yang dipasarkan baik lokal maupun ekspor pada umumnya masih berupa bahan mentah raw material. Pengolahan kemenyan menjadi bentuk barang setengah
jadi semifinal goods atau barang jadi final goods berupa hasil-hasil ekstrak sesuai dengan kandungan kimianya belum ada industri yang melakukannya di
Sumatera Utara. Pemanfaatan kemenyan yang diketahui oleh masyarakat secara umum masih terbatas pada penggunaannya untuk industri rokok dan kegiatan
tradisional atau religius Sasmuko 2003. Pohon kemenyan merupakan satu- satunya jenis pohon yang menghasilkan getah yang mengandung senyawa asam
balsamat. Senyawa ini digunakan secara luas dalam industri farfum dan kosmetik. Kegunaan getah kemenyan secara tradisional adalah sebagai bahan
pembantu dalam kegiatan-kegiatan ritual dan industri rokok. Sedangkan sebagian besar kegunaan lainnya adalah sebagai bahan baku dalam industri antara lain
industri parfum, farmasi, obat-obatan, kosmetik, sabun, kimia dan industri pangan. Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin
yang digunakan sebagai fixative agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri
farmasi, antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoat, sodium benzoat, benzophenone,
dan ester aromatis Sasmuko 1995. Perdagangan kemenyan di dalam negeri telah mengenal penggolongan
kualitas baik lokal maupun standar kualitas kemenyan nasional menurut SII. 2044-87. Kualitas lokal hanya berlaku untuk perdagangan kemenyan toba bukan
durame. Sedangkan kemenyan durame tidak terbagi dalam kelas kualitas karena bukan komoditi utama yang diperdagangkan Sasmuko 1995.
Tabel 2. Standar lokal kualitas kemenyan
No Kualitas Mutu
I II
III IV
Abu 1 Warna Putih
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Coklat kemerahan
Campur 2
Ukuran cm
L : 3 – 4 P : 5 – 6
L : 2 – 3 P : 3 – 5
L : 1 – 2 P : 2 – 3
L : 0,5 – 1 P : 1 – 2
Bentuk kerikil-pasir
Sumber : Sasmuko 1995
Tabel 3. Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan No Kualitas
Mutu I
II III
IV Abu
1 Kadar Asam Balsamat
33,2 32,7
25,3 21,8
20,1 2
Kadar Air 1,56
1,75 2,35
2,19 2,29
3 Kadar Abu
0,99 0,91
1,48 1,44
1,52 4
Kadar Kotoran 2,89
3,44 12,0
11,2 12,5
5 Titik Lunak
C 58,9 59,3
64,3 65,7
57,8
Sumber : Sasmuko 1995
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan upaya dalam membangun kerjasama sinergis antara masyarakat dan pemerintah dalam
mengelolala sumberdaya hutan. Diharapkan dari pola pengelolaan ini, masyarakat tidak lagi merasa sebagai obyek dalam pengelolaan sumberdaya hutan melainkan
berlaku sebagai subjek. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan pola ini, antara lain: mewujudkan kelestarian dan keberlanjutan fungsi hutan,
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah setempat dalam pemanfaatan sumber daya hutan, peningkatan manfaat hutan serta
distribusi manfaat sumber daya hutan yang berkeadilan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007,
tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Pada pasal 84 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat
dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
2.3.1. Hutan Desa
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan pola hutan desa diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 49Menhut-II2008 tentang
Hutan Desa. Dengan Permenhut ini, tentunya hasil yang ingin dicapai adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan sekaligus pemanfaatan
sumber daya hutan secara bertanggung jawab oleh masyarakat yang memiliki
pengetahuan lokal tentang hutan dan mengerti arti penting hutan dalam kehidupan mereka.
Dalam regulasi tentang Hutan Desa, penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan BupatiWalikota yang
ditembuskan kepada Gubernur. Areal kerja hutan desa sendiri merupakan hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin
pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa. Sementara itu, aspek penentuan kriteria dilakukan oleh komponen pemerintahan, yaitu didasarkan atas
rekomendasi dari Kepala Kawasan Pengelolaan Hutan KPH atau Kepala Dinas KabupatenKota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Partisipasi masyarakat dalam penetapan areal kerja hutan desa terbatas pada pengajuan permohonan Kepala Desa kepada BupatiWalikota. Oleh karena
itu, pada tingkat ini diperlukan keaktifan yang tinggi dari masyarakat untuk melakukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa. Kecil kemungkinan
bagi masyarakat untuk melewatkan potensi pemanfaatan hutan yang ada di sekitar mereka, apalagi bagi masyarakat yang berinteraksi dengan hutan secara intensif.
Agar dapat mengelola hutan dan kelestariannya secara lebih terorganisir, masyarakat desa perlu membentuk suatu kelompok yang memang dikhususkan
untuk pengelolaan hutan desa. Aspek yang dicakup dalam penatausahaan hutan desa cukup luas, mulai dari tahap pengusulan penetapan areal hutan desa sampai
dengan pengelolaan hutan desa itu sendiri. Karenanya diperlukan kompetensi yang memadai dari lembaga desa bukan hanya dalam aspek pengelolaan hutan,
tapi juga dari segi administrasi dan hukum yang terkait Dephut 2008. Selanjutnya dalam Dephut 2008 juga disebutkan bahwa pemerintah perlu
melakukan fasilitasi untuk melancarkan tahap-tahap pembentukan lembaga desa dan meningkatkan kompetensinya. Kegiatan fasilitasi ini harus dimasukkan ke
dalam program kerja Dinas Kehutanan Pemerintah Daerah setempat. Pemerintah diantaranya dapat melakukan bimbingan teknis tentang hal-hal yang mungkin
belum diketahui secara umum oleh masyarakat desa, seperti penyusunan rencana kerja hutan desa dan pemberian informasi pasar dan modal. Masyarakat terutama
harus diberitahu tentang manfaat hutan desa dan pengelolaannya. Selain itu,