Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung

(1)

KAJIAN FORMULASI DAN ISOTHERMIS SORPSI AIR

BISKUIT JAGUNG

CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.

Bogor, Juni 2008

Cynthia Gracia Christina Lopulalan NRP F251050141


(3)

ABSTRACT

CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN. Study of Formulation and Water Sorption Isothermic of Corn Biscuit. Supervised by Sugiyono and Bambang Haryanto.

The research was conducted to study the formulation of corn biscuit and to predict the biscuit’s shelf life using water sorption isothermic method. The flour used was roasted corn flour and unroasted corn flour. Results showed that biscuit’s made of 80% corn flour and 20% wheat flour were accepted by panelist and the best formulation was 80% corn flour, 20% wheat flour, 50% margarine, 50% sugar and 10% yellow egg. Roasting treatment of corn flour significantly affected fat content, carbohydrate content and digestibility of protein of the product. The water sorption isothermic curve of the product was a type III. According to the isothermic curve of roasted corn flour biscuit, the primary water fraction was 3.72 (%db), the secondary water fraction was 10.09 (%db), the tertier water fraction was 43.19 (%db). According to the isothermic curve of unroasted corn flour biscuit, the primary water fraction was 3.76 (%db), the secondary water fraction was 10.15 (%db), the tertier water fraction was 47.90 (%db). The product packaged in alufo had a longer shelf life than those packaged in PP and PE. The product made of roasted corn flour had a longer shelf life than that made of unroasted corn flour in the 85% RH. In the storage study, the product packaged in alufo had a better firmness and a lower TBA content than those packaged in PP and PE.


(4)

RINGKASAN

CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN. Kajian Formulasi dan

Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung. Dibimbing oleh Sugiyono dan Bambang Haryanto.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembuatan formulasi biskuit jagung untuk mendapatkan formula yang dapat diterima secara organoleptik dan menentukan umur simpan biskuit dengan metode isothermik sorpsi air. Perlakuan tepung jagung meliputi tepung jagung sangrai dan tepung jagung non sangrai. Penelitian menghasilkan formula terbaik dengan komposisi yaitu tepung jagung 80g, tepung terigu 20g, margarin 50g, gula 50g, kuning telur 10g, air 20 g serta bahan pengembang. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa kadar lemak, kadar karbohidrat, daya cerna protein biskuit tepung jagung sangrai lebih tinggi dari biskuit tepung jagung non sangrai.

Kajian sorpsi isothermik air biskuit tepung jagung sangrai dan non sangrai menghasilkan kurva sorpsi isothermik bentuk III. Dari kurva tersebut kemudian dilakukan perhitungan umur simpan biskuit. Dari hasil analisis isothermik sorpsi air diperoleh tiga daerah fraksi air terikat yaitu Mp, Ms dan Mt. Biskuit tepung

jagung sangrai (BTJS) untuk fraksi ATP dibatasi oleh Mp 3.72 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.20. Fraksi ATS dibatasi oleh Ms sebesar 10.09 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.45 dan fraksi ATT dibatasi oleh Mt sebesar 43.19 yang berkeseimbangan dengan aw = 1. Untuk biskuit tepung jagung non sangrai (BTJNS), fraksi ATP dibatasi oleh Mp 3.76 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.20, fraksi ATS dibatasi oleh Ms sebesar 10.15 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.46 dan fraksi ATT dibatasi oleh Mt sebesar 47.90 yang berkeseimbangan dengan aw = 1.

Produk biskuit dihitung umur simpannya kondisi RH 85%. Umur simpan biskuit tepung jagung sangrai kemasan alufo 20.7 bulan, kemasan PP 2.2 bulan dan kemasan PE 2.4 bulan. Umur simpan biskuit tepung jagung non sangrai kemasan alufo 15.1 bulan, kemasan PP 1.6 bulan dan kemasan PE 1.8 bulan. Uji penyimpanan produk biskuit pada suhu ruang selama 30 hari (1 bulan) menunjukkan bahwa produk yang dikemas dalam kemasan alufo memiliki kerenyahan lebih baik dan nilai TBA lebih rendah dibandingkan dengan produk yang dikemas dalam PE dan PP. Hal ini terjadi karena nilai permeabilitas terhadap uap air dan oksigen kemasan alufo yang lebih kecil dari kedua kemasan lainnya.


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan narasumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2.Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

KAJIAN FORMULASI DAN ISOTHERMIS SORPSI AIR

BISKUIT JAGUNG

CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

Judul Tesis : Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung Nama : Cynthia Gracia Christina Lopulalan

NRP : F 251050141

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Ketua

Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang selalu melimpahkan Berkat dan AnugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian dan Penulisan Tesis ini dengan judul " Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung”. Penulisan tesis ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.S selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan tulisan ini, kepada Dr.Ir Bambang Haryanto, M.S, terima kasih untuk bantuan dana selama penelitian. Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir. Dede R Adawiyah, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi.

Terima kasih diucapkan Kepada Ketua Program Studi Ilmu Pangan (IPN) Dr.Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc dan juga mantan Ketua Program Studi Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS atas segala bantuan, perhatian dan dukungan selama penulis menempuh studi di Program Studi Ilmu Pangan. Diucapkan terima kasih kepada para laboran untuk bantuan dan kerjasama yang terjalin selama penulis melakukan penelitian. Kepada Mbak Mar, terima kasih untuk perhatian dan kerjasama dalam urusan administrasi selama penulis menempuh studi di IPN.

Teman-teman IPN angkatan 2005, terkhusus untuk Fenny, Hana, Erni, Fitri, Emma, Heni, A’Akhyar, Jo dan Haris diucapkan terimakasih untuk sukacita dan dukacita selama di IPN. Terima kasih diucapkan kepada kakak-kakak terbaik penulis: Ma d, B’Simon, B’Nus, U’Nona, B’Degen, K’Bos dan Eddy untuk kebersamaan dalam suka (jalan, makan & fotonya) dan duka selama menempuh studi di IPB serta PERMAMA di Bogor. Teman-teman Wisma Agape terima kasih untuk perhatian dan dukungan selama penulis menempuh studi, terima kasih diucapkan buat Kel. Bung Mengky Leuhery. Sahabat-sahabat penulis : Berthy dan


(9)

Lydia, Opes, Jenot, Wilyer terimakasih untuk dukungan serta persaudaraan yang terus terjalin.

Terima kasih diucapkan kepada Keluarga besar Lopulalan-Pattinasarany atas segala dukungan baik moral maupun materiil. Terima kasih tak terhingga diucapkan kepada Keluarga tercinta : Papi dan Mami untuk segala kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan yang dilakukan untuk penulis hinggga penulis bisa sampai pada jenjang S2. Kakak-kakak : Bung Andre, Bung Franky dan K’Fanny, Bung Alex dan Iren serta K’Leady atas segala bantuan moril dan materil yang diberikan untuk membantu Papi dan Mami sehinggga penulis bisa menempuh semua ini. Ponakan-ponakan penulis: Vino, Rey, Nanda, Anggle, Gracia dan Andrew.

Akhirnya dengan diiringi doa, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas segala kebaikan yang penulis terima serta permohonan maaf atas segala tindakan yang mungkin tidak berkenan selama penulis menempuh studi di IPB dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juni 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Namlea pada tanggal 25 Maret 1980 dari pasangan ayah Pdt. Andreas Lopulalan, SmTh dan ibu Ny. Avia Lopulalan/Pattinasarany, S.Pd sebagai putri bungsu dari 5 bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh pada Universitas Pattimura, Fakultas Pertanian, Program Study Agronomi dan lulus pada tahun 2003. Tahun 2005, penulis melanjutkan studi pada program Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Pangan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tanaman Jagung ... 6

2.1.1 Komposisi Kimia Jagung ... 8

2.2 Pati jagung ... 10

2.2.1 Gelatinisasi pati ... 12

2.2.2 Suhu Gelatinisasi ... 14

2.2.3 Sifat Birefringence... 15

2.3 Biskuit ... 16

2.3.1 Bahan Baku Biskuit ... 19

2.3.2 Proses Pembuatan Biskuit ... 21

2.4 Aktivitas Air ... 22

2.5 Kadar Air Kesetimbangan ... 24

2.6 Isothermi Sorpsi Air ... 25

2.6.1 Air Terikat ... 26

2.7 Umur Simpan dan Metode Analisisnya ... 29

2.8 Pengemasan ... 31

III. BAHAN DAN METODE ... 34

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

3.2 Bahan dan Alat ... 34

3.3 Tahap Persiapan... 34

3.4 Metode Penelitian ... 36

3.4.1 Formulasi dan Pembuatan Biskuit Jagung... 36

3.4.2 Kajian Isothermik Sorpsi Air... 38

3.4.3 Kajian Penyimpanan ... 38

3.5 Analisis Data ... 39

3.6 Metode Analisis ... 39

3.6.1 Analisis Sifat Fisik ... 39

3.6.2 Analisis Sifat Kimia ………... 44

3.6.3 Analisa Karakteristik Fungsional & Sifat Rheologi Adonan ... 49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51


(12)

