Konflik Suriah Wacana Perang Ideologi pada Konflik Suriah di Media Umat

Damaskus, Aleppo, Dar‘a dan Dirzur. Esok harinya, sekitar 100 pemuda berdemonstrasi di jantung kota Damaskus. Mereka berkumpul di depan kantor kementrian dalam negeri untuk menuntut kebebasan, reformasi politik, dan agar tawanan politik dibebaskan dari penjara. Ratusan aparat membubarkan aksi ini dan menangkap sebagian aktivis. Para pengunjuk rasa juga menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan pemerintahannya, dan mengakhiri hampir lima dekade pemerintahan Partai Baath dan mengganti dengan sistem Islam yang kaffah di bawah naungan Khilafah. Mogok massal dan berkumpul di tempat terbuka juga dilakukan oleh masyarakat di Da r‘a 2332011 dengan berkumpul di mesjid Jamik al- Amru. Hal ini merupakan ―dosa besar‖ di mata rezim Bashar, hingga tentara loyalis rezim memulai serangannya dengan menembak dan melempar bom. Rakyat yang ingin bergabung ke mesjid Jamik al-amru dihadang dengan tembakan, dan ambulans dilarang masuk. Akibatnya puluhan korban tewas sebagai syuhada dan ratusan lainnya terluka barat pada aksi itu. Suriah pada hari-hari berikutnya semakin memanas, setiap hari terjadi demonstrasi dan mogok massal nasional. Sementara jawaban yang diberikan rezim Bashar tidak berubah, tetap pada peluru panas dan senjata berat. Walaupun para pejabat tinggi Suriah dan Bashar tampil silih berganti di layar televisi dengan pernyataan kamuflase, tapi itu semua tak membuat rakyat Suriah untuk mundur dan menghentikan tuntutannya. Rakyat telah sadar bahwa rezim yang ada memilih jalan kekerasan dan darah. Rezim siap membantai rakyatnya sendiri, pasukan keamanan dan aparat intelejen, ratusan ribu loyalis partai Ba‘ats, pemuda partai dan Shabiha geng bayaran piaraan rezim, tentara dengan semua perlengkapan perangnya telah dikerahkan rezim untuk menghentikan perlawanan rakyat. Bahkan pada waktu terakhir rezim Bashar dikabarkan menggunakan senjata kimia untuk menghabisi rakyatnya secara licik. Saat konflik ini mulai mengguncang negara-negara yang memiliki kepetingan di kawasan Suriah. Berbagai strategi politik pun digencarkan. Kelompok Hizbullah Libanon turut serta mengirim milisinya untuk memerangi rakyat Suriah. Begitu pula milisi Syiah Iran juga mengirim pasukan, bantuan logistik, dan persenjataan untuk memepertahankan rezim sektarian Bashar. Rusia pun berdiri di samping rezim Suriah dengan mengirim bantuan senjata, teknologi dan dukungan politik dunia. Amerika sebagai negara yang paling sering mengagung-agungkan nilai perdamain dunia di sisi lain tak banyak bertindak karena adanya kepentingan untuk menjaga entitas Yahudi di perbatasan utara. Amerika berusaha untuk menyesatkan dan menghancurkan kelompok revolusi dengan merajut konspirasi keji. Oposisi politik agen yang mencampur konsep sekuler dengan Islam moderat seperti Dewan Nasional Suriah yang berada di bawah kendali Turki dan Badan Koordinasi yang berada di bawah kendali Iran dibentuk. Tak hanya itu, beberapa pertemuan tingkat dunia juga diselenggarakan oleh negara-negara besar di dunia untuk mencari solusi untuk menghentikan konflik Suriah. Namun, lagi-lagi pertemuan itu hanya usaha yang sia-sia, karena pada faktanya apapun yang direncakan dan dilakukan oleh mereka tak berpengaruh sedikit pun terhadap semangat rakyat Suriah untuk terus melanjutkan dan memenangkan revolusi Islam hingga rezim Bashar jatuh, dan Khilafah berdiri di bumi Syam, ‗Uqru Dar al-Islam. Sementara, Turki dan bangsa Arab yang semula diharapkan berpihak pada rakyat Suriah dan mencegah rezim Bashar membantai rakyat nyatanya tak memeberikan bantuan apapun. Hingga awal April 2014, kelompok pemantau HAM Suriah, Syrian Observatory for Human Rights, seperti yang dilansir Chanel News Asia, Selasa 142014 melaporkan bahwa setidaknya 150 ribu orang telah tewas di perang Ideologi ini. Dari jumlah itu, 51 ribu orang di antaranya adalah warga sipil, termasuk 7.985 anak-anak. 13

