129 Dengan melihat indikator dan standar evaluasi yang digunakan dari 8
sungai di daerah penelitian, sangat sulit untuk menyimpulkan kualitas DAS yang ada karena dari satu sungai ada yang mengindikasikan baik tetapi adanya juga
yang sedang dan buruk Tabel 34. Sebagai contoh DAS Brantas, indikator IPA- nya mengindikasikan baik, namun CV dan KSA sedang, sedangkan KRS, erosi,
laju sedimentasi, dan IPLM menunjukkan indikasi buruk. Kondisi demikian juga terjadi pada tujuh sungai lainnya di daerah penelitian yang memiliki keberagaman
dari masing-masing indikatornya. Oleh karena itu, metode penentuan kesehatan DAS yang mampu memadukan berbagai indikator yang ada sehingga mampu
menyimpulkan tingkat kesehatan DAS menjadi sangat penting.
7.2. Kesehatan DAS
Pengelolaan DAS difahami sebagai upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara
berkelanjutan Dephut, 2001. Brooks et al., 1990 mendeskripsi pengelolaan DAS sebagai suatu proses pengorganisasian dan pemanduan penggunaan
sumberdaya lahan dan sumberdaya lainnya dalam DAS untuk menyediakan barang dan jasa yang diinginkan tanpa mengkibatkan kerusakan sumberdaya
tanah, air dan sebagainya. Pengelolaan DAS menyangkut aneka sumberdaya alam dan memerlukan pengertian hubungan antara penggunaan lahan, tanah dan air,
dan keterkaitan antara hulu dan hilir. Sama pentingnya juga pemahaman sistem sosial dan politik yang berlaku dalam suatu batas DAS, karena kelembagaan
demikian menuntun penggunaaan lahan baik melalui regulasi maupun insentif. Dalam kenyataan lapangan, permasalahan dan kendala tidak terduga sering
muncul begitu implementasi pengelolaan DAS dimulai. Segala sesuatunya tidak selalu seperti yang direncanakan; situasi bisa berubah sehingga memaksa untuk
merubah perencanaan. Hal ini bukan karena perencanaan yang salah tetapi mencerminkan adanya perubahan yang terjadi dengan berjalannya waktu. Hal ini
disadari bahwa dalam perencanaan pengelolaan DAS dijumpai adanya faktor ketidakpastian Asdak, 1995, Brooks, et al., 1990.
130 DAS sebagai suatu ekosistem merupakan satuan monitoring dan evaluasi
monev karena setiap ada masukan input ke dalam ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran
output dari ekosistem tersebut. Wilayah DAS yang terdiri dari komponen tanah, vegetasi dan airsungai berperan sebagai prosesor. Kegiatan monev yang
menghasilkan informasi tentang tingkat kesehatan DAS catchment health bersangkutan pada sistem pengelolaan yang diterapkan dapat dipandang sebagai
kegiatan diagnose Monitoring dan evaluasi merupakan unsur dasar dari perencanaan dan
pengelolaan. Monitoring adalah menghimpun informasi tentang dunia fakta nyata yang dapat dibandingkan dengan dunia khayal yang diuraikan dalam
rencana proyek, untuk melihat seberapa dekat apa yang direncanakan dengan apa yang berjalan dalam kenyataannya. Menggunakan prinsip yang tidak berbeda
Becerra 1995 menyebutkan monitoring sebagai pengukuran secara sistematis dari indikator proyek untuk menetapkan hasil yang diperoleh terhadap tujuan yang