4.1.1 Rendemen ... 52

4.1.2 Densitas Kamba ... 53

4.1.3 Indeks Penyerapan Air (IPA) ... 54

4.1.4 Warna ... 55

4.1.5 Sifat Amilografi ... 56

4.2 Analisa Kimia Tepung Jagung ... 58

4.2.1 Kadar Air ... 58

4.2.2 Kadar Abu ... 59

4.2.3 Kadar Protein ... 60

4.2.4 Kadar Lemak ... 61

4.2.5 Kadar Karbohidrat ... 61

4.2.6 Serat Kasar ... 62

4.3 Uji Sifat Rheologi Adonan ... 62

4.4 Formulasi Biskuit ... 64

4.4.1 Formulasi Tahap 1 ... 65

4.4.2 Formulasi Tahap 2 ... 67

4.4.3 Formulasi Tahap 3 ... 69

4.5 Organoleptik ... 74

4.5.1 Penampakan ... 75

4.5.2 Aroma ... 76

4.5.3 Tekstur ... 77

4.5.4 Warna ... 78

4.5.5 Rasa ... 79

4.5.6 Overall ... 80

4.6 Analisis Kimia biskuit ... 80

4.6.1 Kadar Air ... 81

4.6.2 Kadar Abu ... 82

4.6.3 Kadar Protein ... 82

4.6.4 Kadar Lemak ... 84

4.6.5 Kadar Karbohidrat ... 84

4.6.6 Serat Kasar ... 85

4.6.7 Nilai Kalori ... 86

4.6.8 Daya Cerna Protein... 86

4.6.9 Daya Cerna Pati ... 88

4.7 Isothermi Sorpsi Air ... 89

4.7.1 Kadar Air Kestimbangan dan Kurva Isothermik Sorpsi Air 89

4.7.2 Analisa Fraksi Terikat ... 92

4.7.2.1 Penentuan Kapasitas Air Terikat Primer ... 92

4.7.2.2 Penentuan Kapasitas Air Terikat Sekunder ... 94

4.7.2.3 Penentuan Kapasitas Air Terikat Tersier... 96

4.7.3 Penentuan Fraksi Air Terikat ... 98

4.7.4 Analisa Umur Simpan ... 99

4.8 Bilangan TBA (thibarbituric acid) ... 103

4.9 Analisis Objektif Fisik Terhadap Tekstur (kekerasan dan kerenyahan) ... 107

4.10 Sifat Birefringence ... 111


(13)

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 120

5.1 Simpulan ... 120

5.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan 9

2 Bentuk dan diameter beberapa jenis pati ... 12

3 Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati ... 15

4 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992 ... 16

5 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) ... 17

6 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada biskuit *) ... 17

7 Formulasi biskuit jagung ... 38

8 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung ... 38

9 Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk biskuit .. 41

10 Jumlah garam dan air untuk preparasi larutan garam jenuh .. 42

11 Hasil rata-rata analisis warna tepung jagung ... 56

12 Komposisi kimia tepung jagung non sangrai dan sangrai .. 58

13 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung ... 65

14 Karakteristik adonan pada beberapa tingkat substitusi tepung .. 66

15 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung ... 68

16 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung ... 70

17 Empat formula terpilih untuk uji lanjut ... 74

18 Hasil analisis organoleptik ... 75

19 Karakteristik kimia BTJNS dan BTJS ... 81

20 Kadar air kesetimbangan BTJS dan BTJNS pada berbagai aw penyimpanan ... 90

21 Hasil perhitungan kapasitas air terikat primer pada produk BTJS & BTJNS ... 94

22 Hasil perhitungan kapasitas air terikat sekunder pada produk BTJS & BTJNS ... 96

23 Hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier pada produk BTJS & BTJNS ... 98

24 Susunan fraksi air terikat BTJS & BTJNS ... 99

25 Umur simpan BTJS dan BTJNS dalam kemasan Alufo, PP dan PE pada berbagai kadar air kritis (Mc) ... 102


(15)

26 Nilai TBA BTJS & BTJNS tiap kemasan/ minggu pengamatan ... 106

27 Investasi peralatan ... 117

28 Biaya tetap ... 117

29 Biaya variabel ... 118


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 5

2 Tanaman jagung ... 6

3 Jenis-jenis jagung ... 7

4 Struktur amilosa ... 11

5 Struktur amilopektin ... 11

6 Kurva sorpsi isothermis ... 25

7 Proses pembuatan tepung jagung ... 35

8 Proses pembuatan tepung jagung sangrai ... 36

9 Proses pembuatan biskuit jagung ... 37

10 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan texture analyzer 41 11 Lingkaran warna ... 55

12 (a) tepung jagung non sangrai (b) tepung jagung sangrai .... 56

13 Grafik farinogram tepung jagung sangrai dan non sangrai .... 63

14 Contoh grafik farinogram untuk tepung terigu kuat (strong flour)... 64

15 Adonan 80:20, air 20 g (kiri), adonan 80:20, air 50 g (kanan) .... 68

16 Adonan dengan kuning telur 20,30 dan 50 g (dari kiri ke kanan) .... 72

17 Adonan biskuit yang sudah dicetak ... 73

18 Histogram nilai penampakan biskuit jagung ... 75

19 Histogram nilai aroma biskuit jagung ... 76

20 Histogram nilai tekstur biskuit jagung ... 77

21 Histogram nilai warna biskuit jagung ... 78

22 Histogram nilai rasa biskuit jagung ... 79

23 Histogram nilai overall biskuit jagung ... 80

24 Kurva sorpsi isothermik BTJS & BTJNS ... 91

25 Plot kapasitas air terikat primer BTJS dengan metode BET .... 93

26 Plot kapasitas air terikat primer BTJNS dengan metode BET .... 93 27 Plot kapasitas air terikat sekunder BTJS dengan metode logaritma 95 28 Plot kapasitas air terikat sekunder BTJNS dengan metode logaritma 96 29 Plot kapasitas air terikat tersier BTJS dengan metode polinomial ordo 2 97


(17)

30 Plot kapasitas air terikat tersier BTJNS dengan metode polinomial

ordo 2 ... 97

31 Slope untuk umur simpan BTJS ………. 101

32 Slope untuk umur simpan BTJNS ... 101

33 Grafik nilai TBA BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan ... 105

34 Grafik nilai TBA BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan …. 106 35 Grafik perubahan nilai kekerasan BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan ……….. 109

36 Grafik perubahan nilai kekerasan BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan ……….. 110

37 Grafik perubahan nilai kerenyahan BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan ……….. 110

38 Grafik perubahan nilai kerenyahan BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan ……….. 110

39 (a) granula pati BTJNS (b) granula pati BTJS ... 112

40 Granula pati BTJS (atas) & BTJNS (bawah) kemasan PE minggu I-IV 113 41 Granula pati BTJS (atas) & BTJNS (bawah) kemasan PP minggu I-IV 114 42 Granula pati BTJS (atas) & BTJNS (bawah) kemasan Alufo minggu I-IV ... 115


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner penilaian organoleptik ………... 130

2 Data uji organoleptik ... 131

3 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap parameter organoleptik ………... 137

4 Hasil analisis Paired-SamplesT Test kadar lemak biskuit & kadar air tepung jagung ... 143

5 Sidik ragam nilai kekerasan dan kerenyahan biskuit ... 144

6 Sidik ragam nilai TBA biskuit ... 153

7 Kurva amilograf tepung jagung ... 157

8 Gambar biskuit hasil penelitian ... 158

9 Contoh grafik perubahan kekerasan & kerenyahan biskuit selama penyimpanan ... 159


(19)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung adalah salah satu tanaman serealia penting dan merupakan komoditi pangan yang memiliki produksi yang cukup tinggi di dunia disamping gandum dan beras. Usaha peningkatan produksi jagung dilakukan melalui usaha perluasan areal pertanaman, intensifikasi serta penggunaan bibit unggul. Dalam rangka swasembada karbohidrat sebanyak 2.100 kalori/kapita/hari, di Indonesia jagung memegang peranan kedua setelah beras. Sebagai bahan makanan, nilai gizi jagung tidak kalah bila dibandingkan dengan beras (Soeprapto 1998). Menurut Suprapto & Marzuki (2005) bahwa beberapa daerah di wilayah Indonesia mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok.

Produksi jagung akhir-akhir ini mengalami peningkatan walaupun masih kalah produksinya dari beras. Produksi jagung tahun 2007 sebesar 12.45 juta ton mengalami peningkatan sebesar 6% dari tahun 2006 sebesar 11.61 juta ton. Dengan produksi yang makin meningkat memungkinkan dilakukan pengolahan jagung dalam berbagai bentuk dalam rangka memperpanjang umur simpan dengan sentuhan teknologi modern sehingga produk jagung dapat diperoleh setiap saat yang diinginkan.

Dewasa ini jagung berperan sebagai bahan baku berbagai pengolahan di industri pangan maupun pakan. Biji jagung utuh dapat diolah menjadi tepung jagung, beras jagung dan makanan ringan (pop corn, jagung marning). Jagung juga dapat diproses menjadi minyak goreng, margarin serta formula makanan seperti bakery, es krim, sup. Bakery dan minuman dapat diolah menggunakan bahan baku dari pati jagung. Penelitian-penelitian beberapa tahun terakhir diarahkan pada pengolahan jagung untuk menjadi berbagai produk pangan seperti mie jagung instan, bubur jagung instan, tape jagung dan pengeringan emping jagung. Pengolahan jagung menjadi berbagai produk pangan yang bernilai gizi tinggi dirasakan perlu terus dilakukan agar dapat menjangkau pasar dari berbagai kalangan strata sosial serta berbagai kalangan umur.

Biskuit terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al. 1978) dan diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5% (SNI 1992).


(20)

Terkadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan. Hal ini bisa terjadi karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971).

Seperti ketahui bahwa yang berkembang di pasaran saat ini adalah biskuit yang berbahan dasar tepung terigu, dimana tepung terigu tersebut terbuat dari biji gandum yang harus diimpor. Itu artinya membutuhkan biaya yang sangat besar untuk mengimpor bahan baku tersebut. Harga gandum dunia mencapai angka tertinggi dalam 4 tahun terakhir. Naiknya harga tepung terigu sejak awal januari 2008 ini menghasilkan dampak luar biasa bagi kelangsungan kegiatan usaha makanan yang berbasis tepung terigu seperti mie dan roti, yang pada akhirnya membuat banyak pengusaha yang menggunakan tepung terigu sebagai bahan utama produknya memilih gulung tikar karena tidak mampu melakukan kegiatan produksi. Apalagi, dalam waktu 1 bulan, harga tepung terigu sudah naik 2 kali, dimana harga awal Rp 153.000 per zak (isi 25 kg) menjadi Rp 158.000/ zak, lalu naik lagi menjadi Rp 167.000 per zak. Bahkan diperkirakan, harga tepung terigu ini akan terus merangkak naik sampai Rp 200.000 per zak pada bulan April 2008.

