Studi Preferensi Varietas Unggul Beras pada Konsumen dari Beberapa Wilayah yang Mewakili Konsumen Beras Indonesia

(1)

PREFERENCE STUDY OF HIGH YIELDING VARIETIES OF RICE ON SOME

AREAS IN INDONESIA WHICH REPRESENT THE RICE CONSUMERS IN

INDONESIA

Munyatul Islamiah, Hanifah Nuryani Lioe, and Anton Apriyantono

Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone +62 856 9256 7682, e-mail: munyatul.islamiah@yahoo.com

ABSTRACT

Indonesia is an agricultural country. One of the most important agriculture product is rice which is a staple food for people of Indonesia. Every province in Indonesia has a difference of high yielding variety of rice. It relates to the acceptance and preference of the consumers which are influenced by social environment and origin of area of the consumers where they live. The preference of consumers and the palatability determine quality and sensory characteristic of rice. This study aimed to characterize the sensorial quality of rice, identify preference of consumers to cooked rice, and to relate between the preference and the sensory descriptive of cooked rice. Four domestic high yielding varieties were evaluated by trained sensory panels and 152 peoples who consist of peoples from West Java, West Sumatra, South Sulawesi, and Papua. The result showed that the preference of consumers from West Java and South Sulawesi was influenced by the taste and texture of cooked rice. They less liked taste and texture of cooked rice from Cisokan. Thr preference of these consymers to the taste and texture of Ciherang and Membramo rice was more than those of Cisokan. However, the consumers from West Sumatra less prefered taste, aroma, and texture of cooked rice from Ciliwung. The consumers from Papua less prefered aroma of cooked rice from Ciherang. According to consumers, the sensory characteristics most important to acceptance of cooked rice were pandan aroma, vanilla aroma, nutty aroma, salty, umami, hardness, particle size, and roughness of mass. Using descriptive data, the researcher evaluated predictive models of cooked rice from high yielding varieties’ preference. Data collected here could be useful for Indonesian’s government in developing an understanding of the drivers of high yielding varieties of rice acceptance.

Keyword : Indonesia, Cooked rice, Rice, Preference, Sensory descriptive, Consumers, Sensory Characteristic, High yielding variety of rice


(2)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Padi sebagai tanaman pangan utama khususnya bagi masyarakat Indonesia senantiasa mendapat perhatian yang besar agar dalam pengembangannya dapat meningkatkan produktivitasnya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Kualitas sensorinya merupakan hal yang paling diperhatikan oleh konsumen. Bahkan preferensi masyarakat terhadap beras semakin besar. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi beras rata-rata di Indonesia sebesar 141 kg/kapita/tahun (Deptan, 2006). Oleh karena itu, upaya untuk peningkatan produksi dan produktivitas beras dianggap masih relevan untuk mengatasi masalah peningkatan permintaan beras dan tingginya impor beras Indonesia.

Gambar 1 menjelaskan mengenai perkiraan kebutuhan gabah dan tingkat produksi di Indonesia tahun 2006-2025 (Litbang Deptan, 2007). Dari gambar dapat dilihat bahwa permintaan akan gabah kering giling (GKG) semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini juga diikuti oleh hasil panen tanaman padi yang semakin meningkat, tetapi di atas tahun 2015 peningkatan akan permintaan lebih besar dari pada hasil panen tanaman padi. Kenyataan ini merupakan salah satu alasan yang mendorong pemerintah untuk melakukan impor beras.

Gambar 1. Perkiraan kebutuhan gabah dan hasil panen tanaman padi di Indonesia tahun 2006-2025(Litbang Deptan, 2007)

Untuk mendukung upaya peningkatan produksi padi, Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPT Padi) Sukamandi, Jawa Barat terus berupaya merakit varietas unggul dengan memperhatikan berbagai aspek. Dalam dua dekade terakhir, preferensi konsumen menjadi perhatian pula oleh para pemulia tanaman padi dalam merakit varietas unggul (BBPT Padi, 2009). Hal ini dikarenakan setiap daerah di Indonesia memiliki preferensi atau kesukaan yang berbeda-beda.


(3)

2 Preferensi konsumen dan palatabilitas merupakan penentu mutu makan nasi (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997). Evaluasi yang dilakukan terhadap mutu makan nasi dipengaruhi oleh keadaan psikologis masyarakat suatu daerah dan keadaan daerah tersebut sehingga dalam proses pengukurannya terjadi kesulitan dalam mengekspresikan evaluasi sensorinya (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997). Oleh karena itu, evaluasi sensori memainkan peran penting dalam mengetahui preferensi konsumen.

Setiap daerah di Indonesia memiliki keragaman varietas beras yang dihasilkan. Hal ini tergantung kepada iklim, topografi, kondisi tanah, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda untuk setiap daerah. Faktor-faktor tersebut menimbulkan adanya varietas unggul beras yang merupakan favorit varietas beras untuk petani dan konsumen pada daerah tersebut. Penggunaan varietas unggul merupakan suatu upaya intensifikasi pertanian yang mudah, murah, dan aman dalam penerapan, serta efektif meningkatkan hasil. Upaya tersebut mudah, karena petani tinggal menanam, murah karena varietas unggul yang tahan hama memerlukan insektisida jauh lebih sedikit daripada varietas yang peka. Varietas unggul relatif aman, karena tidak menimbulkan polusi dan perusakan lingkungan. Sampai saat ini telah dihasilkan lebih dari 150 varietas unggul padi yang meliputi 80% total areal padi di Indonesia (Susanto, 2003).

Keragaman varietas beras dapat dilihat dari masing-masing daerah, misalnya Beras Varietas Cianjur, Beras Solok, Beras Banyuwangi, dsb. Berdasarkan varietasnya dikenal beras Rojolele, Beras Bulu, Beras IR, Beras Cisadane, dan lain-lain. Beras dengan berbagai varietas ini memiliki komposisi penyusun yang berbeda-beda pula, terutama kandungan amilosa-amilopektin beras tersebut. Perbedaan komposisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah pertanian, genetik padi, pemupukan, lingkungan tempat tumbuhnya dan iklim. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin ini dijadikan dasar atau merupakan faktor tunggal dalam menentukan mutu rasa dan tekstur nasi. Kandungan amilosa tersebut berkorelasi positif dengan tingkat kelunakan, kelengketan, warna dan kilap (Haryadi, 2008). Semakin tinggi kadar amilosa, volume nasi yang diperoleh makin besar tanpa kecenderungan mengempes. Hal ini dikarenakan amilosa mempunyai kemampuan retrogradasi yang lebih besar. Menurut Haryadi (2008), beras dengan kandungan amilosa tinggi menghasilkan nasi pera dan kering, sebaliknya beras dengan kandungan amilosa rendah menghasilkan nasi yang lengket dan lunak. Selain itu, faktor lain yang menentukan keragaman varietas beras adalah aroma/flavor. Aroma ini dihasilkan dari komponen volatil yang dibebaskan dari beras (Zeng et al., 2008).

Sampai saat ini penelitian mengenai beras sudah banyak dilakukan. Sebagian besar penelitian membahas masalah pembenihan, teknologi genetik padi, keadaan geografis dan pertumbuhan padi, perbedaan varietas, teknologi pascapanen, produk berbahan dasar beras, flavor pada beras aromatik, dan kandungan gizi yang terdapat dalam beras. Adapun penelitian mengenai aspek preferensi beras ditinjau dari kesukaan konsumen pada suatu daerah belum banyak dilakukan. Hal ini merupakan suatu permasalahan yang sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya sehingga kesukaannya pun diperkirakan berbeda.

B.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Menetapkan deskripsi atribut sensori aroma, rasa, dan tekstur empat varietas unggul beras yang masing-masing banyak dikonsumsi di daerah Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua


(4)

3 (2) Mengidentifikasi preferensi masyarakat yang berasal dari daerah Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua terhadap keempat varietas unggul beras yang diujikan, yaitu Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo

(3) Hubungan antara preferensi konsumen dan deskripsi atribut sensori nasi dari varietas Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo

C.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini nantinya dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan para pemulia tanaman padi dalam merakit varietas unggul baru yang dilihat dari segi preferensi atau tingkat kesukaan masyarakat terkait kultur suatu daerah sehingga dapat dikonsumsi dan disukai oleh masyarakat pada daerah tersebut.


(5)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

BERAS

Beras didapat dari hasil proses pascapanen dari tanaman padi, yaitu setelah tangkai dan kulit malainya dilepaskan dan digiling. Di beberapa negara di dunia, beras merupakan komponen yang penting dalam makanan sehari-hari. Menurut FAO (2004), beras adalah makanan pokok yang utama untuk tujuh belas negara di Asia Pasifik (terutama Indonesia, Filipina, Bangladesh, Jepang, dan Cina), sembilan negara di Amerika Utara dan Selatan, dan delapan negara di Afrika.

Secara umum, penduduk Indonesia dan Filipina menyenangi rasa nasi dari beras dengan kandungan amilosa medium (20-25%), sedangkan penduduk Jepang menyenangi beras dengan amilosa rendah (13-20%). Walaupun nasi yang disenangi penduduk Jepang lebih lengket dan mengkilat, kedua jenis nasi tersebut memiliki kepulenan yang sama dan tidak cepat mengeras meskipun dibiarkan semalam (Winarno, 1992).

Beras merupakan bagian dari tanaman padi (Oryza sativa, L.). Biji padi atau gabah terdiri atas dua penyusun utama, yaitu 72-82% bagian yang dapat dimakan atau kariopsis (disebut beras pecah kulit atau brown rice) dan 18-28% kulit gabah atau sekam (Haryadi, 2008). Pada penyosohan beras pecah kulit akan diperoleh beras giling dan dedak yang berasal dari lapisan perikarp, aleuron, dan sebagian endosperm bagian luar. Lapisan aleuron adalah lapisan dalam dari lapisan nucellus yang membungkus endosperm dan lembaga. Pada saat beras pecah kulit disosoh, kulit ari dan lembaga terpisahkan yang berarti juga kehilangan protein, lemak, vitamin, dan mineral yang lebih banyak terdapat pada bagian luar tersebut (Haryadi, 2008).

Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Menurut Juliano (1984), bagian gabah yang dapat dimakan adalah kariopsis yang terdiri dari 75% karbohidrat dan 8% protein pada kadar air 14%. Bagian endosperm atau bagian gabah yang diperoleh setelah penggilingan yang kemudian disebut beras giling yang mengandung 78% karbohidrat dan 7% protein. Penyusun-penyusun tersebut tidak tersebar merata pada seluruh bagian beras.

Sifat-sifat fisikokimia sangat menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi yang dihasilkan. Lebih khusus lagi, mutu ditentukan oleh kandungan amilosa, kandungan protein, dan kandungan lemak. Pengaruh lemak terutama muncul setelah gabah atau beras disimpan. Kerusakan lemak mengakibatkan penurunan mutu beras (Haryadi, 2008). Protein berpengaruh terhadap lama waktu penanakan, warna, rasa dan aroma nasi, serta mempengaruhi kemampuan penyerapan air (Haryadi, 2008).

1.

Mutu Nasi

Food and Agricultural Policy Research Center (1997) menyimpulkan mutu sebagai faktor utama yang menentukan nilai pasar produk pertanian dan tanaman pangan pada setiap fase dari produksi sampai konsumsi. Mutu beras terdiri dari mutu utama dan tambahan. Mutu utama meliputi karakteristik morfologi dan fisik yang ditentukan seperti dalam pemeriksaan standar gabah, berat, ukuran, bentuk, persentasi


(6)

5 keutuhan biji, dan kandungan air. Sedangkan mutu tambahan, yaitu terpusat pada perhatian konsumen dan proses industri seperti mutu makan, persentase penggilingan, nilai nutrisi, dan daya simpan. Dari faktor-faktor tersebut, mutu makan merupakan faktor penilai mutu beras.

