Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

tumbuh, berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, merealisasikan potensi diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu, serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali diri dan efektif. Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan stagnasi pada individu, kurang mampu untuk melihat perkembangan sepanjang waktu, merasa bosan, kurang tertarik atas hidupnya, dan merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru Ryff dan Keyes, 1995.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri individu yaitu : A. Faktor Demografis Ryff Singer 1996 menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut : 1. Usia Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Ryff Singer 1996 membedakan usia partisipan menjadi tiga kelompok yaitu dewasa muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa muda hingga dewasa tengah. Universitas Sumatera Utara Sebaliknya, pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan pola penurunan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dimensi lainnya seperti hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri ditemukan tidak ada perbedaan signifikan selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir. 2. Jenis Kelamin Ryff Singer 1996 menemukan bahwa dibandingkan dengan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada dimensi yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan antara wanita dan pria. Wanita lebih sering berhubungan dengan peristiwa atau kegiatan kemasyarakatan sedangkan pria cenderung lebih berfokus pada lingkungan profesi. 3. Status Sosial Ekonomi Ryff Singer 1996 menyatakan bahwa status sosial ekonomi mencakup pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Ryff 2001 menyatakan terdapat hubungan antara sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being seperti dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Ryff dalam Ryan Deci, 2001 juga menambahkan individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cendeurng membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Universitas Sumatera Utara Hubungan sosial ekonomi terhadap psychological well-being juga dibuktikan oleh hasil penelitian longitudinal Wisconsin dalam Ryff Singer 1996 yang menunjukkan psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, terutama pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Selain itu, individu yang memiliki penghasilan dan jabatan yang tinggi menunjukkan psychological well-being yang lebih baik. Individu yang berada pada kelas sosial bawah bukan hanya menunjukkan rendahnya psychological well-being tetapi juga mengalami kesehatan yang buruk Marmots dkk dalam Ryff Singer 1996. 4. Budaya Ryff Singer 1996 menyatakan bahwa sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat baik itu individualisme maupun kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being. Budaya barat yang menganut budaya individualisme lebih berorientasi kepada self seperti dimensi penerimaan diri atau otonomi. Sedangkan, budaya timur yang menganut budaya kolektivisme lebih berorientasi pada hubungan dengan orang lain seperti dimensi hubungan positif dengan orang lain. Untuk membuktikan adanya hubungan antara budaya dengan psychological well-being, Ryff dkk dalam Ryff Singer,1996 melakukan sebuah penelitian dengan partisipan orang Amerika dan Korea Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan orang Amerika cenderung mampu melihat kualitas positif dalam diri mereka dibandingkan dengan orang korea. Partisipan korea selatan menilai diri tinggi pada hubungan positif dengan orang lain dan rendah pada Universitas Sumatera Utara penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Partisipan Amerika cenderung menilai diri tinggi pada pertumbuhan pribadi terutama pada wanita, dan berbeda dari dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah otonomi. B. Dukungan Sosial Menurut Baron Bryne 2000 dukungan sosial diyakini mampu memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam Rubbyk,2005 yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Dukungan sosial diartikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan diperhatikan, berharga dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kebersamaan, baik itu dari orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat lainnya, teman, maupun kontak komunitas seperti keagamaan dan klub Taylor, 1999. C. Evaluasi terhadap pengalaman hidup. Pengalaman hidup tertentu mampu mempengaruhi kondisi psychological well-being individu Ryff, 1989. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff Essex 1992 mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi inidvidu terhadap pengalaman hidup terutama pada kesehatan mental. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa evaluasi terhadap diri berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama pada dimensi penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain. Universitas Sumatera Utara

C. Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung 1. Pengertian Penyintas