Adapun sebab-sebab kenaikan harga tepung terigu ini adalah karena naiknya harga bahan baku tepung terigu yaitu gandum dipasaran dunia yang mencapai US$ 500 per ton, selain itu stok gandum internasional sangat minim karena beberapa negara penghasil gandum seperti Australia, China dan Argentina gagal panen. Ditambah lagi dengan kebijakan proyek biofuel di Amerika Serikat, dimana jagung harganya tiba-tiba melonjak karena dapat dipakai sebagai bahan biofuel. Otomatis banyak petani gandung di USA mengalihkan tanamannya, dimana sebelumnya menanam gandum, sekarang beralih menanam jagung (www.bogasari.com).

Efek kenaikan harga gandum dunia diperkirakan akan mempengaruhi harga jual terigu nasional. Harga komponen gandum mencapai 90% dari struktur biaya produksi terigu. Oleh karena itu naiknya harga gandum cepat atau lambat akan menyebabkan kenaikan harga terigu secara bertahap. Setiap kenaikan harga gandum sebesar US$10 per ton bisa mengakibatkan kenaikan harga tepung terigu


(21)

sebesar US$13,5 per ton. Jika asumsi nilai tukar US dolar terhadap rupiah adalah Rp 9.000 per US$, berarti kenaikannya sebesar Rp 120 per kilogram tepung terigu atau setara kenaikan 4%. Hal ini mengakibatkan perusahaan terigu tidak punya pilihan lain selain menyesuaikan harga jual terigu mengikuti pasaran dunia (www.bogasari.com)

Dengan demikian sebagai salah satu langkah dalam proses diversifikasi pangan dan sebagai suatu terobosan untuk mengatasi masalah di atas maka dapat dilakukan suatu penelitian untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti jagung agar lebih memberikan nilai tambah. Salah satu produk yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat adalah biskuit. Dengan adanya sentuhan teknologi dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam tersebut diharapkan dapat memberikan nuansa baru dalam produk pangan dengan kualitas yang tinggi sehingga produk biskuit dapat diterima di masyarakat luas.

1.2 Perumusan Masalah

Peranan jagung dalam industri pangan dewasa ini sangat penting. Hal ini terbukti dengan adanya pengolahan berbagai produk pangan yang berbahan baku jagung. Melalui pengolahan ini produk yang dihasilkan memiliki nilai gizi yang tinggi serta dapat diterima oleh masyarakat. Dalam rangka pengolahan pangan berbahan baku jagung, biskuit dapat merupakan salah satu alternatif produk pangan yang dapat dibuat dari tepung jagung. Penggurangan penggunaan tepung terigu dan digantikan dengan tepung jagung memiliki beberapa keuntungan diantaranya pemanfaatan sumber daya alam yang ada, mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu, mengurangi ekspor gandum yang sangat mahal.

Dengan berbagai hasil produk pengolahan dari tepung jagung yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya maka masalah ketergantungan terhadap produk pangan yang berbahan dasar tepung terigu secara perlahan-lahan mungkin dapat dikurangi. Eksplorasi tepung jagung yang dikaji dari berbagai segi yaitu fisik, kimia serta organoleptik diharapkan dapat menghasilkan produk biskuit yang dapat diterima oleh masyarakat dan memiliki daya simpan yang lama.


(22)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pembuatan formulasi biskuit jagung untuk mendapatkan formula yang dapat diterima secara organoleptik serta menentukan umur simpan biskuit melalui metode isothermik sorpsi air. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu produk baru yang berkualitas yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya serta dapat merupakan suatu inovasi baru bagi industri pangan dalam rangka pemanfaatan komoditi lokal yang tersedia.

1.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah penyusunan formula biskuit jagung yang tepat dapat menghasilkan biskuit jagung yang berkualitas baik dari segi fisik, kimia, organoleptik serta memiliki umur simpan yang lama.

1.5 Kerangka Pemikiran

Suatu negara yang berkembang membutuhkan ketersediaan kebutuhan pangan yang cukup. Permasalahan yang terjadi dewasa ini adalah belum cukupnya pangan yang tersedia untuk menjawab kebutuhan masyarakat akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Hal lain yang menjadi permasalahan adalah semakin tinggi nilai impor serta ketergantungan pada bahan pangan tertentu yang mengakibatkan keterbatasan produksi.

Dengan demikian salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan memanfaatkan komoditas lokal lewat kerjasama yang baik antar instansi terkait, akademisi, lembaga penelitian dan masyarakat selaku konsumen. Salah satu produk lokal yang menjadi andalan Indonesia adalah jagung. Dalam usaha diversifikasi pangan, jagung dapat dikembangkan menjadi berbagai produk yang dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu produk tersebut adalah biskuit jagung. Pemilihan bentuk diversifikasi produk yang dipilih adalah biskuit dikarenakan produk ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk semua golongan umur dan tingkat sosial masyarakat. Selain itu biskuit umumnya merupakan produk pangan yang relatif murah harganya sehingga


(23)

banyak disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Ketersediaan

kebutuhan pangan

- Pertumbuhan penduduk yang pesat - Ketergantungan pada bahan pangan

tertentu

- nilai impor yang mahal - Keterbatasan produksi gandum

dalam negeri

Pemanfaatan

komoditas lokal

- Instansi terkait - Lembaga riset dan

pengembangan teknologi - Kalangan akademisi - Masyarakat

Jagung

- Merupakan produk lokal - Lebih banyak dikonsumsi masyarakat

- Memiliki potensi ekonomi tinggi

Pengembangan produk jagung sebagai usaha

diversifikasi pangan

Produk tersebut dapat

diterima oleh konsumen


(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jagung

Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman yang berasal dari daratan Amerika Serikat kemudian menyebar ke daerah sub tropik dan tropik termasuk Indonesia. Jagung tumbuh baik di daerah beriklim sedang yang panas, daerah beriklim subtropik basah, namun dapat pula tumbuh baik di daerah tropis. Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecioes) dan termasuk famili rumput-rumputan (Gramineae). Batang jagung padat berisi teras, akar jagung terdiri dari akar tunggang, akar tunjang, akar lateral (Sumadi dan Rasyid 2002). Tanaman jagung dapat di lihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tanaman jagung

Tongkol jagung merupakan gudang penyimpanan cadangan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat pembentukan lembaga tetapi juga merupakan tempat menyimpan pati, protein, minyak/lemak dan hasil lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol bervariasi antara 8 - 42 cm dan biasanya dalam tongkol mengandung sekitar 300-1000 biji jagung.

Biji jagung berbentuk bulat-bulat atau gigi kuda tergantung varietasnya. Warna biji jagung bervariasi dari putih hingga kuning (Effendi dan Sulistiati 1991). Berdasarkan pembagian fungsi, jagung putih lebih banyak digunakan dalam industri pangan sedangakan jagung kuning banyak dipakai untuk industri pakan (Sayekti 1999). Sedangkan berdasarkan komposisi pati, jagung


(25)

dikelompokkan menjadi jagung manis, jagung ketan, jagung beramilosa tinggi. Berdasarkan tipe endosperma, jagung dibedakan atas jagung mutiara, jagung gigi kuda, jagung manis, jagung berondong, jagung ketan, jagung tepung dan jagung pod. Gambar 3 menunjukkan jenis-jenis jagung berdasarkan bentuk biji.

Gambar 3 Jenis-jenis jagung (www.wikipedia.com) Johnson (1991) mendeskripsikan tipe jagung sebagai berikut :

Dent corn (Zea mays identata)

Dent corn atau jagung gigi kuda, jagung ini dicirikan oleh bijinya yang mengalami depresi ditengah atau dent pada bagian biji sebelah atasnya. Lekukan ini terjadi karena pengerutan lapisan tepung yang lunak ketika biji mengering. Ukuran jagung ini besar, putih, kuning dan merah. Jenis jagung ini tidak tahan terhadap hama bubuk.

Flint corn (Zea mays indurata)

Flint corn atau jagung mutiara, memiliki ukuran biji sedang. Bagian atas biji berbentuk bulat dan tidak berlekuk, serta hampir seluruhnya mengandung lapisan tepung yang keras (horny starch). Bagian biji yang keras ini tidak mengalami dispersi waktu masaknya atau sewaktu mengering. Biji jagung berwarna putih, kuning dan merah. Jagung ini agak lebih tahan terhadap hama bubuk sehingga dapat tahan lama jika disimpan.

Sweet corn (Zea mays saccharata)

Sweet corn atau jagung manis, jagung ini memiliki ciri yaitu biji yang banyak mengandung gula dan sedikit pati. Jika biji jagung ini dikeringkan maka akan berkeriput. Jagung ini sering dipanen muda untuk direbus atau dibakar.


(26)

Soft corn atau jagung tepung. Jagung jenis ini memiliki biji yang hampir seluruhnya mengandung pati yang lunak. Jagung ini banyak ditanam di Peru, Amerika Serikat, Kolombia, Bolivia dan Afrika Selatan.

Pop corn (Zea mays avertia)

Pop corn atau jagung berondong, memiliki biji agak runcing, kecil dan keras, berwarna kuning atau putih. Ciri khas jagung ini adalah apabila sedikit dipanaskan akan segera mengembang. Biji yang kecil mengandung pati yang keras. Tongkol jagung ini umumnya berukuran kecil.