Terdapat empat mutu yang dinilai dalam beras berdasarkan permintaan konsumen (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997), antara lain:

 Nilai nutrisi : karakteristik pokok yang dapat diekspresikan dalam bentuk kalori dan kandungan protein; lemak; vitamin

 Mutu dalam bentuk keamanan dan sanitasi : merupakan prasyarat pangan yang bebas dari komponen-komponen merugikan dan kontaminasi yang berbahaya

 Mutu dalam bentuk palatabilitas : motivasi dalam memilih makanan tertentu, seperti rasa dan penampakan

 Mutu dalam bentuk ekonomi

Beras (Oryza sativa L.) tidak seperti gandum, jagung, atau oats yang digiling menjadi tepung yang umumnya dimasak dan dikonsumsi seluruhnya. Ketika memasak beras tanpa bumbu, sifat dari beras itu sendiri yang paling penting dan flavor memegang kunci dalam penerimaan konsumen. Komponen volatil merupakan hal yang menarik dari analisis komposisi flavor beras karena komponen volatilnya berjalan menuju hidung saat dimakan, dan merangsang reseptor olfactory di dalam rongga hidung. Oleh karena itu, flavor volatil (aroma) dan tekstur adalah kualitas sensori utama beras. (Zeng et al. 2008).

Mutu makan dari beras yang dimasak sangat dipengaruhi oleh proses memasak, terutama jumlah air yang ditambahkan. Mutu makan dievaluasi oleh palatabilitas (tingkat kelezatan suatu bahan pangan) dan tingkat kesukaan secara individu. Selanjutnya, evaluasi dipengaruhi oleh keadaan fisiologis individu dan daerah tempat individu tersebut tinggal dimana saat pengukuran mengalami kondisi yang tidak mudah dalam mengungkapkan evaluasi sensorinya (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997). Beras yang dimasak memiliki rasa yang tipis, menimbulkan kesulitan dalam mengevaluasi ciri-ciri dasar seperti kemanisan, kepahitan, dan keasaman. Bahkan analisis komponen kimia secara detail yang mungkin berhubungan dengan flavor beras masak hampir tidak menimbulkan efektivitas dalam evaluasi mutu. Mutu makan nasi umumnya berhubungan dengan kekerasan, kelengketan, aroma beras yang dimasak, kadar amilosa, dan kadar air (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997).

2.

Aroma dan Flavor Nasi

Flavor nasi merupakan faktor penting dalam menentukan mutu dan penerimaan konsumen, sebagai contoh kenyataan pada beras aromatik menunjukkan kesukaan konsumen yang tinggi dan permintaan dengan harga premium (Limpawattana & Shewfelt, 2010). Tak seperti sebagian besar hasil panen lainnya, nasi umumnya dikonsumsi tanpa bumbu, yang membuat karakteristik sensorinya menjadi penting. Sedikit variasi dalam karakteristik sensori pada nasi, terutama aroma, dapat membuat beras mempunyai permintaan yang tinggi atau sebaliknya tidak dapat diterima sama sekali oleh konsumen (Yau & Liu, 1999). Akibatnya, aroma atau flavor dinilai sebagai kriteria utama untuk preferensi konsumen (Limpawattana, 2010).


(7)

6 Champagne (2008) menginformasikan bahwa selama lebih dari tiga puluh tahun banyak penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi aroma atau flavor nasi dimana sebagian besar hasil penelitian menghubungkan variabel sebelum pemanenan (lingkungan, budaya) dan pascapanen (pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan metode pemasakan) dengan perubahan senyawa volatil. Selain itu, beberapa peneliti diantaranya juga meneliti mengenai preferensi atau sensori deskriptif dengan analisis volatil secara simultan dimana hasilnya menyatakan bahwa senyawa volatil yang teridentifikasi dan mempengaruhi flavor nasi sebelum dan sesudah adalah 2-acetyl-2-pyrroline (2-AP; aroma popcorn). Senyawa 2-AP telah diketahui sebagai satu-satunya senyawa yang berkontribusi dalam pembentukan karakteristik aroma nasi dan terdapat hubungan antara konsentrasinya dalam nasi dengan intensitas aroma.

Buttery et al. (1982) menemukan bahwa 2-acetyl-1-pyrroline (disebut juga ACPY) adalah senyawa volatil organik yang terdapat pada nasi dari beras aromatik dimana senyawa ini dapat menjadi indikator yang baik untuk mengidentifikasi aroma nasi dari beras nonaromatik. Aroma dan flavor nasi, baik aromatik maupun nonaromatik, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah genetik padi, perlakuan sebelum panen, waktu panen dan pengeringan, kadar air gabah, kondisi pengeringan, penyimpanan, dan kadar air beras pecah kulit, derajat penyosohan, waktu dan suhu penyimpanan beras sosoh, pencucian beras, perendaman beras dalam air, cara menanak, pengaruh rasio air dan beras, dan suhu saat nasi disajikan (Champagne, 2008). Penelitian tentang aroma nasi dengan analisis deskriptif juga dilakukan oleh Limpawattana & Shewfelt (2010) yang menghasilkan 24 atribut aroma. Deskripsi aroma-aroma tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

3.

Rasa Nasi

Palatabilitas nasi dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, cara penanaman, pascapanen, hasil penggilingan, dan proses memasak (Tran et al. 2004). Hasil penggilingan tidak hanya mempengaruhi mutu nasi, tetapi juga profit produsen. Penggilingan juga dapat membawa perubahan komposisi secara biologi dan kimia, seperti aktivitas amilase, peptidase, gula, lemak, asam amino, vitamin, dan mineral (Tran et al. 2004). Gula seperti glukosa dan sukrosa, dan asam amino seperti asam glutamat dan asam aspartat adalah komponen utama yang mempengaruhi rasa manis dan umami pada rasa nasi.

Penelitian mengenai rasa nasi yang dianalisis oleh taste sensing system, evaluasi secara kimia dan sensori telah dilakukan untuk mengetahui rasa nasi dari beras dengan variabel derajat penyosohan yang berbeda (Tran et al. 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya korelasi positif antara derajat penyosohan dengan nilai sensori rasa manis dan gurih serta aktivitas enzim α-amilase dan ß-amilase. Semakin rendah derajat penyosohan, nilai sensori rasa manis dan gurih semakin rendah. Begitupun dengan aktivitas enzim amilase dimana semakin rendah derajat penyosohan,

aktivitas enzim α-amilase dan ß-amilase semakin menurun.

Menurut Sugiyama et al. (1995) dalam Tran et al. (2004) menyatakan bahwa beras mengandung 90% sukrosa dimana 60%-nya terdapat pada lapisan luar beras. Selain itu, asam aspartat, asam glutamat, serin, dan alanin adalah asam amino bebas dimana total dari keempat asam amino tersebut sebesar 56-71% dari jumlah asam amino pada kernel dan 76-80% pada lapisan paling luar. Bahkan, bibitnya mengandung asam


(8)

7 amino bebas lebih besar dari pada bagian kernel yang lain (Saikusa et al. 1994). Kandungan asam amino bebas dan gula berkurang karena proses penyosohan. Kandungan glukosa dan sukrosa pada nasi lebih tinggi dari pada beras. Sukrosa adalah gula bebas utama pada beras dan nasi. Penelitian yang dilakukan saat ini (Tran et al. 2004) menunjukkan bahwa asam aspartat dan glutamat adalah asam amino utama pada beras yang belum dan yang sudah disosoh. Jadi, gula bebas (sukrosa dan glukosa) dan asam amino bebas (asam aspartat dan asam glutamat) merupakan komponen utama yang mempengaruhi rasa dari nasi dan mungkin juga bentuk respon sensori.

Tabel 1. Deskripsi atribut dan definisi sensori untuk evaluasi sensori flavor nasi (Limpawattana & Shewfelt, 2010)

Atribut Definisi

Popcorn Aroma yang mengingatkan kepada popcorn

Starchy Aroma yang berhubungan dengan pati pada sumber pati tertentu Woody Aroma yang berhubungan dengan kayu potong kering yang segar Smoky Aroma yang berhubungan dengan beberapa jenis flavor asap Cooked-grain Aroma yang berhubungan dengan biji-bijian yang matang Grain Aroma yang berhubungan dengan semua karakter yang memberi

kesan biji-bijian seperti jagung, gandum, dan oats Sulfury Aroma yang berhubungan dengan senyawa sulphur

Corn Aroma yang mengingatkan kepada yellow cream kaleng-jagung Nutty Aroma yang berhubungan dengan kacang panggang

Floral Aroma yang berhubungan dengan bunga-bungaan Dairy Aroma yang mengingatkan kepada susu sapi pasteurisasi Barny Aroma yang mengingatkan kepada peternakan

Green Aroma (sedikit manis) yang berhubungan dengan rumput atau sayur hijau

Rancid Aroma yang berhubungan dengan lemak dan minyak yang teroksidasi

Metallic Faktor kimia yang terstimulasi pada lidah dan gigi oleh logam-logaman

Sweet Aromatic Aroma yang berhubungan dengan rasa manis

Earthy Aroma yang mengingatkan kepada tumbuhan yang membusuk dan tanah basah

Waxy Aroma yang berhubungan dengan rantai asam lemak medium Sweet Sensasi rasa dasar yang ditimbulkan oleh gula

Salty Sensasi rasa dasar yang ditimbulkan oleh garam Bitter Sensasi rasa dasar yang ditimbulkan oleh kafein


(9)

8

4.

Tekstur Nasi

Salah satu permasalahan yang dihadapi industri beras adalah mengontrol mutu beras secara keseluruhan untuk kebutuhan pasar. Menurut Zeng et al. (2008), mutu nasi dipengaruhi oleh flavor volatil atau aroma dan tekstur nasi. Tekstur nasi berpengaruh terhadap penerimaan beras oleh konsumen ketika dikonsumsi sebagai biji-bijian yang utuh (Okabe, 1979).

Komposisi fraksi pati sangat berpengaruh pada sifat nasi, yaitu rasio amilosa dan amilopektin yang mempengaruhi karakteristik tekstur dan fisikokimia nasi. Kandungan amilosa juga dapat dikatakan sebagai indikator utama dari mutu nasi, dimana pengaruhnya pada kelengketan (Del Mundo & Juliano, 1981), nasi dari varietas beras yang lebih lengket (umumnya beras berukuran medium dan pendek) mengandung lebih sedikit amilosa dan nasi dari varietas beras yang paling lengket mengandung sebagian besar amilopektin. Kandungan amilosa sudah lama diketahui merupakan penentu tekstur nasi (Winarno, 1992). Tabel 2 menginformasikan mengenai tekstur nasi pada beberapa varietas beras di Indonesia berdasarkan kadar amilosa.

