Dampak terhadap Ekosistem Dampak Pencemaran Kali Surabaya terhadap Ekosistem dan Kesehatan

terdapat tiga parameter kimia yang nilai konsentrasi minimum, rata-rata, dan nilai maksimumnya telah melampaui baku mutu yang ditetapkan meskipun nilai parameter lain masih memenuhi baku mutu. Jika parameter fisik-kimia yang digunakan untuk mengevaluasi kondisi perairan lebih dari atau sama dengan 10 parameter, maka kondisi perairan dapat dikatakan tercemar berat jika terdapat minimum satu parameter fisik-kimia yang nilai minimum, rata-rata, dan nilai maksimum telah melampaui baku mutu air sesuai peruntukannya.

5.4 Dampak Pencemaran Kali Surabaya terhadap Ekosistem dan Kesehatan

Dampak pencemaran air pada umumnya dapat dibagi ke dalam empat kategori Kurniawan 2009, yaitu 1 dampak terhadap kehidupan biota air, 2 dampak terhadap kesehatan manusia, 3 dampak terhadap kualitas air tanah, dan 4 dampak terhadap estetika lingkungan.

5.4.1 Dampak terhadap Ekosistem

Ekosistem sungai tidak berdiri sendiri namun berkaitan dengan berbagai ekosistem dan beranekaragam makhluk hidup, sehingga apabila terjadi gangguan yang merusak keseimbangan ekosistem sungai, maka keseimbangan lingkungan yang bergantung pada ekosistem sungai tersebut juga akan terganggu. Tingginya beban pencemaran organik yang masuk ke Kali Surabaya telah mengakibatkan terjadinya pencemaran berat, yang ditandai dengan kadar DO yang rendah dan kadar BOD, COD, dan TSS yang tinggi. Kondisi ini berdampak pada kehidupan organisme akuatik atau ekosistem Kali Surabaya. Tingkat produktivitas sistem akuatik selain dipengaruhi unsur karbon, juga sangat ditentukan oleh keberadaan unsur nitrogen dan fosfor. Kedua unsur tersebut dapat bersumber dari bahan organik, amonia, nitrit, nitrat, dan fosfat. Fosfor masuk ke dalam sistem akuatik dari sumber natural maupun antropogenik penggunaan pupuk, deterjen dan dekomposisi bahan organik, sedangkan senyawa nitrogen dapat bersumber dari atmosfer, dekomposisi bahan organik, fiksasi nitrogen, dan sumber-sumber natural maupun antropogenik. Nitrogen dan fosfor dalam sistem akuatik dikenal sebagai faktor pembatas limiting factors. Pada ekosistem alami, nitrogen dan fosfor umumnya tersedia dalam jumlah terbatas dan membatasi pertumbuhan tumbuhan akuatik. Jika kandungan nitrogen dan fosfor bertambah, maka pertumbuhan tumbuhan akuatik akan terpacu dan menyebabkan terjadinya eutrofikasi pada badan air dan dapat berdampak negatif terhadap ekosistem akuatik. Peningkatan masukan nitrogen dan fosfor dari limbah pertanian dan limbah domestik dapat mengubah komunitas akuatik, karena kedua unsur tersebut menstimulasi pertumbuhan alga yang dapat menutup permukaan air dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air. Pertumbuhan alga dan keberadaan partikel-partikel tersuspensi dari sumber-sumber pencemar akan meningkatkan turbiditas air, akibatnya jumlah sinar matahari yang tersedia untuk tumbuhan akuatik dalam air akan menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Arisandi 2001 yang menyatakan bahwa, kandungan TSS dan padatan terlarut yang tinggi dapat mengakibatkan 1 menurunnya kandungan oksigen terlarut dalam badan air, sehingga mengganggu suplai oksigen bagi organisme air, seperti nekton dan bentos, 2 menurunkan penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air, sehingga mengganggu proses fotosintesis tumbuhan air, seperti hidrila, ganggang, dan alga, 3 sedimentasi dasar sungai, tingginya padatan yang terlarut akibat buangan limbah domestik dan industri dapat mengendap dan merubah karakteristik dasar sungai, akibatnya biota yang menetap di dasar sungai seperti kerang, remis, kijing, dan siput dapat tereliminasi. Menurut Ecoton 2008, pengurangan kadar oksigen dalam air dapat mengakibatkan bencana akuatik berupa ikan munggut dan kematian invertebrata lainnya di sepanjang Kali Surabaya. Ikan munggut adalah terjadinya kematian ikan, kepiting dan udang air tawar secara masal dan tiba- tiba akibat kekurangan