Pengembangan Formulasi Insektisida Nabati Berbahan Ekstrak Brucea javanica, Piper aduncum, dan Tephrosia vogelii untuk Pengendalian Hama Kubis Crocidolomia pavonana

(1)

PENGEMBANGAN FORMULASI INSEKTISIDA NABATI BERBAHAN

EKSTRAK Brucea javanica, Piper aduncum, DAN Tephrosia vogelii

UNTUK PENGENDALIAN HAMA KUBIS Crocidolomia pavonana

EKA CANDRA LINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Formulasi Insektisida Nabati Berbahan Ekstrak Brucea javanica, Piper aduncum, dan Tephrosia vogelii untuk Pengendalian Hama Kubis Crocidolomia pavonana adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014 Eka Candra Lina NIM A361090011


(4)

RINGKASAN

EKA CANDRA LINA. Pengembangan Formulasi Insektisida Nabati Berbahan Ekstrak Brucea javanica, Piper aduncum dan Tephrosia vogelii untuk Pengendalian Hama Kubis Crocidolomia pavonana. Dibimbing oleh DADANG, SYAFRIDA MANUWOTO dan GUSTINI SYAHBIRIN.

Serangan Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) menjadi kendala dalam budidaya sayuran famili Brassicaceae. Kehilangan hasil panen akibat serangan hama ini dapat mencapai 100% terutama pada musim kemarau jika tidak dilakukan upaya pengendalian. Petani masih mengandalkan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama C. pavonana. Akibatnya muncul dampak negatif terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan serta resistensi dan resurjensi hama C. pavonana. Selain itu residu pestisida pada hasil panen menyebabkan produk pertanian yang dihasilkan tidak dapat bersaing di pasar bebas. Alternatif pengendalian yang efektif, efisien dan memiliki dampak negatif yang lebih rendah dibandingkan dengan insektisida sintetik sangat diperlukan.

Insektisida yang berasal dari tumbuhan atau disebut insektisida nabati merupakan sarana pengendalian alternatif yang memenuhi kriteria tersebut. Insektisida nabati bersifat selektif, mudah terdegradasi di alam, tidak cepat menimbulkan resistensi jika digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, dapat dipadukan dengan teknik pengendalian hama lainnya, dan penyiapan sederhana dapat mengurangi ketergantungan pada produk insektisida sintetik. Beberapa tumbuhan yang memiliki prospek untuk dikembangkan lebih lanjut adalah Brucea javanica (Simaroubaceae), Tephrosia vogelii (Leguminosae), dan Piper aduncum (Piperaceae).

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengembangkan formulasi insektisida nabati yang siap pakai bagi petani. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan kombinasi campuran ekstrak B. javanica, T. vogelii, dan P. aduncum yang aktif terhadap C. pavonana dan aman terhadap tanaman budidaya; (2) menjelaskan pengaruh ekstrak campuran terhadap fisiologi C. pavonana; (3) menguji aktivitas enzim sitokrom P450 larva C. pavonana yang diberi perlakuan minyak atsiri P. aduncum; (4) membuat formulasi campuran berbahan ekstrak T. vogelii dan P. aduncum dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) dan wettable powder (WP) yang memiliki aktivitas insektisida terhadap C. pavonana; (5) menguji persistensi dan keamanan formulasi EC dan WP terhadap musuh alami dan tanaman brokoli; (6) menilai keefektifan formulasi terhadap hama C. pavonana di lapangan.

Aktivitas ekstrak campuran lebih aktif mematikan larva C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak tunggalnya. Analisis indeks kombinasi campuran terhadap 13 kombinasi ekstrak campuran B. javanica, T. vogelii, dan P.aduncum bersifat sinergistik kuat pada taraf LC95, kecuali pada campuran T. vogelii:B.

javanica:P. aduncum (1:0.5:2.5) dan campuran T. vogelii dan B. javanica (5:1) yang bersifat sinergistik lemah. Kematian serangga C. pavonana disebabkan oleh komponen aktif ekstrak yang bekerja dengan cara berbeda. Komponen aktif T. vogelii adalah senyawa rotenon dan rotenoid seperti deguelin dan tefrosin yang bekerja sebagai racun perut dan racun kontak. Komponen aktif B. javanica termasuk golongan kuasinoid yaitu brusein D, E, dan F yang mematikan serangga


(5)

dengan cara menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel. Senyawa piperamida pada famili piperaceae bekerja sebagai racun syaraf yang menghambat aliran impuls syaraf pada akson sehingga menyebabkan kelumpuhan.

Seluruh kombinasi campuran yang mengandung ekstrak B. javanica menunjukkan gejala fitotoksik terhadap daun brokoli dengan intensitas yang beragam. Pemisahan komponen ekstrak B. javanica dilakukan dengan metode solvent-solvent extraction untuk mengurangi efek fitotoksik. Fraksi heksana dan fraksi metanol yang diperoleh menunjukkan gejala fitotoksik meskipun telah dilakukan formulasi dalam bentuk campuran.

Ekstrak campuran mempengaruhi fisiologi serangga melalui efek penghambatan makan (antifeedant), gangguan asimilasi makanan, dan gangguan fungsi enzim. Penghambatan makan C. pavonana oleh ekstrak campuran bersifat penghambatan makan sekunder. Pada dua konsentrasi tertinggi yaitu 0.03% dan 0.06%, penghambatan makan mencapai 72.07% dan 94.82%. Pengujian asimilasi makanan oleh larva C. pavonana pada LC25 dan LC50 tidak mempengaruhi laju

konsumsi, tetapi meningkatkan efisiensi absorpsi makanan di dalam pencernaan C. pavonana. Bahan aktif ekstrak yang masuk bersama makanan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan relatif C. pavonana.

Aktivitas sitokrom P450 dan sitokrom b5 tampak nyata pada larva C. pavonana yang diberi perlakuan minyak atsiri P. aduncum. Hasil ini menunjukkan respons serangga terhadap senyawa sekunder tanaman yang dideteksi sebagai senyawa asing. Sifat sinergis dilapiol yang merupakan komponen utama minyak atsiri P. aduncum tidak tampak pada pengujian ini. Pada perlakuan vivo dan in-vitro, tidak terjadi penghambatan enzim sitokrom P450 dan enzim sitokrom b5. Hal ini diduga karena kerja enzim penguraian bersifat bifasik yaitu penghambatan enzim diikuti dengan induksi enzim tersebut.

Formulasi campuran berbahan ekstrak T. vogelii dan P. aduncum (1:5) dikembangkan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) dan wettable powder (WP). Formulasi campuran memiliki aktivitas insektisida dan menghambat perkembangan larva C. pavonana. Bahan aktif formulasi mudah terurai oleh sinar matahari dan stabil pada air akuades dan air sadah yang sesuai dengan standar CIPAC (Collaborative International Pesticides Analytical Council). Formulasi EC dan WP aman terhadap parasitoid jantan dan betina pada konsentarasi setara 2x LC95 dan tidak menyebabkan gejala fitotoksik pada daun brokoli.

Uji efikasi formulasi di lapangan menunjukkan bahwa pada saat populasi hama tinggi, formulasi EC dan WP T. vogelii:P. aduncum (1:5) memiliki aktivitas yang setara dengan insektisida BT dan deltametrin. Pada 28 HST, formulasi EC dan WP mampu menekan populasi larva C. pavonana berturut-turut 80.16% dan 96.73%. Pada 56 HST perlakuan formulasi EC dan WP menekan populasi larva C. pavonana berturut-turut 88.56% dan 81.01%.

Berdasarkan bioaktivitas insektisida, keamanan terhadap musuh alami, keamanan terhadap tanaman budidaya, persistensi residu, dan keefektifan di lapangan, secara keseluruhan formulasi EC dan WP T. vogelii dan P. aduncum (1:5) dapat digunakan untuk pengendalian hama C. pavonana di lapangan.

Kata kunci: formulasi campuran, fitotoksik, indeks kombinasi, insektisida nabati, sitokrom P450


(6)

SUMMARY

EKA CANDRA LINA. The Development of Botanical Insecticide Formulation Containing Brucea javanica, Piper aduncum, and Tephrosia vogelii Extracts to Control Cabbage Head Caterpillar Crocidolomia pavonana. Supervised by DADANG, SYAFRIDA MANUWOTO, and GUSTINI SYAHBIRIN.

Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) is one of a major pests in the Brassicae crops cultivation. Crop yield losses due to this pest can reach 100%, especially in the dry season, if there is no controlling effort. Up till now, most farmers in Indonesia still rely on synthetic insecticides to control C. pavonana population. The result from this particular control action did not give much positive impact aside the decreasing of pest population but it did give more negative impact on non-target organisms and the environment as well as pest resistance and resurgence. Additionally pesticide residues in agricultural crops is one of the main reason as why Indonesia’s horticulture products can not compete in the global market. In order to solve this problem, we need alternative control which are more effective, efficient and have a lower negative impact than synthetic insecticides.

Insecticides derived from plants which is known as botanical insecticides become an alternative control that meet to those criterias above. Botanical insecticides are selective, degradable, not lead to resistance when used in crude extract form, compatible with other control techniques, and simple preparation reduce dependence on synthetic insecticides product. Plants that have the potential to be developed further to act as botanical insecticides are Brucea javanica (Simaroubaceae), Tephrosia vogelii (Leguminosae), and Piper aduncum (Piperaceae).

The main purpose of this research was to develop botanical insecticide formulations for farmer. Specific purposes of this study are (1) to find mixture extracts combination of B. javanica, T. vogelii, and P. aduncum that are active against C. pavonana and safe to agriculture plant; (2) to explain physiological interferences of C. pavonana caused by extract mixture; (3) to determine cytochrome P450 enzyme activity of larva C. pavonana treated with P. aduncum essential oil; (4) to formulate emulsifiable concentrate (EC) and wettable powder (WP) of mixture extracts T. vogelii and P. aduncum that have insecticidal activity against C. pavonana; (5) to determine a persistency and a safety of EC and WP formulation against natural enemy and broccoli plant; (6) to assess the formulation effectiveness against C. pavonana in the field.

The mixture extracts was more toxic to C. pavonana larvae compared to the single extracts. The mixture extracts had a strong synergistic action at level LC95, except in T. vogelii: B. javanica: P. aduncum mixture (1:0.5:2.5) and T.

vogelii: B. javanica mixture (5:1) which had weakly synergistic. Mortality of C. pavonana were caused by the active component of extracts that work in a different ways. The active components of T. vogelii are rotenon and rotenoid (deguelin and tephrosin) which act as a stomach and contact poison. B. javanica has active components from quasinoid class namely brucein D, E, and F. Those active components kill the insects by inhibiting the cell growth and development.


