Tephrosia vogelii J. D. Hooker Leguminosae

22 ditemui ditoko bahan kimia, baik dalam bentuk murni maupun dalam bentuk hasil distilasi. Pelarut ini paling sering digunakan dalam ekstraksi karena penanganannya lebih mudah jika dibandingkan pelarut lainnya. Pada Tabel 2.2 dapat dilihat susunan pelarut dari yang bersifat non polar sampai bersifat polar. Beberapa metode ekstraksi yang sering dilakukan untuk mendapatkan produk dari tumbuhan adalah metode perendamanmaserasi, perkolasi, refluks, soksletasi, dan distilasi Houghton dan Raman 1998. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan, penggunaannya disesuaikan dengan bahan tumbuhan yang akan diekstrak, kandungan air bahan tersebut, jenis dan sifat senyawa tersebut polarnonpolar. Metode maserasi atau perendaman T. vogelii dan P. aduncum yang memberikan hasil ekstrak dengan aktivitas terbaik adalah 3x perendaman. Hasil ekstrak T. vogelii dan P. aduncum berturut-turut 5.65 dan 10.711. T. vogelii 0.14 mampu mematikan 53 larva C. pavonana dan P. aduncum 0.10 mampu mematikan 38.5 larva C. pavonana Nailufar 2011. Tabel 2.2 Jenis-jenis pelarut berdasarkan penambahan tingkat kepolarannya No Pelarut 1 Heksana, petrolium 2 Benzena, toluena 3 Dietileter 4 Kloroform, diklorometana 5 Etilasetat 6 Butanon metil etil keton 7 Aseton 8 Butanol 9 Etanol 10 Metanol 11 Air 12 Asam, basa dalam cairan Sumber: Houghton dan Raman 1998 Pemilihan pelarut mengacu pada penelitian sebelumnya. Ekstraksi bertingkat B. javanica yang dilanjutkan dengan pengujian terhadap C. pavonana menunjukkan bahwa ekstrak heksana tidak aktif terhadap serangga uji, ekstrak etil asetat mematikan 100 serangga uji, sedangkan ekstrak metanol mematikan 31.11 serangga uji. Kombinasi pelarut etil asetat : metanol 9:1 memberikan hasil ekstrak maksimal dan aktivitas yang baik terhadap serangga uji C. pavonana Lina et al. 2010. Abizar dan Prijono 2010; Nailufar 2011; Lago et al. 2009; Flores et al.2009 menggunakan etil asetat untuk ekstraksi T. vogelii dan P. aduncum. Selain ekstraksi dengan pelarut organik, proses distilasi memberikan hasil maksimal untuk memperoleh senyawa dillapiol pada P. aduncum dengan kemurnian 79.9 Almeida et al. 2009. Tahapan selanjutnya untuk memperoleh senyawa yang lebih murni adalah proses isolasi. Menurut Houghton dan Raman 1998 ada dua metode sederhana yang dapat digunakan pada tahap isolasi. Metode pertama adalah partisi yang terdiri dari solvent-solvent extraction dan presipitasi. Metode yang kedua adalah fraksinasi yang terdiri dari kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis. Senyawa yang relatif murni dilanjutkan dengan prosedur identifikasi untuk melihat senyawa penyusun suatu ekstrak. Identifikasi dapat dilakukan 23 menggunakan alat spektroskopi infra merah, spektroskopi ultra violet, spektroskopi massa, dan spektroskopi resonansi magnet inti.