oksigen. Ecoton 2008, mencatat bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 – 2007 di Kali Surabaya telah terjadi 50 kasus ikan mati masal. Kondisi Kali Surabaya yang tercemar berat juga berdampak pada penurunan rantai makanan alami dan indeks keragaman biota akuatik serta timbulnya perubahan struktur dan fungsi komunitas sebagai akibat terganggunya keseimbangan ekosistem. Menurut Abdel-Gawad et al. 2010, keberadaan bahan pencemar dapat mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi biologi molekuler suatu organisme, sedangkan perubahan struktur dan fungsi komunitas perairan menurut Arisandi 2001 disebabkan oleh hasil interaksi dua prinsip ekologi, yaitu prinsip toleransi dan kompetisi. Perubahan struktur komunitas dapat terlihat dari Jenis ikan yang mati didominasi oleh ikan bader yang berukuran tidak terlalu besar, dengan panjang antara 10-25 cm dan ikan mujaer. Ikan yang munggut tampak memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu mengalami pendarahan dan berwarna kemerahan di bawah mulut, perut dan bagian sirip. perubahan indeks keragaman dan dominasi organisme dalam suatu ekosistem. Pada lingkungan yang tercemar, keragaman ekosistem akan menurun dan individu-individu yang toleran terhadap polutan yang akan mendominasi ekosistem tersebut. Hasil penelitian Amtasi 2010 menunjukkan bahwa indeks keragaman hewan makro bentos di Kali Surabaya tergolong rendah, yaitu 0.308 - 1.075 yang berarti kualitas Kali Surabaya dalam kondisi tercemar berat. Pada perubahan struktural, terjadi penurunan keanekaragaman spesies, organisasi komunitas menjadi lebih sederhana, dan tingkat perkembangan mundur menjauhi stadium klimaks, sedangkan pada perubahan fungsional, rantai makanan dan jaring-jaring makanan menjadi lebih pendek dan struktur organisasi tropiknya menjadi lebih sederhana. Perbedaan batas toleransi antara populasi terhadap faktor-faktor lingkungan mempengaruhi kemampuan berkompetisi. Jika kondisi lingkungan perairan menurun karena pencemaran, maka jenis organisme yang tidak toleran terhadap kondisi tersebut akan menurun populasinya, sebaliknya jenis-jenis organisme yang mempunyai toleransi terhadap kondisi tersebut akan meningkat populasinya, karena jenis-jenis kompetitornya berkurang. Menurut Setyorini 2003b, 2003c, di sepanjang Kali Surabaya pada tahun 1980-an tercatat sebanyak 18 jenis ikan, namun pada tahun 2003 jenis ikan tersebut mengalami penurunan menjadi tujuh jenis, yaitu ikan bader, keting, sili, nila, gabus, mujair, dan papar. Populasi ikan tersebut kalah dengan populasi cacing darah yang makin meningkat dari hulu ke hilir Kali Surabaya. Hasil penelitian Bapedal 2006 terhadap komposisi makroinvertebrata Kali Surabaya memperlihatkan hal serupa, bahwa makroinvertebrata yang dijumpai di sepanjang Kali Surabaya terdiri atas 42 spesies dengan 6 kelas dan 5 ordo. Pada bagian hulu Kali Surabaya didominasi oleh Famili Baetidae 11.80, Thiaridae 15.53, dan Atyidae 19.257, sedangkan pada daerah industri Driyorejo didominasi oleh Lumbricidae 13.40, Tubificidae 19.59, Atyidae 10.31, dan Lymnaeidae 16.49. Pada daerah pemukiman dan industri Waru Gunung, Karang Pilang, Kedurus, Gunungsari makroinvertebrata yang dominan adalah Chironomidae 10.70 dan Tubificidae 59.67, pada bagian hilir Kali Surabaya juga didominasi oleh Famili Chironomidae 11.76 dan Tubificidae 40.34. Famili Tubificidae Ordo Oligochaeta yang diwakili jenis cacing merah Tubifex tubifex merupakan makroinvertebrata paling dominan dan luas penyebarannya. Keberadaan cacing merah menggantikan dominasi Famili Baetidae Ordo Ephemeroptera yang merupakan makroinvertebrata yang paling sempit sebarannya dan ordo yang tidak toleran terhadap kadar DO rendah menunjukkan bahwa lokasi tersebut sudah tercemar dengan bahan organik. Peningkatan populasi jenis Tubifex tubifex dari hulu ke hilir merupakan akibat tingginya tingkat pencemaran organik di Kali Surabaya dari zona hulu ke hilir.

5.4.2 Dampak terhadap Kesehatan Analisis Risiko