(7)

Piperamide in Piperaceae works as a neurotoxin that inhibits the flow of nerve impulses in the axons, causing paralysis.

The whole combination of a mixture containing extracts of B. javanica showed phytotoxic effect with varying intensity. The components from B. javanica extract were separated by solvent-solvent extraction method to reduce phytotoxic effect. Phytotoxic symptoms still appeared on the hexane and methanol fractions although it has been done in the form of a mixed formulation.

The mixture extracts affect the physiology of insects through the inhibitory effect on feeding (antifeedant), decreased food assimilation, and impaired function of the enzyme. The antifeedant effect was called secondary antifeedant. At the two highest concentrations of 0.03% and 0.06%, the antifeedant effect was reaching till 72.07% and 94.82%. Food assimilation test showed that T. vogelii and P. aduncum (1:5) did not affect consumption rate of C. pavonana, but increase food absorption efficiency. The active compounds of plant extracts led to a decreased the relative growth rate of C. pavonana.

The cytochrome P450 and cytochrome b5 activities showed significantly on the larvae treated with P. aduncum oil. These results showed the response of insects to plant secondary compounds were detected as a foreign components. Synergistic properties from dilapiol were the main components of P. aduncum oil was not appear on this test. There was no inhibition of the cytochrome P450 and cytochrome b5 enzyme. This is presumably due to the gene regulation of decomposition enzyme which has biphasic characteristic which is inhibited the enzyme and then followed by enzyme induction.

Mixed formulations made from T. vogelii and P. aduncum (1:5) were developed in the form of emulsifiable concentrate (EC) and wettable powder (WP). Mixed formulations have insecticidal activity, inhibit growth and development of C. pavonana larvae. Sun light was strongly speeding up the decomposition of formulation active components. EC and WP formulations have stability in distilled water and hard water that complies to CIPAC (Collaborative International Pesticides Analytical Council) standard. Formulations were safe to male and female parasitoids Eriborus argenteopilosus at concentration that equal to 2 x LC95 and safe to broccoli plants.

Effication test of EC and WP formulastions showed that when the pest population reach its peak, EC and WP formulations has activity that equivalent to commercial insecticides BT and deltametrin. At 28 DAT, EC and WP formulations were able to suppress C. pavonana larval populations 80.16% and 96.73% respectively when compare to control. The activity of deltametrin on suppressing larval populations only 70.25% when compared to control. At 56 DAT, EC and WP formulations suppress C. pavonana populations to 88.56% and 81.01% respectively.

Based on insecticidal bioactivities, the safety to natural enemy and broccoli plant, a residual persistency, and the effectiveness in the field, EC and WP formulations of T. vogelii and P. aduncum (1:5) were feasible to be used to control C. pavonana in the field.

Key words: botanical insecticide, cytochrome P450, index combination, mixture formulation, phytotoxic,


(8)

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Entomologi

PENGEMBANGAN FORMULASI INSEKTISIDA NABATI BERBAHAN

EKSTRAK Brucea javanica, Piperaduncum, DAN Tephrosia vogelii UNTUK

PENGENDALIAN HAMA KUBIS Crocidolomia pavonana

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(12)

Penguji pada Sidang Tertutup: 1. Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi

(Staf Pengajar Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Ir. Danar Dono, MSi

(Staf Pengajar Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran)

Penguji pada Sidang Terbuka: 1. Dr. Ir. I Made Samudra, MSc

(Ketua Kelompok Peneliti Biokimia, Balai Besar Litbang Bioteknologi & Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor)

2. Dra. Endang Sri Ratna, PhD

(Staf Pengajar Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)


(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi Pengembangan Formulasi Insektisida Nabati Berbahan Ekstrak Brucea javanica, Piper aduncum, dan Tephrosia vogelii untuk Pengendalian Hama Kubis Crocidolomia pavonana

Nama Mahasiswa Eka Candra Lina

NIM A361090011

Program Studi Entomologi

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc Ketua

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc Anggota

Dr. Dra. Gustini Syahbirin, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr


(14)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Puji syukur atas segala rahmat dan karunia yang Allah SWT berikan sehingga disertasi yang berjudul “Pengembangan Formulasi Insektisida Nabati Berbahan Ekstrak Brucea javanica, Piper aduncum, dan Tephrosia vogelii untuk Pengendalian Hama Kubis Crocidolomia pavonana” dapat penulis selesaikan. Disertasi ini merupakan syarat bagi mahasiswa pascasarjana program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman (DPT), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc, dan Dr. Dra. Gustini Syahbirin, MS. selaku anggota komisi pembimbing serta pembimbing teknis Ir. Djoko Prijono, MAgrSc untuk waktu, arahan, bimbingan, dan saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi dan Dr. Ir. Danar Dono, MSi sebagai penguji pada sidang tertutup, juga penguji pada sidang terbuka Dr. Ir. I Made Samudra, MSc dan Dra. Endang Sri Ratna, PhD untuk semua pertanyaan dan saran yang membantu penyempurnaan disertasi ini.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Andalas, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua Program Studi Agroekoteknologi, atas kesempatan, izin, serta bantuan materil yang diberikan selama penulis mengikuti tugas belajar di Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan biaya penelitian melalui program penelitian Hibah Bersaing tahun 2010-2011 dan Hibah Doktor tahun 2013. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Ketua Departemen Proteksi Tanaman, Ketua Program Studi Entomologi, staf pengajar Mayor Entomologi-Fitopatologi, serta staf administrasi Pascasarjana dan DPT-IPB, atas bantuannya selama penulis menempuh pendidikan.

Kepada seluruh rekan mahasiswa pascasarjana Program Studi Entomologi/Fitopatologi IPB, Forum Wacana Entomologi/Fitopatologi, rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, penulis menyampaikan terima kasih atas segala bantuan, dukungan dan waktu yang diluangkan untuk berdiskusi dan menuangkan ide-ide kreatif selama penulis menempuh pendidikan progam Doktor ini, khususnya teman seperjuangan angkatan 2009: Dr. Haliathur Rahma SSi. MSi, Ir. Fadjar Rianto MSi, Drs. Jekvy Hendra MSi, dan Kusuma Darma SP. MSi “mencari ilmu yang bermakna”. Kepada teknisi yang telah membantu kelancaran selama penelitian, Bapak Agus Sudrajat, Bapak Amran, Bapak Min, dan Bapak Saodik penulis juga mengucapkan terima kasih.

Kepada ayahanda Dahali Syarif dan Ibunda Sumijati Mansur, yang telah mencurahkan kasih sayang, memberikan pendidikan terbaik, serta menaungi dengan do’a yang tidak pernah putus, semoga Allah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, juga ibu Mertua Hanifah Said (alm) dan ayah mertua Thabrani


(15)

Thaib (alm). Adik, kakak ipar, adik ipar serta keponakan terima kasih atas dorongan semangat serta doanya.

Terima kasih untuk imamku Barqil Falah atas kesempatan yang luas, sabar tak berbatas, serta dukungan moril dan materil selama penyelesaian studi ini. Untuk tiga peri yang selalu mewarnai hari, Putri Aglaia Falka Trijata, Naurah Amani Falka Trijata, dan Khansaa Alexandra Falka Trijata “paubek jariah palarai damam”. Mohon maaf dan keikhlasan kalian untuk banyak waktu yang tersela selama lima tahun terakhir ini.

Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi, penulis ucapkan terima kasih. Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Semoga karya penulis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan para petani kubis khususnya serta petani di Indonesia pada umumnya. Amin.


(16)

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xxi

DAFTAR GAMBAR xxii

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Landasan Teoritis 4

1.4 Tujuan dan Kebaruan Penelitian 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 5

1.6 Daftar Pustaka 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

2.1 Tantangan dan Peluang Sektor Pertanian 10

2.2 Potensi Senyawa Sekunder Tanaman 12

2.3 Bioaktivitas Insektisida Nabati terhadap Serangga 13

2.4 Potensi Campuran Ekstrak Tanaman 21

2.5 Ekstraksi, Isolasi, dan Identifikasi Sumber Insektisida Nabati 21

2.6 Formulasi Insektisida Nabati 23

2.7 Aspek Fisiologi 26

2.8 Permasalahan Hama Crocidolomia pavonana dan Plutella xylostella 28

2.9 Daftar Pustaka 30

3 EKSTRAKSI DAN BIOAKTIVITAS Brucea javanica, Tephrosia vogelii,

DAN Piper aduncum 37

3.1 Pendahuluan 38

3.2 Bahan dan Metode 40

3.3 Hasil dan Pembahasan 43

3.4 Kesimpulan 56

3.5 Daftar Pustaka 56

4 GANGGUAN FISIOLOGI DAN BIOKIMIA Crocidolomia pavonana

AKIBAT PENGARUH EKSTRAK Tephrosia vogelii DAN Piper aduncum 60

4.1 Pendahuluan 61

4.2 Bahan dan Metode 62

4.3 Hasil dan Pembahasan 66

4.4 Kesimpulan 74

4.5 Daftar Pustaka 74

5 BIOAKTIVITAS FORMULASI CAMPURAN EKSTRAK Tephrosia vogelii

DAN Piper aduncum 77

5.1 Pendahuluan 78

5.2 Bahan dan Metode 79


(18)

5.4 Kesimpulan 87

5.5. Daftar Pustaka 88

6 KEAMANAN FORMULASI CAMPURAN EKSTRAK DAN

EFEKTIVITASNYA TERHADAP HAMA KUBIS DI LAPANGAN 91

6.1 Pendahuluan 92

6.2 Bahan dan Metode 93

6.3 Hasil dan Pembahasan 96

6.4 Kesimpulan 104

6.5 Daftar Pustaka 104

7 PEMBAHASAN UMUM 106

8 SIMPULAN DAN SARAN 110

8.1 Simpulan 110

8.2 Saran 110

DAFTAR PUSTAKA 111

LAMPIRAN 120


(19)

DAFTAR TABEL

2.1 Potensi tumbuhan Brucea javanica, Piper aduncum, dan Tephrosia

vogelii 20

2.2 Jenis-jenis pelarut berdasarkan penambahan tingkat kepolarannya 22

3.1 Hasil ekstraksi tiga jenis bahan tanaman ... 44

3.2 Uji pendahuluan ekstrak tiga jenis tanaman terhadap C. pavonana ... 45

3.3 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana akibat perlakuan ekstrak etil asetat T. vogelii pada beberapa konsentrasi ... 45

