Dampak Perubahan Debit Sungai

150 pada pos duga air di bagian hilir daripada pos duga air di bagian hulu. Tingkat penurunan ini bervariasi antara 11 persen pada Sungai Cikapundung di Gandok, sampai dengan 95 persen pada Kali Banjaran di Kober pada Wilayah Sungai Serayu. Penurunan debit andalan pada umumnya terjadi pada DAS Kritis Super Prioritas. Penurunan debit andalan yang terjadi ini belum tentu disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim. Sebab ada kemungkinan bahwa hal ini telah terjadi karena peningkatan pemanfaatan air untuk irigasi, air bersih dan kebutuhan lainnya. Pengaruh antropogenik, khususnya perubahan penggunaan lahan dan biogeofisik DAS kontribusinya terhadap perubahan trend debit lebih besar daripada pengaruh perubahan iklim global. Chiew dan McMahon 1996 telah melakukan pengujian statistik terhadap data historis debit puncak dan volume aliran dari 142 sungai di dunia dengan panjang data 50 sampai 162 tahun dan luas DAS 1000 sampai 8 juta km 2 , dan sampai pada kesimpulan bahwa walau didapatkan adanya trend dan perubahan nyata pada sejumlah lokasi, namun tidak diperoleh konsistensi untuk seluruh wilayah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dari data debit puncak dan volume aliran sungai tersebut tidak dapat dibuktikan adanya trend akibat telah terjadinya perubahan iklim global.

8.2.2. Dampak Perubahan Debit Sungai

Menurunnya kecenderungan debit sungai-sungai di Jawa tentunya akan sangat berpengaruh terhadap penyediaan air untuk kebutuhan penduduk dan lingkungan. Berkurangnya pasokan air sungai tersebut sudah sangat terasa bagi penduduk, khususnya untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga dan pertanian pada msim kemarau. Akibat yang dirasakan adalah lahan pertanian puso dan konflik penggunaan air. Jika pada tahun 1930, Pulau Jawa masih mampu memasok 4.700 meter kubik air per kapita per tahun. Saat ini total potensinya sudah tinggal sepertiganya 1.500 meter kubik. Diperkirakan pada 2020 total potensinya tinggal 1.200 meter kubik. Dari potensi alami ini, hanya 35 yang layak secara ekonomis untuk dikelola. Maka potensi nyatanya tinggal 400 meter kubik per kapita, jauh di bawah angka minimum PBB yang 1.100 meter kubik per kapita. Padahal dari 151 jumlah 35 tersebut, sebesar 6 diperlukan untuk penyelamatan saluran dan sungai-sungai, sebagai maintenance flow. Oleh karena itu peta wilayah krisis air di bumi 2025, terbitan International Water Management Institute, Jawa dan beberapa pulau lainnya sudah masuk wilayah krisis Soeparmono, 2002. Berdasarkan analisis data debit sungai dengan menggunakan metode Mann-Kendall, baik di bagian hulu, tengah dan hilir dari 8 sungai utama di Jawa, maka dapat dilakukan prediksi untuk beberapa tahun mendatang. Prediksi debit sungai menggunakan persamaan regresi linier hasil analisis metode Mann-Kendall yaitu qp = at + B, dengan qp adalah hasil prediksi debit sungai, a adalah nilai kemiringan slope garis regresi, t adalah selisih tahun antara tahun prediksi dengan tahun awal, dan b adalah nilai intersep. Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka prediksi debit sungai pada masing-masing bagian hulu, tengah dan hilir sungai dapat dihitung seperti pada Lampiran 26-28. Di bagian hulu, penurunan kecenderungan debit yang terjadi dengan tingkat signifikasi yang lebih tinggi secara statistik dibandingkan dengan di bagian tengah dan hilir dari DAS, menyebabkan debit di masa mendatang semakin kecil. Prediksi debit pada tahun 2020 di seluruh hulu sungai daerah penelitian sangat kritis karena debit yang ada semakin kecil dibandingkan dengan debit sebelumnya. Tingkat kekritisan dari debit prediksi di masa mendatang tersebut dapat dilihat dari nilai rasio antara debit prediksi tahun 2020 terhadap nilai intersep b dari garis trend dalam regresi linear metode Mann-Kendall. Dibandingkan dengan bagian tengah dan hilir, tingkat kekritisan trend debit lebih kecil. Artinya hulu sungai-sungai di Jawa kondisinya lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan tengah dan hilir. Bengawan Solo hulu merupakan sungai yang paling kritis dibandingkan dengan sungai-sungai lainnya. Sedangkan di bagian tengah dan hilir rasio antara prediksi debit tahun 2020 dengan nilai b lebih besar dibandingkan dengan di bagian hulu Lampiran 26 dan 27. Rata-rata rasio lebih dari 0,50. Kecilnya rasio di bagian hulu mengindikasikan bahwa perubahan debit di bagian hulu memiliki sensititivitas yang lebih tinggi karena luas DAS yang ada lebih kecil dan variabilitas dari faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan debit lebih besar, seperti perubahan penggunaan lahan dan curah hujan. Sungai di bagian tengah dan hilir menerima 152 pasokan air dari beberapa anak sungai. Tidak adanya stasiun debit di setiap anak- anak sungai atau sub DAS menyebabkan watak hidrologi dan perubahan kecenderungan debit tidak terpantau secara lengkap pada seluruh sistem DAS dalam penelitian ini. Rasio prediksi debit tahun 2020 terhadap nilai b di hilir sungai Citarum memiliki rasio 1,04 Lampiran 28. Artinya prediksi debit tahun 2020 di sungai tersebut justru lebih besar. Kenaikan trend tersebut sangat dipengaruhi oleh pola pengaturan tata air tiga waduk besar kaskade yaitu Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang dilakukan oleh PJT II dan PLN dalam pengelolaan airnya. Meningkatnya kebutuhan air untuk memenuhi pasokan air baku untuk PDAM wilayah DKI Jakarta dan produksi listrik menyebabkan pola pengaturan air setiap bulannya terus meningkat. Hal inilah yang menyebabkan trend debit meningkat. Sedangkan di bagian hilir sungai lainnya mengalami penurunan. Dengan adanya kecenderungan penurunan kondisi sumberdaya air di Pulau Jawa tersebut mengisyaratkan perlunya perhatian lebih besar diberikan untuk meningkatkan pengelolaannya. Di Jawa dan Bali ratio antara penggunaan dan dependable flow telah semakin meningkat. Pada tahun 1995 indeks penggunaan air IPA di Jawa adalah kurang lebih 51. Tingkat IPA yang dianggap praktikal di beberapa negara adalah antara 30 - 60. Di Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang melayani Jabotabek, IPA-nya sudah mencapai 100. Hal ini mengandung arti antara dependable flow dan jumlah permintaan sudah hampir atau telah berimbang. Kenyataan kekeringan yang terjadi di beberapa tempat di Pulau Jawa sekarang cenderung tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan air sendiri. Kondisi di daerah lain di Indonesia juga memperlihatkan kecenderungan kearah penurunan kondisi sumberdaya air yang pada akhirnya, jika tidak ditangani dengan cara yang tepat, akan menimbulkan permasalahan ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan Pawitan, 2002 dan 2004. Dengan metode perhitungan yang lain, kebutuhan air secara nasional saat ini terkonsentrasi pada Pulau Jawa dan Bali, dengan penggunaan terutama untuk air minum, rumah tangga, perkotaan, industri, pertanian, dan lainnya. Dari data neraca air tahun 2003 dapat dilihat bahwa dari total kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya dapat 153 dipenuhi kurang lebih 25,3 miliar kubik atau hanya kurang lebih 66 persen. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2020, dimana jumlah penduduk dan aktivitas perekonomian meningkat secara signifikan Nugroho 2006; Sutardi, 2003. Sedangkan menurut kajian Bappenas 2005, untuk wilayah di luar Jabodetabek ditemukan bahwa pada tahun 2003 sebagian besar kurang lebih 77 kabupaten telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun. Pada tahun 2025 jumlah kabupaten defisit air meningkat hingga mencapai kurang lebih 78,4 dengan defisit berkisar mulai dari satu hingga dua belas bulan, atau defisit sepanjang tahun. Dari wilayah yang mengalami defisit tersebut, terdapat 38 kabupatenkota atau kurang lebih 35 yang pada tahun 2003 telah mengalami defisit tinggi. Dalam hal ini, kondisi neraca air diklasifikasi menjadi empat yaitu normal, defisit rendah, defisit sedang, dan defisit tinggi. Kondisi normal menunjukkan bahwa tidak terjadi defisit sepanjang tahun, sedangkan jika jumlah bulan defisit mencapai 3 bulan diklasifikasi sebagai defisit rendah, dari 4 hingga 6 bulan diklasifikasi defisit sedang, dan lebih dari enam bulan diklasifikasi defisit tinggi. Selain itu, variabilitas dan perubahan debit sungai juga akan mempengaruhi ekosistem estuari Smith et al., 2000, transpor hara, sedimen dan unsur-unsur makro dan mikro dari daratan ke lautan Kitheka et al., 2005; Anderson et al., 2004; Dery et al., 2005, sirkulasi salinitas Aagaard and Carmack, 1989, dan karbon Hedges, 1992; Milliman dan Syvitski, 1992; Meybeck et al., 1993; Ludwig dan Probst, 1998; Coynel et al., 2005. Menurunnya debit tersebut mengakibatkan keseimbangan ekosistem di bagian hilir akan terganggu, apalagi dengan pemenuhan kebutuhan air untuk penduduk guna memenuhi berbagai kebutuhan, maka dapat menyebabkan terjadinya konflik. Mengingat adanya perubahan aliran sungai di estuari, baik magnitude, periode waktu maupun distribusinya, maka kondisi tersebut akan sangat berpengaruh pada ekosistem estuari. Jika pasokan air tawar yang mengalir ke estuari tersebut berkurang akan berakibat pada semakin luasnya pengaruh air laut ke daratan. Oleh karena itu, pengelolaan ekosistem estuari tidak dapat dilakukan hanya pada kawasan estuari itu saja, tanpa memperhatikan wilayah pemasok air 154 tawar. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan ekosistem estuari perlu dilakukan secara baik dan terpadu guna mencapai pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, dengan pengelolaannya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan Soemarwoto, 1991, yang bertumpu pada tiga faktor yaitu ekonomi, ekologi dan sosial budaya Salim, 1991, 2005; Mitchell et al ., 2000. 8.3. Hubungan antara Kesehatan DAS dan Perubahan Kecenderungan Debit DAS yang memiliki pengelolaan yang baik akan memberikan respon hidrologi yang baik pula. Kecenderungan debit sungai diduga akan relatif stabil pada DAS yang pengelolaan dan kondisi tutupan lahannya baik. Namun demikian, kondisi tersebut belum tentu berlaku secara mutlak. Sebab kecenderungan debit sungai untuk jangka waktu yang panjang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor pengelolaan DAS, penggunaan lahan Shiklomanov, 1997, pengaturan tata air dari waduk-waduk besar di bagian hulu Humborg et al.,1997; Admiral et al., 1990; Bennekom et al., 1981; Conley et al., 1993; Hastenrath et al ., 1999; Nilsson et al., 2005; Shiklomanov, 1997, dan perubahan iklim global, khususnya perubahan curah hujan Aldrian and Djamil, 2008; Pawitan, 2004 Penentuan hubungan antara tingkat kesehatan DAS dan perubahan kecenderungan debit sungai harus digunakan minimum dua data series yang sama. Pada penelitian ini, penentuan kesehatan DAS dilakukan untuk mengetahui kondisi saat ini. Kondisi kesehatan DAS periode sebelumnya, misal periode tahun 1970-an, seperti data debit awal yang digunakan untuk menghitung trend debit sungai, tidak dilakukan karena keterbatasan data yang ada sehingga tidak diketahui kesehatan DAS pada tahun 1970-an, dan analisis trend debit dihitung berdasarkan data debit selama rata-rata 30 tahun yakni dari awal tahun 1971-an hingga 2001. Berdasarkan hal tersebut hubungan antara tingkat kesehatan DAS dan perubahan kecenderungan debit sungai yang terjadi di daerah penelitian cukup sulit untuk ditentukan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dengan kondisi DAS yang saat ini sudah tergolong sakit sehingga terjadi penurunan 155 kecenderungan sungai. Hal ini tidak berarti, bahwa ada hubungan yang linear terhadap indeks kesehatan DAS yang terendah maka terjadi penurunan debit yang terbesar. DAS Bengawan Solo merupakan DAS dengan indeks kesehatan DAS yang paling rendah yaitu 127. Hal ini mengandung arti bahwa DAS Bengawan Solo merupakan DAS yang paling buruk atau sakit dibandingkan dengan DAS lainnya. Berdasarkan hasil analisis kecenderungan debit dengan metode Mann Kendall menunjukkan bahwa debit Sungai Bengawan Solo mengalami penurunan yang paling besar dibandingkan dengan lainnya yaitu di bagian hulu dari DAS - 10,56 m 3 detiktahun, di tengah -36,63 m 3 detiktahun dan di hilir -44,18 m 3 detiktahun. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang positif. Namun sebaliknya, di DAS Serayu yang memiliki indeks 150 yang artinya tergolong sedang atau lebih baik kondisinya bersama dengan DAS Citanduy dibandingkan dengan yang lain, ternyata memiliki kecenderungan debit yang cukup besar pula. Di Sungai Serayu penurunan kecenderungan debit mencapai -31,23 m 3 detiktahun di tengah dan -45,76 m 3 detiktahun di bagian hilir. Korelasi antara indeks kesehatan DAS dan kecenderungan debit sungai pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 37 dan Gambar 55. Korelasi antara indeks kesehatan DAS dan trend debit tahunan, baik di hulu, tengah dan hilir sangat kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keduanya. 156 Tabel 37. Indeks kesehatan DAS dan kecenderungan debit sungai di daerah penelitian No DAS Indeks Kesehatan DAS Trend Debit m 3 detik Hulu Tengah Hilir 1 Ciujung 130 -11,72 -14,11 -14,03 2 Cisadane 129 -1,51 -11,49 -2,94 3 Citarum 138 -0,47 -0,66 1,66 4 Cimanuk 130 -3,22 -13,01 -8,74 5 Citanduy 154 -3,04 -10,90 -19,44 6 Serayu 150 -7,68 -31,23 -45,76 7 Bengawan Solo 127 -10,56 -36,63 -44,18 8 Brantas 155 -8,13 -18,56 -15,92 Korelasi IKDAS dan debit 0,06 0,01 -0,18 -50 -25 25 50 75 100 125 150 175 Ciujung Cisadane Citarum Cimanuk Citanduy Serayu B.Solo Brantas S k o r K e s e h a ta n D A S -50 -40 -30 -20 -10 10 T re n d Q m 3 d e t th n Skor DAS Hulu Tengah Hilir Gambar 55. Hubungan antara indeks kesehatan DAS dan kecenderungan debit sungai di daerah penelitian

8.4. Hubungan antara Indeks Kesehatan DAS dan Karbon Sungai