2.6 Formulasi Insektisida Nabati

Formulasi insektisida dilakukan untuk meningkatkan kinerja bahan aktif, memperpanjang daya simpan, memudahkan distribusi, dan memudahkan aplikasi. Formulasi secara umum terdiri dari bahan aktif, bahan tambahan, dan bahan pembawa. Peningkatan aktivitas biologi insektisida dapat dilakukan dengan berbagai bahan tambahan yang sesuai Mollet dan Grubenmann 2001. Di bidang pertanian formulasi yang banyak digunakan adalah formulasi emulsifiable concentrate EC dan wettable powder WP. Formulasi EC mengandung 20-50 bahan aktif, 40-60 pelarut, dan 5-10 pengemulsi. Pada formula WP mengadung 20-50 bahan aktif, 30-70 bahan pembawa seperti kaolin, dan 10- 20 bahan peratapembasah Waxman 1998; Mollet dan Grubenmann 2001. Formula EC dan WP memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Aplikasi formula EC lebih mudah, tidak meninggalkan residu pada tanaman, tetapi memiliki resiko fitotoksik dan saat penyimpanan dapat terjadi pemisahan yang mengurangi keefektifan formula. Formula WP lebih mudah disimpan dan didistribusikan serta resiko fitotoksinya rendah, kekurangannya memerlukan pengadukan yang konstan saat aplikasi dan meninggalkan residu pada tanaman Mollet dan Grubenmann 2001. Asman et al. 1999 menjelaskan bahwa pemisahan bagian atas atau pembentukan endapan pada dasar wadah tidak boleh melebihi 2 mL. Pelarut organik yang digunakan, bahan pembawa yang dipakai, dan bahan tambahan yang ditambahkan dalam formulasi tidak boleh bersifat antagonis dan sesuai standar CIPAC Collaborative International Pesticide Analytical dalam uji kestabilan formulasi. Insektisida botani yang telah diformulasi dalam skala industri adalah mimba Azadirachta indica. Insektisida mimba berbentuk EC yang di produksi oleh Aegis Azzanim Private Ltd India mengandung bahan pengemulsi sebanyak 6 dan pelarut 90. Neem NDRC EC menggunakan pelarut antara 70-75. Sedangkan insektisida mimba EC yang mengandung pelarut etanol dibuat oleh Euro BioConsult NeemGold. Rossalia 2003 membuat formulasi 10 EC dari ekstrak Dysoxylum acutangulum 10, menggunakan 80 pelarut metanol, dan bahan pengemulsi Latron 750 L sebanyak 10. Formulasi 10 WP D. acutangulum dibuat dengan mencampurkan kaolin-Agristik 90:3 sebanyak 90 dengan bahan aktif insektisida D. acutangulum 10. Syahputra et al. 2005 juga membuat formulasi EC dan WP dari ekstrak metanol Calophyllum soulattri. Formulasi 66 EC menggunakan 66 ekstrak, pengemulsi alkilgliserolftalat 7.5 Latron, alkilarilpoliglikol eter 4 Agristik. Formulasi 20 WP dibuat dengan bahan pembawa kaolin dan pengemulsi Latron 7.7 dan Agristik 4. Penambahan zat pengemulsi dan pembasah pada formulasi dapat meningkatkan keefektifan fungisida. Hal ini disebabkan karena zat aktif permukaan tersebut membantu penetrasi atau perlekatan bahan aktif fungisida ke dalam jaringan tanaman melalui penurunan tegangan permukaan dan sudut kontak. Pada konsentrasi yang tinggi zat aktif permukaan berfungsi sebagai pengemulsi sedangkan pada konsentrasi rendah berfungsi sebagai bahan pembasah Bohmont 1997. Mollet dan Grubenmann 2001 menjelaskan rute 24 formulasi saat menembus kutikula tanaman. Sebelum masuk formulasi menembus kutikula yang hidrofobik atau bisa juga masuk melalui stomata yang terbuka. Kemampuan ini dapat ditingkatkan dengan bantuan pengemulsi. Pengemulsi yang banyak digunakan adalah yang bersifat nonionik, karena pengemulsi jenis ini meningkatkan absorpsi substansi bahan aktif yang lipofilik pada kutikula, bahkan beberapa bahan pengemulsi dapat melintasi kutikula.

2.6.1 Persistensi Formulasi

Sinar ultraviolet cahaya matahari mempengaruhi residu pestisida di alam Matsumura 1985, salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menambahkan tabir surya atau tabir matahari. Bahan yang digunakan berupa penghambat fisik yaitu bahan yang mengandung senyawa yang dapat memantulkan atau menyebarkan sinar matahari, misalnya titanium oksida. Bahan berikutnya adalah penyerap kimia yang mengandung senyawa yang secara kimia dapat menyerap sinar matahari dan mengubahnya ke bentuk lain. Senyawa yang termasuk golongan ini adalah asam para-aminobenzoat PABA Soeratri 1993. Penelitian yang dilakukan Irmayetri 2001 yaitu penambahan para- aminobenzoat 0.2 wv pada ekstrak dan fraksi aktif Dysoxylum acutangulum tidak menunjukkan perbedaan aktivitas yang nyata terhadap larva C. pavonana setelah pemaparan 1-14 hari dibandingkan sediaan tanpa tabir surya. Rossalia 2003 juga menyatakan bahwa penambahan para-aminobenzoat hingga 1 dalam formulasi EC dan WP tidak memberikan perbedaan aktivitas bahan aktif D. acutangulum terhadap Spodoptera litura untuk waktu pemaparan yang sama pada daun kedelai. Syahputra 2004 mencatat bahwa penambahan para-aminobenzoat pada formulasi EC dan WP ekstrak Calophyllum soulattri tidak dapat memperpanjang persistensi sediaan formulasi lebih dari lima hari.