telah ditetapkan. Evaluasi adalah mengorganisasi dan menilai informasi yang terhimpun dalam monitoring, dibandingkan dengan informasi yang terhimpun
melalui cara lain, untuk dipresentasikan kepada manajer dan perencana pada tempat dan waktu yang tepat Brooks et al., 1990. Hasil monev tersebut akan
memandu pengelola mampu menyediakan fakta yang berupa data kuantitatif yang jelas dan obyektif atas manfaat dari aktivitas yang telah dicapai dan sejalan
dengan tujuan pengelolaan yang direncanakan. Dalam melakukan monev DAS, Jenkins dan Sanders 1992, seperti
dikutip Walker et al., 1996, mengikuti prosedur pemeriksaan kesehatan manusia. Pada diagnose awal, pasien DAS ditetapkan sehat atau sakit; kemudian
diikuti diagnose lanjut untuk menemukan jenis penyakitnya, yang akhirnya diputuskan cara dan jenis pengobatannya. Monev kesehatan DAS bisa dilakukan
dalam 3 skala yakni nasional, regionalDAS, dan usaha tani site. Untuk menetapkan tingkat kesehatannya, masing-masing skala memerlukan jumlah
indikator berbeda. Semakin tinggi tingkat skalanya semakin sederhana jumlah indikator yang digunakan. Indikator tingkat usaha tani memberikan nilai angka
dan sesuai untuk pemetaan distribusi spasial nilai, sedangkan indikator tingkat
131 DASsub-DAS
mengintegrasikan seluruh
respon DAS
tetapi tidak
mengindikasikan lokasi hot-spot-nya. Berdasarkan metode penentuan kesehatan DAS yang digunakan dalam
penelitian ini, yakni yang memadukan indikator hidrologi, tanah, kualitas air, penutupan lahan dan kepadatan penduduk, maka hasil perkalian antara indikator
dan bobot menunjukkan jumlah yang bervariasi antara 127 – 155. Hasil perkalian antara indikator dan bobot untuk masing-masing indikator di daerah penelitian
selengkapnya disajikan pada Tabel 35. Indeks tingkat kesehatan DAS untuk masing-masing sungai berturut-turut
adalah sebagai berikut: DAS Ciujung 130; Cisadane 129; Citarum 138; Cimanuk 130; Citanduy 154; Serayu 150; Bengawan Solo 127; dan Brantas
155. Berdasarkan klasifikasi kriteria tingkat kesehatan DAS yang ada yaitu: 150 buruksakit; 150
≤ DAS 200 sedang; 200 ≤ DAS 250 baiksehat; dan ≥ 250 sangat baiksangat sehat, maka berturut-turut DAS Ciujung, Cisadane,
Citarum, Cimanuk, dan Bengawan Solo tergolong DAS buruk atau sakit sedangkan DAS Citanduy, Serayu dan Brantas tergolong sedang. Semakin kecil
indeks tingkat kesehatan DAS maka semakin buruk atau sakit pula kondisi DAS yang ada. Oleh karena itu berturut-turut dari indeks tingkat kesehatan DAS
terkecil ke terbesar adalah Bengawan Solo, Cisadane Cimanuk, Ciujung, Citarum, Serayu, Citanduy. dan Brantas Artinya DAS Bengawan Solo merupakan
DAS dengan kondisi terburuk sedangkan Brantas memiliki kondisi kesehatan yang paling baik dari DAS lain di daerah penelitian. Berdasarkan analisis
kesehatan DAS tersebut terlihat bahwa DAS yang memiliki aliran sungai ke arah utara atau bermuara di sekitar Laut Jawa dan Selat Madura sudah tergolong dalam
kondisi buruk atau sakit, sedangkan yang bermuara ke selatan yaitu ke Samudera Hindia kondisinya sedang.