Pod corn (Zea mays tunicata)

Jagung ini mempunyai kulit yang menutupi bijinya, yang tidak terdapat pada jagung jenis lain. Dengan demikian, jagung ini memilki daya awet yang tinggi dengan daya kecambah yang tetap baik. Jagung ini tidak ditanam di Indonesia dan diduga merupakan jagung yang paling dulu ditemukan.

Waxy corn (Zea mays ceratina)

Waxy corn memiliki biji yang menyerupai lilin, zat patinya menyerupai tepung tapioka. Jagung ini merupakan jagung dengan kadar amilopektin 90 % dan biasanya diproduksi untuk makanan ternak.

Empat bagian terbesar yang membentuk biji jagung adalah perikarp (5 %), endosperma (82 %), lembaga (12 %) dan tip cap (1 %). Endosperma terdiri atas bagian yang lunak (floury) yang sebagian besar terdiri dari granula pati dan bagian keras (horny) merupakan tempat terdapatnya interaksi kuat antara butiran pati dan protein.

2.1.1 Komposisi Kimia Jagung

Komponen utama yang terdapat dalam jagung adalah karbohidrat sebesar 60 %, diikuti lemak dan protein. Karbohidrat utama pada jagung hibrida adalah pati yang terdiri dari amilosa (1000 unit glukosa) 70-75 % dan amilopektin (lebih dari 40.000 unit glukosa). Sukrosa dan zein merupakan komponen gula dan protein utama pada jagung. Lemak jagung adalah asam linoleat, oleat, palmitat, stearat, linoleat dan arakidat (Suprapto & Marzuki 2005). Kandungan vitamin A jagung merupakan kandungan vitamin yang tertinggi pada biji-bijian yaitu sebesar


(27)

440 SI. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan.

Tabel 1 Komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan Komponen Jagung

kuning segar Jagung kuning pipilan Jagung kuning giling Tepung jagung kuning Maizena Energi (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Viatamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g)

Bagian yang dapat dimakan ( %)

140.0 4.7 1.3 33.1 6.0 118.0 0.7 435.0 0.24 8.0 60.0 90.0 307.0 7.9 3.4 63.6 9.0 148.0 2.1 440.0 0.33 0.0 24.0 90.0 361.0 8.7 4.5 72.4 9.0 380.0 4.6 350.0 0.27 0.0 13.1 100.0 335.0 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 510.0 0.38 0.0 12.0 100.0 343.0 0.3 0.0 85.0 20.0 30.0 1.5 0.0 0.00 0.0 14.0 100.0 Sumber : Rukmana 1997

Kandungan gula jagung sebesar 1-3 % dengan komponen terbesar adalah sukrosa. Sukrosa terdapat pada bagian lembaga sebanyak 75 % dan bagian endosperm sebanyak 25 %. Glukosa, fruktosa dan rafinosa terdapat dalam jagung dalam jumlah kecil. Dalam biji jagung terdapat serat kasar sebanyak 2.1-2.3 %. Pada bagian pericarp (kulit sekam) terdapat 41-46 % hemiselulosa (Inglet 1970).

Jenis protein yang terkandung dalam jagung adalah albumin, globulin, prolamin, gluten dan skaleroprotein. Sebanyak 85 % lipid terdapat dalam lembaga dan terdiri dari asam lemak linoleat 59 %, oleat 25 %, palmitat 12 %, stearat 2 %, linoleat 0.8 % dan arakidat 0.2 %.

Kandungan mineral yang terkandung dalam jagung terutama terdapat pada bagian lembaga, yaitu hampir 75 % dari total mineral. Jenis mineral yaitu kalsium, fosfor, kalium, magnesium, besi, natrium dan sulfur. Jagung kaya akan fosfor dan kalium, tetapi miskin kandungan kalsium. Kandungan magnesium, natrium dan klorin sangat sedikit pada jagung (Berger 1962).

Serealia umumnya kurang akan vitamin C dan vitamin D, tetapi banyak mengandung vitamin B. Vitamin yang terdapat pada jagung adalah vitamin yang larut air yaitu niasin, asam pantotenat, riboflavin dan thiamin. Jagung mengandung niasin tetapi sekitar 50-80 % berada dalam bentuk ikatan niacytin,


(28)

sehingga jagung masih dikatakan kekurangan niasin. Kekurangan niasin dapat menyebabkan penyakit pelagra.

2.2 Pati Jagung

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Dalam bentuk aslinya pati merupakan butir-butir kecil yang sering disebut granula. Granula pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk berbeda-beda. Dengan mikroskop, granula pati dapat dibedakan berdasarkan perbedaan bentuk dan sifat birefringencenya (Winarno 1980).

Butir pati bersifat semikristalin yang mempunyai unit kristal dan unit amorphorus (Banks dan Greenwood 1975 di dalam Wirakartkusumah et al. 1984). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedang unit amorphorus bersifat dapat menyerap air dingin sampai 30 % tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman 1976 didalam Wirakartakusumah et al. 1984).

Pati disusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, amilosa, amilopektin dan material intermediet, seperti lipid dan protein (Banks dan Greenwood 1975 di dalam Wirakartkusumah et al. 1984). Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa adalah bagian linear pati (Greenwood dan Munro 1979 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Amilosa tediri dari 50-300 unit glukosa (Hart 1983). Meskipun polimer ini umumnya diasumsikan linier namun sebenarnya amilosa juga mempunyai cabang. Titik percabangan amilosa berada pada ikatan α-1,6. Hanya saja derajat percabangannya sangat rendah. Dalam satu rantai linier, cabang-cabang amilosa berada pada titik-titik yang sangat jauh dan sedikit (Hoseney 1988). Amilosa pati umbi-umbian mempunyai berat molekul lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa pati biji-bijian (Hodge dan Osman 1976 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Berikut disajikan struktur amilosa pada Gambar 4 di bawah ini.


(29)

Gambar 4 Struktur amilosa

Amilopektin sebagaimana amilosa juga mempunyai ikatan α(1,4) pada rantai liniernya, serta ikatan α(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 % dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman 1976 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Amilopektin terdiri dari 300-500 unit glukosa, namun glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4 hanya sekitar 25-30 unit (Hart 1983). Berikut struktur amilopektin pada Gambar 5.

Gambar 5 Struktur amilopektin

Komponen penyusun pati yang ketiga bervariasi menurut sumbernya serta dipengaruhi oleh sifat botani. Persentase komponen ketiga ini sekitar 5-10 % pada pati biji-bijian (Greenwood dan Munro 1979 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin berbeda menurut sumbernya. Pada umumnya pati dari jagung, gandum, beras, tapioka, sagu, kentang terdiri dari 17-27 % amilosa dan 73-83 % amilopektin (Cecil et al. 1982).

Ukuran granula pati memiliki peranan penting dalam penerapan industri pangan. Sebagai contoh, granula pati yang mempunyai diameter 20 µm dapat digunakan untuk substitusi lemak karena mempunyai ukuran yang sama dengan micell dari lipid (Jane et al. 1992 di dalam Campell et al. 1996). Granula pati


(30)

mempunyai ukuran diameter berkisar 3-26 µm, namun diameter rata-rata granula pati jagung 15 µm, granula pati jagung berbentuk bulat, bersegi-segi atau poligonal. Swinkless (1985) mendeskripsikan bentuk dan diameter granula pati beberapa jenis serealia seperti yang tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Bentuk dan diameter beberapa jenis pati Jenis Pati Kisaran

diameter (µm)

Diameter

rata-rata (µm) Bentuk granula Jagung

Jagung tinggi amilopektin Jagung tinggi amilosa Kentang Gandum Tapioka Sorghum Beras Sagu Garut Ubu jalar Ganyong 3-26 3-24 3-26 5-100 2-35 4-35 3-26 3-8 5-65 5-70 5-25 22-85 15 12 15 33 15 20 15 5 30 30 15 53 Bulat, bersegi-segi Bulat Bulat, bersigi-segi Oval, membulat Bulat Oval, bersudut Bulat, bersegi-segi Bersegi-segi Oval, bersudut Oval, bersudut Bersegi-segi Oval Sumber : Swinkels (1985)

2.2.1 Gelatinisasi Pati

Proses utama yang dialami bahan pangan pati-patian yang diekstrusi adalah adannya perlakuan suhu tinggi, yang akan mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi. Bila pati mentah dimasukan kedalam air dingin, granula patinya akan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya mencapai kadar 30 %. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55ºC – 65ºC merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula dan perubahan ini yang disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dilakukan dengan penambahan air panas (Winarno 1984).

Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan


(31)

pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk kedalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati tersebut (Winarno 1984)

Ketika granula mengembang, amilosa cenderung keluar dari granula. bersama dengan amilopektin, amilosa juga mengalami hidrasi berat. Suspensi menjadi bening dan viskositasnya meningkat serta terus meningkat sehingga mencapai puncak dimana granula mengalami hidrasi maksimum. Apabila pemanasan diteruskan, maka granula menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk molekul polimer maupun agregat, dan viskositasnya menurun. Disini sol bersifat lengket dan teksturnya liat. Jika sol selanjutnya didinginkan, maka kebeningannya menurun dan viskositasnya dapat meningkat kembali dan membentuk gel bila konsentrasi cukup tinggi. Menurut Wuzburg (1989) bahwa pemanasan campuran granula pati dan air hingga di atas suhu kritis akan melemahkan ikatan hidrogen struktur pati pada granulanya sehingga melemahkan integritas strukturnya, dan air kemudian masuk sehingga terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin. Perubahan dan pengembangan granula pati tersebut bervariasi menurut sumber dan cara ektraksi patinya, tetapi Collinson (1968) didalam Mucthadi et al. (1991) mengatakan bahwa secara pola perubahan, itu hampir sama.

Pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 % dari berat semula. Pada tekanan tersebut granula pati tidak terlarut dalam air dingin, tetapi terbentuk suspensi. Suspensi pati jagung jika dipanaskan 60ºC akan menyebabkan granula menyerap air sebanyak 300 % dan pada suhu 70ºC menyerap 1000 % dan pengembangan maksimum dicapai pada penyerapan air sebanyak 2500 % (Meyer 1982 didalam Muchtadi et al. 1991).

Gelanitinisasi dipengaruhi oleh jumlah air (rasio pati dan air) yang tersedia. Rasio pati dan air mempengaruhi jumlah panas yang diperlukan untuk proses gelatinisasi atau suhu gelatinisasi (Wirakartakusumah 1984). Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap pati dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Hasil penelitian Haryadi (1984),


(32)

pada rasio 5/1 dengan kenaikan suhu 10ºC/menit, kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 64.3-82.3ºC, dimana puncak gelatinisasi tercapai pada suhu 74.6ºC. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Sifat ini disebut sifat

birefringence, intensitas sifat birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal (Hosseney 1988).

Menurut Kulp (1975) bahwa selama proses gelatinisasi, suspensi pati berubah menjadi pasta yang semakin kental dengan semakin meningkatnya suhu. Granula pati dalam keadaan utuh tahan terhadap reaksi dengan bahan kimia dan enzim, serta hanya sedikit mengandung air. Tetapi setelah mengembang, granula menjadi rentan terhadap bahan kimia, tenaga mekanis dan kerja enzim serta mampu menyerap air lebih banyak dari beratnya sendiri. Perubahan ini terjadi pada selang suhu yang sangat kecil yang disebut selang suhu gelatinisasi. Pemasakan bahan makanan yang mengandung pati akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati. Vierra (1979) menyatakan bahwa dengan pemasakan didapatkan produk yang memiliki sifat lebih mudah menyerap dan mengembang dalam air dingin. Pola gelatinisasi di atas sangat khas untuk setiap jenis pati. Oleh karena itu, ketepatan dalam pemilihan bahan baku sangat menentukan kualitas produk akhir (makanan).

2.2.2 Suhu Gelatinisasi

Suhu gelatinisasi atau titik gelatinisasi adalah titik dimana granula pati pecah dan sifat birefringece mulai menghilang. Suhu gelatinisasi tidak sama pada semua jenis pati, sehingga hal ini merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan

Differential Scanning Calorymetry (DSC) (BeMiller et al. 1995). Selain itu, suhu gelatinisasi dapat ditentukan juga melalui pengamatan mikroskopis, baik dengan mikroskop elektron maupun mikroskop terpolarisasi yang didasari oleh hilangnya sifat birefringence.

Faktor yang berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi adalah besarnya konsentrasi gula yang ada dalam bahan, baik sukrosa, glukosa atau fruktosa. Semakin besar konsentrasi gula maka suhu gelatinisasi juga akan semakin


(33)

meningkat. Kadar amilosa dan granula pati berpengaruh juga terhadap suhu gelatinisasi. Semakin tinggi kadar amilosa dan ukuran granula pati maka suhu gelatinisasi meningkat (Zobel 1984). Tabel 3 menampilkan suhu gelatinisasi dari beberapa sumber pati.

Tabel 3 Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati

Sumber pati Suhu (oC) Jagung

Kentang putih Ubi jalar Tapioka Gandum Beras Sagu

61 – 72 62 – 68 82 – 83 59 – 70 53 – 64 65 – 73 67.5

2.2.3Sifat Birefringence

Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang mampu merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang yang tampak sebagai warna biru-kuning. Warna biru kuning pada permukaan granula pati disebabkan adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam granula pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati.

Intensitas birefringence sangat tergantung pada derajat dan orientasi kristal. Menurut French (1984) bahwa komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat kristal adalah amilopektin yaitu sepasang rantai dengan derajat polimerisasi 15 yang membentuk heliks rangkap, sedangkan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat amorfous granula pati adalah amilosa. Fase amorf terdiri dari amilosa dan senyawa yang terdapat di antara kristal seperti senyawa kompleks fosfolipid-amilosa dan fosfolipid.

Billiaderis (1992) menyatakan bahwa hilangnya sifat kristal pati yang mengalami kerusakan granula yaitu amilopketin yang mempunyai rantai pendek dengan ukuran tertentu yang seharusnya tersusun secara teratur dalam granula dan menjadi berantakan. Sifat kristal pati berasal dari rantai cabang amilopektin yang berukuran pendek (14-20 unit glukosa) dari ikatan α-(1,6)-D-Glukosa yang panjangnya 50-70 Aº.


(34)

Sifat birefringence pati dapat hilang dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi pati. Hilangnya sifat birefringence pati disebabkan pecahnya ikatan molekul sehingga ikatan hidrogen mengikat lebih banyak molekul air (Fennema 1985). Penetrasi air menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan keberadaan sifat kristal, sehingga jika pemanasan dilanjutkan maka sifat kristal akan hilang demikian juga sifat birefringence.

2.3 Biskuit

Biskuit terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al. 1978) dan diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5 % (SNI 1992). Terkadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan, hal ini bisa terjadi karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971). Biskuit dikatakan baik apabila memenuhi syarat yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992 Kriteria Uji (Parameter) Syarat Mutu Keadaan (bau, rasa, warna, tekstur) Normal

Kadar air ( % b/b) Maks 5.0

Kadar Protein ( % b/b) Min 6.0

Kadar Abu ( % b/b) Maks 1.5

Bahan tambahan makanan

- Pewarna dan pemanis buatan Tidak boleh ada Kadar cemaran logam

- Tembaga (mg/kg) - Timbal (mg/kg) - Seng (mg/kg) - Merkuri (mg/kg)

Maks 10.0 Maks 1.0 Maks 40.0 Maks 0.05 Cemaran mikroba

- TPC (koloni/g) - Coliform (APM/g)

- E.coli (APM/gr)

- Kapang (Koloni/g)

Maks 1.0 x 106 Maks 20.0

<3 Maks 1.0 x 102 Sumber : Departemen Perindustrian, 1992

Umumnya biskuit berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan serta aroma yang


(35)

menyenangkan. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi untuk membentuk adonan yang kompak, sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula,

shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz 1978). Biskuit yang dikenal di pasaran terdiri dari berbagai macam jenis, Manley (1983) mengklasifikasikan biskuit ke dalam beberapa jenis seperti tersaji pada Tabel 5. Vail et al. (1978) mengungkapkan bahwa mutu biskuit tergantung dari komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu (Tabel 6) produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat.

Tabel 5 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983)

Adonan Lunak Klasifikasi Crackers Adonan

Keras HF HS

Kadar air adonan ( %) 30 22 9 15

Kadar air biskuit ( %) 1-2 1-2 2-3 2-3

Suhu adonan (oC) 30-38 40-42 20 21

Komponen penting Tepung Tepung Lemak Lemak & gula Waktu pemanggangan (menit) 3 5.5 15-25 7 Keterangan : HF = Kandungan Lemak Tinggi

HS = Kandungan Gula Tinggi

Tabel 6 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada biskuit *)

Jenis Penyimpangan Penyebab Keras Kurang lemak, kurang air

Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat, oven kurang panas

Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata, penanganan tidak hati-hati, panas tidak merata

Warna tidak rata Bentuk tidak rata, panas tidak rata

Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros Pencampuran tidak tepat

Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal, penanganan terlalu lama *) Vail et al. (1978).

Tipe biskuit berhubungan satu dengan yang lainnya tergantung pada jumlah tepung, lemak, gula dan air. Pengelompokkan yang telah dibuat adalah berdasarkan tekstur dan kekerasan biskuit, perubahan bentuk dalam oven serta ekstensibilitas dan jenis adonanya (Manley 1983). Biskuit dan kue kering


(36)

(cookies) mempunyai arti yang sama, akan tetapi di Indonesia biskuit dan kue kering (cookies) mempunyai penampakan yang berbeda. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras dan adonan fermentasi.

Adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40 % dan kadar lemak 15 %, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe dan biskuit kacang. Adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang dan dispersi lemak ke seluruh adonan. Adonan ini mengandung kadar gula 20 % dan kadar lemak 12-15 %, contohnya biskuit marie dan rich tea. Adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki sifat kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30 %, contohnya biskuit crackers (Soenaryo 1985).

Klasifikasi lain dari biskuit adalah berdasarkan pembentukan biskuit. Menurut Faridi & Faubion (1990), biskuit dapat dibuat dan dibentuk dengan tiga cara yaitu Rotary molded, wire cut dan pembentukan lembaran (sheeting). Perbedaan ketiga cara ini adalah kandungan gula dalam adonan sehingga akan mempengaruhi karakteristik sewaktu proses pembentukan.

Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifiksaikan menjadi biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki struktur berlapis-lapis. Jenis yang ketiga yaitu

cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Sifatnya yang lebih renyah karena tekstur yang kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit dari adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga.


(37)

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut ( tenderizing material) (Matz dan Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur dan cocoa, sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang, dan kuning telur. Matz (1972) menyatakan bahwa bahan baku utama pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air dan pengemulsi.

Untuk mendapatkan produk biskuit yang berkualitas maka penggunaan tepung terigu tipe lunak yang memiliki kadar protein sekitar 8 % dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak adalah paling sesuai (Vail et al. 1978). Tepung terigu berfungsi untuk membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya, mendistribusikannya secara merata, mengikat selama proses fermentasi serta membentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz 1978).

Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor dan warna pada permukaan biskuit dan pengontrol penyebaran. Menurut Wheat Associates (1981), gula juga berperan dalam memperpanjang masa simpan biskuit, karena gula memiliki sifat higroskopis (menahan air). Dengan adanya gula, diusahakan agar waktu pemanggangan tidak terlalu lama, karena dapat menyebabkan karamelisasi yang berlebihan sehingga penampakan biskuit akan menjadi hangus.

Gula yang selalu digunakan pada pembuatan biskuit adalah sukrosa (pemanis nitritif), yaitu pemanis yang mengandung energi untuk memberikan sumbangan energi ke bahan pangan. Gula yang biasanya digunakan adalah gula halus atau gula pasir. Sukrosa juga merupakan jenis pemanis yang sangat cocok digunakan dalam pembuatan biskuit, karena tingkat kemanisannya yang tinggi (100×) dan perannya dalam membentuk tekstur yang renyah (Wheat Associates 1981). Jumlah gula yang ditambahkan sangat berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan produk akhir seperti warna. Fungsi lain dari penambahan gula adalah untuk membantu pembentukan krim dan pengocokan pada proses pencampuran serta menambah nilai gizi (Sultan 1983).


(38)

Lemak biasanya digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki tekstur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan serta memberikan flavor (Matz and Matz 1978). Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus.

Shortening adalah sifat lemak atau minyak yang merupakan komponen penting bagi biskuit dan kue kering lainnya, karena sifatnya sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Tipe dan jumlah

shortening dan emulsifier dalam bahan akan mempengaruhi bentuk adonan dan mutu produk akhir (Matz 1968).

Penambahan susu berfungsi untuk memberikan aroma, memperbaiki tektur dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung dalam susu merupakan disakarida pereduksi, yang jika bertemu dengan protein melalui reaksi

Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan warna coklat menarik pada permukaan cookies setelah dipanggang (Manley 1983).

Telur berfungsi untuk memperbaiki tektur bakery sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur dan daya pengikat. Penggunaan kuning telur memberikan tekstur lembut, tetapi struktur dalam biskuit tidak sebaik jika digunakan keseluruhan bagian telur (Flick 1964 didalam Matz and Matz 1978).

Rasa gurih, pengontrol waktu fermentasi serta menambah keliatan gluten merupakan fungsi dari garam (US Wheat Associates 1981). Sebagian besar formula biskuit menggunakan 1 % garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz and Matz 1978).

Pengembang adonan (Leavening agent) yang sering digunakan adalah

backing powder. Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat atau tartarat. Umumnya baking powder

mengandung pati sebagai bahan pengisi. Sifat baking powder adalah cepat larut dalam suhu kamar dan tahan lama selama pengolahan (Matz and Matz 1978). Kombinasi sodium bikarbonat dan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas karbondioksida baik sebelum dipanggang atau pada saat dipanaskan dioven (Manley 1983).


(39)

2.3.2 Proses Pembuatan Biskuit

Cara umum pembuatan biskuit dimulai dengan pembuatan adonan. Proses pembuatan adonan biskuit berbeda-beda tergantung jenis adonan yang dibuat. Seperti yang telah disebutkan di atas ada dua jenis adonan yaitu adonan pendek atau lunak dan adonan keras.

Pencampuran adonan pendek atau lunak dimulai dengan mengocok lemak dan gula sampai tercampur halus. Selama dikocok essens pewarna dan garam dimasukkan ke dalam krim. Pengembang dilarutkan dalam air atau susu cair lalu dimasukkan kedalam krim. Pada proses terakhir, terigu dimasukkan (Soenaryo 1985).

Prinsip pembuatan adonan keras sama adonan pendek atau adonan lunak, namun waktu pencampuran diperpanjang. Sodium metabisulfit ditambahkan untuk mereduksi pengembang gluten (Soenaryo 1985). Adonan keras akan mengalami aging (penuaan) setelah adonan terbentuk. Waktu aging tergantung pada jenis pengembang. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan untuk bahan pengembang bekerja. Waktu yang diperlukan untuk proses ini adalah sekitar 15 menit (Soenaryo 1985).

Menurut Wheat Associates (1981), lamanya aging tergantung baking powder yang digunakan. Baking powder ada dua jenis yaitu baking powder yang reaksinya lambat dan baking powder yang reaksinya cepat. Jenis baking powder

yang reaksinya cepat misalnya kalsium pirofosfat dimana setelah mixing jenis ini akan melepaskan gas dalam waktu yang relatif pendek (5-15 menit). Jenis baking powder yang reaksinya lambat yaitu sodium pirofosfat dan sodium almunium sulfat. Jenis ini tidak terlalu banyak membebaskan gas sampai adonan dipanaskan, waktu yang dibutuhkan sekitar 15-30 menit.

Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan biskuit adalah pencetakan. Adonan yang akan dicetak mengalami penipisan terlebih dahulu sampai diperoleh ketebalan yang diinginkan. Biasanya penipisan dilakukan oleh 3 buah roller. Satu buah silinder mengontrol ketebalan dari fedding dan yang kedua untuk keluaran (memeriksa kondisi tetap konstan). Sisa adonan yang tidak dicetak akan keluar dan kembali mengalami penipisan. Untuk menghindari kelengketan adonan


(40)

dengan alat yang digunakan maka diberikan tepung pada permukaan adonan untuk mendebukan atau digunakan alat yang rendak gesekannya seperti teflon.

Pemanggangan dilakukan segera setelah pencetakan, namun sebelum dipanggang, adonan terlebih dahulu dilapisi dengan susu atau lemak cair untuk memperbaiki warna. Pada saat pemanggangan struktur biskuit akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat 4-5 kali. Kadar air dari 21 % menjadi lebih kecil dari 5 %. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven selama 2.5-30 menit tergantung suhu, jenis oven dan kenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-204oC) (Soenaryo 1985).

Biskuit tipe semi sweet membutuhkan waktu pemanggangan 5-4.6 menit pada oven kontinyu dengan suhu yang berbeda-beda, bagian pertama 160ºC, kedua 200ºC, ketiga 300ºC. Oven yang biasanya digunakan terbuat dari baja (steel) bagian bawah (tray) biasanya terbuat dari kawat berlubang-lubang (Manley 1983). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak. Waktu untuk mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu dioven (Manley 1983).

2.4 Aktivitas Air

Scott (1957) di dalam Hari Purnomo (1995) pertama kali menggunakan aktivitas air sebagai petunjuk akan adanya sejumlah air dalam bahan pangan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air terkait erat dengan adanya air dalam bahan pangan. Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dalam beberapa komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut.

Adanya hubungan yang erat antara kadar air dalam bahan pangan dengan daya awetnya. Pengurangan air baik secara pengeringan maupun penambahan bahan penguap air bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan mikrobiologis maupun kerusakan kimiawi (Fennema


(41)

1982). Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan aktivitas air (Purnomo 1995). Aktivitas air merupakan parameter yang sangat berguna untuk menunjukkan kebutuhan air atau hubungan air dengan mikroorganisme dan aktivitas enzim.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) sangat

berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari makanan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan), sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah (Winarno dan Jenie 1983). Kandungan air dalam bahan pangan berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya, hal ini sangat erat hubungannya dengan daya awet bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan pengelolaan pasca olah bahan pangan.

Aktivitas air didefenisikan sebagai perbandingan antara tekanan uap air dari larutan dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama :

Aw = P/Po, dimana P = tekanan uap air dari larutan pada suhu, Po = tekanan uap air murni pada suhu T. Aktivitas air dapat juga dinyatakan sebagai jumlah molekul dalam larutan, dan menurut hukum Roult dapat dinyatakan sebagai berikut : Aw =

2 1

2

n n

n

+ , dimana n1 = jumlah molekul yang dilarutkan, n2

= jumlah molekul air. Parameter ini juga dapat didefenisikan sebagai : kelembaban relatif berimbang (equilibirium relative humidity = ERH) dibagi 100. Aw = ERH/100. Disamping formula di atas Aw juga dapat dikaitkan dengan tekanan osmotis dan diformulasikan sebagai berikut : Tekanan osmotis =

V eAw RTlog −

, dimana R = Konstanta gas, T = Suhu absolut, V = Molal volume air.

Aw dari bahan pangan adalah untuk mengukur terikatnya air pada bahan pangan atau komponen bahan pangan tersebut, dimana Aw dari bahan pangan cenderung untuk berimbang dengan Aw lingkungan sekitarnya (Purnomo 1995).


(42)

2.5 Kadar Air Kesetimbangan

Kadar air kesetimbangan adalah kadar air pada tekanan uap yang setimbang dengan lingkungannya (Heldman dan Singh 1981). Kadar air suatu bahan yang sedang dikeringkan menunjukkan tingkat kadar air terendah yang dapat dicapai selama proses pengeringan dalam ruang pengering pada suhu dan RH tertentu.

Menurut Hall (1980) kadar air kesetimbangan berhubungan langsung dengan proses pengeringan dan penyimpanan bahan pangan hasil pertanian. Bahan dalam keadaan setimbang dengan lingkungannya bila laju air yang hilang dari bahan ke lingkungan sama dengan laju air yang bertambah kedalam bahan lingkungan. Kadar air kesetimbangan suatu produk dapat dinyatakan dengan berat kering atau berat basah.

Ada dua cara untuk menentukan kadar air kesetimbangan yaitu dengan metode statis dan metode dinamis. Metode statis dilakukan dengan cara meletakan contoh bahan pada tempat dengan RH dan suhu terkontrol. Metode dinamis adalah dengan cara meletakan bahan pada tempat dimana suhu dan RH dikontrol dan digerakkan secara mekanik, sehingga proses metode dinamis lebih cepat dari proses statis (Brooker et al. 1974). Metode dinamis membutuhkan waktu penyeimbangan yang lebih cepat dari pada metode statis namun metode ini mempunyai permasalahan pada desain dan instrumen yang digunakan. Sedangkan metode statis digunakan lebih luas walau membutuhkan waktu penyeimbangan yang lebih lama (Hall 1980).

