Kendala Perempuan Nelayan dalam Pengolahan Perikanan Tangkap

12 Belum ada literatur yang secara pasti menyebutkan jenis sumber daya yang dapat diakses dan dikontrol dalam pengolahan hasil perikanan tangkap. Peneliti membagi sumber daya tersebut berdasarkan tiga tahapan pengolahan, yaitu: input, proses, dan hasil. Sumber daya yang dimaksudkan adalah bahan baku, fasilitas yang disediakan untuk pengolah, dan upah untuk pengolah. Indonesia telah meratifikasi CEDAW yang dituangkan dalam UU nomor 7 tahun 1984 Kalyanamedia, 2005, oleh karena itu Indonesia mempunyai kewajiban secara politis untuk mengimplementasi pasal-pasal yang terdapat di dalamnya. Termasuk keadilan dan kesetaraan yang seharusnya terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat nelayan.

2.3.2 Kendala Perempuan Nelayan dalam Pengolahan Perikanan Tangkap

Perempuan nelayan dalam tugasnya mengelola hasil perikanan tangkap, seringkali dihadapi oleh kesulitan dalam memproduksi dengan mutu tinggi. Perolehan mutu yang tinggi sangat berkaitan dengan mutu bahan baku yang dipakai dalam produksi. Pengelolaan hasil perikanan tangkap yang dilakukan oleh perempuan pesisir sebenarnya menaikkan nilai ekonomis ikan-ikan yang bernilai jual rendah. Dengan demikian, sudah seharusnya seluruh pihak memperhatikan apa saja yang menjadi kendala para perempuan pesisir dalam pengolahan perikanan tangkap yang bermutu. Berikut adalah beberapa kendala yang dihadapi oleh para perempuan nelayan dalam mengolah hasil perikanan tangkap : a. Ketersediaan bahan baku Selama ini masyarakat nelayan beranggapan bahwa sumber daya laut yang terkandung di dalamnya merupakan sumber daya yang tidak akan pernah habis dimanfaatkan oleh manusia dan lautan memiliki daya tampung yang tidak ada batasnya sehingga dianggap sebagai tempat pembuangan sampah dan sisa lainnya sepanjang masa, oleh karena itu usaha pelestarian di dalam lingkungan lain dianggap tidak perlu Resosudarmo et al. 1998. Pemikiran seperti itu dalam masyarakat pesisir sebetulnya salah, karena sebenarnya sumber daya laut memiliki batas-batas tertentu untuk dimanfaatkan oleh manusia Nanlohy, 1986. 13 Kurangnya bahan baku untuk diolah yang dialami oleh perempuan pesisir sebetulnya disebabkan oleh kelestarian lingkungan pesisir yang tidak dapat mereka jaga. Sebagai contoh adalah pembuatan tambak-tambak yang dilakukan pada lingkungan pesisir. Pembuatan tambak tersebut secara langsung menghilangkan hutan mangrove yang seharusnya berfungsi dalam produktivitas perikanan. Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin 1979 dalam Dit. Bina Pesisir 2004 http:www.dephut.go.id diakses pada tanggal pada tanggal 19 Maret 2011, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat karena hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Limbah dan sampah masyarakat sendiri juga yang menyebabkan penurunan produktivitas hasil tangkapan, karena limbah dan sampah yang mencemari aliran air di wilayah pesisir berdampak pada eksistensi hutan mangrove yang ada. Pada kecamatan Blanakan terlihat bahwa warna air berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau yang menyengat. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa wilayah aliran air di pesisir Blanakan telah tercemar dan pencemaran tersebut berdampak pada berkurangnya produktivitas hasil perikanan tangkap. b. Keterbatasan pengetahuan Perempuan di dalam masyarakat Indonesia masih dianggap kaum subordinat apabila dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut mengakibatkan minimnya pengetahuan dan pendidikan perempuan di lingkungan pesisir. Selama ini segala informasi tentang lingkungan dan pengelolaan sumber daya pesisir yang seharusnya dimiliki oleh perempuan lebih banyak diberikan pada laki-laki, salah satu yang menimbulkan hal tersebut adalah masih melekatnya budaya patriarki dalam kehidupan keluarga masyarakat pesisir Harahap dan Abidin, 2003. Kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan pada Pesisir Blanakan menyebabkan tidak terkelolanya lingkungan pesisir dengan sustainable. Hal ini dapat terlihat dari pencemaran-pencemaran yang terdapat dalam pesisir Blanakan, yang ditandai dengan keruhnya aliran air wilayah tersebut. Limbah- limbah hasil industri pengolahan perikanan, banyak yang dibuang langsung ke 14 laut tanpa penyaringan terlebih dahulu. Padahal wilayah pesisir yang tercemar mengakibatkan penurunan produktivitas perikanan yang akan berdampak pada pengolahan hasil perikanan perempuan-perempuan nelayan Blanakan, yang secara langsung mengakibatkan turunnya tingkat ekonomi nelayan. c. Perhatian pihak-pihak terkait Alternatif pemberdayaan dan campurtangan pihak-pihak terkait seringkali tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat nelayan pada umumnya dan perempuan nelayan khususnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahyono et al. 2001 terhadap nelayan yang terdapat di Cirebon, maka seharusnya alternatif pemberdayaan nelayan adalah, sebagai berikut: 1 Adanya keberadaan lembaga yang menggantikan tengkulak, dengan didirikannya bank rakyat yang dapat memberikan kredit sesuai dengan kemampuan nelayan yang memiliki siklus pendapatan yang tidak pasti. 2 Mengembangkan kepemilikan alat tangkap secara kolektif. 3 Meningkatkan peran KUD dan TPI. 4 Adanya aturan tertulis tentang bagi hasil dan pengupahan nelayan maupun pengolah. 5 Meningkatkan pengolahan pasca panen dan diversifikasi usaha perikanan.

2.4 Teori Gender