132 Tabel 35. Hasil perkalian antara indikator dan bobot serta kesehatan DAS
DAS Hidrologi
Tanah Kualitas Air
Lahan Penduduk
Jml Kesehatan
DAS KRS
CV IPA
KSA IDJ
IE LS
Keruh pH
DO NO
3
NO
2
PO
4
BOD IPLM
KP Ciujung
10 20
20 10
10 10
10 1
2 2
4 2
2 2
15 10
130 BurukSakit
Cisadane 10
20 10
20 10
10 10
1 2
2 4
2 4
2 15
5 129
BurukSakit Citarum
10 30
10 10
10 10
10 1
3 3
4 2
6 4
15 10
138 BurukSakit
Cimanuk 10
20 10
10 10
10 10
1 3
3 4
2 6
6 15
10 130
BurukSakit Citanduy
10 20
20 20
10 10
10 1
2 3
4 2
6 6
15 15
154 Sedang
Serayu 10
20 20
20 10
10 10
1 3
3 4
2 6
6 15
10 150
Sedang B.Solo
10 20
10 10
10 10
10 1
2 3
4 2
6 4
15 10
127 BurukSakit
Brantas 10
20 30
20 10
10 10
1 2
3 4
2 4
4 15
10 155
Sedang
133 Kondisi demikian sangat berkaitan dengan laju pengembangan wilayah.
Pengembangan wilayah di Jawa bagian utara lebih berkembang dibandingkan dengan selatan Whitten et al., 1999. Hal ini telah berlangsung sejak lama,
dimana daerah-daerah di pesisir utara Jawa lebih berkembang daripada di selatan karena didukung oleh kemudahan aksesibilitas dan perhubungan antara pulau di
bagian utara Jawa, dan kesuburan tanah serta topografi dataran yang luas berada di sepanjang Pantai Utara Jawa. Tidak aneh jika pesisir Jawa bagian utara
merupakan daerah yang lebih berkembang, padat penduduk dan sentra produksi pertanian Whitten et al., 1999; Breman dan Wiradi, 2004. Kepadatan penduduk
di DAS Serayu dan Citanduy kurang lebih 764 – 975 jiwakm
2
atau 8-10 jiwaha, sedangkan di DAS lainnya aliran sungainya bermuara ke arah utara kepadatan
penduduk lebih dari 1.000 jiwakm
2
, bahkan di DAS Cisadane mencapai 2.269 jiwakm
2
. Akibat prasarana dan sarana yang serba minim, kemajuan ekonomi di
selatan jauh tertinggal. Ekonomi Jawa kurang lebih 70-80 persen dibangun di pantai utara Jawa. Pembangunan di Provinsi Jawa Timur, sebagai misal untuk
menggambarkan ketimpangan pembangunan di Jawa, kawasan utara mengelola uang Rp 250 triliun dari sektor usaha non pertanian, sedangkan kawasan selatan
hanya mengelola Rp 56 triliun. Contoh lain, pendapatan domestik regional bruto PDRB kabupatenkota di kawasan selatan Jawa Timur lebih kecil dibandingkan
dengan di utara. Rata-rata PDRB kotakabupaten di selatan kurang lebih Rp 1,5 triliun hingga Rp 3,5 triliun. PDRB kotakabupaten di utara Jawa mencapai Rp 3
triliun hingga Rp 10 triliun. Bahkan jika dikaitkan secara nasional, PDRB kawasan selatan seluruh Indonesia hanya 10 persen sedangkan kawasan utara
mencapai hampir 90 persen. Ketertinggalan wilayah selatan Jawa Timur juga merupakan dampak dari
kondisi geografis kawasan tersebut. Terutama dimulai dari Pacitan hingga Blitar, yang merupakan bentangan Pegunungan Kapur. Kondisinya kering dan
miskin sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Ada beberapa daerah yang memiliki sumber daya alam, tetapi saat ini belum tergarap optimal.
Pemanfaatan lahan yang lebih intensif dan kepadatan penduduk yang lebih tinggi menyebabkan tingkat kerusakan DAS dari sungai-sungai yang bermuara di
134 utara Jawa lebih tinggi kerusakannya. Hasil analisis kesehatan DAS yang
menunjukkan bahwa 8 DAS di daerah penelitian kondisinya sakit dan sedang, juga sesuai dengan penetapannya sebagai DAS kritis atau super prioritas dalam
pengelolaannya dari tahun 1984 hingga sekarang Departemen Kehutanan, 1984; Suwarjo et al., 1994; Suripin, 2002; Departemen Kehutanan, 2003. Dasar
penetapan DAS kritis dan super prioritas oleh pemerintah tersebut didasarkan pada a Daerah yang hidroorologisnya kritis, ditandai oleh besarnya angka
perbandingan antara debit maksimum musim hujan dan debit minimum musim kemarau serta kandungan lumpur sediment load yang berlebihan; b Daerah
yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, antara lain waduk, bendung, dan bangunan pengairan lainnya; c Daerah yang
rawan terhadap banjir dan kekeringan; dan d Daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
7.3. Hubungan antara Indikator dan Kesehatan DAS