45 SIG pada pengelolaan wilayah pesisir dapat diaplikasikan untuk pengaturan
tata ruang wilayah pengelolaan, antara lain ; untuk menduga wilayah potensi wisata, potensi perikanan da n wilayah pe ngemba ngan budida ya perikanan pesisir.
Selain itu SIG juga dapat digunakan untuk melihat terjadinya berbagai perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir Purwadhi 2001.
Khusus untuk aplikasi SIG di bidang perikanan, Meade n and Kapetsky 1991 menjelaskan tentang penggunaan SIG di bidang tersebut antara lain: 1
perencanaan untuk zonasi sumberdaya air, 2 pemetaan zonasi spesies biota air, c pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan secara intensif dan 4
identifikasi daerah pusat dimana inovasi kegiatan perikanan kemungkinan akan
menyebar. Terkait dengan kerentanan pulau-pulau kecil, pemetaan spasial akan
memberikan informasi data spasial tentang kondisi eksisting maupun kondisi yang telah lampau dari kawasan pulau kecil, sehingga dari data ini dapat diprediksi
tingkat kerentanan pulau dan variabel yang mempengaruhi kerentanan suatu kawasan Basir et al. 2010.
2.9 Pemanfaa tan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil
Keragaman hayati, sumberdaya perikanan dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekos istem pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil memiliki
ekosistem dengan produktifitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun seagrass, rumput laut sea weed da n hutan baka u mangrove ditemuka n.
Selain itu, pulau-pulau kecil juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan
kepariwisataan Pratikto 2005. Adrianto 2004, wilayah pulau-pulau kecil dapat dibagi menjadi beberapa
sub wilayah dalam perspektif ekos istem wilayah pesisir, yaitu 1 wilayah perairan lepas pantai coastal offshore zone, 2 wilayah pantai beach zone, 3
wilayah dataran rendah peisisir coastal lowland zone, 4 wilayah pesisir pedalaman inland zone. Potensi pemanfaatan dan permasalahan yang terjadi di
masing- masing sub wilayah disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Potensi Sumberdaya, Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil da n Ide ntifikasi Permasalahan di Sub-wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil
No Sub-Wilayah Potensi Sumberdaya dan
Pemanfaatan Potensi Persoalan
1 Perairan Lepas
Pantai • Sumberdaya Perikanan
• Wisata Bahari • Navigasi
• Pembuangan Limbah • Eksploitasi sumberdaya
perikanan • Polusi
• Kerusakan lingkungan akibat proses
pembangunan 2
Pantai • Ekstraksi Pasir
• Rekreasi • Pemukiman
• Reklamasi lahan • Pembangunan
Pelabuhan • Kerusakan habitat pesisir
akibat pembanguna n fisik
• Degradasi perlindungan alami banjir
• Konflik spasial • Penurunan Kualitas
lingkungan pesisir 3
Dataran Rendah Pesisir
• Habitat banyak spesies • Pembuangan limbah
• Reklamasi lahan • Degradasi kawasan
habitat pesisir • Polusi
4 Pedalaman
Pesisir • Sumberdaya lahan
untuk industri, perumahan
• Rekreasi • Infrastruktur da n
kegiatan pembanguna n lainnya.
• Konflik spasial • Degradasi kualitas lahan
• Penurunan kualitas lingkungan
Sumber : Debance 1999 in Adrianto 2004 Barkes 1994, secara umum model- model pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil PPK yang digunakan di beberapa wilayah pesisir yaitu mod el top-down inisiasi dan kontrol di pihak pemerintah atau sentralistik,
bottom-up inisiasi dan kontrol di pihak masyarakat pesisir atau desentralistik, co-management kemitraan antara dua pihak berkepentingan terhadap wilayah
pulau-pulau kecil, misalnya antara masyarakat dan pemerintah dan pengelolaan terpadu yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki kepentingan terhadap
sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil. Model pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil top-down lebih cenderung digunakan pada negara berkembang karena
kuatnya pemerintah dalam mengelola aset strategisnya. Model top-down
47 bertumpu pada format perencanaan, metode pelaksanaan dan manfaatnya di
pusatkan ke pemerintah nasional dan pemerintah daerah melaksanakan program tersebut. Pemerintah nasional membagi rata manfaat pengelolaan sumberdaya
wilayah pulau-pulau kecil ke pemerintah daerah, walau daerah tidak memiliki wilayah pesisir. Kelemahan model top-down adalah minimnya muatan karakter
lokal kearifan lokal di dalam pelaksanaanya sehingga seringkali berbenturan dengan realita dan masalah yang ada. Benturan tersebut berakibat terjadi dualisme
pengelolaan yaitu pengelolaan berbasis masyarakat yang telah berlangsung sejak dulu dengan konsep top-down. Sedangkan hal positif model ini yaitu besarnya
persediaan pendanaan dan efektifnya instrumen pengelolaan, seperti pengawasan dan penegakan hukum.
Model bottom-up adalah model pengelolaan yang telah lama digunakan oleh sebagian besar masyarakat pulau-pulau kecil yang memiliki hak tradisional dan
begitu kuat diakui. Saat sekarang model pengelolaan berbasis masyarakat ini masih ada, seperti sistem pengelolaan sasi, ondoapi, lebak bulung, panglima laot
atau sistem ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan. Kelemahan model bottom-up adalah mengenai pertanyaan tentang kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil,
instrumen yang tersedia makin sulit melakuka n pe negaka n hukum yang disepakati, legalitasnya masih sulit dipenuhi landasannya, hanya sedikit
masyarakat yang memahami prinsip pengelolaan mode l ini. Kelebihan mode l ini adalah dibe nt uk oleh masyarakat pulau-pulau kecil
sendiri dimana pelaksanaannya berdasarkan sistem norma, kepatuhan dan loyalitas Pratikto
2005. Model pengelolaan Co-management yang berpola kemitraan, menganggap
masyarakat pulau-pulau kecil dan pemerintah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil. Model ini
menitikberatkan bahwa masyarakat harus berkelompok sehingga koordinasi, pemilihan prioritas dan pengambilan keputusan lebih akomodatif dalam
meminimalkan bias dalam pencapaian tujuan. Proses dalam mode l ini biasa lebih menyita banyak waktu untuk tawar- menawar antara pihak pemerintah dan