85
Morta li
tas
Waktu pengamatan hari
Waktu pengamatan hari Morta
li tas
yang konstan saat aplikasi Bohmont 1997. Pada formulasi WP juga teramati lapisan minyak sebanyak 1 mL baik pada air suling maupun air sadah yang mulai
muncul pada menit ke 15. Pada menit ke 20 lapisan yang muncul sebanyak 1 mL dan tidak bertambah hingga satu jam pengamatan Gambar 5.3.
5.3.4 Toksisitas Formulasi terhadap Crocidolomia pavonana
Pengujian formulasi EC dan WP terhadap larva C. pavonana menunjukkan pola kematian seperti tampak pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5. Kematian larva
C. pavonana akibat perlakuan dengan formulasi EC dan WP menunjukkan pola yang sama. Kematian larva C. pavonana mulai terjadi pada hari pertama
perlakuan dan meningkat tajam pada hari kedua perlakuan. Pada hari ketiga dan seterusnya penambahan mortalitas larva sangat rendah bahkan pada beberapa
konsentrasi tidak ada penambahan mortalitas sama sekali.
Gambar 5.4 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana akibat perlakuan formulasi EC campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum 1:5
Gambar 5.5 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana akibat perlakuan formulasi WP campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum 1:5
86 Kematian yang konstan setelah hari kedua disebabkan karena pada hari
pertama dan kedua, larva uji diberi pakan daun berperlakuan sedangkan pada hari ketiga daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan. Akibatnya larva uji
yang tidak mati ketika memakan daun perlakuan akan kembali pulih dan bertahan hidup. Cara kerja ini menunjukkan bahwa sifat ekstrak lebih bersifat toksik
dibandingkan sebagai penghambat pertumbuhan dan perkembangan Lina et al. 2006, Lina et al. 2008.
Kematian larva C. pavonana pada perlakuan formulasi EC dan WP disebabkan oleh senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak penyusun formulasi
yaitu T. vogelii dan P. aduncum. Campuran T. vogelii : P. aduncum 1:5 selain bersifat toksik juga bekerja dengan cara fasilitasi. Fasilitasi itu terjadi dimana
bahan aktif dari P. aduncum menghambat aktivitas enzim yang menguraikan senyawa toksik pada tubuh serangga, akibatnya bahan aktif T. vogelii tidak terurai
dengan baik sehingga bisa masuk menuju sasaran dan bekerja dengan maksimal. Senyawa lignan yang mengandung gugus metilendioksifenil yang terdapat dalam
ekstrak P. aduncum dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450, dan menurunkan daya racun senyawa asing Metcalf 1967; Bernard et al. 1989.
Menurut Bernard et al. 1990 dilapiol yang berasal dari P. aduncum dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 dalam sediaan mikrosom dari sel-sel
saluran pencernaan larva penggerek batang jagung O. nubilalis. Oleh karena itu, ekstrak P. aduncum yang mengandung dilapiol berpotensi sinergis bila
dicampurkan dengan ekstrak tumbuhan lain.
Penghambatan enzim yang berperan dalam detoksifikasi komponen xenobiotic pada C. pavonana memberikan keleluasaan bagi bahan aktif T. vogelii
yaitu rotenon dan senyawa rotenoid lain yang bersifat insektisida seperti deguelin dan tefrosin Delfel et al. 1970; Gaskins et al. 1972; Lambert et al. 1993 untuk
bekerja menuju sasaran. Rotenon memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga sebagai racun perut dan racun kontak Perry et
al. 1998. Pada tingkat sel, rotenon menghambat transfer elektron antara NADH dehidrogenase dan koenzim Q pada kompleks I dari rantai transpor elektron di
dalam mitokondria Hollingworth 2001. Hambatan terhadap proses respirasi sel tersebut menyebabkan produksi ATP menurun sehingga sel kekurangan energi
yang selanjutnya dapat menyebabkan kelumpuhan berbagai sistem otot dan jaringan lainnya pada akhirnya menyebabkan kematian larva uji.
P. aduncum selain berperan sebagai sinergis juga mematikan serangga uji dengan kerja sebagai racun syaraf. Senyawa piperamida dari famili Piperaceae
guininsin dan piperisida bekerja sebagai racun syaraf yang menghambat aliran impuls syaraf pada akson sehingga menyebabkan kelumpuhan Miyakado et al.
1989; Morgan dan Wilson 1999.
Selain menyebabkan kematian, formulasi EC dan WP juga menghambat pertumbuhan dan perkembangan larva C. pavonana, terutama pada konsentrasi
tinggi. Perubahan larva dari instar 2 menjadi instar 3 membutuhkan waktu sekitar 2 hari pada kontrol, sedangkan pada formulasi EC dan WP berturut-turut 2-4 hari
dan 3-4 hari. Perubahan larva dari instar 2 menjadi instar 4, pada kontrol memerlukan waktu 3 hari sedangkan pada perlakuan formulasi EC dan WP
berturut-turut 4-5 hari dan 5-6 hari Tabel 5.4. Penghambatan perkembangan ini disebabkan karena residu bahan aktif yang masih tertinggal di dalam tubuh
serangga mengganggu fungsi fisiologi serangga uji.