3.4 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana akibat perlakuan ekstrak etil asetat:metanol (9:1) B. javanica pada beberapa konsentrasi ... 46

3.5 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana akibat perlakuan ekstrak etil asetat P. aduncum pada beberapa konsentrasi ... 46

3.6 Parameter regresi probit hubungan konsentrasi ekstrak tiga jenis tanaman pada uji tunggal dengan mortalitas larva C. pavonana ... 46

3.7 Analisis probit ekstrak campuran tiga jenis ekstrak terhadap C. pavonana dan sifat aktivitas campuran ... 47

3.8 Analisis probit ekstrak campuran dua jenis tanaman terhadap C. pavonana dan sifat aktivitas campuran ... 53

4.1 Komponen senyawa yang terdeteksi pada ekstrak kasar Piper aduncum ... 67

4.2 Komponen senyawa yang terdeteksi pada minyak Piper aduncum hasil distilasi ... 68

4.3 Efek antifeedant ekstrak campuran T.vogelii : P. aduncum (1:5) terhadap ulat kubis C. pavonana ... 69

4.4 Pengaruh ekstrak campuran Tephrosia vogelii : Piper aduncum (1:5) terhadap indeks efisiensi pemanfaatan makanan larva Crocidolomia pavonana ... 71

4.5 Hasil penghitungan kandungan sitokrom b5 dan sitokrom P450 ... 72

5.1 Uji kestabilan pengemulsi sesuai standar CIPAC ... 81

5.2 Uji kestabilan formulasi EC pada air suling dan air sadah ... 83

5.3 Uji kestabilan formulasi WP T. vogelii : P. aduncum (1:5) pada air suling dan air sadah ... 84

5.4 Lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan Formulasi 20 EC dan 20 WP T. vogelii dan P. aduncum (1:5) pada beberapa konsentrasi ... 87

5.5 Analisis probit formulasi 20 EC dan 20 WP T. vogelii dan P. aduncum (1:5) ... 87

6.1 Pengujian formulasi EC dan WP terhadap musuh alami Eriborus argenteopilosus ... 97

6.2 Populasi larva C. pavonana pada tanaman brokoli yang diberi berbagai perlakuan insektisida ... 103

6.3 Keefektifan beberapa insektisida untuk mengendalikan hama C. pavonana di lapangan ... 103


(20)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka fikir pengembangan formulasi insektisida campuran berbahan Brucea. javanica, Tephrosia. vogelii, dan Piper. aduncum 6

2.1 Struktur kimia dilapiol 17

2.2 Struktur kimia rotenon 18

2.3 Tipe ikatan pikrasan (senyawa 1-3) dan ikatan kaparinon (senyawa 4-6) pada quasinoid yang diisolasi dari Castella texana 25 3.1 Gejala fitotoksik pada daun brokoli yang disemprot ekstrak campuran

T. vogelii, B. javanica, dan P. aduncum pada berbagai kombinasi

(perlakuan A,B, C, D, E, F,G,H,I) 50

3.2 Gejala fitotoksik pada tanaman brokoli yang disemprot dengan ekstrak tunggal B. javanica (A), T. vogelii (B), dan P. aduncum (C) 51 3.3 Gejala fitotoksik pada daun brokoli yang disemprot formulasi WP

campuran T. vogelii, B. javanica, dan P. aduncum (2:1:4) 52 3.4 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana larvae yang diberi perlakuan

ekstrak campuran T. vogelii dan P. aduncum (1:5) 54 3.5 Gejala fitotoksik pada daun brokoli yang disemprot ekstrak

campuran dua jenis tanaman, A (Tv:Pa-1:5); B (Tv:Bj-5:1); C (Pa:Bj-2.5:1); dan D (Pa:Bj-2:1) dimana Tv=T. vogelii, Bj= B.

javanica, Pa= P. aduncum 55

4.1 Proses distilasi bahan tanaman sumber ekstrak: A) buah P. aduncum,

B) proses distilasi, C) minyak atsiri 63

4.2 Kromatogram ekstrak kasar Piper aduncum 66

4.3 Kromatogram minyak Piper aduncum hasil distilasi 69 4.4 Aktivitas spesifik sitokrom b5 dan sitokrom P450 73 5.1 Formulasi campuran T. vogelii : P. aduncum (1:5) dalam bentuk EC

dan WP 82

5.2 Uji ke stabilan formulasi EC pada satu jam 83

5.3 Uji ke stabilan formulasi WP pada air dan air sadah A) 30 menit

pengamatan B) satu jam pengamatan 84

5.4 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana akibat perlakuan formulasi EC campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum (1:5) 85 5.5 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana akibat perlakuan formulasi

WP campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum (1:5) 85 6.1 Persistensi formulasi EC, WP, dan BT pada pengujian 0 hari (A), 1

hari (B), dan 2 hari (C) setelah perlakuan (grafik yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan, α=0.05) 98 6.2 Aplikasi A) Formulasi EC, B) Formulasi WP terhadap daun brokoli

tidak menunjukkan gejala fitotoksisitas 99

6.3 Populasi larva C. pavonana pada tanaman brokoli yang diberi

perlakuan insektisida 100

6.4 Populasi larva H. undalis pada tanaman brokoli yang diberi

perlakuan insektisida 101

6.5 Populasi larva P. xylostella pada tanaman brokoli yang di beri


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produksi sayuran di Indonesia dalam lima tahun terakhir 121 2 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan

campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (3:2.5:1) pada

beberapa konsentrasi 122

3 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (2:2.5:1) pada

beberapa konsentrasi 122

4 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan

campuran B. javanica 122

5 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (0.5:2.5:1) pada

beberapa konsentrasi 123

6 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (1:2:2) pada

beberapa konsentrasi 123

7 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (1:3:2) pada

beberapa konsentrasi 123

8 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (1:4:2) pada

beberapa konsentrasi 124

9 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (1:2.5:3) pada

beberapa konsentrasi. 124

10 Mortalitas dan lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan campuran B. javanica, P. aduncum, dan T.vogelii (1*:4:2) pada

beberapa konsentrasi 124

11 Enzim sitokrom b5 kontrol pada kondisi teroksidasi dan tereduksi 125 12 Enzim sitokrom b5 perlakuan in-vitro pada kondisi teroksidasi dan

tereduksi 125

13 Enzim sitokrom b5 perlakuan in-vivo pada kondisi teroksidasi dan

tereduksi 126

14 Enzim sitokrom P450 kontrol pada kondisi teroksidasi dan tereduksi 126 15 Enzim sitokrom P450 perlakuan in-vitro pada kondisi teroksidasi dan

tereduksi 127

16 Enzim sitokrom P450 perlakuan in-vivo pada kondisi teroksidasi dan tereduksi 127

17 Profil petani responden pada wawancara tentang insektisida 128 18 Pendapat petani mengenai insektisida sintetik dan insektisida nabati 128 19 Pendapat petani tentang formulasi insektisida nabati 129 20 Alasan keinginan petani membeli formulasi insektisida yang siap

pakai 129

21 Analisis biaya produksi formulasi EC dan biaya pengendalian C.

pavonana 130

22 Analisis biaya produksi formulasi EC dan biaya pengendalian C.


(22)

23 Analisis biaya produksi formulasi WP dan biaya pengendalian C.

pavonana 132

24 Analisis biaya produksi formulasi WP dan biaya pengendalian C.


(23)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produksi sayuran dari famili Brassicaceae seperti kubis, kembang kol, sawi, dan petsai lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis sayuran lainnya (BPS 2013). Budidaya tanaman ini terkendala oleh serangan hama Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) yang merupakan hama utama tanaman Brassicaceae. Larva C. pavonana memakan daun maupun krop sejak tanaman muda hingga menjelang panen. Kehilangan hasil panen kubis akibat serangan hama ini dapat mencapai 100% terutama pada musim kemarau jika tidak dilakukan upaya pengendalian (Uhan 1993, Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Perubahan iklim yang terjadi memperparah kondisi di lapangan. Kejadian iklim ekstrim menyebabkan perubahan biofisik lingkungan, di antaranya meningkatkan intensitas serangan hama yang menyebabkan gagal panen (FAO 2007, 2009).

Petani kubis masih mengandalkan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama C. pavonana. Hal ini menyebabkan ketergantungan terhadap insektisida sintetik semakin tinggi dari hari ke hari (Rauf et al. 2005). Masalah lain yang muncul seiring peningkatan penggunaan insektisida sintetik adalah biaya produksi usaha tani meningkat, muncul resistensi dan resurjensi hama sasaran, terbunuhnya musuh alami dan organisme bukan sasaran lainnya, pencemaran lingkungan serta bahaya residu pada hasil panen (Metcalf 1982, Rauf et al 2005). Oleh karena itu, diperlukan alternatif taktik pengendalian yang memiliki dampak negatif yang relatif lebih rendah dibandingkan insektisida sintetik. Salah satu sarana pengendalian hama yang memenuhi kriteria tersebut ialah insektisida nabati.

Insektisida golongan ini mengandung bahan aktif alami yang berasal dari tumbuhan yang mudah terdegradasi di alam dan bersifat selektif sehingga aman terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Keunggulan lainnya adalah tidak cepat menimbulkan resistensi jika digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, dapat dipadukan dengan teknik pengendalian hama lainnya, dan penyiapan secara sederhana dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk insektisida sintetik (Arnason et al. 1993; Prakash dan Rao 1997; Schmutterer 1997; Prijono et al. 2006).

Produk pertanian yang diaplikasi dengan insektisida nabati memiliki residu insektisida yang rendah karena bahan aktifnya mudah terdegradasi. Hal ini memberi peluang besar bagi produk pertanian bisa masuk dan bersaing di pasar bebas yang bernaung di bawah World Trade Organization (WTO). Salah satu persyaratan yang ditetapkan oleh WTO adalah Sanitary and phytosanitary (SPS). Produk yang diperdagangkan harus aman bagi kesehatan konsumen, hewan, dan tanaman serta lingkungan hidup yang dilandasi oleh prinsip kajian ilmiah (Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2004).

Pemerintah telah memberikan perhatian pada upaya perlindungan tanaman melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 bahwa sistem budidaya tanaman, adalah pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia, modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Peraturan Pemerintah Nomor 6, Tahun 1995 pasal 3 memuat bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan


(24)

konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Keunggulan insektisida nabati yaitu dapat dipadukan dengan teknik pengendalian lain sesuai dengan konsep PHT. Pengendalian hama dengan konsep PHT merupakan bentuk intensifikasi ekologi yang bertujuan meningkatkan hasil panen dengan meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan dan manajemen terpadu jasa ekosistem (Bommarco et al. 2013).