Banyak istilah sensori yang menjelaskan dan mendeskripsikan atribut tekstur nasi. Istilah-istilah tersebut dideskripsikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Beberapa varietas beras di Indonesia berdasarkan kandungan amilosanya (Deliani, 2004)

Kadar Amilosa (%)

Tekstur

Nasi Varietas

9-20 Pulen Bengawan Solo, Tukad Petanu, Sentani, Sintanur, Membramo, Cilosari, Cisadane 20-25 Sedang Bondoyudo, Pandanwangi, Rojolele, IR 64,

Cibodas, Maros, Way Apo Buru, Ciherang, Ciliwung

25-33 Pera IR 68, Batang Anai, Digul, Dewi Ratih, dan IR 36, Cisokan


(10)

9 Tabel 3. Deskripsi atribut sensori tekstur pada nasi (Meullenet, 1999)

T

*) permen-permenan

Istilah Definisi Teknik Referensi Skor

Permukaan Kelengketan di bibir Derajat kelengketan sampel saat menempel di bibir Tekan sampel diantara dua bibir, lepaskan, dan nilai Tomat Nougat Roti stik Pretzel Kering 0,0 4,0 7,5 10,0 Gigitan Pertama

Kekerasan Kekuatan yang dibutuhkan untuk menekan sampel

Tekan atau gigit sampel sesekali dengan geraham Krim keju Putih telur Keju Sosis Sapi Kacang Almond 1,0 2,5 4,5 5,5 9,5 11,0 Pengunyahan Kepaduan massa sampel (setelah 3 dan 8 kali pengunyahan) Derajat pengunyahan saat sampel dikunyah secara bersamaan Kunyah sanpel dengan gigi geraham

sebanyak 3 atau 8 kali dan evaluasi

Wortel Jamur Sosis sapi Keju Brownies 2,0 4,0 7,5 9,0 13,0 Kekasaran massa Sejumlah

kekasaran yang dirasakan saat mengunyah sampel Kunyah sanpel dengan gigi geraham 8 kali dan evaluasi Agar-agar Jeruk kupas Oatmeal 0,0 3,0 6,5

Toothpull Kekuatan yang dibutuhkan agar rahang terpisah pada saat mengunyah

Kunyah sampel sampai 3 kali dan evaluasi Kijing Karamel Candy gum 3,5 5,0 10,0

Ukuran Partikel Besarnya ruang yang dipenuhi partikel sampel di dalam mulut

Tempatkan nasi di tengah mulut dan evaluasi

Tic Tac* M & M (plain)* Mike & Ikes* Cherry Bite* Spearmint leaf* 2,5 4,0 6,0 11,0 13,0


(11)

10

B.

VARIETAS UNGGUL BERAS

Varietas padi adalah segolongan tanaman yang satu sama lain memiliki sifat-sifat yang sama. Sifat-sifat tersebut diwariskan kepada keturunannya. Penggunaan benih dari varietas unggul berkontribusi cukup besar dalam meningkatkan produksi beras nasional. Beberapa keunggulan varietas tersebut antara lain produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, rasa enak, genjah dan harga jual yang baik (Hadi dkk, 2005). Varietas unggul yang telah dilepas selain unggul dalam produksi (misalnya tahan terhadap suatu penyakit), varietas itu juga harus memiliki sifat yang jelas berbeda dari varietas lainnya yang sebelumnya sudah beredar (distinctive), seragam kinerja tanaman dan per-tanamannya (uniform), mantap (stable) dalam keunggulan sifat kinerja tanaman dan pertanaman (Hadi dkk, 2005). Varietas unggul padi sawah merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di Indonesia. Perakitan varietas padi sawah selain bertujuan untuk meningkatkan hasil, juga dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi agroekosistem, sosial, budaya, dan preferensi masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, pemuliaan padi bersifat dinamis. Varietas baru terbentuk sepanjang waktu, diikuti dengan peningkatan rata-rata produktivitas padi secara nasional (Susanto, 2003).

Siregar (1981) mengatakan bahwa kata-kata “unggul” yang diberikan terhadap suatu varietas tidak dapat diartikan secara absolut, misalnya varietas padi unggul di negara-negara dingin, seperti Jepang, USA, Italia, dsb belum tentu varietas padi tersebut dikatakan unggul di negara yang beriklim tropis, seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh perbedaan iklim yang terdapat pada negara-negara tesebut, suhu yang rendah di daerah beriklim dingin dan suhu yang tinggi di daerah yang beriklim tropis sehingga mempengaruhi panjang/pendeknya penyinaran antara daerah-daerah tersebut. Suatu contoh bahwa perkataan “unggul” tidak dapat diartikan secara kekal dan abadi. Varietas-varietas Cina, Bengawan, Mas, Peta, Intan, Dara, Sinta, Dewi Tara, Remaja, Jelita, Sigadis, dll. merupakan varietas padi unggul pada zamannya karena memiliki kemampuan produksi yang tinggi. Namun seiring dengan kemajuan zaman, penelitian-penelitian mutakhir berhasil menciptakan varietas yang lebih unggul daripada varietas-varietas tersebut, seperti Pelita, 5, dan 8. Sementara itu, varietas 5 dan PB-8 disusul dan diganti dengan varietas yang lebih unggul, yaitu IR-26, IR-2PB-8, dan IR-30. Ketiga varietas tersebut lebih unggul karena memiliki kemampuan tahan terhadap gangguan serangga hama wereng coklat dan hama wereng hijau dimana kemampuan ini tidak dimiliki oleh PB-5 dan PB-8, walaupun sebenarnya IR-26, IR-28, IR-30 dan PB-5, PB-8 mempunyai daya hasil yang tinggi. Oleh karena itu, sifat unggul yang diberikan sebagai predikat untuk suatu varietas tidaklah berlaku untuk selama-lamanya. Predikat unggul yang diberikan kepada suatu varietas tertentu hanya berlaku selama belum ditemukan varietas yang lebih unggul dibandingkan dengan varietas terakhir yang diberikan predikat unggul (Siregar, 1981).

1.

Varietas Unggul Beras di Sumatra Barat

Sumatera Barat merupakan penyangga kebutuhan beras nasional, khususnya untuk propinsi tetangga, seperti Riau, Bengkulu, dan Jambi yang ditandai dengan surplus beras setiap tahunnya sehingga menghantarkannya menjadi salah satu propinsi di Indonesia sebagai lumbung beras nasional. Menurut Deptan (2003), faktor utama yang mendorong peningkatan produksi padi di Sumatera Barat berasal dari peningkatan luas panen (1,63% per tahun).

Masyarakat Sumatera Barat umumnya menyukai beras dengan tekstur nasi pera (tidak lengket). Kebiasaan makan nasi bertekstur pera sudah membudidaya di kalangan orang Minang. Varietas beras Solok dan varietas beras Ampek Angkek merupakan


(12)

11 varietas unggul local yang sangat disukai oleh umumnya orang Sumatra Barat karena tekstur nasinya pera dan aroma khas. Kini varietas lokal tersebut sulit ditemukan di pasar atau mungkin tidak lagi ditanam petani karena umurnya lebih panjang daripada varietas unggul. Meskipun demikian, varietas lokal tersebut merupakan aset yang perlu dilestarikan untuk bahan persilangan dalam menghasilkan padi unggul baru yang sesuai dengan tekstur nasi pera (Puslitbangtan, 2005).

Konsumen Sumatera Barat menyukai rasa nasi pera dengan kadar amilosa >24%. Varietas IR42 dan Cisokan merupakan varietas yang paling dominan berkembang di Sumatera Barat dikarenakan memiliki rasa nasi pera dengan kadar amilosa >25% (Puslitbangtan, 1993). Sampai saat ini di Sumatera Barat, varietas unggul Cisokan dan IR42 yang dilepas berturut-turut tahun 1980 dan 1986 masih berkembang dan ditanam sepanjang musim dalam hamparan yang luas. Diperkirakan varietas unggul Cisokan dan IR42 ditanam berturut-turut sekitar 30% dan 40%, diikuti IR66 (10%), varietas lokal spesifik Kuriak kusuik (10%), varietas lokal lainnya (7%) dan Anak daro (3%) pada periode tahun 2001-2004 (Zen, 2007).

2.

Varietas Unggul Beras di Jawa Barat

Salah satu sifat dari varietas padi yang digemari para petani di Pulau Jawa adalah butir-butir padi atau gabah tidak mudah terlepas dari mayang bulirnya pada saat tanaman padi siap untuk dipetik (Siregar, 1981). Hal ini karena varietas padi yang butirnya mudah rontok oleh para petani dianggap sebagai suatu yang sangat merugikan dimana hasil yang rontok akan dipungut dan merupakan suatu pekerjaan yang jika dilihat dari segi efisiensi akan sangat merugikan karena banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan (Siregar, 1981).

Masyarakat Indonesia di Pulau Jawa sebagian besar menyukai nasi yang pulen seperti nasi varietas IR64 dan Ciherang (Rozakurniati, 2010). Penyebaran varietas unggul padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menunjukkan Varietas Ciherang makin mendominasi areal pertanaman padi di ketiga provinsi tersebut. Di Jawa Barat dan Jawa Timur, lebih dari 50% areal pertanaman padi telah ditanami dengan varietas Ciherang. Persentase penyebaran varietas beras di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 4.


(13)

12 Tabel 4. Proporsi penyebaran varietas padi di Pulau Jawa tahun 2008 (Ruskandar,

2009)

Varietas Jawa Barat (%) Jawa Tengah (%) Jawa Timur (%)

Ciherang 56,19 44,87 50,72

Cigeulis 9,80 0,91 6,74

IR 64 8,65 38,59 14,92

Situbagendit 4,00

Mekongga 2,45 0,84

Bondoyudo 1,33

Widas 1,28

IR42 1,25

Pepe 5,34 0,98

Cilamaya muncul 1,07

Logawa 0,61

Ciliwung 0,60

Way Apo Buru 4,37

Cibogo 9,18

Membamo 1,43 3,11

Cisadane 1,02

Varietas lain 15,06 6,16 8,08

3.

Varietas Unggul Beras di Sulawesi Selatan

Sulawesi selatan merupakan salah satu provinsi lumbung padi nasional kedua terbesar setelah Jawa Timur dengan produksi rata-rata 2,5 juta ton beras per tahun (Anonim, 2009). Areal pertanian yang dimiliki provinsi ini cukup besar, yaitu mencapai 1.411.446 ha, yang terbagi dalam lahan persawahan seluas 550.127 ha, dan lahan kering seluas 861.319 ha (Anonim, 2009). Jumlah areal yang cukup besar tersebut, jika dikelola maksimal sangat berpotensi menunjang ketahanan pangan nasional.

Di Sulawesi Selatan, areal tanam IR64 hanya 10,5%, sedangkan luas pertanaman varietas Ciliwung yang dilepas pada tahun 1989 menduduki 49,4% dari total areal tanaman padi di provinsi tersebut. Survei di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa di Kabupaten Sidrap luas pertanaman padi pada tahun 2001-2002 mencapai 75,6 ribu ha/musim dengan produktivitas 6,6 t/ha. Dari luasan itu, 89,3% diantaranya ditanami varietas unggul baru anjuran, seperti Ciliwung, IR64, Memberamo, Celebes, Way Apo Buru, Ciherang, IR66, IR74, Sintanur, dan Widas. Di Kabupaten Takalar, luas panen tanaman padi mencapai 9,6 ribu ha/musim dengan varietas yang menjadi pilihan utama adalah Ciliwung, Cisadane, Celebes, Membramo, Pelita, IR42, IR66, Sintanur, dan IR64 (Suprihatno & Daradjat, 2009).

Djamaluddin (2009) mengemukakan bahwa luas pertanaman padi di Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 834.636 ha, varietas padi yang banyak digunakan adalah Cisantana (29,2 %), Ciliwung (17,2%), Cigeulis (15,4%), Ciherang (14,3%), Way Apo Buru (4,4%), IR-64 (4,2%), sekitar 15,3 % varietas lain dan varietas lokal.


(14)

13

4.

Varietas Unggul Beras di Papua

Kabupaten Merauke merupakan sentra pengembangan padi di Papua (Rouw, 2008). Kondisi ini ditunjukan dengan tingkat kontribusi sebesar 73% terhadap total produksi padi di Papua (Rouw, 2008). Terdapat tiga sentra pengembangan padi sawah di Merauke, yaitu Distrik Merauke, Semangga-Tanah Miring dan Kurik (Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Merauke, 2003).