Nilai kadar air kestimbangan berbeda-beda untuk masing-masing bahan pangan. Nilai ini ditentukan oleh varietas, tingkat kematangan dan cara pengukuran. Kadar air kesetimbangan dapat dicapai dengan dua cara yaitu proses absorbsi dan proses desorbsi. Proses tercapainya kadar air kesetimbangan suatu bahan dengan lingkungannya karena bahan kehilangan sebagian kandungan airnya disebut proses desorpsi. Namun apabila bahan yang relatif kering menyerap air dari lingkungannya yang mempunyai kelembaban relatif tinggi, dikatakan bahwa bahan tersebut mencapai kadar air kesetimbangan melalui proses absorpsi.


(43)

2.6 Isothermi Sorpsi Air

Isothermi Sorpsi Air (ISA) menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan RH keseimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aktivitas air pada suhu tertentu (Labuza 1968). Pada bahan pangan air terdapat dalam bentuk bebas dan bentuk terikat. Air bebas menunjukkan sifat-sifat air dengan keaktifan penuh, sedangkan air terikat menunjukkan sifat-sifat air yang terikat erat dengan komponen bahan pangan lainnya. Hubungan besarnya Aw dan kadar air dalam bahan pangan pada suhu tertentu digambarkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Kurva isothermis sorpsi air

Kurva di atas menunjukkan bahwa bahan pangan yang mempunyai nilai Aw yang sama dapat mempunyai kadar air yang berbeda. Tiga daerah kapasitas air terikat terdiri dari daerah dengan nilai Aw 0.3 (ERH = 30 %), daerah dengan nilai Aw antara 0.3 – 0.75 dan daerah dengan Aw 0.75 – 1. Jika ditinjau dari aspek keterkaitan air maka pada daerah pertama, air terdapat dalam bentuk monolayer (satu lapis) dengan molekul air yang terikat sangat erat. Kadar air bahan pangan berkisar anatar 5 – 10 % sehingga air sangat sulit untuk diuapkan. Pada daerah kedua air terikat kurang erat dan merupakan lapisan-lapisan. Air yang terdapat dalam daerah ini berperan sebagai pelarut, oleh karena itu aktivitas enzim dan pencoklatan non enzimatik dapat terjadi. Daerah ketiga disebut sebagai daerah kondensasi kapiler. Di daerah ini terkondensasi pada struktur bahan pangan


(44)

hingga kelarutan komponen menjadi lebih sempurna. Keadaan dimana air dalam kondisi bebas ini dapat membantu proses kerusakan.

Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa pada umumnya kurva sorpsi isothermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannnya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan demikian disebut fenomena histerisis. Fenomena ini diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari proses desorpsi dan absorbsi. Besarnya histerisis dan bentuk kurva sangat beragam tergantung faktor-faktor seperti bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema 1985). Kurva sorpsi isothermis sangat khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno 1984).

2.6.1 Air Terikat

Air di dalam bahan pangan bisa terdapat di antara sel-sel maupun di dalam sel. Air bebas terdapat di dalam jaringan sedangkan air terikat biasanya terdapat di dalam sel (Winarno 1985). Menurut Kuprianof (1985) bahwa air di dalam bahan pangan dikategorikan dalam dua tipe, yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas menunjukkan sifat-sifat air biasa dengan keaktifan penuh, sedangkan air terikat menunjukkan air terikat erat dengan komponen bahan lainnya. Air ikatan mempunyai sifat-sifat yang berbeda dari air kamba (bulk water), atau air bebas (free water) maupun air beku atau es (Soekarto 1978). Soekarto (1978) dan Van Den Berg dan Bruin (1981) juga melaporkan adanya tiga fraksi ikatan pada bahan kering, yaitu air terikat primer, sekunder dan tersier.

Air terikat primer menunjukkan sifat air yang terikat sangat kuat pada bahan pangan, dengan enthalpi penguapan yang lebih besar dari pada enthalpi penguapan air murni. Air terikat sekunder menunjukkan fraksi air yang terikat kurang kuat dibandingkan air terikat primer. Air terikat sekunder di absorpsi di dekat atau di atas air terikat primer, dapat digunakan sebagai pelarut dan pereaksi. Air terikat sekunder menunjukkan fraksi air yang terikat lemah yang secara


(45)

mekanis terikat dalam jaringan matrik bahan. Sifat-sifatnya mendekati sifat air bebas.

Air terikat dapat ditentukan dengan mengukur air yang tidak dapat membeku pada suhu pembekuan. Air terikat mempunyai sifat-sifat yang berbeda dari air ebas, yaitu titik beku dan tekanan uap yang lebih rendah, serta titik didih dan densitas yang lebih besar (Kuprianof 1958). Penentuan analisis air terikat dapat menggunakan beberapa model matematika dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing pada tiap model matematika tersebut. Model-model tersebut antara lain :

a. Model BET

Persamaan ini dikemukakan oleh Brunauer, Emmet dan Teller (1938) yang merupakan model yang tepat diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran aw tertentu yaitu 0.05-0.45 (Chirif dan Idlesias di dalam Rizvi 1995).

Model ini dapat digunakan untuk menduga nilai lapisan air monolayer yang di absorpsi pada permukaan. Kandungan air pada lapisan monolayer ini sangat penting dalam menentukan stabilitas fisik dan kimia bahan yang dikeringkan.

Secara umum model BET adalah : =

aw M aw

) 1

( MoC aw

C MoC ⎟⎠

⎞ ⎜

⎝ ⎛ − + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜

⎛ 1 1

dimana :

Mo = nilai monolayer

M = kadar air (g air/g bahan kering) pada aktivitas air aw C = konstanta

Hal-hal yang mendasari teori persamaan BET yang dikemukakan oleh Rizvi adalah kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan laju penguapan dari lapisan kedua, energi ikatan seluruh molekul penyerap (adsorban) pada lapisan pertama sama, energi ikatan pada lapisan lain sebanding dengan energi ikatan adsorban murni.

b. Model Logaritma

Model ini dikemukakan oleh Soekarto (1978) yang merupakan model untuk menentukan air terikat sekunder. Model ini merupakan analogi dari perambatan panas di dalam kaleng. Kurva sorpsi isothermik yang biasanya diplot sebagai kadar air (m) terhadap aktivitas air (aw) ditukar plotnya menjadi 1-aw


(46)

terhadap m sehingga bentuk kurvanya serupa dengan kurva perambatan panas di dalam kaleng sebagai plot suhu (T) terhadap waktu pemanasan (t).

Model matematika empiriknya sebagai berikut : Log (1- aw) = b (m) + a

dimana :

m = kadar air (g air / g bahan kering) b = faktor kemiringan

a = titik potong pada ordinat

Melalui penerapan model ini akan menghasilkan garis lurus yang patah menjadi dua. Ini diartikan sebagai garis pertama mewakili air terikat sekunder dan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier. Titik potong kedua garis dianggap sebagai kapasitas air terikat sekunder.

c. Model Guggenhein – Anderson-de Boer

Model ini diturunkan oleh Guggenhein (1966), Anderson (1946) dan de Boer (1953) dimana model ini dapat menguraikan isothermi sorpsi hingga 0.94. bentuk persamaan GAB secara umum sebagai berikut :

(

K aw

)(

K aw C K aw

)

aw C Mo M

× × + × − ×

× × =

1 1

dimana :

Mo = kadar air monolayer C = c exp (HI – Ho)/RT C = kalor jenis

K = k ezp (HI – Ho)/RT

HI = panas kondensasi uap air murni Hn = panas sorpsi multilayer

Ho = panas sorpsi monolayer R = konstanta gas

T = suhu (oC)

Beberapa kelebihan dari model ini adalah memiliki latar belakang teoritis, dapat mendeskripsikan sifat sorpsi isothermis pada hampir semua bahan pangan pada kisaran aw 0.1<aw<0.9, mempunyai bentuk persamaan matematik yang sederhana dengan tiga parameter, parameter yang dimiliki mempunyai makna fisik proses sorpsi yaitu dapat menentukan nilai konstanta C dan K yang berhubungan dengan energi interkasi antara bahan dan air, serta nilai Mo yang menunjukkan kadar air saat terjadi satu lapis molekul air dan mampu


(47)

menggambarkan pengaruh suhu terhadap sorpsi isothermik dengan menggunakan persamaan Arhenius (Rizvi 1995). Model GAB ini dipakai untuk menentukan kapasitas air terikat tersier.

2.7 Umur Simpan dan Metode Analisisnya

Umur simpan (shelf life) didefenisikan sebagai kisaran waktu antara produk pangan selesai diolah oleh industri atau perusahaan sampai dikonsumsi oleh konsumen, dimana produk tersebut masih mempunyai mutu yang baik (Labuza 1982). Menurut Robertson (1993) bahwa umur simpan merupakan lamanya periode antara pengemasan produk dan penggunaannya dengan catatan mutu produk masih diterima oleh konsumen. Periode produk makanan antara pabrik dan penjualan adalah waktu selama produk berada dalam kondisi mutu yang memuaskan baik dari nilai gizi, tekstur dan penampakan.

Proses penentuan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data-data tentang 1)mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas, 2) unsur-unsur dalam produk yang secara langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk, 3) mutu produk dalam kemasan, 4) bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan, 5) mutu produk pada saat dikemas, 6) mutu minimum dari produk yang masih dapat diterima, 7) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan, 8) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi keutuhan kemasan serta 9) sifat sekat lintasan (barrier) pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk (Hine 1987).