Grainge dan Ahmed (1988) mencatat lebih dari 2400 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Beberapa tanaman yang diketahui memiliki potensi insektisida diantaranya adalah Brucea javanica (Simaroubaceae), Piper aduncum (Piperaceae) dan Tephrosia vogelii (Leguminosae). Penelitian yang dilakukan Lina et al. (2010) menunjukkan bahwa ekstrak metanol B. javanica dapat menyebabkan kematian larva uji Crocidolomia pavonana (Crambidae) hingga 97.8% pada konsentrasi 0.5%. Bahan aktif yang berhasil diisolasi dari B. javanica adalah brusein C, D, E, dan F yang termasuk dalam kelompok kuasinoid (Guo et al. 2005).

T. vogelii dikenal sebagai racun ikan dan sering digunakan untuk mengendalikan hama sejak tahun 1848 (Gaskins et al. 1972; Matsumura 1985). Daun T. vogelii diketahui mengandung senyawa kelompok isoflavonoid seperti rotenon dan senyawa rotenoid lain yang bersifat insektisida, yaitu deguelin dan tefrosin (Delfel et al. 1970; Gaskins et al 1972; Lambert et al. 1993). Rotenon bersifat insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga, bekerja sebagai racun perut dan racun kontak (Perry et al, 1998; Djojosumarto 2008), pada tingkat sel, rotenon menghambat transfer elektron antara NADH dehidrogenase dan koenzim Q pada kompleks I dari rantai transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa T. vogelii berbunga ungu memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana instar II denganLC50 dan LC95 pada 72 jam setelah perlakuan

masing-masing 0.091% dan 0.273%. Ekstrak etil asetat daun selain mengakibatkan kematian juga menghambat perkembangan larva C. pavonana.

Komponen utama P. aduncum adalah dilapiol yang termasuk kelompok fenilpropanoid. Hasyim (2011) melaporkan bahwa komponen utama dalam fraksi aktif dari ekstrak n-heksana buah P. aduncum adalah dilapiol dengan area puncak pada kromatogram berdasarkan analisis dengan kromatografi gas sebesar 68.8%. Selain bersifat insektisida, dilapiol yang diisolasi dari minyak atsiri daun P. aduncum juga bersifat anticendawan dan antibakteri (Parmar et al. 1998; Kato dan Furlan 2007). Perlakuan dilapiol 0.1 ppm menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes atropalpus sebesar 92% (Bernard et al. 1995). Senyawa dilapiol diketahui memiliki gugus metilendioksifenil (MDF) yang merupakan ciri penting berbagai senyawa yang bersifat sebagai sinergis insektisida (Metcalf 1967; Bernard et al. 1990; Scott et al. 2007). Senyawa yang memiliki gugus MDF dapat menghambat aktivitas enzim polisubstrat monooksigenase (PSMO) seperti sitokrom b5 dan sitokrom P450 yang berperan dalam menurunkan daya racun senyawa atau metabolit toksik di dalam tubuh. Terhambatnya enzim PSMO dapat mengakibatkan penumpukan senyawa atau metabolit toksik di dalam tubuh serangga yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Bernard et al. 1995).

Salah satu kendala dalam pemanfaatan tanaman sebagai sumber insektisida nabati di lapangan antara lain keterbatasan bahan baku sumber ekstrak. Solusi yang tepat dapat meminimalisasi masalah tersebut dengan tetap


(25)

mengedepankan kelestarian lingkungan. Salah satunya adalah metode pencampuran ekstrak dari beberapa jenis tanaman. Penggunaan insektisida dalam bentuk campuran sering disarankan untuk menunda timbulnya resistensi hama terhadap insektisida tertentu, mengendalikan beberapa jenis hama sekaligus, meningkatkan efisiensi aplikasi karena insektisida campuran digunakan pada dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis masing-masing komponennya secara terpisah, dan dapat mengurangi pengaruh samping terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan (Prijono 2002).

Ketersediaan bahan tumbuhan sangat penting dalam pengembangan insektisida nabati. Buah B. javanica, daun T.vogelii dan buah P. aduncum tersedia sepanjang tahun. Selain memiliki sifat insektisida, tanaman ini juga memiliki fungsi lain yaitu B. javanica dikenal sebagai tanaman obat (Padua dan Bunyapraphatsara 1999; Guo et al. 2005). Daun P. aduncum sering dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Heyne 1987), sedangkan tanaman T. vogelii digunakan sebagai penyubur tanah karena dapat meningkankan organisme tanah dan kadar nitrogen tanah (Sileshi et al. 2008). Untuk pengembangan pada skala yang lebih luas, maka bahan baku dapat di tanam sebagai tanaman konservasi atau tanaman pelindung bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Pengembangan insektisida nabati secara keseluruhan dapat dilihat pada kerangka fikir penelitian (Gambar 1.1).

Keamanan di penyimpanan, kemudahan aplikasi, dan aktivitas insektisida nabati dapat dioptimalkan dengan teknologi formulasi. Formula yang banyak digunakan di bidang pertanian adalah formula Emulsifiable concentrate (EC) dan Wettable powder (WP) (Waxman 1998; Mollet dan Grubenmann 2001). Uji menyeluruh di laboratorium dilakukan sebelum menilai keefektifan suatu formula di lapangan, yang meliputi aktivitas insektisida baik tunggal maupun campuran, pengaruh insektisida terhadap fisiologi serangga C. pavonana, persistensi bahan aktif, fitotoksisitas, dan keamanan formulasi terhadap musuh alami hama.

Salah satu faktor penyebab rendahnya penggunaan insektisida nabati sebagai alternatif pengendalian hama di kalangan petani adalah minimnya insektisida nabati siap pakai yang efektif, aman, dan tersedia dalam jumlah yang cukup. Hasil survei terhadap 30 orang petani konvensional dan 30 orang petani low input menunjukkan bahwa, aktivitas pestisida sintetik dinilai lebih unggul dibandingkan dengan insektisida nabati (Lampiran18). Selain itu penyiapan bahan dan penyemprotan yang harus dilakukan berulang-ulang menyebabkan petani lebih memilih insektisida sintetik yang lebih praktis (Lampiran 20). Untuk itu perlu dilakukan penelitian terkait pengembangan formulasi insektisida nabati yang efektif dan efisien dalam mengendalikan hama C. pavonana serta praktis dalam pengaplikasiannya.

1.2 Perumusan Masalah

Penerapan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) untuk mengendalikan hama utama tanaman sayuran famili Brassicaceae menemui beberapa kendala. Keberhasilan pengendalian dipengaruhi oleh perilaku dan keefektifan musuh alami hama C. pavonana dan P. xylostella. Musuh alami E. argenteopilosus tidak dapat mengendalikan hama C. pavonana dengan efektif. Hal ini disebabkan perilaku C. pavonana yang cenderung memakan bagian krop dan titik tumbuh, mempersulit musuh alami untuk menemukan inang C.


(26)

pavonana. Selain itu C. pavonana juga memiliki kemampuan untuk mengenkapsulasi telur dan larva parasitoid E. argenteopilosus yang berakibat pada penghambatan perkembangan bahkan kematian parasitoid di dalam tubuh inang. Berbeda dengan P. xylostella yang cenderung menyerang daun dapat dengan efektif dikontrol oleh musuh alaminya D. semiclausum. Pengendalian C. pavonana masih mengandalkan insektisida sintetik, yang menyebabkan terbunuhnya musuh alami E. argenteopilosus dan D. semiclausum. Oleh karena itu perlu dicari pengendalian alternatif yang serasi dengan komponen PHT lainnya, yaitu dapat mengendalikan hama C. pavonana dan aman terhadap musuh alami. Penggunaan insektisida yang berasal dari tanaman atau insektisida nabati diharapkan mampu memenuhi kriteria tersebut. Pengembangan insektisida nabati dalam bentuk campuran diharapkan dapat meningkatkan aktivitasnya, menghemat sumber bahan baku, dan menunda resistensi hama. Teknologi formulasi merupakan upaya menjaga kualitas suatu produk insektisida nabati sehingga penggunaannya lebih efektif dan efisien. Secara keseluruhan penelitian ini akan mampu menjawab pertanyaan “dapatkah formulasi insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada tanaman Brassicaceae tersedia di tingkat petani?”

1.3 Landasan Teoritis

Pada zaman Yunani dan Romawi klasik ampas zaitun, mentimun liar, dan bawang putih digunakan untuk mengendalikan beberapa jenis hama tanaman dari ordo lepidoptera dan orthoptera (Smith dan Secoy 1975). Pada abad ke-17, pengendalian hama menggunakan ekstrak tanaman semakin berkembang diantaranya ekstrak daun Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustica. Selanjutnya pada abad ke-18 menggunakan serbuk bunga Chrysanthemum sp. dan serbuk tanaman dari famili Leguminosae seperti Derris sp. sebagai insektisida (Matsumura 1985). Isolasi bahan aktif tanaman untuk keperluan pengendalian mulai dilakukan seperti nikotin, piretrin, dan rotenon. Selain isolasi bahan aktif, penelitian mengenai senyawa kimia tanaman dan hubungannya dengan serangga hama menjadi perhatian para ahli.

Ehrlich dan Raven (1964) menyatakan bahwa serangga herbivora merupakan faktor utama penyebab evolusi dan penyebaran tanaman, sebaliknya tanaman memegang peranan penting dalam mempengaruhi perilaku dan evolusi serangga herbivora atau dikenal dengan teori koevolusi. Masih dalam artikel yang sama Ehrlich dan Raven menjelaskan bahwa dengan mempelajari tanaman dan senjata alaminya berupa senyawa kimia, manusia dapat menemukan cara yang efektif untuk mengendalikan serangga sebagai kompetitor, tanpa meracuni diri kita sendiri. Fraenkel (1969) menegaskan bahwa seleksi inang yang dilakukan serangga adalah jantung entomologi pertanian, dan senyawa sekunder tanaman memegang peranan penting dalam interaksi serangga-tanaman. Senyawa sekunder bekerja dengan berbagai cara antara lain sebagai penarik atau penolak serangga, pencegah, perangsang, dan lain sebagainya. Dalam proses seleksi inang, senyawa primer memegang peranan yang sangat kecil.

Tekanan seleksi yang diberikan serangga terhadap tanaman dan sebaliknya menyebabkan muncul istilah strategi dan adaptasi. Tanaman memiliki strategi untuk lolos dari serangga herbivora yaitu dengan modifikasi morfologi, membentuk pertahanan kimia, dan menjadi tanaman minim nutrisi atau resisten. Serangga juga memiliki strategi untuk mengatasi pertahanan tanaman yaitu


(27)

dengan adaptasi morfologi dan biokimia. Upaya saling mengecoh tersebut di kenal dengan istilah mutual evolusi (Dethier 1970).