Varietas padi yang umum digunakan petani di Sentra Semangga-Tanah Miring, meliputi IR 64, IR 66, Memberamo, dan Digul. Varietas padi unggul yang ditanam di Irian Jaya adalah varietas padi yang memiliki potensi hasil tinggi, toleran terhadap serangan hama dan penyakit penting (Tungro dan Wereng Coklat) serta keracunan besi, dan memiliki rasa nasi yang disukai konsumen (LPTP Koya Barat, 2000). Varietas Mamberamo, Digul, Maros dan Cibudas adalah varietas padi yang memiliki potensi produktivitas yang tinggi. Varietas Mamberamo dan Digul memiliki kemampuan paling tahan terhadap Tungro. Varietas padi yang disukai petani adalah Mambramo dan Ciliwung (di Koya Barat); Mambramo, Digul dan Ciliwung (di prafi, Manokwari); Digul dan IR 64 (di Kurik, Merauke) (LPTP Koya Barat, 2000). Berikut adalah nama-nama varietas padi yang dianjurkan dibudidayakan di daerah pengembangan padi (LPTP Koya Barat, 2000):

 Jayapura, Manokwari : Membramo, Maros, Digul, dan IR66

 Merauke (kondisi tergenang) : IR42, IR48, Digul, Lematang

 Merauke (kondisi tak tergenang) : Membramo, IR64, Maros, Ciliwung

C.

PREFERENSI MAKANAN

Pangan merupakan bagian kebudayaan komunitas etnik. Pangan etnik tidak hanya memperkaya sektor pangan tradisional, tetapi juga memainkan tugas penting dalam memelihara kebudayaan nasional.

Tingkah laku konsumen dapat dipelajari dua level esensial, yaitu mental dan fisik. Level mental meliputi kepercayaan konsumen, preferensi, perasaan, dan pilihan. Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan menurut Shepherd and Sparks (1994), yaitu faktor intrinsik, ekstrinsik, biologis, fisik, psikologi, pribadi individu, sosial ekonomi, pendidikan, dan kultur. Preferensi dipengaruhi oleh waktu dan kondisi makanan, seperti kondisi lapar, perasaan, dan saat terakhir mengkonsumsi.

Menurut Bergier (1987), latar belakang kultur dalam penerimaan makanan tidak dapat diubah. Adat istiadat dan norma-norma baru tidak dapat menggantikan adat istiadat dan norma yang lama, kecuali untuk orang yang berada pada tingkat atas dan sangat kaya. Penerimaan makanan oleh seseorang juga berbeda tergantung keadaan sosial dan asal masing-masing daerah. Biasanya makanan tradisional akan dipertahankan dan tidak pernah diganti oleh adanya perkembangan makanan baru.

Menurut Lundahl (2007), untuk memahami faktor yang mendasar preferensi pangan, kembali pada akar formasi preferensi. Bayi memiliki preferensi bawaan untuk rasa manis dan makanan yang lembut. Mereka juga menghindari rasa asam dan pahit. Bagaimanapun juga, sejak awal (bahkan mungkin sebelum lahir) ada faktor yang mempengaruhi preferensi individu.

Preferensi pangan dapat diukur dengan menggunakan peratingan dari skala hedonik. Hedonik, berasal dari akar kata “hedonistic”, yang berarti mengukur kesukaan penerimaan


(15)

14 individu. Peratingan oleh sekelompok konsumen terhadap berbagai macam pangan dapat digambarkan dalam bentuk pemetaan (Lundahl, 2007).

Gambar 2. menunjukkan bahwa untuk mengerti tingkah laku konsumen perlu memahami hubungan proses kognitif dan persepsi suatu individu. Bagaimana teori “persepsi” mengenai suatu produk yang digerakkan oleh faktor ekstrinsik, seperti brand image, sikap, dan kebiasaan akan mempengaruhi persepsi sensori seseorang. Selanjutnya proses ini berpengaruh terhadap tingkah laku individu. Karena preferensi pangan berkembang untuk setiap individu, faktor sensori dan kognitif dipengaruhi oleh faktor kultur (faktor ekstrinsik). Pada kasus ini, kultur memiliki hubungan antara kognitif, persepsi, dan tingkah laku individu. Agar pengembangan suatu produk berhasil dipasaran, peneliti harus mengerti ketiga hubungan kompleks ini yang menentukan pilihan konsumen (Lundahl, 2007).

Gambar 2. Pola konsumen dalam menentukan pilihan makanan (Lundahl, 2007)

D.

EVALUASI SENSORI

Mutu makan nasi adalah mutu yang kompleks dimana sejumlah komponen ikut terlibat. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mutu makan nasi. Data analisis secara fisikokimia pada setiap komponen tidak mudah dihubungkan dengan analisis secara objektif dan juga tidak ada metode evaluasi yang seefektif metode sensori yang menggunakan organ tubuh manusia sebagai alat yang menilai. Uji sensori dilakukan berdasarkan evaluasi subjektif melalui kemampuan penglihatan, penciuman, dan pencicipan. Akhir-akhir ini evaluasi sensori banyak digunakan untuk mengkaji preferensi makanan individu (Weaver & Helen, 2001).

1.

Quantitative Descriptive Analysis

(QDA)

Pertama kali teknik deskripsi sensori yang diperkenalkan adalah Flavor Profile Method (FPM) yang dikembangkan oleh Arthur D. Little, Inc. pada tahun 1950-an (Meilgaard et al. 1999). Aplikasi metode analisis deskripsi yang baru-baru ini muncul pada tahun 1970-an adalah Quantitative Descriptive Analysis (QDA) dan Spectrum TM. Kedua teknik terakhir sangat berbeda dari FPM dimana keduanya digunakan untuk mengukur atribut sensori oleh masing-masing panelis lalu menghasilkan rata-rata atribut


(16)

15 sensori. Kedua teknik ini lebih baik dari pada FPM yang menghasilkan profil sensori dari konsensus kelompok (Pigott et al. 1998).

Seleksi panelis merupakan aspek yang kritis dalam analisis deskriptif (Meilgaard et al. 1999). Calon panelis yang baik harus dapat mendeskripsikan atribut flavor yang dihasilkan dan dapat membedakan antara aroma dan rasa (Drake & Civille, 2003). Kesehatan yang baik, memiliki antusiasme yang tinggi, dan biasa menggunakan produk yang diujikan adalah karakteristik calon panelis yang baik. Kemudian, calon panelis akan mengikuti tahapan seleksi panelis (Meilgaard et al. 1999). Setelah ketiga kategori tersebut dan tahapan seleksi panelis dilakukan, selanjutnya dilakukan pelatihan untuk menghasilkan sekelompok panelis yang kemudian fungsinya dapat dianalogikan dengan instrumen dalam mengevaluasi flavor suatu produk (Drake & Civille, 2003).

Menurut Meilgaard et al. (1999), tahap-tahap seleksi panelis terdiri dari tahap penyaringan (screening), acuity test (tes ketepatan), uji ranking/rating, dan personal interview. Menurut Stone & Sidel (2004), tahap penyaringan bertujuan untuk mengeliminasi kandidat panel yang tidak sensitif, mengetahui kandidat panel yang memiliki kemampuan sensori yang sangat sensitif dan dapat dipercaya, dan membiasakan kandidat panel dengan atribut sensori produk. Tes ketepatan untuk kandidat panel harus mampu mendemonstrasikan kemampuan untuk mendeteksi dan menjelaskan karakteristik sensori secara kualitatif; mendeteksi dan menggambarkan perbedaan secara kuantitatif (Meilgaard et al. 1999). Metode uji yang digunakan untuk uji deteksi secara kualitatif adalah identifikasi rasa dasar dan aroma dasar, sedangkan uji deteksi secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji segitiga atau uji duo trio untuk mendeteksi perbedaan yang kecil serta mendeskripsikan kunci perbedaan dari atribut sensori yang ada (Meilgaard et al. 1999). Uji rating/ranking digunakan untuk menentukan kemampuan panelis dalam membedakan penilaian intensitas atribut sensori yang diberikan (Meilgaard et al. 1999). Personal interview dilakukan untuk mengetahui kemauan, keseriusan, minat, rasa percaya diri, dan waktu luang calon panelis.

Pada metode QDA, panel leader adalah seorang sensori profesional yang memiliki kemampuan lebih baik dari anggota panel. Pada saat pelatihan, panel (idealnya 8-12 panelis) menghasilkan istilah-istilah untuk menggambarkan produk. Panel leader tidak berpartisipasi dalam diskusi untuk menghasilkan atribut sensori, tetapi berperan dalam memfasilitasi jalannya diskusi. Para panelis menentukan urutan munculnya atribut. Selain itu, panelis berlatih merating produk supaya terbiasa dengan proses analisis deskipsi dan memperoleh kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka (Drake & Civille, 2003). Data diperoleh dari scoresheet dengan menggunakan skala garis yang diberi batas pada setiap akhir garis. Panelis memberi tanda garis pada skala garis. Selanjutnya tanda diubah menjadi nilai numerik dengan mengukur respons pada skala garis dengan menggunakan penggaris, digitizer, atau dengan sistem komputer (Drake & Civille, 2003).

Standar referensi dapat secara kualitatif, kuantitatif atau kedua-duanya (Munoz & Civille 1998). Untuk pendeskripsian sensori, standar referensi kualitatif merupakan hal yang penting untuk setiap istilah atribut sensori. Standar referensi kualitatif memungkinkan panelis untuk menghubungkan dengan konsep pengertian istilah sensori tersebut dan dapat memperpendek waktu pelatihan panel (Drake & Civille, 2003). Standar referensi kualitatif dalam pelatihan panelis digunakan untuk membuat panelis


(17)

16 fokus dalam mengidentifikasikan istilah sensori dan merupakan bagian yang paling dibutuhkan dalam pelatihan panelis metode deskriptif. Standar kuantitatif atau standar referensi intensitas pada umumnya tidak ditetapkan untuk setiap atribut. Munoz & Civille (1998) mendeskripsikan tiga macam standar referensi kuantitatif, yaitu secara universal, spesifik produk, dan spesifik atribut sensori.

Analisis sensori deskriptif memberikan informasi bagi para ahli sensori untuk memperoleh deskripsi produk secara lengkap, dan/atau menentukan atribut sensori mana yang penting dalam penerimaan konsumen (Stone & Sidel, 2004). Analisis deskriptif berguna untuk mengevaluasi perubahan sensori dari waktu ke waktu dengan memperhatikan keadaan sebelum dan sesudah panen serta umur simpan beras (Meilgaard et al. 1999). Aroma dan flavor nasi dapat dikarakterisasi dan secara analisis diukur oleh panelis terlatih dalam analisis sensori deskriptif (Meilgaard et al. 1999). Penggunaan analisis sensori deskriptif juga digunakan oleh Suwansri et al. (2002) dalam menganalisis penerimaan nasi aromatik Jasmine oleh konsumen US-Asia dan mengkorelasikannya dengan data sensori deskriptif sehingga atribut sensori yang berkaitan dengan penerimaan konsumen dapat diidentifikasi.

Penggunaan kombinasi antara analisis deskriptif dan uji preferensi panelis memberikan penilaian yang akurat dan mengidentifikasikan karakteristik kualitas sensori yang dibutuhkan pasar. Nilai sensori deskriptif juga dapat dikorelasikan dengan konsentrasi senyawa volatile dengan menggunakan metode statistik untuk menentukan senyawa mana yang bertanggung jawab dalam membentuk aroma dan flavor atau berfungsi sebagai penanda untuk atribut flavor/aroma tersebut.

2.

Uji Afeksi

Analisis deskripsi sensori digunakan untuk mengeidentifikasi dan mengkuantifikasi atribut sensori produk, sedangkan uji konsumen digunakan untuk memberikan informasi mengenai kesukaan konsumen (Meilgaard et al. 1999). Uji penerimaan dan preferensi memberikan informasi kesukaan dan/atau preferensi konsumen secara kuantitatif (Meilgaard et al. 1999).

Screener dan kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data demografi, frekuensi penggunaan, dan data pembelian suatu produk (Meilgaard et al. 1999). Kuesioner sering disertakan dengan uji penerimaan untuk membantu interpretasi data. Selain mengumpulkan data demografi dan informasi penggunaan, mengidentifikasi kesukaan dalam segmentasi pasar konsumen merupakan hal yang penting untuk industri dalam mengetahui produk dan atribut mana yang lebih di disukai konsumen.

