134 utara Jawa lebih tinggi kerusakannya. Hasil analisis kesehatan DAS yang
menunjukkan bahwa 8 DAS di daerah penelitian kondisinya sakit dan sedang, juga sesuai dengan penetapannya sebagai DAS kritis atau super prioritas dalam
pengelolaannya dari tahun 1984 hingga sekarang Departemen Kehutanan, 1984; Suwarjo et al., 1994; Suripin, 2002; Departemen Kehutanan, 2003. Dasar
penetapan DAS kritis dan super prioritas oleh pemerintah tersebut didasarkan pada a Daerah yang hidroorologisnya kritis, ditandai oleh besarnya angka
perbandingan antara debit maksimum musim hujan dan debit minimum musim kemarau serta kandungan lumpur sediment load yang berlebihan; b Daerah
yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, antara lain waduk, bendung, dan bangunan pengairan lainnya; c Daerah yang
rawan terhadap banjir dan kekeringan; dan d Daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
7.3. Hubungan antara Indikator dan Kesehatan DAS
Berdasarkan metode yang digunakan untuk menentukan kesehatan DAS, indikator hidrologi merupakan indikator yang memiliki bobot terbesar
dibandingkan dengan indikator lainnya. Korelasi antara indeks kesehatan DAS dengan indikator lainnya, berturut-turut adalah hidrologi 0,94, erosi 0,50, laju
sedimentasi 0,50, kualitas air 0,31, penggunaan lahan 0,83, dan kepadatan penduduk 0,62.
Indikator hidrologi dan penggunaan lahan merupakan indikator yang memiliki hubungan yang paling besar dengan indeks kesehatan DAS
dibandingkan dengan indikator lainnya. Oleh karena itu maka dalam menilai dan mengkaji kondisi suatu DAS apakah kondisinya sehat atau kritis dapat
memanfaatkan data hidrologi dan penggunaan lahan. Lebih jauh, indikator hidrologi terdiri dari lima parameter yaitu koefisien
rejim sungai KRS, koefisien variasi limpasan CV, indeks penggunaan air IPA, indeks koefisien simpanan air KSA, dan indeks debit jenis IDJ. Hasil
analisis statistik korelasi terhadap masing-masing parameter tersebut terhadap indeks kesehatan DAS ternyata juga memberikan hasil yang bervariasi. Parameter
KSA, IPA, dan KRS memiliki korelasi yang cukup besar yaitu 0,77; 0,67; dan
135 0,60, sedangkan CV 0,40 dan IDJ 0,05. Indikator penggunaan lahan yaitu dari
parameter IPLM Indeks Penutupan Lahan Permanen menunjukkan nilai korelasi yang besar yaitu 0,83.
Adanya korelasi yang cukup besar antara KSA, IPA, KRS dan IPLM dengan indeks kesehatan DAS, maka dalam penentuan tingkat kesehatan atau
kekritisan suatu DAS dapat cukup menggunakan empat parameter tersebut, jika parameter yang lain tidak tersedia. Hal ini sangat penting mengingat beberapa
metode monitoring dan evaluasi pengelolan DAS atau sering dikenal pula metode penentuan kesehatan DAS yang ada, menggunakan parameter yang sangat
banyak, seperti metode dari Departemen Kehutanan yang menggunakan 24 parameter Paimin et al., 2002, PUSPICS UGM 18 parameter Gunawan, 2002,
dan metode yang digunakan di DAS Serayu dengan 14 parameter Soedjoko dan Fandeli, 2002. Dalam penelitian ini menggunakan 16 parameter. Kesulitan utama
dalam penentuan kesehatan DAS adalah mengumpulkan data untuk seluruh parameter yang digunakan karena data tersebut tersebar di berbagai sumber dan
sering sulit diakses. Semakin lengkap data yang digunakan akan semakin baik, namun kendalanya data karakteristik DAS di Indonesia sangat terbatas. Selain
terbatas datanya, keberadaannya juga tersebar di berbagai tempat sehingga sangat sulit untuk mengumpulkan data secara lengkap.
Dari tiga paramater hidrologi yang dapat digunakan sebagai alternatif metode pengkajian cepat rapid assessment, parameter koefisien rejim sungai
KRS merupakan salah satu paremeter yang paling sering digunakan sebagai faktor yang menentukan kekritisan suatu DAS. Dalam Surat Keputusan Bersama
SKB tiga menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum No. 19 Tahun 1984 – No. 059Kpts-II1984 – No.
124Kpts1984 tanggal 4 April 1984 tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan DAS Prioritas, KRS digunakan sebagai salah satu dasar
penetapan DAS super prioritas. Dalam SKB tersebut, dasar penetapan yang lain adalah: a adanya bangunan vital dengan investasi besar, misal waduk, bendung,
dan bangunan pengairan lainnya; b daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; c daerah perladangan berpindah dan atau daerah dengan
penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan; d daerah dimana tingkat
136 kesadaran masyarakat terhadap usaha konservasi tanah masih rendah; dan e
daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Paramater penggunaan lahan saat ini telah menjadi acuan dalam penataan
ruang, dalam hal ini dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 17 ayat 5 disebutkan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan untuk rencana
tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 persen dari luas DAS. Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas DAS dimaksudkan
untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi
daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air.
Distribusi luas kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi DAS, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai.
Oleh karena itu maka kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai.
Berdasarkan interpretasi citra Landsat tahun 2001, luas tutupan hutan di daerah penelitian menunjukkan proporsi yang sangat kecil yaitu kurang dari 20.
DAS Brantas, Citanduy dan Serayu yang tergolong dalam DAS yang cukup sehat ternyata luas prosentase hutan hanya 8, 9,32 dan 11,68. Berdasarkan hal itu
maka untuk kegiatan kajian cepat dalam menilai kondisi performance DAS dapat dilakukan dengan menganalisis IPLM, KSA, IPA, dan KRS.
137
BAB VIII. PEMBAHASAN UMUM FLUKS KARBON TERHADAP ALIRAN SUNGAI DAN KESEHATAN DAS