Feeny (1970) menyatakan bahwa koevolusi antara serangga dengan tanaman melibatkan komponen biokimia yang mengelompokkan serangga menjadi spesialis atau generalis. Pada spesialis kemampuan beradaptasi dengan beragam jenis senyawa kimia menurun tetapi kemampuan beradaptasi dengan komponen yang sangat beracun meningkat. Van der Meijden (1996) menjelaskan lebih rinci bahwa serangga generalis menghindari konsentrasi tinggi senyawa pertahanan tanaman, sedangkan serangga spesialis menggunakan kimia tanaman sebagai petunjuk untuk menemukan atau mengidentifikasi makanannya. Pada konsentrasi rendah kemungkinan menjadi perangsang makan. Beberapa spesialis menggunakan komponen tanaman untuk bertahan dari serangan musuh alaminya. Senyawa kimia tanaman disebut juga sebagai alelokimia tanaman yang berfungsi sebagai agen untuk melakukan interaksi kimia antar spesies (Whittaker dan Feeny 1971).

Hama C. pavonana merupakan serangga spesialis yang menurut teori tidak mampu beradaptasi dengan beragam senyawa kimia tanaman (Feeny 1970). Penggunaan ekstrak campuran yang terdiri dari banyak senyawa kimia memberikan keuntungan dalam meningkatkan keberhasilan pengendalian hama C. pavonana.

1.4 Tujuan dan Kebaruan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formulasi insektisida nabati yang siap pakai bagi petani. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan kombinasi campuran ekstrak B. javanica, T. vogelii, dan P. aduncum yang aktif terhadap C. pavonana dan aman terhadap tanaman budidaya; (2) menjelaskan pengaruh ekstrak campuran terhadap fisiologi C. pavonana; (3) menguji aktivitas enzim sitokrom P450 larva C. pavonana yang diberi perlakuan minyak atsiri P. aduncum; (4) membuat formulasi campuran berbahan T. vogelii dan P. aduncum dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) dan wettable powder (WP) yang memiliki aktivitas insektisida terhadap C. pavonana; (5) menguji persistensi dan keamanan formulasi EC dan WP terhadap musuh alami dan tanaman brokoli; (6) menilai keefektifan formulasi terhadap hama C. pavonana di lapangan.

Kebaruan penelitian ini adalah formulasi campuran berbahan ekstrak B. javanica, P. aduncum, dan T. vogelii yang memiliki aktivitas insektisida terhadap C. pavonana, aman terhadap musuh alami dan lingkungan. Produk yang dihasilkan berupa formulasi insektisida campuran berbentuk emulsifiable concentrate (EC) dan wettable powder (WP)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Tujuan penelitian dicapai dengan serangkaian penelitian yang merupakan satu kesatuan. Tahapan penelitian yang ditempuh terdiri dari empat tahapan yaitu: (1) Ekstraksi dan bioaktivitas B. javanica, T. vogelii, dan P. aduncum; (2) Gangguan fisiologi dan biokimia C. pavonana akibat pengaruh ekstrak T. vogelii dan P. aduncum; (3) Bioaktivitas formulasi campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum; (4) Keamanan formulasi campuran dan efektivitasnya terhadap hama kubis di lapangan.


(28)

Aspe k P erc oba an P ene li ti an da n pe nge mba nga n Te knologi P roduk P asa r

Ekstraksi dan isolasi Bioaktivitas

Uji ak tiv itas in sek tis id a E k str ak si d an p ar ti si D is tila si, id en tifik asi Ak tiv itas p en g h am b ata n en zi m E fis ien si p em an faa tan m ak an an Kee fek tifa n ek str ak ca m p u ra n

Petani kubis lokal Petani umumnya

Fitotoksisitas

Antifeedant

Sitokrom P450 dan b5 Perilaku Fisiologi Ekologi Toksisitas terhadap musuh alami Persistensi Uji efikasi Ak tiv itas p en g h am b ata n m ak an Asimilasi makanan Industri kecil menengah

Gambar 1.1 Kerangka fikir pengembangan formulasi insektisida campuran berbahan Brucea. javanica, Tephrosia. vogelii, dan Piper. aduncum

Formulasi Sediaan sederhana Metode formulasi Formulasi Penapisan tanaman Brucea javanica Piper aduncum Tephrosia vogelii Tunggal Kombinasi campuran Campuran Formulasi Ekstrak

Keamanan di lingkungan

Pem b u atan f o rm u lasi T o k sis itas ter h ad ap m u su h a la m i Per sis ten si Fit o to k sis ita s ter h ad ap tan am an E fek let al Toksisitas


(29)

1.6 Daftar Pustaka

Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). JHPT Trop 10:1-12.

Arnason JT, Mackinnon S, Durst A, Philogene BJR, Hasbun C, Sanchez P, Poveda L, San Roman L, Isman MB, Satasook C et al. 1993. Insectisides in tropical plants with non-neurotoxic modes of action. In Downum KR, Romeo JT, Stafford HAP, editor. Phytochemical Potential of Tropical Plants. 27:107-151 New York (US): Plenum Press.

Badan Pusat Statistik (BPS). [tanpa tahun]. Hortikultura, Produksi Sayuran dan Buah-Buahan Semusim di Indonesia. http://www.bps.go.id/ tab_sub/ view.php? kat=3 &tabel=1&daftar=1&id_subyek=55&notab=70. Diakses pada 18 Juni 2014

Bernard CB, Arnason JT, Philogène BJR, Lam J, Waddell T. 1990. In vivo effect of mixtures of allelochemicals on the life cycle of the European corn borer, Ostrinia nubilalis. Entomol Exp Appl 57:17-22.

Bernard CB, Krishnamurty HG, Chauret D, Durst T, Philogene BJR, Vindas PS, Hasbun C, Poveda L, Roman LS, Arnason JT. 1995. Insecticidal defenses of Piperaceae from the Neotropics. J Chem Ecol 21:801-814.

Bommarco R, Kleijn D, Potts SG. 2013. Ecological intensification: harnessing ecosystem services for food security. Trends in Ecology and Evolution 28(4):230-238

Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions. J Agric Food Chem 188(3): 385-390.

Dethier VG. 1970. Chemical Interactions between Plants and Insects, in Chemical Ecology. Sondheimer E and Simeone JB., editors. New York (US): Academic Press. Pp 83-99.

Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Deptan. 2004. Diplomasi Indonesia disektor Pertanian, pada Forum Kerja Sama Internasional. Jakarta (ID):PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Ehrlich PR, Raven PH. 1964. Butterflies and Plants: a study in coevolution. Evolution 18:586-608.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Adaptation to climate change in agriculture, forestry and fisheries. Rome (IT): FAO.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Food security and agricultural mitigation in developing countries:options for capturing synergies. Rome (IT): FAO.

Feeny P. 1970. Biochemical Coevolution Between Plants and their Insect Herbivores. In Gilbert LE, Raven PH, editors. Coevolution of Animals and Plants. Austria (AT) & London (GB): LondonUniversity of texas Press. Fraenkel G. 1969. Evaluation of our thoughts on secondary plant substances. Ent.


(30)

Gaskins MH, White GA, Martin FW, Delfel NE, Ruppel EG, Barnes DK. 1972. Tephrosia vogelii: A Source of Rotenoids for Insecticidal and Piscicidal Use. Washington DC (US): United States Department of Agriculture. Grainge M, Ahmed S. 1988. Handbook of Plants with Pest Control Properties.

New York (US): J Wiley

Guo Z, Vangapandu S, Sindelar RW, Walker LA, Sindelar RD. 2005. Biologically active quassinoids and their chemistry: Potential Leads for drug design. Current Medicinal Chemistry 12:173-190.

Hasyim DM. 2011. Potensi buah sirih hutan (Piper aduncum) sebagai insektisida botani terhadap larva Crocidolomia pavonana [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid ke-2. Badan Litbang Kehutanan, penerjemah. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Warna Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten van Ned-Indië.

Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative phosphorylation. Di dalam: Krieger R, Doull J, Ecobichon D, Gammon D, Hodgson et al., editor. Handbook of Pesticide Toxicology. Vol 2: 1169-1227. San Diego (US): Academic Press.

Kato MJ, Furlan M. 2007. Chemistry and evolution of the Piperaceae. Pure Appl Chem 79:529–538.

Kementrian Lingkungan Hidup. 2007. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Kementrian Lingkungan Hidup.

Lambert N, Trouslot MF, Campa CN, Chrestin H. 1993. Production of rotenoids by heterotrophic and photomixotrophic cell cultures of Tephrosia vogelii. Phytochemistry 34:1515-1520.

Leskinen V, Polonsky J, Bhatnagar S. 1984. Antifeedant activity of quassinoids. Journal of Chemical Ecology 10(10).

Lina EC, Arneti, Prijono D, Dadang. 2010. Potensi Insektisida Melur (Brucea javanica L. Merr) dalam mengendalikan hama kubis Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Crambidae) dan Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae). Jurnal Natur Indonesia 12(2): 109-116.

Matsumura F. 1985. Toxicology of Insecticides. 2nd Edition. New York (US): Plenum Press.

Metcalf RL. 1967. Mode of action of insecticide synergists. Annu Rev Entomol 12:229-256.

Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. In Metcalf RL, Luckman WH, editor. Introduction to Insect Pest Management. 2nd Edition. New York (AS): J Wiley. Pp 217-253.

Mollet H, Grubenmann. 2001. Formulation Technology: Emulsion, Suspensions, Solid Forms. Wiley-VCH Verlag.

Padua LS, Bunyapraphatsara N. 1999. Plant resources of south-east asia (medicinal and poisonous plants 1): Simaroubaceae. Lemmens RHMJ, editor. Netherlands (NL): buckhuys publishers. Pp 272-275.

Parmar BS. 1995. Result with commercial neem formulation produced in India. In Schmutterer H, editor. The Neem Tree Azadirachta indica A. Juss. And Other Meliaceous Plants: Sources of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. Germany (DE) VCH. Pp 453-470.


(31)

Perry AS, Yamamoto I, Ishaaya I, Perry RY. 1998. Insecticides in Agriculture and Environment: Retrospects and Prospects. Berlin (DE): Springer-Verlag. Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: CRC

Press.