C. Konstruksi Pemberitaan Konflik Suriah

Sejak dimulainya demonstrasi hingga konflik berdarah berkecamuk di Suriah, media lokal maupun internasional banyak yang melaporkan peristiwa ini. Media lokal Suriah seperti Al-Watan dan Kantor berita pemerintah Suriah SANA yang pro terhadap pemerintah Assad tak henti- 13 http:international.sindonews.comread2014040143849620konflik-suriah-sudah- telan-korban-150-ribu-jiwa diakses pada 06 mei 2014, pkl. 09:26 wib. hentinya melaporkan bahwa konflik yang terjadi disebabkan oleh para teroris. Adapun media-media internasional seperti Reuters, Agence France-Presse AFP, Associated Press AP, British Broadcasting Corporation BBC, Cable News Network CNN, dan Al Jazeera juga rutin melakukan pelaporan perihal konflik yang telah berlangsung dari tahun 2011 dan telah merenggut tidak kurang dari 150 ribu orang ini. Pemberitaan konflik yang melanda salah satu negeri di Timur Tengah yang sebagian besar rakyatnya beragama Islam ini ini tentu tak luput dari perhatian media-media di Indonesia. Dengan mengambil informasi dari berbagai sumber media internasional, pelbagai media di Indonesia cetak, elektronik, dan internet yang berasas sekuler atau Islam turut serta mengkonsumsi, memproduksi hingga mempublikasikan kembali berita konflik ini. Masing-masing media tentunya memiliki ciri khas konsep bahasa tertentu untuk mendeskripsikan sebuah peristiwa dan keadaan kepada khalayak. Konsep bahasa itulah yang akan berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terutama dalam makna dan citranya. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan konsep bahasa ialah faktor ideologi yang dimiliki oleh media. Jika diamati, faktor ideologi itulah yang menyebabkan media sekuler dan media Islam yang ada di Indonesia memiliki konsep bahasa yang berbeda dalam menyampaikan pemberitaan tentang konflik Suriah. Koran nasional seperi Kompas misalnya, istilah teroris lebih banyak dipakai, istilah ini ditujukan kepada pihak oposisi yang berperang melawan rezim Damaskus dan para aktivisnya disebut sebagai oposan. Sedangkan Media Indonesia, satu waktu media ini melaporkan bahwa konflik Suriah merupakan perang saudara, tapi di waktu lain media ini melaporkan bahwa konflik Suriah merupakan perjuangan rakyat yang memberontak terhadap rezim pemerintah Suriah yang berkuasa. Tak hanya itu, adanya istilah pemberontak, aktivis oposisis, kelompok bersenjata, pejuang oposisi pemberontak, kelompok pejuang Islam, kelompok milisi oposisi Barat, atau kelompok teroris bersenjata merupakan istilah beragam yang digunakan oleh media ini untuk melaporkan kubu anti-pemerintah yang menurut penulis istilah tersebut bias dan mampu mengaburkan siapa sebenarnya kubu anti-pemerintah itu sendiri. Tak berbeda jauh dengan Media Indonesia, antaranews.com sebagai sebuah situs kantor berita resmi Indonesia juga menggunakan banyak istilah untuk kelompok masyarakat yang melakukan pemeberontakan. Ada yang disebut sebagai kelompok garis keras, pemebrontak, pelaku teror bersenjata, gerilyawan, oposisi moderat Suriah, pemberontak moderat, gerilyawan Islam, pemberontak Suriah non-jihad, pemberontak garis keras, dan milisi bersenjata. Di sisi lain, media Islam seperti koran Republika, istilah pemeberontak dan teroris jarang dimunculkan. Pemberitaan lebih fokus menggunakan dan menampilkan kata oposisi atau aktivis oposisi untuk menggambarakan kelompok yang menentang pemerintah dan pro terhadap Barat. Sementara itu, situs-situs berita Islam online menampilkan penggunaan bahasa yang jauh berbeda dengan kebanyakan media lainnya. Arrahmah.com melaporkan bahwa perang yang terjadi di Suriah ialah perang agama antara Syiah bukan Islam dan Muslim Sunni, media ini juga menggunakan istilah kelompok anti rezim Al Assad dengan kelompok jihad dan mujahidin Islam. Kesamaan penyebutan istilah revolusi rakyat, pejuang pembebasan, mujahid, milisi pembebasan, kelompok oposisi, kelompok jihad juga ditemui di situs hidayatullah.com. Media ini juga meyebutkan bahwa Al-Assad ialah teroris yang sebenarnya, pasukan pemerintah juga disebut sebagai pasukan rezim otoriter Bashar al Assad . Dari beberapa media di Indonesia yang disebutkan diatas, jelas bahwa penggunaan bahasa dan istilah memiliki makna atau citra tersendri terhadap sebuah berita. Istilah teroris dan pemberontak yang banyak digunakan oleh media sekuler terhadap kelompok anti pemerintah misalnya memiliki stigma yang lebih buruk dan brutal dibandingkan dengan kata aktivis oposisi, milisi pembebasan atau bahkan mujahidin. Pilihan kata dan bahasa yang digunakan ini tentu tak hanya mampu mencerminkan realitas, tapi juga dapat menciptakan realitas. Meskipun perbedaan konsep bahasa tak dapat dihindari, ada sebuah benang merah yang dapat ditarik dari informasi yang dilaporkan oleh media-media yang tersebut. Hal tersebut ialah adanya tiga kelompok besar yang sedang bertarung dalam konflik di Suriah. Pertama adalah rezim pro pemerintah Al- Assad yang mendapat dukungan dari Rusia dan Iran, kedua ialah pihak oposisi yang mendapat dukungan Barat, dan yang ketiga ialah kelompok militan Islam yang berjuang diluar kedua kubu sebelumnya serta memilih untuk memperjuangkan kembalinya pemerintahan dan ideologi Islam berdasarkan Al-Quran dan As Sunnah. Tak khayal hingga kini konflik terus berlanjut, karena memang ketiga kelompok ini memiliki tujuan dan kepentingan yang sangat jauh berbeda.