarigung dan Sampean memilikinya dengan luasan yang beragam mulai dari 0,5 – 2 hektar. Sebaran petani responden berdasarkan
pemilikan hutan kemenyan ditampilkan pada Tabel 11. Bila dilakukan pengelompokan berdasarkan luas kebun kemenyan, maka sebanyak 55
responden memiliki kebun kemenyan antara 1 - 1,99 ha. Luas hutan kemenyan yang dimiliki responden secara keseluruhan mencapai 57 hektar dan apabila
diambil rata-ratanya secara keseluruhan, masing-masing petani responden memiliki kebun kemenyan seluas 0,95 ha.
Tabel 11. Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas kebun kemenyan No
Kelas Luas ha Jumlah Responden
Jiwa Persentase
Total Luas ha
1 1
22 37
11 2
1,0 – 1,99 33
55 36
3 ≥ 2
5 8
10 Total 60
100 57
Rata-rata 0,95
5.1.2. Status Kepemilikan Lahan
Untuk status kepemilikan kebun atau hutan kemenyan beserta pohon yang tumbuh di dalamnya, masyarakat punya aturan tersendiri. Setiap desa didominasi
oleh marga tertentu. Menurut Nurrochmat 2001 aturan ini dimulai sejak masuknya kelompok marga tertentu ke dalam suatu daerah berhutan yang belum
di tempati oleh marga lain. Tujuannya adalah untuk membangun tempat tinggal pemukiman baru yang lahannya masih subur. Karena masyarakat meyakini
bahwa kawasan yang masih berhutan mampu menyediakan kebutuhan hidup. Seiring pertambahan jumlah penduduknya dimana posisi mereka sudah
semakin kuat, mereka mengklaim bahwa lahan yang mereka buka dengan batas- batas tertentu menjadi milik mereka termasuk tanaman kemenyan yang tumbuh di
dalamnya dan hal itu diakui oleh kelompok marga lain yang bertetangga dengan mereka. Dengan demikian kebun kemenyan menjadi milik kelompok marga.
Misalnya sebagai contoh untuk Desa Simaringung dikuasai dan didominasi oleh Marga Simamora dan untuk Desa Sampean didominasi oleh Marga Simanullang.
Hal ini diperkuat dengan petani kemenyan yang menjadi responden dari kedua desa, dimana dari Desa Simarigung mayoritas Marga Simamora dan dari Desa
Sampean, responden mayoritas Marga Simanullang. Pembauran antar marga terjadi melalui proses pembentukan rumah tangga
baru. Bagi masyarakat setempat Suku Batak pada umumnya dalam hal pernikahan, haram hukumnya apabila menikah dengan satu marga sekalipun itu
sudah kerabat jauh. Oleh karena itu, kaum laki-laki yang sudah cukup umur akan