Menurut Setyaningsih dkk (2010), uji afeksi terdiri dari uji penerimaan dan uji kesukaan/preferensi. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu produk yang menyebabkan sesorang menyukainya. Yang perlu ditekankan dalam uji afeksi adalah bahwa pilihan (preferensi) tidak sama dengan penerimaan, bisa jadi panelis lebih memilih contoh A dibanding contoh B, tetapi kedua contoh tidak dapat diterima. Uji kesukaan bertugas untuk memilih produk yang lebih disukai sedangkan uji penerimaan bertugas untuk merating produk yang disukai/diterima konsumen. Uji afeksi harus diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili suatu populasi masyarakat tertentu. Uji yang umumnya digunakan dalam melakukan uji afeksi adalah uji hedonik.


(18)

17

E.

PCA (

PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS

)

PCA adalah salah satu analisis multivariat yang digunakan untuk meringkas data yang terkumpul dari banyak variabel ke beberapa dimensi (Meilgaard et al. 1999). PCA merupakan teknik statistik untuk mengidentifikasi jumlah terkecil variabel yang tersembunyi, yang disebut komponen utama. Analisis ini mampu menjelaskan sebanyak 75%-90% dari total keragaman dalam data yang mempunyai 25-30 variabel hanya dengan 2-3 komponen utama (Meilgaard et al. 1999). Menurut Setyaningsik dkk (2010), analisis ini terlebih dahulu mencari indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum, yang disebut komponen utama 1 (PC1) yang mempunyai variasi terbesar dari variasi total individu. Kemudian dicari kompnen utama 2 (PC2) yang memiliki variasi individu terbesar setelah PC1. Setiap komponen PCA digambarkan oleh tiga atribut yang saling melengkapi, yaitu ragam, loadings, dan skor.

Hasil analisis gabungan dari loading dengan skor akan menghasilkan biplot. Menurut Anonim (2003), biplot merupakan upaya grafis terhadap data yang berupa tabel rata-rata beberapa variabel pada beberapa sampel dalam tampilan dua dimensi. Ada empat hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan biplot, yaitu kedekatan antar sampel, keragaman variabel, hubungan (korelasi antar variabel), dan nilai variabel pada suatu sampel.

Menurut Satono dkk, 2003 terdapat tiga hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan biplot, yaitu :

 Kedekatan antar objek, informasi ini bisa dijadikan panduan objek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan objek tertentu. Dua objek dengan karakteristik yang sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan.

 Keragaman peubah, informasi ini digunakan untuk melihat apakah ada peubah tertentu yang nilainya hampir sama semuanya untuk setiap objek, atau sebaliknya. Dalam biplot, peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek, sedangkan peubah yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang.

 Hubungan (korelasi antar peubah), informasi ini bisa digunakan untuk menilai bagaimana peubah yang satu mem(di)pengaruhi peubah yang lain. Dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit. Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan atau membentuk sudut lebar (tumpul). Sedangkan dua peubah yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut mendekati 90˚ (siku-siku).

 Nilai peubah pada suatu onjek, informasi ini digunakan untuk melihat keunggulan dari setiap objek. Objek yang terletak searah dengan arah dari suatu peubah, dikatakan bahwa pada objek tersebut nilainya di atas rata-rata. Sebaliknya, jika objek lain terletak berlawanan dengan arah dari peubah tersebut, maka objek tersebut memiliki nilai di bawah rata-rata, sedangkan objek yang hampir ada tengah-tengah memiliki nilai dekat dengan rata-rata.


(19)

xi Lampiran 27. Score plott komponen utama atribut rasa, aroma, dan tekstur sampel nasi pada uji

hedonik ... 107

Lampiran 28. Loading plot komponen utama atribut rasa, aroma, dan tekstur sampel nasi pada uji hedonik ... 107

Lampiran 29. Loadingplot dan Score plot hasil analisis hubungan atribut deskriptif dan preferensi konsumen Jawa Barat ... 108

Lampiran 30. Loading plot dan Score plot hasil analisis hubungan atribut deskriptif dan preferensi konsumen Sumatra Barat ... 110

Lampiran 31. Loading plot dan Score plot hasil analisis hubungan atribut deskriptif dan preferensi konsumen Sulawesi Selatan ... 112

Lampiran 32. Loading plot dan Score plot hasil analisis hubungan atribut deskriptif dan preferensi konsumen Papua ... 114

Lampiran 33. Data Uji Hedonik yang dinilai oleh panelis Sumatra Barat ... 116

Lampiran 34. Data Uji Hedonik yang dinilai oleh panelis Jawa Barat... 118

Lampiran 35. Data Uji Hedonik yang dinilai oleh panelis Sulawesi Selatan... 120

Lampiran 36. Data Uji Hedonik yang dinilai oleh panelis Papua ... 122

Lampiran 37. Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Ciherang ... 124

Lampiran 38. Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Cisokan ... 128

Lampiran 39. Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Ciliwung ... 133


(20)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

ALAT DAN BAHAN

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas unggul beras yang banyak dikonsumsi di daerah Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Varietas-varietas tesebut adalah Varietas Cisokan (Sumatra Barat), Varietas Ciherang (Jawa Barat), Varietas Ciliwung (Sulawesi Selatan), dan Varietas Membramo (Irian Jaya) yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Jawa Barat. Keempat varietas tersebut merupakan hasil panen periode Februari-Maret 2011. Pengeringan gabah dilakukan sampai kadar air gabah sebesar 14%. Gabah sebanyak 300 gram dari masing-masing varietas diproses dengan Satake Rice Husker yang menghasilkan beras pecah kulit. Kemudian, 200 gram beras pecah kulit disosoh selama 3,5 menit dengan menggunakan Satake Polisher yang menghasilkan beras giling. Derajat sosoh yang digunakan sebesar 90%. Beras giling yang digunakan dalam pengujian terdiri dari campuran beras kepala dan beras patah. Selama penelitian berlangsung, beras diletakkan dalam wadah plastik kedap udara yang ditutupi plastik hitam. Kemudian beras disimpan dalam lemari pendingin bersuhu 9-11˚C. Beras giling yang dibutuhkan selama peneltian sebanyak 6,5 kg untuk masing-masing varietas.

Senyawa kimia yang digunakan adalah standar flavor ( 2-Acetyl Pyridine, Acetoin,, Vanilin, Diacetyl, Pandan Flavor, 5-Methyl-2-Furfural , dan Sugar Lactone) dalam bentuk cair. Senyawa Vanilin dan Pandan Flavor berasal dari PT Sensient Technologies Indonesia, sedangkan senyawa 5-Methyl-2-Furfural, 2-Acetyl Pyridine, Acetoin, Diacetyl, dan Sugar Lactone diperoleh dari PT Ogawa Indonesia. Standar aroma disimpan dalam botol kecil berukuran 10 ml dan diletakkan di dalam ruangan yang bersuhu 0-4˚C.

Alat-alat yang dibutuhkan meliputi perangkat empat buah rice cooker (Miyako, MCM-509), aluminium foil, gelas ukur, pipet 10 ml, labu takar 10 ml, micropipet, wadah kecil untuk penyajian uji sensori, gunting, label, dan alat-alat tulis.

B.

METODE PENELITIAN

1.

Penentuan Sampel Beras

Tujuan dari tahap ini adalah menentukan varietas unggul beras yang akan digunakan sebagai sampel pada tahap selanjutnya, yaitu analisis sensori deskriptif dan uji afektif. Pada tahap ini dilakukan studi literatur dengan meninjau berbagai literatur mengenai varietas unggul beras yang banyak diproduksi dan dikonsumsi di Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Adapun sampel beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Puslitbangtan, 2010) :

 Cisokan : tekstur nasi pera, kadar amilosa 26%, indeks glikemik 34. Tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 1, 2 dan rentan wereng coklat biotipe 3. Cukup baik sebagai padi sawah di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl.

 Ciherang : tekstur nasi pulen, kadar amilosa 23%, indeks glikemik 54,9. Tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3. Baik di tanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl. Produktivitas tinggi, mutu dan rasa nasi setara IR64, indeks glikemik rendah.


(21)

19

 Ciliwung : tekstur nasi pulen, kadar amilosa 22%, indeks glikemik 86. Tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 1, 2 dan rentan wereng coklat biotipe 3. Baik di tanam di lahan irigasi berelevasi rendah sampai 550 m dpl.

 Membramo : tekstur nasi pulen, kadar amilosa 19%. Tahanan terhadap hama wereng coklat biotipe 1, 2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3, agak tahan tungro. Baik di tanam di lahan irigasi berelevasi kurang dari 550 m dpl.

2.

Evaluasi Sensori

Evaluasi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah QDA (Quantitative Descriptive Analysis) untuk menentukan karakterik sensori suatu sampel. Alat yang digunakan adalah panelis terlatih yang sudah melewati tahap seleksi dan pelatihan.Tahap seleksi yang dilakukan meliputi tahap pre-screening, identifikasi rasa dan aroma dasar, uji segitiga, uji ranking, dan personal interview. Setelah calon panel lulus tahap seleksi, selanjutnya dilakukan pelatihan untuk menghasilkan sekelompok panelis yang kemudian fungsinya dapat dianalogikan dengan instrumen dalam mengevaluasi atribut sensori suatu produk (Drake & Civille, 2003).

Setelah mengetahui karakteristik sensori nasi dari empat varietas tersebut, dilakukan uji afektif untuk mengetahui kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Metode yang digunakan adalah metode afeksi kuantitatif, yaitu uji penerimaan. Tujuan uji penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditas atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, tanggapan senang atau suka harus diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat umum atau mewakili populasi masyarakat tertentu (Setyaningsih dkk, 2010). Jumlah panelis yang digunakan untuk melakukan metode afeksi kuantitatif adalah 50 sampai beberapa ratus (Meilgaard et al, 1999). Pengujian yang digunakan adalah uji hedonik dengan merating atribut rasa, aroma, dan tekstur/kepulenan.

3.

Pembuatan Nasi (Subarna dkk, 2005)

Pemasakan sebelum penyajian pada keempat varietas unggul dilakukan dengan cara yang sama, baik alat penanak nasi, rasio beras dan air, maupun cara pencucian beras sampai nasi disajikan. Beras dimasak menggunakan rice cooker. Sebelum dimasak, ditakar atau ditimbang beras yang akan dimasak sebanyak 1 liter. Cuci beras sampai air cucian tampak jernih (4-5 kali). Beras yang telah dicuci dan ditiriskan dimasukkan ke dalam panci rice cooker. Kemudian ditambahkan 1340 cc untuk setiap 1 liter beras. Panci dimasukkan ke dalam rice cooker. Rice cooker ditutup, tetapi sebelumnya dilapisi dengan aluminium foil, lalu ditutup sampai terdengar klik pengunci. Stop kontak dihubungkan dan tekan tombol sehingga lampu “cook” menyala. Setelah tombol naik biarkan pemanasan “warm” selama 15 menit. Nasi diaduk hingga merata. Keempat sampel disajikan secara bersamaan dalam keadaan panas di dalam wadah yang ditutup dengan menggunakan aluminium foil.

4.

Analisis Deskriptif

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: tahap seleksi panelis, tahap pelatihan panelis, serta tahap pengujian.