Faktor-faktor yang mempengaruhi masa simpan makanan yang dikemas adalah ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfir (suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat, keadaan ilmiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik (Syarief et al. 1989).


(48)

Dikenal ada tiga metode dalam menentukan umur simpan yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan dan metode nilai waktu paruh (Syarief et al. 1989). Beberapa asumsi yang harus dipertimbangkan dalam menentukan umur simpan yaitu (1) mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan temperatur) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aw, dsb), (2) laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil pengukuran objektif dengan hasil penilaian organoleptik dan toksikologi, (3) kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya tergantung pada bahan kemasan saja (Gnanasekharan dan Jhon 1993).

Menurut Labuza (1982), penelitian umur simpan dapat dilakukan dengan kondisi dipercepat (accelerated shelf testing) yang selanjutnya dapat memprediksi umur simpan yang sebenarnya. Meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan. Kondisi akselerasi untuk produk pangan kering dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pada suhu dan RH yang tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat tercapai daripada kondisi normal atau kondisi penyimpanan pada suhu rendah. Penambahan atau kehilangan kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

(

Pout Pin

)

A x

k dt dw

− =

dimana :

dw/dt = jumlah air yang bertambah atau berkuar per hari (gram)

k/x = permeabilitas kemasan (gH2O/hari.m2.mmHg)

A = luas permukaan kemasan (m2)

Pout = tekanan uap air diluar kemasan (mmHg)

Pin = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)

Namun apabila perubahan air mempengaruhi mutu makanan maka dengan mengatahui pola penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya, umur simpan dapat ditentukan. Dengan demikian umur simpan berdasarkan laju


(49)

perubahan kadar air dapat ditentukan dengan pendekatan yang menggunakan persamaan Labuza (1982), yaitu :

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − = b Po Ws A x k Mc Me Mi Me ln θ dimana :

θ = Waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar iar kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam).

me = Kadar air kesetimbangan produk ( % bk)

mi = Kadar air awal produk ( % bk)

mc = Kadar air kritis produk ( % bk)

k/x = Konstanta permeabilitas uap air kemsan (g/m2.hari.mmHg)

A = Luas permukaan kemasan (m2)

Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g) Po = Tekanan uap jenuh (mmHg)

b = Kemiringan kurva sorpsi isothermik (yang diasumsikan linier antara mi dan me).

Parameter-parameter pada persamaan Labuza (1982) di atas dapat dikelompokan menjadi tiga unsur yaitu unsur sifat fisik produk (mc, mi, Ws dan

b), unsur pengemas (k/s dan A) dan lingkungan luar/dalam pengemas (RH penyimpanan dan b).

2.8 Pengemasan

Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan. Dalam pertanian hal ini sangat penting. Keberadaan wadah atau pembungkus dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, dimana perlindungan dibutuhkan terhadap bahaya pencemaran seperti gangguan fisik ( gesekan, benturan, getaran).

Fungsi lain dari pengemasan adalah untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam pengakutan dan distribusi. Sedangkan dari segi promosi, wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Dengan demikian bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya (Syarif et al. 1989). Kemasan secara alami telah terbentuk


(50)

seperti jagung, buah-buahan yang terbungkus kulitnya, dll. Secara tradisional digunakan bahan dari alam untuk dipakai sebagai wadah pembungkus.

Pada dunia industri modern, dikenal kemasan yang bervariasi seperti kemasan dengan variasi atmosfir, kemasan aseptik, kemasan transportasi dengan suhu rendah, dll. Kemasan terbuat dari berbagai bahan dasar diantaranya : kemasan gelas, kemasan karton dan kertas, kemasan kayu, kemasan logam, kemasan plastik, kemasan aseptik. Dalam proses pengemasan dan penyimpanan bahan pangan sering terjadi penyimpangan mutu produk. Penyimpangan mutu bahan pangan dan produk olahan adalah penyusutan kualitatif dimana bahan tersebut mengalami penurunan mutu sehingga menjadi tidak layak lagi untuk dikonsumsi manusia. Bahan pangan dikatakan rusak apabila telah mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi atau tidak aman lagi untuk dimakan karena dapat mengganggu kesehatan.

Makanan rusak adalah makanan yang sudah kadaluarsa atau melampaui masa simpan (shelf-life). Makanan kadaluarsa seringkali nampak bagus padahal telah mengalami penurunan mutu dan nilai gizi. Penyusutan terjadi bisa secara kualitatif dan kuantitatif. Penyusutan kuantitatif seperti kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian baik karena penanganan yang kurang baik maupun karena gangguan biologi ( proses fisiologi, serangan serangga dan tikus). Pengemasan sebagai bagian intergral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat pula mempengaruhi mutu seperti antara lain : (a). Perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik, timah putih, korosi), (b). Perubahan aroma (flavor), warna, tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen.

Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah, dengan demikian harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atu produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free flowing) (Syarief et al. 1989).

Plastik banyak digunakan untuk bahan kemasan, baik dalam lembaran pembungkus, kantong, karung, botol dan sebagainya. Selain itu plastik juga


(1)

Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan PP/minggu

.0000 .00354 1.000 -.0144 .0144

-.0300* .00354 .004 -.0444 -.0156

-.1550* .00354 .000 -.1694 -.1406

.0000 .00354 1.000 -.0144 .0144

-.0300* .00354 .004 -.0444 -.0156

-.1550* .00354 .000 -.1694 -.1406

.0300* .00354 .004 .0156 .0444

.0300* .00354 .004 .0156 .0444

-.1250* .00354 .000 -.1394 -.1106

.1550* .00354 .000 .1406 .1694

.1550* .00354 .000 .1406 .1694

.1250* .00354 .000 .1106 .1394

(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00 (I) minggu 1.00 2.00 3.00 4.00 Tukey HSD Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan Alufo/minggu

.055

a

3

.018

732.000

.000

.845

1

.845

33800.000

.000

.055

3

.018

732.000

.000

1.00E-004

4

2.50E-005

.900

8

.055

7

Source

Corrected Model

Intercept

minggu

Error

Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)

a.

Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan Alufo/minggu

.0150 .00500 .124 -.0054 .0354

-.1500* .00500 .000 -.1704 -.1296

-.1650* .00500 .000 -.1854 -.1446

-.0150 .00500 .124 -.0354 .0054

-.1650* .00500 .000 -.1854 -.1446

-.1800* .00500 .000 -.2004 -.1596

.1500* .00500 .000 .1296 .1704

.1650* .00500 .000 .1446 .1854

-.0150 .00500 .124 -.0354 .0054

.1650* .00500 .000 .1446 .1854

.1800* .00500 .000 .1596 .2004

.0150 .00500 .124 -.0054 .0354

(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00 (I) minggu 1.00 2.00 3.00 4.00 Tukey HSD Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(2)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PE/minggu

.007a 3 .002 91.333 .000

.732 1 .732 29282.000 .000

.007 3 .002 91.333 .000

.000 4 2.50E-005

.739 8 .007 7 Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .975) a.

Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PE/minggu

.0350* .00500 .008 .0146 .0554

-.0450* .00500 .003 -.0654 -.0246

-.0200 .00500 .053 -.0404 .0004

-.0350* .00500 .008 -.0554 -.0146

-.0800* .00500 .000 -.1004 -.0596

-.0550* .00500 .001 -.0754 -.0346

.0450* .00500 .003 .0246 .0654

.0800* .00500 .000 .0596 .1004

.0250* .00500 .025 .0046 .0454

.0200 .00500 .053 -.0004 .0404

.0550* .00500 .001 .0346 .0754

-.0250* .00500 .025 -.0454 -.0046

(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00 (I) minggu 1.00 2.00 3.00 4.00 Tukey HSD Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PP/minggu

.026

a

3

.009

352.667

.000

.806

1

.806

32258.000

.000

.026

3

.009

352.667

.000

.000

4

2.50E-005

.833

8

.027

7

Source

Corrected Model

Intercept

minggu

Error

Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .993)

a.


(3)

Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PP/minggu

-.0150 .00500 .124 -.0354 .0054

-.0950* .00500 .000 -.1154 -.0746

-.1400* .00500 .000 -.1604 -.1196

.0150 .00500 .124 -.0054 .0354

-.0800* .00500 .000 -.1004 -.0596

-.1250* .00500 .000 -.1454 -.1046

.0950* .00500 .000 .0746 .1154

.0800* .00500 .000 .0596 .1004

-.0450* .00500 .003 -.0654 -.0246

.1400* .00500 .000 .1196 .1604

.1250* .00500 .000 .1046 .1454

.0450* .00500 .003 .0246 .0654

(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00 (I) minggu 1.00 2.00 3.00 4.00 Tukey HSD Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan Alufo/minggu

.042a 3 .014 566.000 .000

1.170 1 1.170 46818.000 .000

.042 3 .014 566.000 .000

.000 4 2.50E-005

1.213 8 .043 7 Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996) a.

Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan Alufo/minggu

-.1200* .00500 .000 -.1404 -.0996

-.1550* .00500 .000 -.1754 -.1346

-.1950* .00500 .000 -.2154 -.1746

.1200* .00500 .000 .0996 .1404

-.0350* .00500 .008 -.0554 -.0146

-.0750* .00500 .000 -.0954 -.0546

.1550* .00500 .000 .1346 .1754

.0350* .00500 .008 .0146 .0554

-.0400* .00500 .005 -.0604 -.0196

.1950* .00500 .000 .1746 .2154

.0750* .00500 .000 .0546 .0954

.0400* .00500 .005 .0196 .0604

(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00 (I) minggu 1.00 2.00 3.00 4.00 Tukey HSD Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(4)

Lampiran 7 Kurva amilograf tepung jagung

Tepung jagung sangrai


(5)

Lampiran 8 Gambar biskuit hasil penelitian

Biskuit tepung jagung non sangrai


(6)