Prijono D. 2002. Pengujian Keefektifan Campuran Insektisida: Pedoman bagi Pelaksana Pengujian Efikasi untuk Pendaftaran Pestisida. Bogor (ID): Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Prijono D, Sudiar JI, Irmayetri. 2006. Insecticidal activity of Indonesian plant extracts against the cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). J ISSAAS 12 (1): 25-34.

Rauf A, Prijono D, Dadang, Winasa IW, Russell IW. 2005. Survey of pesticide use by cabbage farmers in West Java, Indonesia [research report]. Bogor (ID): Department of Plant Pests and Diseases, Bogor Agricultural University.

Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama kubis dan pengendaliannya. Di dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, editor. Bandung (ID): Balithor Lembang. Hlm 39-50.

Scott IM, Jensen HR, Philogene BJR, Arnason JT. 2007. A review of Piper spp. (Piperaceae) phytochemistry, insecticidal activity and mode of action. Phytochem Rev 7: 65-75.

Schmutterer H, editor. 1995. The Neem Tree, Azadirachta indica A. Juss, and Other Meliaceous Plants: Sources of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. Weinheim (DE): VCH.

Sileshi G, Mafongoya PL, Chintu R, Akinnifesi FK. 2008. Mixed-species legume fallows effect faunal abundance and richness and N cycling compared to single species in maize-fallow rotations. Soil Biology & Biochemistry 40:3065-3075.

Smith AE, Secoy DM. 1975. Forerunners of pesticides in classical Greece and Rome. J Agric Food Chem 23:1050-1055.

Uhan TS. 1993. Kehilangan hasil panen karena ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell) dan cara pengendaliannya. J Hort 3:22-26.

Van der Meijden E. 1996. Plant defence, an evolutionary dilemma: contrasting effect of (specialist and generalist) herbivores and natural enemies. Entomologia Experimentalis et Applicata 80: 307-310.

Waxman MF. 1998. The Formulator’s Toolbox-Product Form for Modern Agriculture. In Brooks GT dan Roberts TR, editor. Pesticide Chemistry and Bioscience. London (GB): RSC. Pp. 120-126.

Whittaker RH, Feeny PP. 1971. Allelochemics: chemical interaction between species. Science 171: 757-770.


(32)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tantangan dan Peluang Sektor Pertanian

Tantangan yang dihadapi sektor pertanian saat ini adalah kecukupan pangan global dan perubahan iklim. Kebutuhan pangan 9.1 miliar manusia pada tahun 2050 menuntut peningkatan hasil produksi pertanian secara signifikan. Sementara itu perubahan iklim menjadi kendala dalam budidaya tanaman dan memberi tekanan langsung pada sektor pertanian dalam upaya peningkatan hasil produksi. FAO (2007) menjelaskan bahwa pemanasan global menyebabkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Akibatnya terjadi perubahan sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai.

Kejadian iklim ekstrim berdampak pada kegagalan panen, terutama pada saat musim hujan dan musim kemarau. Gagal panen dapat mengancam kecukupan dan keamanan pangan dunia jika tidak segera dicari solusi yang tepat. Indonesia sebagai negara agraris, dimana pertanian memainkan peran penting bagi kedaulatan pangan, berupaya mengatasi kendala akibat perubahan iklim dengan melakukan berbagai program adaptasi untuk memperkuat ketahanan sektor pertanian. Program adaptasi tersebut antaralain meningkatkan manajemen data dan informasi, manajemen usaha tani, manajemen sarana dan prasaranan irigasi, manajemen kelembagaan, penelitian, sosialisasi, advokasi dan lain-lain. Dalam manajemen usahatani secara lebih detail dijelaskan beberapa bentuk implementasi adaptasi, yaitu usaha tani hemat air dengan mengurangi tinggi genangan pada lahan sawah, membenamkan sisa tanaman ke tanah sebagai penambah bahan organik tanah untuk meningkatkan kesuburan, pengolahan tanah minimum (TOT/tanpa olah tanah) atau tabur benih langsung (TABELA), mengembangkan system rice intensification (SRI) dan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), menerapkan good agricultural practices (GAP) guna revitalisasi sistem usaha tani yang berorientasi pada konservasi fungsi lingkungan hidup (KLH 2007).

Upaya lain yang diperkirakan mampu menjawab tantangan kebutuhan pangan dan perubahan iklim adalah intensifikasi ekologi sebagai pendekatan pertanian. Intensifikasi ekologi bertujuan meningkatkan/menambah hasil panen dengan meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan. Latar belakang konsep intensifikasi ekosistem adalah kondisi pertanian saat ini dimana hasil produksi menurun akibat terjadi selisih antara hasil potensial dengan hasil aktual di lapangan. Pertanian modern berusaha menghilangkan selisih tersebut dengan mengganti fungsi biologi yang disediakan oleh ekosistem yang beragam dengan input eksternal. Input eksternal seperti irigasi, pupuk sintetik, pestisida sintetik, rekayasa genetika, pengolahan tanah dan lain-lain menyebabkan keragaman hayati terdegradasi secara luas dan ekosistem yang menyokong dan berkontribusi terhadap kehidupan manusia akan terkikis (Bommarco et al. 2013).

Intensifikasi ekologi sebagai pendekatan pertanian artinya melakukan manajemen terpadu jasa ekosistem yang diantarkan oleh keragaman hayati ke


(33)

dalam sistem produksi tanaman. Organisme yang ada di alam berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung terhadap produksi pertanian, sehingga dapat menekan selisih hasil potensial dengan hasil aktual. Implementasi di lapangan antara lain adalah penerapan pengendalian hama terpadu, konservasi penyiapan lahan, diversifikasi rotasi tanaman dan penutup tanah (mulsa), penggunaan pupuk dan insektisida yang ramah lingkungan. Di luar lapangan adalah dengan peningkatan kuantitas habitat seminatural dan peningkatan penelitian di bidang pertanian. Pertanian yang produktif, stabil, dan kokoh ketika diterpa pengaruh lingkungan merupakan tujuan pertanian di masa mendatang.

Selain perubahan iklim dan kecukupan pangan, pasar global yang saat ini masuk tanpa bisa dicegah turut memberi tekanan yang bersifat tidak langsung di sektor pertanian. Pasar global membuat batas-batas antar negara semakin menipis dan terintegrasinya pasar domestik dengan pasar internasional. Peluang pasar internasional semakin terbuka bagi produk dalam negeri begitu juga sebaliknya. Kualitas produk menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi agar dapat bersaing dengan produk dari negara lain. Organisasi perdagangan internasional world trade organization (WTO) mengatur hal tersebut dengan membuat persetujuan sanitary and phytosanitry (SPS). SPS berisi perjanjian untuk memperlakukan peraturan sanitasi dan phitosanitasi guna melindungi keselamatan dan kesehatan konsumen, hewan, tanaman, dan lingkungan hidup yang dilandasi oleh perinsip kajian ilmiah untuk kelancaran perdagangan komoditi pertanian pangan (Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2004).

Di negara berkembang produktivitas pertanian mendekati level maksimum, tetapi masih tergantung pada input eksternal seperti pupuk dan pestisida sintetik yang membebani biaya produksi. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangan serangga lebih banyak terjadi pada ekosistem pertanian dibandingkan dengan di alam. Meskipun insektisida sintetik digunakan secara intensif, kehilangan hasil akibat serangan serangga di Amerika mencapai 13%, sedangkan persentase kehilangan hasil seluruh dunia berkisar 15% atau lebih (Schoonhoven 2005). Penggunaan insektisida sintetik tidak dapat mengatasi kehilangan hasil dalam budidaya pertanian, bahkan menyebabkan dampak negatif yang merugikan seperti resistensi dan resurjensi hama sasaran, terbunuhnya musuh alami dan organisme bukan sasaran lainnya, pencemaran lingkungan serta bahaya residu pada hasil panen (Metcalf 1982). Bahkan diketahui insektisida tertentu seperti DDT dan BHC dapat merangsang perkembangan sel kanker, misalnya kanker kulit, kanker hati, kanker paru, dan kanker limfa (Matsumura 1985; Kuroki 1998).

Uraian mengenai perlindungan kesehatan konsumen dalam SPS, dapat diterjemahkan sebagai perlindungan dari resiko produk pertanian atau makanan yang terkontaminasi residu pestisida. Negara maju membatasi penggunaan pestisida sintetik, terutama untuk produk pertanian pangan. Di Kanada, Badan yang berwenang terhadap kesehatan manusia dan lingkungan melarang penggunaan beberapa insektisida sintetik di beberapa kota tertentu. Pemerintah federal mengeluarkan aturan untuk membuat pestisida yang beresiko rendah atau pestisida non konvensional. Di Amerika juga terjadi perubahan peraturan terkait proses pendaftaran pestisida yang lebih mendukung produk dengan resiko rendah, yang mensyaratkan produk generally regarded as safe (GRAS) dan mengizinkan pendaftaran biopestisida dan pestisida nabati dalam kategori berbeda dari


(34)

pestisida konvensional. Ke depannya produk pestisida nabati diterima dan disarankan untuk pertanian organik yang tidak mengizinkan penggunaan pestisida sintetik (Scott et al 2007). Pada pertanian organik, organisme pengganggu tanaman (OPT) diatasi dengan teknologi ramah lingkungan yang sesuai dengan prinsip kesehatan dan ekologi (Mayrowani 2012). Dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 disebutkan, penggunaan insektisida nabati adalah salah satu alternatif pengendalian yang memenuhi kriteria ramah lingkungan.

Solusi yang tepat sangat diperlukan terkait persoalan perubahan iklim dan adaptasi sektor pertanian, tuntutan kualitas produk di pasar global, berkembangnya pertanian organik, dan serangan hama C. pavonana. Penggunaan insektisida nabati dapat dijadikan alternatif pengendalian karena kelompok insektisida ini bersifat lebih spesifik bila dibandingkan dengan insektisida sintetik, tidak mencemari lingkungan (fisik) karena mudah terurai di alam, dan tidak cepat menimbulkan resistensi, serta aman terhadap musuh alami (Coats 1994; Prakash dan Rao 1997; Isman 2006).