(22)

20

4.1 Tahap Seleksi Panelis

Analisis dimulai dengan pemilihan calon panelis terlatih yang diawali dengan tahap seleksi panelis. Panelis terlatih yang dipilih adalah yang mempunyai kesehatan cukup baik, menyukai sampel yang diujikan, yaitu nasi, dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengikuti setiap pengujian yang ada. Tahap tersebut meliputi pre-screening, acuity test (uji identifikasi rasa dan aroma, uji segitiga rasa dan aroma), uji ranking sederhana atribut rasa, dan personal interview. Seleksi panelis diikuti oleh 84 mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Berikut tahapan-tahapan yang dilakukan calon panel untuk menghasilkan panelis yang kemampuan sensorinya dapat dipercaya :

4.1.1 Tahap Pre-screening

Tahap ini dilakukan dengan mengisi kuesioner pada Lampiran 1. Tujuannya adalah untuk merekrut panelis yang memiliki kemampuan menskala dan berpikir secara terkonsep, serta mengetahui riwayat kesehatan kandidat panelis dan makanan yang sering dikonsumsi. Calon panel yang memiliki riwayat kesehatan dan kemampuan sensori yang baik akan melaksanakan uji identifikasi rasa dan aroma dasar. Dari 90 calon panel yang berpartisipasi, didapat 84 yang lolos tahap ini.

4.1.2 Acuity Test

Identifikasi Rasa Dasar dan Aroma Dasar

Pengujian rasa dan aroma dasar dilakukan menggunakan lima sampel rasa dasar (manis, asin, asam, gurih, pahit) dan enam sampel bau dasar. Bahan-bahan dan konsentrasi yang digunakan untuk pengujian rasa dasar ini dapat dilihat pada Tabel 5. Kuesioner pengisian untuk uji identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 5. Bahan dan Konsentrasi Pengujian Rasa Dasar (Adawiyah & Waysima, 2009)

Jenis Rasa Dasar Bahan Konsentrasi (%)

Manis Sukrosa 2

Asin Garam 0,2

Gurih MSG + NaCl 0.05+0.1 Asam Asam sitrat 0,05

Pahit Kafein 0,05

Tabel 6 merupakan bahan-bahan dan konsentrasi larutan aroma yang digunakan dalam uji identifikasi bau dasar. Senyawa kimia yang digunakan adalah senyawa Vanilin dan Pandan Flavor yang berasal dari PT Sensient Technologies Indonesia, sedangkan senyawa 5-Methyl-2-Furfural, 2-Acetyl Pyridine, Acetoin, Diacetyl, dan Sugar Lactone diperoleh dari PT Ogawa Indonesia.


(23)

21 Tabel 6. Bahan dan Karakteristik Bau Pengujian Bau Dasar

(Limpawattana, 2010; Arkanti, 2007)

Bahan Karakteristik

bau

0,4 % Diacetyl (2µl dilarutkan dalam 0,5 ml PG)

Buttery/mentega

0,4% Acetoin (2µl dilarutkan dalam 0,5 ml PG) Creamy 0,4% Sugar Lactone (2µl dilarutkan dalam 0,5

ml PG)

Manis

0,4% Pandan Flavor (2µl dilarutkan dalam 0,5 ml PG)

Pandan

0,15% Vanilin (0,75 µl dilarutkan dalam 0,5 ml PG)

Vanila, manis

0,5 % 2-Acetyl-2-Pyridine (3,5 µl dilarutkan dalam 0,7 ml PG)

Kacang-kacangan, popcorn

Keterangan : PG = Propilen Glikol

Panelis yang terpilih menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang mampu mengidentifikasi 100% rasa dasar dan minimal 50% aroma dasar. Panelis yang lolos tahap ini selanjutnya akan mengikuti uji segitiga. Dari tahap seleksi identifikasi rasa dan aroma yang sudah dilakukan, didapat 29 panelis yang lolos seleksi tahap ini dari 84 panelis yang berpartisipasi.

Uji Segitiga

Uji segitiga dilakukan untuk menentukan kemampuan calon panelis terlatih dalam membedakan beberapa intensitas rasa dan aroma diatas ambang batas dengan baik (Meilgaard et al. 1999). Calon panelis diberikan tiga contoh larutan standar, dimana dua contoh standar mempunyai intensitas yang sama, sedangkan satu intensitas standar mempunyai intensitas yang berbeda. Calon panelis diminta untuk memilih satu contoh standar yang berbeda. Pengisian dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdapat pada Lampiran 3. Bahan dan konsentrasi larutan uji yang digunakan dalam melakukan uji segitiga rasa dapat dilihat pada Tabel 7.


(24)

22 Tabel 7. Konsentrasi larutan uji segitiga rasa

Bahan Standar Konsentrasi (%)

1 2

Sukrosa 1 2

NaCl 0.1 0.2

MSG+NaCl 0.05+0.1 0.07+0.1

Uji segitiga rasa dilakukan sebanyak 18 set dan dilakukan total selama 3 hari. Pengulangan untuk melihat kekonsistenan panelis. Pada setiap uji disediakan 6 set sampel dengan jeda waktu istirahat selama 30 menit di setiap 3 set sampel. Hal ini dilakukan untuk mencegah kejenuhan panelis.

Selanjutnya calon panel mengikuti uji segitiga aroma. Tabel 8 menjelaskan mengenai bahan dan konsentrasi larutan uji yang digunakan dalam pengujian ini.

Tabel 8. Bahan dan konsentrasi larutan uji segitiga aroma

Kelompok Komponen

1 Buttery (2µl Diacetyl dilarutkan dalam 0,5 ml PG) Creamy (2µl Acetoin dilarutkan dalam 0,5 ml PG) 2 Sweet (2 µl Sugar Lactone dalam 0,5 ml PG)

Vanilin (0,75 µl Vanilla Flavor dalam 0,5 ml PG) 3 Cereal (2 µl 5-Methyl-2-Furfural dalam 0,5 ml PG)

Nutty (3,5 µl % 2-Acetyl-2-Pyridine dilarutkan dalam 0,7 ml PG)

Keterangan : PG = Propilen Glikol

Uji segitiga aroma dilakukan sebanyak 12 set dan dilakukan total selama 2 hari. Pada setiap uji disediakan 6 set sampel dengan jeda waktu istirahat selama 30 menit di setiap 3 set sampel. Panelis yang terpilih adalah yang mempunyai jawaban benar minimal 50% dari contoh standar baik atribut rasa maupun aroma yang diberikan. Dari 29 panelis yang mengikuti uji segitiga rasa dan aroma, didapat 20 panelis yang lolos tahap ini dimana selanjutnya akan diuji dengan uji ranking.

4.1.3 Uji Ranking

Uji rangking yang digunakan adalah uji rangking sederhana (Simple Ranking Test). Dua puluh calon panelis yang lolos tahap acuity test diminta mengurutkan intensitas kelima atribut dengan konsentrasi dari yang terendah sampai tertinggi (Tabel 9) pada kuesioner pada Lampiran 4.


(25)

23 Tabel 9. Larutan uji rasa dasar dalam uji ranking sederhana (Meilgaard et

al. 1999)

Rasa

dasar Larutan Uji

Konsentrasi (g/100mL)

1 2 3 4

Manis Sukrosa 1 2 5 10 Gurih MSG+NaCl 0,1% 0,05 0,07 0,09 0,12

Asin NaCl 0,1 0,2 0,5 1,0

Calon panelis yang lolos seleksi adalah kandidat yang mampu mengurutkan intensitas sampel secara benar pada uji rangking. Syarat panelis yang akan dilatih dan diuji untuk uji deskriptif adalah sebanyak 8-12 orang (Meilgaard et al. 1999). Setelah melakukan uji ranking rasa, didapat 11 orang panelis terlatih yang berhasil mengurutkan intensitas rasa dengan tepat. Pengujian tidak dilanjutkan dengan uji ranking aroma karena jumlah panelis terlatih yang didapat sudah cukup sedikit, dikhawatirkan jika dilanjutkan dengan pengujian ranking aroma, jumlah panelis yang didapat tidak memenuhi syarat dari jumlah panelis analisis deskriptif. Akan tetapi, setelah panelis yang terpilih melakukan pelatihan, panelis-panelis tersebut akan melakukan pengujian ranking aroma. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kemampuan merating/menskala panelis dalam atribut aroma setelah melakukan pelatihan.

4.1.4 Personal interview

Selanjutnya ke-11 panelis yang lolos uji ranking akan di interview oleh seorang panel leader. Tujuan dari interview adalah untuk memastikan minat kandidat panelis dalam melakukan pelatihan dan pengujian, termasuk ketersediaan waktu luang. Jumlah yang lolos tahap ini sebanyak 8 panelis dimana ke-8 panelis tersebut selanjutnya mengikuti tahap pelatihan.

4.2 Tahap Pelatihan

Tahap kedua merupakan tahap pelatihan panelis. Panelis yang dilatih merupakan panelis yang lolos pada tahap uji seleksi panelis. Tahap pelatihan bertujuan untuk melatih kepekaan dan konsistensi penilaian panelis sehingga panelis dapat dikatakan sebagai panelis terlatih. Panelis dilatih menggunakan uji rating skala garis pada atribut rasa, aroma, dan tekstur nasi. Selain itu, dilakukan terminologi pada masing-masing atribut untuk menyamakan persepsi atau istilah antar panelis sehingga semua panelis memiliki persepsi yang sama terhadap atribut-atribut sensori yang akan diujikan. Pelatihan uji rating masing-masing atribut dilakukan menggunakan sampel standar (bukan sampel yang akan diujikan). Scoresheet pelatihan panelis dapat dilihat pada Lampiran 6a-6e.

Pelatihan pertama dilakukan pada atribut rasa. Pelatihan ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Atribut rasa yang dilatih beserta bahan dan konsentrasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 10.


(26)

24 Tabel 10. Konsentrasi standar rasa yang digunakan pada pelatihan uji rating

Pelatihan selanjutnya dilakukan pada atribut aroma. Pelatihan ini dilakukan dua sesi dimana masing-masing selama 3 hari berturut-turut. Sesi pertama untuk tiga atribut aroma dan sesi kedua untuk dua atribut berikutnya. Tabel 11 menjelaskan mengenai deskripsi atribut aroma yang digunakan untuk pelatihan beserta bahan dan konsentrasinya.

Atribut tekstur pada nasi merupakan atribut terakhir yang dilatih pada ke-8 panelis. Pelatihan terdiri dari dua sesi dimana masing-masing sesi dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Sesi pertama untuk tiga atribut dan sesi kedua untuk tiga atribut berikutnya. Istilah tekstur pada nasi mengacu pada Meullenet et al. (1999) yang dapat dilihat pada Tabel 12.

4.3 Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis kualitatif digunakan untuk mendapatkan data deskripsi masing-masing sampel beras secara subyektif yang selanjutnya akan digunakan untuk uji QDA. Metode analisis kualitatif yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD). Pengujian sensori dengan teknik FGD melibatkan seluruh panelis dan seorang panel leader. Panel leader tidak diikutsertakan dalam diskusi. Panel leader berfungsi untuk mempertahankan agar kelompok tetap dapat berfungsi dengan baik, menyediakan standar dan contoh untuk keperluan pelatihan, menyiapkan lembar pengujian, dan menguji serta memonitor performa panelis selama pengujian berlangsung (Setyaningsih dkk, 2010). Pada uji ini, panelis dengan arahan moderator akan mendiskusikan atribut sensori (rasa, aroma, dan tekstur) dari semua sampel nasi yang diujikan. FGD dilakukan sebelum dan sesudah pengujian analisis deskriptif kuantitatif. FGD sebelum pelatihan dilakukan untuk menentukan atribut-atribut rasa, aroma, dan tekstur yang akan digunakan dalam proses pelatihan. FGD sesudah pelatihan dilakukan agar kepekaan panelis dalam mendeteksi keberadaan atribut rasa, aroma, dan tekstur dalam sampel lebih tinggi. Hasil yang didapat dari FGD tersebut akan digunakan pada proses selanjutnya, yaitu analisis deskriptif kuantitatif.

