minggu. Kesetimbangan dicapai pada saat tekanan uap air pada bahan sama dengan tekanan uap air lingkungan sekitar.
Tabel 2. Kelembaban relatif larutan garam jenuh
RH pada suhu Larutan garam jenuh
20
o
C 25
o
C 30
o
C Lithium klorida
Kalium asetat Magnesium bromida
Magnesium klorida Kalium karbonat
Magnesium nitrat Natrium bromida
Tembaga klorida Lithium asetat
Strontium klorida Natrium klorida
Amonium sulfat Kadmium klorida
Kalium bromida Lithium sulfat
Kalium klorida Kalium kromat
Natrium benzoat Barium klorida
Kalium nitrat Kalium sulfat
Natrium phospat 12
23 31
33 44
52 57
68 70
73 75
79 82
84 85
86 88
88 91
94 97
98 11
23 31
33 43
52 57
67 68
71 75
79 82
83 85
86 87
88 90
93 97
97 11
23 30
32 42
52 57
67 66
69 75
79 82
82 85
84 86
88 89
92 97
96
Sumber : Rockland 1969 dalam Puspitawulan 1997
2.8 Isotermik Sorpsi Air ISA
Isotermi sorpsi air menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan RH kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aktivitas air pada suhu
tertentu Labuza 1968. Handoko 2004 menjelaskan bahwa isotermik sorpsi air dapat ditunjukkan dalam bentuk kurva isotermik sorpsi yang khas pada setiap
bahan pangan. Ditambahkan oleh Purnomo 1995, bentuk kurva Isotermi sorpsi air ISA bagi setiap bahan pangan khas. Hal ini berkaitan dengan struktur, sifat
fisikokimia dan kimia, serta komponen penyusun bahan pangan. Brunauer et al. 1940 dalam Rizvi 1995 mengklasifikasikan kurva
absoprsi isotermi dalam 5 tipe Gambar 3, antara lain tipe 1 adalah tipe langmuir, tipe 2 adalah tipe sigmoid atau S, sedangkan tipe lainnya tidak memiliki nama
khusus. Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui pada umumnya kurva isotermi sorpsi air tidak linier Brunauer et al. 1940 dalam Rizvi 1995
A
w
A
w
Keterangan : I =Tipe Langmuir; II =Tipe Sigmoid; III, IV dan V = tidak memiliki nama khusus
Gambar 3. Lima tipe kurva isotermi sorpsi air
Kurva isotermi sorpsi air dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu melalui proses absorbsi dimulai dari kondisi bahan yang kering atau melalui proses
desorpsi dimulai dari kondisi bahan yang basah. Pada proses absorpsi terjadi penyerapan uap air dari udara ke dalam bahan pangan, dan sebaliknya proses
desorpsi bahan pangan melepaskan uap air ke udara Labuza 1968. Kedua cara tersebut biasanya menghasilkan perbedaan yang ditunjukkan dengan tidak
berhimpitnya kedua kurva. Fenomena ini disebut histeresis. Model analisa logaritma dapat digunakan untuk menentukan kapasitas air
ikatan sekunder. Medel ini merupakan analogi perambatan panas dalam kaleng. Dalam hal ini kurva isotermi sorpsi air diplot sebagai hubungan kadar air terhadap
1-A
w
. Plug dan Esselen 1963 dalam Soekarto 1978 menemukan hubungan linier jika perambatan panas diplot sebagai log T
o
-T yang merupakan perbedaan suhu retort dan suhu pusat kaleng, terhadap waktu t. Dengan memplot nilai log
1-A
w
terhadap m juga dihasilkan garis lurus. Berdasarkan analog tersebut, didapatkan model matematik empirik sebagai berikut :
= −
1
w
A Log
b x m + a Keterangan :
m = Kadar air g airg bahan kering pada aktivitas air A
w
b = Faktor kemiringan
a = Titik potong pada ordinat
Penerapan model ini pada produk pangan menghasilkan garis lurus patah dua. Soekarto 1978 mengartikan bahwa garis lurus pertama mewakili ikatan
sekunder, dan garis lurus kedua mewakili air ikatan tersier. Titik potong kedua garis ini merupakan titik peralihan dari air ikatan sekunder dan air ikatan tersier,
dan dianggap sebagai batas atas atau kapasitas air ikatan sekunder. Labuza 1968 membagi kurva isotermi sorpsi air menjadi tiga bagian,
Daerah A menunjukkan absorpsi lapisan air satu lapis molekul daerah monolayer, daerah B menunjukkan absorpsi tambahan diatas lapisan monilayer
daerah multilayer, dan daerah C menunjukkan air terkondensasi pada pori-pori bahan. Hal yang serupa juga dikemukan oleh Duchworth 1974 dalam Troller
dan Christian 1978 Gambar 4.
Keterangan : A = daerah monolayer ; B = daerah multilayer ; C = daerah kondensasi kapiler
Gambar 4. Bentuk umum kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan dan pembagian tiga daerah ikatan.
Peranan faktor hidratasi bahan pangan dan lingkungannya sangat dominan dalam terjadinya penyimpangan mutu atau kerusakan bahan pangan. Labuza
1968 menyajikan ambang batas tingkat hidratasi A
w
dalam hubungannya dengan kecepatan reaksi kerusakan. Hubungan ini digambarkan dalam bentuk
peta yang disebut dengan peta stabilitas Gambar 5 . Peta stabilitas ini menggambarkan hubungan berbagai jenis kerusakan
sebagai fungsi dari aktivitas air A
w
dan kadar air yang ditelusuri berdasarkan kurva ISA dari bahan pangan tertentu.
Gambar 5. Peta stabilitas bahan makanan yang menyerupai fungsi dari faktor hidratasi Labuza 1968.
Pada daerah I, molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan
molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N seperti karbohidrat, protein atau garam. Air tipe ini terikat kuat dan seringkali disebut air terikat dalam
arti sebenarnya. Derajat peningkatan air sedemikian rupa sehingga reaksi-reaksi yang
terjadi sangat lambat dan tidak terukur. Reaksi yang nyata dalam bahan makanan adalah peningkatan oksidasi lemak. Oksidasi lemak akan meningkat pada daerah
II karena keaktifan katalis meningkat dengan adanya pengembangan volume akibat penyerapan air.
Pada daerah II, molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air
murni. Bila sebagaian air pada daerah II dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan seperti reaksi browning,
hidrolisis atau oksidasi lemak akan dikurangi. Air pada daerah III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan
matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lainnya. Air ini disebut air bebas. Air ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan
mikroorganisme dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air pada daerah ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12 – 25 dengan
A
w
kira-kira 0,80 tergantung dari jenis bahan dan suhu.
2.9 Umur simpan Shelf life