2.2 Potensi Senyawa Sekunder Tanaman

Senyawa primer dan sekunder dihasilkan oleh tanaman melalui lima jalur biosintesis, yaitu metabolisme gula, lintasan asetat malonat, lintasan asetat mevalonat, lintasan sikimat, dan metabolisme asam amino (Vickery dan Vickery 1981; Kaufman et al 1998). Metabolit primer utama pada tanaman adalah protein, karbohidrat, dan lemak yang secara keseluruhan berperan dalam proses fisiologi tanaman, sedangkan metabolit sekunder dianggap sebagai waste product yang tidak memiliki arti penting bagi kebutuhan nutrisi (Vickery dan Vickery 1981). Saat ini diketahui bahwa metabolit sekunder tanaman juga berperan dalam metabolisme primer tanaman. Sebagai contoh, Catharanthus roseus mengandung lebih dari 100 monoterpenoid indol alkaloid, dan Vitis vinifera mengakumulasikan lebih dari 200 aglikon yang berkonjugasi dengan gula. Keberadaan metabolit sekunder banyak berperan dalam sistem pertahanan tanaman terhadap serangga dan organisme pengganggu tanaman (OPT) lainnya (Schoonhoven 2005).

Berdasarkan jalur pembentukannya, metabolit sekunder diklasifikasikan menjadi: 1) senyawa mengandung nitrogen, 2) terpenoid, 3) komponen fenolik, dan 4) komponen asetilen (Schoonhoven 2005). Alkaloid merupakan komponen yang mengandung nitrogen yang dibedakan berdasarkan asam amino prekursor pembentuknya yaitu lisine, tirosin, triptofan, histidin, dan ornitin. Alkaloid ini memiliki ciri yaitu rasa yang pahit dan kebanyakan bersifat deterent bahkan toksik bagi serangga. Sekitar 20% angiosperma memproduksi alkaloid untuk melindungi biji dari serangan serangga atau musuh alami lainnya. Nikotin dari Nicotiana rustica dan N. tabacum bersifat toksik terhadap serangga melalui pengikatan reseptor asetilkolin pada sistem syaraf serangga (Prakash dan Rao 1997).

Terpenoid merupakan kelompok terbesar dari metabolit sekunder (30.000 jenis). Terpenoid dibentuk melalui lintasan mevalonat menjadi sesquiterpen, triterpen, sterol, dan politerpen. Terpenoid ditemukan pada tanaman dalam bentuk campuran yang kompleks. Salah satu contoh terpenoid adalah Kuasinoid yaitu turunan triterpenoid yang mengalami oksidasi dan degradasi pada sejumlah rantai karbonnya sehingga memiliki atom karbon yang jumlahnya kurang dari 30 (Harbone 1999). Leskinen et al. (1984) mempublikasikan bahwa kuasin X bersifat


(35)

antifeedant terhadap larva instar 4 kumbang Epilachna varivestis (Coleoptera: Coccinellidae) dan larva instar 5 Spodoptera eridania (Lepidoptera: Noctuidae). Jacobson (1990) melaporkan bahwa ekstrak aseton dari seluruh bagian tanaman Ailanthus altissima menghambat perkembangan larva kumbang Popilia japonica (Coleoptera: Scarabaeidae).

Senyawa fenol memiliki cincin aromatik dengan satu atau lebih kelompok hidroksil banyak dijumpai pada tanaman. Yang paling banyak ditemukan adalah flavonoid dan disimpan di vakuola sel. Flavonoid diklasifikasikan menjadi: flavon (luteolin), flavanon (naringenin), flavonol (kaemperol), antosianin, dan kalkon. Flavonoid biasanya memberi warna pada tanaman dan bersifat toksik dan feeding deterent bagi serangga, contoh yang paling terkenal adalah rotenon. Sebaliknya ada juga beberapa serangga monofag dan polifag menjadikan flavonoid sebagai sinyal penemuan inang dan merangsang makan. Akar tuba (Derris elliptica) merupakan salah satu sumber rotenon yang banyak digunakan untuk pengendalian hama dan sebagai racun ikan (Matsumura 1985).

Komponen asetilen banyak ditemukan pada tanaman Asteraceae dan Apiaceae dan bersifat toksik terhadap serangga. Komponen lain yang ditemukan pada sebagian kecil tanaman adalah Glukosinolat dan Sianogenik. Glukosinolat pada tanaman famili Brassicaceae bersifat toksik bagi serangga generalis dan spesialis yang hidup ditanaman lain, sebaliknya bersifat perangsang makan dan peletakkan telur bagi serangga spesialis yang hidup pada famili Brassicaceae. Diperkirakan ada 11% dari seluruh tanaman yang ada mengandung sianogenik, senyawa ini berpotensi sebagai feeding deterrent bagi beberapa serangga.

Pemanfaatan metabolit sekunder tanaman sebagai agen pengendalian serangga hama telah diketahui sejak zaman Yunani dan Romawi, jauh sebelum era insektisida sintetik. Pada zaman Yunani dan Romawi klasik ampas zaitun, mentimun liar, dan bawang putih digunakan untuk mengendalikan beberapa jenis hama tanaman, termasuk ulat dan belalang (Smith dan Secoy 1975). Piretrin, nikotin, dan rotenon merupakan bahan aktif penting insektisida nabati yang sering digunakan dalam pengendalian hama di berbagai bagian dunia sebelum tergeser oleh insektisida sintetik pada tahun 1950-an (awal masa keemasan insektisida sintetik). Saat ini perkembangan insektisida nabati semakin pesat seiring dengan kesadaran akan bahaya residu pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan. Perkembangan itu ditandai dengan insektisida nabati berbahan aktif azadirahtin (dari mimba) yang telah diproduksi secara komersial (Schmutterer 1995).

2.3 Bioaktivitas Insektisida Nabati terhadap Serangga

Metabolit sekunder tanaman memiliki fungsi allelokemik, yaitu senyawa kimia yang menghubungkan dua organisme dari jenis yang berbeda. Kogan (1982) membagi allelokimia menjadi dua bagian besar yaitu allomon dan kairomon. Allomon memberikan keuntungan bagi organisme yang menghasilkan dalam hal ini tumbuhan karena dapat mengganggu perilaku pemilihan tanaman oleh serangga atau disebut antisenotik dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan serangga atau disebut antibiotik. Kairomon memberikan keuntungan bagi organisme yang menerimanya berupa orientasi ke tanaman, memperlambat dan menghentikan gerakan, merangsang makan, dan merangsang peletakan telur.


(36)

Lebih dari 2400 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida (Grainge dan Ahmed 1988). Bahan pestisida pada tanaman mempengaruhi serangga dengan sifatnya sebagai antifeedant, pengaruh letal, penghambat peneluran, aktivitas pengaturan pertumbuhan, dan aktivitas penghambat reproduksi. Sifat ini bekerja secara tunggal atau gabungan dari beberapa sifat.

Pengaruh letal dimiliki oleh sebagian besar senyawa tumbuhan, kematian serangga terjadi ketika senyawa tersebut masuk melalui pencernaan atau masuk melalui kutikula (efek kontak). Kematian yang cepat terjadi pada serangga yang diberi perlakuan piretrin karena fungsi saluran ion Na+ pada akson syaraf terganggu (Matsumura 1985). Banyak senyawa tumbuhan bersifat menghambat makan bagi serangga, seperti senyawa dari golongan terpenoid, alkaloid, quinon dan flavonoid (Harborne 1999). Contoh yang paling terkenal adalah penghambat makan dari golongan terpenoid yaitu azadirakhtin yang telah di formulasi secara komersial (Schmutterer 1995). Penghambatan makan menyebabkan serangga makan sedikit atau tidak makan sama sekali, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Lina et al. (2006) melaporkan penghambatan pertumbuhan dan perkembangan Spodoptera litura yang diberi perlakuan fraksi aktif Aglaia harmsiana (Meliaceae). Aktivitas lain yang ditemukan pada senyawa dari tumbuhan adalah penghambat peneluran. Bagi serangga, strategi ini merupakan upaya imago untuk menjaga kelangsungan hidup keturunannya, sebagai contoh ekstrak daun kenikir Cosmos caudatus (Asteraceae) pada konsentrasi 0.5% menghambat peneluran seluruh imago betina C. pavonana dengan persen penghambatan 94.5% (Suhaendah 2001). Berbagai efek yang ditimbulkan oleh senyawa tumbuhan dapat menyebabkan penghambatan reproduksi berupa lama hidup yang menurun dan rendahnya produksi telur oleh imago betina. Penghambatan reproduksi ini bisa juga disebabkan oleh sifat ekstrak itu sendiri. Syahputra et al. (2002) menyebutkan bahwa senyawa aktif Dysoxylum acutangulum yang masuk ke dalam tubuh larva C. pavonana dapat menurunkan reproduksi imago betina akibat terganggunya hormon juvenil dan atau hormon ekdison yang mengendalikan proses reproduksi.

Tumbuhan yang diketahui memiliki potensi insektisida diantara banyak tanaman lainnya adalah Brucea javanica [L.] Mer (Simaroubaceae), Tephrosia vogelii J. D. Hooker (Leguminosae), dan Piper aduncum L (Piperaceae).

2.3.1 Brucea javanica [L.] Mer (Simaroubaceae)

Famili Simaroubaceae dikenal secara luas sebagai tanaman dengan khasiat obat (Padua dan Bunyapraphatsara 1999). Tanaman ini dicirikan dengan rasa pahit yang bersumber dari senyawa kuasinoid yang umumnya terkandung hampir di seluruh bagian tanaman. Kuasinoid merupakan turunan triterpenoid yang mengalami oksidasi dan perubahan pada sejumlah rantai karbonnya sehingga memiliki atom karbon yang jumlahnya kurang dari 30 (Harbone 1999). Kuasinoid pertama yang berhasil diisolasi para ahli pada awal tahun 1930-an adalah komponen kuasin dari kayu Quassia amara. Kemudian isolasi kuasinoid terus berkembang setelah tahun 1960-an sejak ditemukan teknik fisika modern seperti Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Sebagai contoh, Polonsky (1979) berhasil mengisolasi kuasinoid C25 dari daun Samadera tomentosa menggunakan data


(1)

Lampiran 19 Pendapat petani tentang formulasi insektisida nabati

Produk

Asal responden

Konvensional Non konvensional Jumlah

responden (%)

Jumlah

responden (% ) Penggunaan

insektisida nabati

ya 30 100.0 30 96.77

Tidak

0 0.00 0 0.00

Cara

mendapatkan insektisida

Membuat sendiri 4 13.33 5 16.13

Membeli

26 86.67 26 83.87

Pertimbangan memilih insektisida

Keampuhan 20 66.67 22 70.97

Praktis 4 13.33 4 12.90

Harga terjangkau 6 20.00 5 16.13

Lampiran 20 Alasan keinginan petani membeli formulasi insektisida yang siap pakai

Alasan Jumlah

responden Persentase (%)

Praktis 23 76.67

Tidak mengetahui cara pembuatannya 3 10.00

Hemat 1 3.33

Efisiensi waktu 1 3.33


(2)

Lampiran 21 Analisis biaya produksi formulasi EC dan biaya pengendalian C. pavonana