4.4 Penentuan Nilai Intensitas Konsentrasi Standar

Nilai intensitas konsentrasi standar aroma dan rasa yang diperoleh saat melakukan pelatihan diolah menggunakan persamaan Stephen (Meilgaard et al.

Deskripsi Bahan Skor

Asin 0,13% larutan NaCl 2,4 0,22% larutan NaCl 4,1 0,32% larutan NaCl 7,8 Gurih 0,03% larutan MSG + 0,1% larutan NaCl 2,4 0,06% larutan MSG + 0,1% larutan NaCl 4,7 0,08% larutan MSG+ 0,1% larutan NaCl 7,4 Manis 2% larutan sukrosa 2,8 4,02% larutan sukrosa 5,7 5,55% larutan sukrosa 10


(27)

25 1999), lalu persamaan tersebut diturunkan hingga menjadi persamaan logaritmik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai konsentrasi standar yang digunakan pada analisis kuantitatif. Berbeda dengan atribut tekstur dimana penentuan nilai standar mengacu pada Meullenet et al. (1999). Contoh scoresheet penentuan standard aroma dapat dilihat pada Lampiran 7.

Log SI = Log K + n (Log PI)

Keterangan :

Sensory Intensity (SI) = perkiraan intensitas yang terdeteksi (magnitude estimation)

Physical Intensity (PI) = ukuran konsentrasi (molar, molal, %) Log K = konstanta

n = kemiringan

Tabel 11. Konsentrasi larutan standar aroma yang digunakan pada pelatihan uji rating

Deskripsi Bahan Skor

Manis 0,2% Sugar Lactone (20 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 4,7 0,6% Sugar Lactone (60 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 6,4 1% Sugar Lactone (100 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 8,8 Buttery 0,5% Diacetyl (15 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 5,2 0,3% Diacetyl (30 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 6,0 0,15% Diacetyl (50 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 6,7 Nutty 0,1% 2-Acetyl-2-Pyridine (10 µl dilarutkan dalam 10 ml

PG)

3,9

0,23% 2-Acetyl-2-Pyridine (23 µl dilarutkan dalam 10 ml PG)

5,7

0,4% 2-Acetyl-2-Pyridine (40 µl dilarutkan dalam 10 ml PG)

9,5

Vanilla 0,15% Vanilla Flavor (15 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 4,2 0,3% Vanilla Flavor (30µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 5,7 0,45% Vanilla Flavor (45 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 7,7 Pandan 0,19% Pandan Flavor (19 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 4,5 0,26% Pandan Flavor (26 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 4,8 0,42% Pandan Flavor (42 µl dilarutkan dalam 10 ml PG) 5,8


(28)

26 Tabel 12. Standar tekstur yang digunakan untuk pelatihan uji rating (Meullenet

et al. 1999)

Istilah Standar Skor

Permukaan

Kelengketan/adhesif sampel di bibir Nougat Pretzel kering

4,0 10,0 Gigitan pertama

Kekerasan Putih Telur Kacang

2,5 9,5 Pengunyahan

Kepaduan massa/kohesif massa sampel, setelah 3 dan 8 kali pengunyahan

Wortel Keju

2,0 9,0

Kekasaran massa Jeruk kupas Bubur

oatmeal 3,0 6,5

Toothpull Karamel Candy Gum*

5,0 10,0 Ukuran Partikel Tic Tac*

M & M* 2,5 4,0

Keterangan : * Permen-permenan 4.5 Analisis Deskripsi Kuantitatif

Analisis kuantitatif uji deskriptif dilakukan dengan metode QDA (Quantitative Descriptive Analysis). Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui intensitas atribut-atribut sensori (rasa, aroma, dan tekstur) pada setiap sampel nasi yang diujikan. Penilaian intensitas sampel-sampel yang diujikan dilakukan menggunakan skala garis tidak terstruktur (unstructured scale). Unstructured scale tediri dari garis sepanjang 15 cm dengan tanda batas di kedua ujungnya. Pada skala garis juga diberikan 2 garis bantuan sebagai reference. Contoh kusioner yang digunakan untuk melakukan pengujian ini dapat dilihat pada Lampiran 8a-8e.

Masing-masing sampel nasi ditempatkan pada wadah khusus yang diberi kode tiga digit. Sampel disajikan pada kondisi terkontrol yang sama dengan kondisi konsumen normal. Pengujian dari satu sampel ke sampel lain diberi interval waktu selama 20 menit. Selama jeda panelis diberi air putih untuk menetralkan indra pengecap jika yang diuji atribut rasa dan tekstur atau diberi bubuk kopi jika yang diuji atribut aroma. Penilaian intensitas masing-masing atribut pada sampel dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

5.

Uji Hedonik

Uji yang dilakukan adalah uji rating hedonik yang mengukur kesukaan terhadap beberapa atribut sensori pada nasi dari keempat varietas beras yang diuji, yaitu aroma, kepulenan, dan rasa. Pada uji ini menggunakan panelis tidak terlatih (minimum 30 panelis) yang masing-masing asli berasal dari daerah Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua sehingga total minimum panelis yang digunakan adalah


(29)

27 120 panelis tidak terlatih yang menilai kesukaan terhadap nasi dari keempat varietas tersebut. Respon dari panelis yang digunakan dalam penelitian ini berupa angka yang berkisar antara 1 (sangat tidak suka sekali) sampai 9 (sangat suka sekali). Kuesioner uji rating hedonik dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12.

6.

Analisis Data

Analisis data yang diperoleh dari uji kuantitatif QDA berupa intensitas rata-rata. Selanjutnya, data atribut rasa, aroma, dan tekstur dibuat dalam grafik spider web untuk membandingkan intensitas masing-masing atribut secara visual. Selanjutnya diolah secara statistik menggunakan two-way ANOVA dengan program SPSS 16 dan Tukey’s Multiple Range Test jika terlihat ada pengaruh yang nyata pada masing-masing atribut. Kemudian menggunakan multivariate analysis, yaitu Principal Component Analysis (PCA) yang dilanjutkan dengan biplot dengan menggunakan software MINITAB 16. Analisis statistik ANOVA yang dilakukan menggunakan hipotesis awal sebagai berikut:

H0 = sampel tidak memiliki pengaruh nyata

H1 = sampel memiliki pengaruh nyata nyata

taraf kepercayaan sebesar 95%

nilai α sebesar 0.05

Data yang diperoleh dari uji afektif kuantitatif/ uji hedonik diolah dengan one-way ANOVA dan Duncan’s Multiple Range Test jika terlihat ada pengaruh yang nyata pada keempat sampel. Analisis statistik ANOVA dilakukan untuk mengetahui ada/tidaknya perbedaan kesukaan konsumen pada empat sampel yang diujikan. Setelah mengetahui ada tidaknya pengaruh nyata kesukaan konsumen terhadap sampel, selanjutnya dilakukan pemetaan preferensi konsumen terhadap atribut rasa, aroma, kepulenan/tekstur nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo. Pengelompokkan ini menggunakan analisis multivariat PCA. Untuk mengkorelasikan sensori deskriptif dengan preferensi konsumen, digunakan analisis statistik PLS (Partial Least Square Regression) dengan software MINITAB 14.


(30)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap utama, antara lain pemilihan panelis untuk analisis deskriptif, penelitian sensori nasi dengan analisis deskriptif, dan uji preferensi.

A.

PENENTUAN SAMPEL

Varietas sampel beras yang digunakan dalam penelitian ditentukan berdasarkan wilayah di Indonesia. Ada tiga pertimbangan dalam menentukan wilayah yang akan diteliti. (1) Sulawesi Selatan dan Jawa Barat merupakan dua dari lima provinsi di Indonesia sebagai lumbung beras nasional (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan NTB ) (Anonim, 2011). Selain itu, (2) pemilihan wilayah-wilayah tersebut didasarkan pada perwakilan bagian wilayah di Indonesia, yaitu bagian barat (Sumatra Barat dan Jawa Barat), bagian tengah (Sulawesi Selatan), dan bagian timur (Papua). Sumatra Barat dan Jawa Barat adalah dua provinsi yang berada di wilayah barat Indonesia. Akan tetapi, menurut Puslitbangtan (2005) bahwa masyarakat dari kedua provinsi tersebut memiliki kesukaan yang berbeda terhadap jenis nasi yang dikonsumsi. Masyarakat Sumatra Barat lebih suka mengkonsumsi nasi yang pera/keras, sedangkan masyarakat Jawa Barat lebih suka mengkonsumsi nasi yang pulen (lengket). Karena perbedaan kesukaan tersebut, maka dipilih varietas unggul beras yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Sumatra Barat dan Jawa Barat. Pertimbangan yang terakhir adalah (3) karena penelitian dilakukan di sekitar kampus IPB Dramaga, dimana mahasiswa-mahasiswanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maka dari studi statistik, jumlah mahasiswa yang akan dijadikan sebagai panelis penelitian yang dapat memenuhi syarat dalam studi preferensi adalah keempat daerah tersebut. Melalui perwakilan dari beberapa daerah tersebut, diharapkan dapat mewakili seluruh konsumen beras di Indonesia.

Pemilihan varietas beras yang akan diuji ditentukan berdasarkan data statistik penyebaran varietas padi di masing-masing daerah dengan cara meninjau beberapa literatur. Dari data-data statistik tersebut, dipilih satu varietas yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Varietas Ciherang merupakan varietas beras yang paling tinggi penyebarannya di daerah Jawa Barat, yaitu sebesar 56,19% (Ruskandar, 2009). Selain itu, varietas ini penyebarannya cukup tinggi pada beberapa daerah di Indonesia yang masyarakatnya menyukai nasi bertekstur lembek/pulen, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data terakhir menunjukkan varietas Ciherang makin mendominasi areal pertanaman padi di ketiga provinsi tersebut (Ruskandar, 2009).

Konsumen Sumatera Barat menyukai rasa nasi pera dengan kadar amilosa >24%. Varietas IR42 dan Cisokan merupakan varietas yang paling dominan berkembang di Sumatera Barat dikarenakan memiliki rasa nasi pera dengan kadar amilosa >25% (Puslitbangtan, 1993). Jumlah produktivitas varietas unggul Cisokan di Sumatra Barat sebesar 30% pada periode 2001-2004 (Atman, 2007).