2.6.2 Fitotoksisitas

Tanaman yang diketahui potensial sebagai sumber insektisida nabati sering terkendala pengembangannya karena mempunyai sifat fitotoksik. Schoonhoven et al. 1998 menyebutkan bahwa banyak senyawa insektisida dari tumbuhan bersifat fitotoksik terhadap tanaman pertanian. Penyebab fitotoksik ini bisa berupa komponen nonpolar yang berwujud minyak yang berada pada konsentrasi tinggi dalam suatu ekstrak sehingga merusak lapisan lilin kutikula daun atau membran sel Prijono 2003. Masalah ini dapat diatasi dengan metode pemisahan komponen non polar tersebut. Selain itu penyebab fitotoksik adalah sifat sel atau jaringan ekstraseluler daun dan interaksinya dengan senyawa penyebab fitotoksik. Lebih detail Dayan et al. 1999 menguji 6 jenis kuasinoid yaitu kuasin, neokuasin, dan pikrasin yang bertipe ikatan pikrasan, 3 jenis quasinoid lainnya adalah kaparinon, glaukarubolon, dan holokanton yang bertipe ikatan kaparinon Gambar 2.3. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa quasinoid yang memiliki ikatan tipe kaparinon yang menghambat proses mitosis pada ujung akar bawang putih. kaparrinon dan glaukaribolon tidak menghambat proses profase, sedangkan holokanton menghambat semua fase mitosis yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Tidak terhambatnya proses profase oleh kaparinon dan glaukaribolon mengindikasikan bahwa quasinoid jenis ini tidak menghambat induksi siklus sel. 25 Dono et al. 2006 menghadapi kendala pengembangan insektisida nabati berbahan Aglaia odorata karena sifat ekstrak dan fraksi yang fitotoksik terhadap tanaman brokoli dan kedelai. Fitotoksisitas juga terjadi pada bibit caisin dan kedelai yang diaplikasi dengan ekstrak metanol C. soulattri, tetapi gejala fitotoksisitas berkurang dengan bertambahnya umur tanaman Syahputra et al. 2005.

2.6.3 Keamanan Formulasi terhadap Musuh Alami

Konsep jasa ekosistem didasarkan pada kompleksitas dan atau kekayaan spesies pada ekosistem. Intensifikasi jasa ekosistem mengoptimalkan keberadaan organisme yang ada agar berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam budidaya pertanian sehingga mencapai produksi maksimal dan minim dampak terhadap lingkungan Bommarco 2013. Musuh alami adalah organisme yang berada dalam ekosistem pertanian dan berinteraksi dengan serangga inang. Pengendalian serangga hama yang sekaligus merupakan inang musuh alami sebaiknya minim dampak negatif terhadap musuh alami itu sendiri. Oleh karena itu keamanan formulasi terhadap musuh alami perlu diuji untuk mengetahui bahwa formulasi yang digunakan dalam pengendalian kompatibel dan tidak menyebabkan dampak negatif terhadap musuh alami. Selain itu, keamanan formulasi terhadap musuh alami juga merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk pendaftaran insektisida yang berasal dari tanaman sebelum dikomersilkan Komisi Pestisida 2000. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ekstrak tanaman relatif aman terhadap musuh alami jika dibandingkan dengan pestisida sintetik Schmutterer 1997; Dono et al. 1999; Sudarmo et al. 2001. Ekstrak ranting A. odorata kompatibel dengan parasitoid Eriborus argenteopilosus dalam pengendalian hama Gambar 2.3 Tipe ikatan pikrasan senyawa 1-3 dan ikatan kaparinon senyawa 4-6 pada quasinoid yang diisolasi dari Castella texana Kuasin 1 Neokuasin 2 Pikrasin 3 Kaparinon 4 Glaukarubolon 5 Holakanton 6

Dokumen yang terkait

Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia Odorata Dan Piper Aduncum Untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia Pavonana (F) (Lepidoptera Crambidae)

0 2 46

Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan Buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap Larva Crocidolomia pavonana

0 4 87

Perbandingan kandungan senyawa rotenoid dan aktivitas insektisida ekstrak Tephrosia vogelii terhadap hama kubis Crocidolomia pavonana

0 5 50

Keefektifan ekstrak lima spesies piper (PIPERACEAE) untuk meningkatkan toksisitas ekstrak tephrosia vogelii terhadap hama kubis crocidolomia pavonana

0 3 11

Keefektifan ekstrak tephrosia vogelii, piper aduncum, dan campurannya untuk mengatasi hama plutella xylostella yang resisten terhadap insektisida komersial

0 3 18

Kesesuaian Ekstrak Piper spp. (Piperaceae) untuk Meningkatkan Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii terhadap Ulat Krop Kubis, Crocidolomia pavonana

1 11 52

Sifat Aktivitas Campuran Ekstrak Buah Piper Aduncum (Piperaceae) Dan Daun Tephrosia Vogelii (Leguminosae) Terhadap Larva Crocidolomia Pavonana

1 8 41

Pengembangan Potensi Insektisida Melur (Brucea javanica) untuk Mengendalikan Hama Kubis Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae ) dan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae).

0 3 18

Synergistic action of mixed extracts of Brucea javanica (Simaroubaceae), Piper aduncum (Piperaceae), and Tephrosia vogelii (Leguminosae) against cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana - Repositori Universitas Andalas

1 1 7

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN FORMULASI EC CAMPURAN Piper aduncum dan Tephrosia vogelii TERHADAP LARVA Crocidolomia pavonana Fabricius (LEPIDOPTERA : CRAMBIDAE) SKRIPSI

0 0 44