Jenis bahan Jumlah Satuan

Harga (Rp)

Total

(Rp) Keterangan Buah Piperaduncum 10 kg 5.000 50.000

Jadi serbuk kering 1 kg

Daun Tephrosia vogelii 2 kg 5.000 10.000

Jadi serbuk kering 0.25 kg

Pelarut

a. Etil asetat 10 liter 35.000 350.000 b. Metanol murni 0.42 liter 131.200 55.104 Pengemulsi Tween 80 0.06 liter 300.000 78.000

Alat alat pengujian

a. Pemeliharaan rotary

evaporator 1 paket 50.000 50.000 b. Pemeliharaan

timbangan analitik 1 paket 15.000 15.000 c. Pemeliharaan grinder 1 25.000 25.000

d. Ayakan 1 5.000 5.000

e. Labu kaca 1 50.000 50.000

f. Botol tempat ekstrak 1 10.000 10.000

g. Spatula 1 12.500 12.500

Tenaga kerja 1 paket 100.000 100.000

Total 810.604

Berdasarkan nilai 2x LC95, formula EC yang jadi 600 mL

Berdasarkan biaya produksi total, harga per mL 1.351,- Rupiah Studi kasus pengujian lapangan:

Formulasi yang digunakan per liter air 7 mL

Total cairan semprot untuk 8 kali penyemprotan 30 liter

Total formulasi yang digunakan 210 mL

Total biaya formula EC (210 mL x Rp. 1.351,-) 283.711 Rupiah Jumlah tanaman brokoli yang di tanam 300 pohon


(3)

Lampiran 22 Analisis biaya produksi formulasi EC dan biaya pengendalian C. pavonana (produksi ke-2)

Jenis bahan Jumlah Satuan

Harga (Rp)

Total

(Rp) Keterangan Buah Piper aduncum 10 kg 5.000 50.000

Jadi serbuk kering 1 kg Daun Tephrosia vogelii 2 kg 5.000 10.000

Jadi serbuk kering 0.25 kg

Pelarut

a. Etil asetat 2 liter 35.000 70.000

b. Metanol murni 0.42 liter 131.200 55.104 Pengemulsi Tween 80 0.06 liter 1.300.000 78.000

Alat alat pengujian

a. Pemeliharaan rotary

evaporator 1 paket 50.000 50.000 b. Pemeliharaan timbangan

analitik 1 paket 15.000 15.000

c. Pemeliharaan grinder 1 25.000 25.000

d. Ayakan 1 5.000 5000

e. Labu kaca 1 50.000 50.000

f. Botol tempat ekstrak 1 10.000 10.000

g. Spatula 1 12.500 12.500

Tenaga kerja 1 paket 100.000 100.000

Total 530.604

Berdasarkan nilai 2x LC95, formula EC yang jadi 600 mL

Berdasarkan biaya produksi total, harga per mL Rp. 884 Studi kasus pengujian lapangan:

Formulasi yang digunakan per liter air 7 mL

Total cairan semprot untuk 8 kali penyemprotan 30 liter

Total formulasi yang digunakan 210 mL

Total biaya formula EC (210 mL x Rp.884,-) 185.711 Rupiah

Jumlah tanaman brokoli yang di tanam 300 pohon


(4)

Lampiran 23 Analisis biaya produksi formulasi WP dan biaya pengendalian C. pavonana

Jenis bahan Jumlah Satuan

Harga (Rp)

Total

(Rp) Keterangan Buah Piperaduncum 10 kg 5.000 50.000

Jadi serbuk kering 1 kg Daun Tephrosia vogelii 2 kg 5.000 10.000

Jadi serbuk kering 0.25 kg

Pelarut

a. Etil asetat 10 liter 35.000 350.000

b. Aseton murni 0.6 liter 150.000 90.000

Pengemulsi Tween 80 0.06 liter 300.000 78.000

Pembawa, kaolin 0.42 kg 15.000 6.300

Alat alat pengujian

a. Pemeliharaan rotary

evaporator 1 paket 50.000 50.000 b. Pemeliharaan

timbangan analitik 1 paket 15.000 15.000

c. Pemeliharaan grinder 1 25.000 25.000

d. Ayakan 1 5.000 5.000

e. Labu kaca 1 50.000 50.000

f. Botol tempat ekstrak 1 10.000 10.000

g. Spatula 1 12.500 12.500

Tenaga kerja 1 paket 100.000 100.000

Total 851.800

Berdasarkan nilai 2x LC95, formula WP yang jadi 600 g

Berdasarkan biaya produksi total, harga per gr 1.420,- Rupiah Studi kasus pengujian lapangan:

Formulasi yang digunakan per liter air 6.2 mL Total cairan semprot untuk 8 kali penyemprotan 30 Liter

Total formulasi yang digunakan 186 mL

Total biaya formula EC (186 mL x Rp. 1.420,-) 264.058 Rupiah Jumlah tanaman brokoli yang di tanam 300 pohon


(5)

Lampiran 24 Analisis biaya produksi formulasi WP dan biaya pengendalian C. pavonana (produksi ke-2)

Jenis bahan Jumlah Satuan

Harga (Rp)

Total

(Rp) Keterangan Buah Piperaduncum 10 kg 5.000 50.000

Jadi serbuk kering 1 kg Daun Tephrosia vogelii 2 kg 5.000 10.000

Jadi serbuk kering 0.25 kg

Pelarut

a. Etil asetat 2 liter 35.000 70.000

b. Aseton murni 0.24 liter 150.000 36.000

Pengemulsi Tween 80 0.06 liter 300.000 78.000

Pembawa, kaolin 0.42 kg 15.000 6.300

Alat alat pengujian

a. Pemeliharaan rotary

evaporator 1 paket 50.000 50.000 b. Pemeliharaan

timbangan analitik 1 paket 15.000 15.000

c. Pemeliharaan grinder 1 25.000 25.000

d. Ayakan 1 5.000 5.000

e. Labu kaca 1 50.000 50.000

f. Botol tempat ekstrak 1 10.000 10.000

g. Spatula 1 12.500 12.500

Tenaga kerja 1 paket 100.000 100.000

Total 485.300

Berdasarkan nilai 2x LC95, formula WP yang jadi 600 g

Berdasarkan biaya produksi total, harga per gr 809,- Rupiah Studi kasus pengujian lapangan:

Formulasi yang digunakan per liter air 6.2 mL Total cairan semprot untuk 8 kali penyemprotan 30 Liter

Total formulasi yang digunakan 186 mL

Total biaya formula EC (186 mL x Rp. 809,-) 150.443 Rupiah Jumlah tanaman brokoli yang di tanam 300 pohon


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 Januari 1976 sebagai anak sulung dari pasangan Dahali Syarif dan Sumijati Mansur. Pendidikan sarjana diselesaikan penulis pada tahun 1999 di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelah bekerja selama satu tahun di PT. Phillip Seafood Indonesia, pada tahun 2000 penulis melanjutkan Pendidikan Magister Sains pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi, IPB dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.

Tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi IPB. Dalam mengikuti Program Doktor, penulis menjadi Ketua Forum Wacana Entomologi/Fitopatologi dan aktif pada berbagai kegiatan kemahasiswaan. Beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan topik disertasi ini telah dipublikasikan dan dipresentasikan pada beberapa terbitan dan pertemuan ilmiah.

Artikel publikasi dengan judul:

1. Synergistic action of mixed extracts of Brucea javanica (Simaroubaceae) against cabbage head caterpillar Crocidolomia pavonana, diterbitkan pada Journal of Biopest 6(1):77-83

2. Gangguan fisiologi dan biokimia Crocidolomia pavonana akibat pengaruh ekstrak Tephrosia vogelii dan Piper aduncum, akan diterbitkan pada terbitan ilmiah Jurnal Entomologi Indonesia

Artikel presentasi dengan judul:

1. Joint Action of Mixed Extracts of Brucea javanica (Simaroubaceae), Piper aduncum (Piperaceae), and Tephrosia vogelii (Leguminosae) as Botanical Insecticide against Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia pavonana. The ISSAAS International Symposium and Congress 2011, Bogor, Indonesia 7-10 November 2011.

2. Aktivitas Beberapa Campuran Ekstrak Brucea javanica (Simaroubaceae),

Piper aduncum (Piperaceae), dan Tephrosia vogelii (Leguminosae) terhadap Hama Kubis Crocidolomia pavonana. Kongres VIII dan Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), Bogor, Indonesia 24-25 Januari 2012.

Paten:

1. Formulasi Campuran Insektisida Botani dari Ekstrak Tanaman Sirih Hutan (Piper aduncum) dan Kacang Babi (Tephrosia vogelii) (No. P0020134605)


Dokumen yang terkait

Formulasi Ekstrak Tanaman Aglaia Odorata Dan Piper Aduncum Untuk Pengendalian Ulat Krop Kubis Crocidolomia Pavonana (F) (Lepidoptera Crambidae)

0 2 46

Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan Buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap Larva Crocidolomia pavonana

0 4 87

Perbandingan kandungan senyawa rotenoid dan aktivitas insektisida ekstrak Tephrosia vogelii terhadap hama kubis Crocidolomia pavonana

0 5 50

Keefektifan ekstrak lima spesies piper (PIPERACEAE) untuk meningkatkan toksisitas ekstrak tephrosia vogelii terhadap hama kubis crocidolomia pavonana

0 3 11

Keefektifan ekstrak tephrosia vogelii, piper aduncum, dan campurannya untuk mengatasi hama plutella xylostella yang resisten terhadap insektisida komersial

0 3 18

Kesesuaian Ekstrak Piper spp. (Piperaceae) untuk Meningkatkan Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii terhadap Ulat Krop Kubis, Crocidolomia pavonana

1 11 52

Sifat Aktivitas Campuran Ekstrak Buah Piper Aduncum (Piperaceae) Dan Daun Tephrosia Vogelii (Leguminosae) Terhadap Larva Crocidolomia Pavonana

1 8 41

Pengembangan Potensi Insektisida Melur (Brucea javanica) untuk Mengendalikan Hama Kubis Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae ) dan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae).

0 3 18

Synergistic action of mixed extracts of Brucea javanica (Simaroubaceae), Piper aduncum (Piperaceae), and Tephrosia vogelii (Leguminosae) against cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana - Repositori Universitas Andalas

1 1 7

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN FORMULASI EC CAMPURAN Piper aduncum dan Tephrosia vogelii TERHADAP LARVA Crocidolomia pavonana Fabricius (LEPIDOPTERA : CRAMBIDAE) SKRIPSI

0 0 44