Di Sulawesi Selatan, areal tanam IR64 hanya 10,5%, sedangkan luas pertanaman varietas Ciliwung yang dilepas pada tahun 1989 menduduki 49, 4% dari total areal tanam padi di propinsi tersebut (Suprihatno & Daradjat, 2009). Di Papua, Varietas Membramo dan Ciliwung merupakan varietas unggul beras yang banyak diproduksi. Berdasarkan LPTP Koya Barat (2000), varietas padi yang disukai petani adalah Mambramo dan Ciliwung (di Koya


(1)

138 Lampiran 40. Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Membramo

Panelis

Atribut Rasa Manis

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 2,2 0,7 1,0 0,8 1,3 14,7 4,7 6,7 5,3 8,7

2 2,0 1,9 2,0 0,1 2,0 13,3 12,7 13,3 0,4 13,1

3 2,6 1,2 2,1 0,7 2,0 17,3 8,0 14,0 4,7 13,1

4 3,1 2,2 2,4 0,5 2,6 20,7 14,7 16,0 3,2 17,1

5 1,6 1,7 1,5 0,1 1,6 10,7 11,3 10,0 0,7 10,7

6 2,9 0,7 1,3 1,1 1,6 19,3 4,7 8,7 7,6 10,9

7 0,4 1,2 0,7 0,4 0,8 2,7 8,0 4,7 2,7 5,1

8 2,4 1,2 1,1 0,7 1,6 16,0 8,0 7,3 4,8 10,5

Rata-rata 11,1

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Rasa Asin

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 3,0 1,1 3,6 1,3 2,6 20,0 7,3 24,0 8,7 17,1

2 2,6 2,2 2,5 0,2 2,4 17,3 14,3 16,7 1,6 16,1

3 3,8 3,1 1,0 1,5 2,6 25,4 20,7 6,7 9,7 17,6

4 1,4 2,5 1,4 0,6 1,8 9,3 16,7 9,3 4,2 11,8

5 0,3 0,3 0,2 0,1 0,3 1,7 2,0 1,3 0,3 1,7

6 3,2 0,9 0,8 1,4 1,6 21,3 6,0 5,3 9,1 10,9

7 1,4 1,0 0,5 0,5 1,0 9,3 6,7 3,3 3,0 6,5

8 0,8 1,5 0,5 0,5 0,9 5,3 10,0 3,3 3,4 6,2

Rata-rata 11,0

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Rasa Gurih

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 0,7 1,1 1,1 0,2 1,0 4,7 7,0 7,3 1,5 6,3

2 2,6 1,9 1,7 0,5 2,1 17,3 12,7 11,3 3,2 13,8

3 0,8 2,1 0,6 0,8 1,2 5,3 14,0 4,0 5,4 7,8

4 1,9 0,6 0,6 0,8 1,0 12,7 4,0 4,0 5,0 6,9

5 1,6 0,8 2,3 0,8 1,6 10,7 5,3 15,3 5,0 10,5

6 0,9 0,4 1,2 0,4 0,8 6,0 2,7 8,0 2,7 5,6

7 3,9 1,2 1,2 1,6 2,1 26,0 8,0 8,0 10,4 14,0

8 0,2 1,1 1,5 0,7 0,9 1,3 7,3 10,0 4,4 6,2

Rata-rata 8,9


(2)

139 Lampiran 40 (Lanjutan). Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Membramo

Panelis

Atribut Aroma Manis

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 5,2 7,3 5,3 1,2 5,9 34,7 48,7 35,4 7,9 39,6

2 6,2 6,2 4,0 1,3 5,5 41,4 41,4 26,7 8,5 36,5

3 7,1 6,6 6,2 0,5 6,6 47,4 44,0 41,4 3,0 44,2

4 4,1 4,9 2,9 1,0 4,0 27,4 32,7 19,3 6,7 26,5

5 6,3 3,1 7,1 2,1 5,5 42,0 20,7 47,4 14,1 36,7

6 3,8 1,3 1,6 1,4 2,2 25,4 8,7 10,7 9,1 14,9

7 1,3 1,4 2,8 0,8 1,8 8,7 9,3 18,7 5,6 12,2

8 7,7 6,4 5,5 1,1 6,5 51,4 42,7 36,7 7,4 43,6

Rata-rata 31,8

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Aroma Nutty

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 1,0 2,2 2,3 0,7 1,8 6,7 14,7 15,3 4,8 12,2

2 2,6 0,7 0,5 1,2 1,3 17,3 4,7 3,3 7,7 8,5

3 3,2 1,8 2,0 0,7 2,3 21,0 12,0 13,3 4,9 15,5

4 0,9 2,3 2,1 0,8 1,8 6,0 15,3 14,0 5,1 11,8

5 2,0 0,4 1,1 0,8 1,2 13,3 2,7 7,3 5,4 7,8

6 2,3 2,5 2,6 0,2 2,5 15,3 16,7 17,3 1,0 16,5

7 0,9 0,4 0,4 0,3 0,6 6,0 2,7 2,7 1,9 3,8

8 2,1 2,2 0,8 0,8 1,7 14,0 14,7 5,0 5,4 11,2

Rata-rata 10,9

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Aroma Vanila

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 2,7 4,4 4,5 1,0 3,9 18,0 29,4 30,0 6,8 25,8

2 2,7 2,5 3,1 0,3 2,8 18,0 16,7 20,7 2,0 18,5

3 5,4 3,6 4,0 1,0 4,3 36,0 24,0 26,4 6,4 28,8

4 1,5 4,7 3,2 1,6 3,1 10,0 31,4 21,3 10,7 20,9

5 2,0 0,4 3,6 1,6 2,0 13,3 2,7 24,0 10,7 13,3

6 4,3 3,9 1,7 1,4 3,3 28,4 26,0 11,3 9,2 21,9

7 3,1 4,6 4,9 1,0 4,2 20,7 30,7 32,7 6,4 28,0

8 2,8 1,6 1,7 0,7 2,0 18,7 10,7 11,3 4,4 13,6

Rata-rata 21,3


(3)

140 Lampiran 40 (Lanjutan). Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Membramo

Panelis

Atribut Aroma Pandan

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 1,1 1,1 2,0 0,5 1,4 7,3 7,3 13,3 3,5 9,3

2 2,8 2,4 3,2 0,4 2,8 18,7 16,0 21,3 2,7 18,7

3 2,7 2,0 2,3 0,4 2,3 18,0 13,3 15,3 2,3 15,6

4 1,6 0,6 0,5 0,6 0,9 10,7 4,0 3,3 4,1 6,0

5 2,5 1,5 1,4 0,6 1,8 16,7 10,0 9,3 4,1 12,0

6 0,6 0,8 0,6 0,1 0,7 4,0 5,3 4,0 0,8 4,5

7 2,3 1,9 1,7 0,3 2,0 15,3 12,7 11,3 2,0 13,1

8 2,7 2,0 2,1 0,4 2,3 18,0 13,3 14,0 2,5 15,1

Rata-rata 11,8

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Aroma Buttery

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 0,7 1,2 0,2 0,5 0,7 4,7 8,0 1,3 3,3 4,7

2 3,2 4,6 5,5 1,2 4,4 21,3 30,7 36,7 7,7 29,6

3 4,7 3,9 3,1 0,8 3,9 31,4 26,0 20,7 5,3 26,0

4 3,0 1,7 2,4 0,7 2,4 20,0 11,3 16,0 4,3 15,8

5 4,8 4,1 3,7 0,6 4,2 32,0 27,4 24,7 3,7 28,0

6 0,8 2,8 1,6 1,0 1,7 5,3 18,7 10,7 6,7 11,6

7 2,4 1,8 2,4 0,4 2,2 16,0 12,0 16,0 2,3 14,7

8 5,7 7,0 5,7 0,8 6,1 38,0 46,7 38,0 5,0 40,9

Rata-rata 21,4

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Kelengketan sampel di bibir

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 4,4 5,9 3,0 1,5 4,4 29,4 39,4 20,0 9,7 29,6

2 4,5 5,6 5,6 0,6 5,2 30,0 37,4 37,4 4,2 34,9

3 10,1 4,7 5,1 3,0 6,6 67,4 31,4 34,0 20,1 44,2

4 8,1 6,7 6,4 0,9 7,1 54,0 44,7 42,7 6,1 47,1

5 10,0 9,1 10,7 0,8 9,9 66,7 60,7 71,4 5,4 66,3

6 6,8 4,6 7,8 1,6 6,4 45,4 30,7 52,0 10,9 42,7

7 7,5 7,4 5,2 1,3 6,7 50,0 49,4 34,7 8,7 44,7

8 10,0 6,5 8,0 1,8 8,2 66,7 43,4 53,4 11,7 54,5

Rata-rata 45,5


(4)

141 Lampiran 40 (Lanjutan). Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Membramo

Panelis

Atribut Kekerasan

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 4,6 4,5 3,3 0,7 4,1 30,7 30,0 22,0 4,8 27,6

2 3,9 4,3 3,3 0,5 3,8 26,0 28,7 22,0 3,4 25,6

3 3,6 4,6 3,7 0,6 4,0 24,0 30,7 24,7 3,7 26,5

4 3,5 4,1 3,8 0,3 3,8 23,4 27,4 25,4 2,0 25,4

5 7,0 4,6 4,6 1,4 5,4 46,7 30,7 30,7 9,2 36,0

6 6,5 3,9 4,1 1,5 4,8 43,4 26,0 27,4 9,7 32,2

7 3,6 3,6 3,2 0,2 3,5 24,0 24,0 21,3 1,5 23,1

8 6,3 3,4 3,7 1,6 4,5 42,0 22,7 24,7 10,6 29,8

Rata-rata 28,3

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Kepaduan Massa Sampel

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 6,6 8,8 8,1 1,1 7,8 44,0 58,7 54,0 7,5 52,3

2 8,8 8,8 8,8 0,0 8,8 58,7 58,7 58,4 0,2 58,6

3 8,6 6,9 7,7 0,9 7,7 57,4 46,0 51,4 5,7 51,6

4 11,1 8,7 8,1 1,6 9,3 74,0 58,0 54,0 10,6 62,0

5 7,4 7,3 7,0 0,2 7,2 49,4 48,7 46,7 1,4 48,3

6 7,6 7,9 6,2 0,9 7,2 50,7 52,7 41,4 6,1 48,3

7 7,5 8,4 6,6 0,9 7,5 50,0 56,0 44,0 6,0 50,0

8 7,5 7,5 11,4 2,3 8,8 50,0 50,0 76,0 15,0 58,7

Rata-rata 53,7

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Kekasaran Massa Sampel

U1 U2 U3 SD

Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 9,2 8,0 8,6 0,6 8,6 61,4 53,4 57,4 4,0 57,4

2 3,6 3,9 4,4 0,4 4,0 24,0 26,0 29,4 2,7 26,5

3 9,5 10,8 8,3 1,3 9,5 63,4 72,0 55,4 8,3 63,6

4 7,7 2,6 3,4 2,7 4,6 51,4 17,3 22,7 18,3 30,5

5 10,5 6,1 6,3 2,5 7,6 70,0 40,7 42,0 16,6 50,9

6 2,4 4,3 3,8 1,0 3,5 16,0 28,7 25,4 6,6 23,4

7 4,7 3,5 3,4 0,7 3,9 31,4 23,4 22,7 4,8 25,8

8 4,7 5,9 4,1 0,9 4,9 31,4 39,4 27,4 6,1 32,7

Rata-rata 38,8


(5)

142 Lampiran 40 (Lanjutan). Data Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Varietas Membramo

Panelis

Atribut Toothpull

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 2,4 3,2 7,7 2,9 4,4 16,0 21,3 51,4 19,1 29,6

2 3,7 3,8 3,9 0,1 3,8 24,7 25,4 26,0 0,7 25,4

3 6,8 7,8 7,1 0,5 7,2 45,0 52,0 47,4 3,6 48,1

4 5,0 5,7 5,1 0,4 5,3 33,4 38,0 34,0 2,5 35,1

5 10,8 8,8 11,9 1,6 10,5 72,0 58,7 79,4 10,5 70,0

6 5,5 3,7 6,0 1,2 5,1 36,7 24,7 40,0 8,1 33,8

7 9,5 7,7 8,8 0,9 8,7 63,4 51,4 58,7 6,1 57,8

8 3,2 4,8 3,5 0,9 3,8 21,3 32,0 23,4 5,7 25,6

Rata-rata 40,7

*) Konversi menjadi skala 0 (terendah)-100 (tertinggi)

Panelis

Atribut Ukuran Partikel

U1 U2 U3 SD Rata-rata U1* U2* U3* SD Rata-rata

1 8,3 9,1 7,2 1,0 8,2 55,4 60,7 48,0 6,4 54,7

2 7,1 7,2 6,9 0,2 7,1 47,4 48,0 46,0 1,0 47,1

3 7,7 8,0 8,8 0,6 8,2 51,4 53,4 58,7 3,8 54,5

4 8,5 9,2 8,6 0,4 8,8 56,7 61,4 57,4 2,5 58,5

5 10,2 9,6 9,6 0,4 9,8 68,0 64,0 64,0 2,3 65,4

6 6,6 7,3 4,2 1,6 6,0 44,0 48,7 28,0 10,8 40,2

7 5,4 8,2 6,4 1,4 6,7 36,0 54,7 42,7 9,5 44,5

8 9,1 7,7 8,6 0,7 8,5 60,7 51,4 57,4 4,7 56,5

Rata-rata 52,7


(6)