KORELASI REGULASI DIRI DAN KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) KELAS IV SEKOLAH DASAR SE-GUGUS 3 KECAMATAN PENGASIH.

(1)

HALAMAN JUDUL

KORELASI REGULASI DIRI DAN KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN

ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) KELAS IV SEKOLAH DASAR SE-GUGUS 3

KECAMATAN PENGASIH

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Dini Annisa Nurbaety Elsola NIM 12108241134

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii


(3)

iii


(4)

iv HALAMAN PENGESAHAN


(5)

v

HALAMAN MOTTO MOTTO

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan),

tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmu lah engkau berharap.” (terjemahan Q.S Al-Insyirah: 5-8)

“Whenever you want to acheive something, keep your eyes open, concentrate and make sure you know exactly what it is you want. No one can hit their target with


(6)

vi HN

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga besar tercinta. 2. Agama, Nusa, Bangsa, dan Tanah Air tercinta. 3. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

vii ABSTRAK

KORELASI REGULASI DIRI DAN KONSEP DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN

ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) KELAS IV SEKOLAH DASAR SE-GUGUS 3

KECAMATAN PENGASIH

Oleh:

Dini Annisa Nurbaety Elsola NIM 12108241134

ABSTRAK

Motivasi berprestasi menjadi salah satu syarat untuk mengoptimalkan pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi regulasi dan konsep diri baik secara parsial maupun simultan dengan motivasi berprestasi peserta didik pada mata pelajaran IPA kelas IV.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode ex postfacto. Populasi pada penelitian ini adalah peserta didik kelas IV SD se-gugus 3 Kecamatan Pengasih yang berjumlah 114 peserta didik. Sampel terdiri dari 88 peserta didik yang ditentukan dengan teknik proportional random sampling menggunakan rumus Isaac and Michael. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket dengan skala Likert untuk mengumpulkan data regulasi diri, konsep diri, dan motivasi berprestasi peserta didik. Instrumen penelitian telah diujicobakan kepada 26 peserta didik. Validitas instrumen dilakukan oleh expert judgement dan menghitung dengan metode corrected item total correlation. Reliabilitas instrumen menggunakan rumus Alpha Cronbach. Uji prasyarat analisis yang dilakukan adalah uji linieritas, normalitas, dan multikolinieritas. Uji hipotesis data menggunakan teknik analisis korelasi parsial, korelasi ganda, dan regresi ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat korelasi signifikan antara regulasi diri secara parsial dengan motivasi berprestasi sebesar 0,363 dan sumbangan efektifnya 19,87%; 2) terdapat korelasi signifikan antara konsep diri secara parsial dengan motivasi berprestasi sebesar 0,676 dan sumbangan efektifnya 54,23%; dan 3) terdapat korelasi signifikan antara regulasi diri dan konsep diri secara simultan dengan motivasi berprestasi sebesar 0,861 dan sumbangan efektifnya 74,1%.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Korelasi Regulasi Diri dan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Peserta Didik pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Kelas IV Sekolah Dasar se-Gugus 3 Kecamatan Pengasih.”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan moral maupun material dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd. M. A, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi pada program studi S1 PGSD FIP Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Haryanto, M. Pd., dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan persetujuan atas pelaksanaan penelitian skripsi ini.

3. Bapak Dr. Suparlan, M. Pd. I., ketua jurusan Pendidikan Sekolah Dasar yang telah membantu kelancaran dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Pratiwi Pujiastuti, M. Pd., dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan selama menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Aprilia Tina Lidyasari, M. Pd., dosen pembimbing dalam menyusun instrumen angket.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 8

C.Pembatasan Masalah ... 9

D.Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Deskripsi Teori ... 13

1. Tinjauan tentang Regulasi Diri ... 13

a. Pengertian regulasi diri ... 13

b. Aspek regulasi diri ... 14

c. Karakteristik regulasi diri ... 16

d. Faktor-faktor yang memengaruhi regulasi diri ... 20

2. Tinjauan tentang Konsep Diri... 22

a. Pengertian konsep diri ... 22

b. Aspek-aspek konsep diri ... 23

c. Karakteristik konsep diri ... 26

d. Faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri ... 28

3. Tinjauan tentang Motivasi Berprestasi ... 30

a. Pengertian motivasi berprestasi ... 30

b. Teori motivasi ... 31

c. Karakteristik motivasi berprestasi ... 35

d. Faktor-faktor yang memengaruhi motivasi berprestasi ... 37

e. Fungsi motivasi berprestasi ... 40


(11)

xi

a. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ... 42

b. Tujuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Sekolah Dasar... 43

5. Tinjauan tentang Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar ... 44

6. Hubungan Regulasi Diri dengan Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... 48

7. Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... 49

8. Hubungan Regulasi Diri dan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... 50

B.Kajian Penelitian yang Relevan ... 52

C.Kerangka Pikir ... 54

D.Hipotesis Penelitian ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian ... 58

B.Variabel Penelitian ... 58

C.Tempat dan Waktu Penelitian ... 59

D.Populasi dan Sampel ... 59

E. Teknik Pengumpulan Data ... 62

F. Instrumen Penelitian ... 63

1. Definisi Operasional Variabel ... 63

2. Perencanaan dan Penulisan Butir Soal ... 64

3. Penyusunan dan Penyuntingan Item ... 68

4. Penyekoran Instrumen ... 68

5. Uji Coba Instrumen ... 68

6. Validitas Instrumen ... 68

7. Reliabilitas Instrumen ... 71

G.Teknik Analisis Data ... 71

1. Statistik Deskriptif ... 71

2. Uji Prasyarat Analisis ... 72

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 77

B.Hasil Analisis Deskriptif ... 78

1. Data Regulasi Diri ... 78

2. Data Konsep Diri ... 82

3. Data Motivasi Berprestasi IPA ... 85

C.Hasil Uji Prasyarat ... 89

1. Uji Normalitas ... 89

2. Uji Linearitas ... 89

3. Uji Multikolinieritas ... 90

D.Uji Hipotesis ... 91

1. Analisis Korelasi Parsial ... 91

2. Analisis Korelasi Ganda ... 93

3. Analisis Regresi Ganda ... 95

4. Analisis Sumbangan Efektif (SE%) dan Sumbangan Relatif (SR%) ... 96

E. Pembahasan ... 98


(12)

xii BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 106

B.Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Jumlah Peserta didik Kelas IV SD Se-gugus 3 Pengasih Kulon

Progo ... 61

Tabel 2. Daftar SD yang Menjadi Sampel Penelitian ... 62

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Regulasi Diri ... 65

Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Konsep Diri ... 66

Tabel 5. Kisi-kisi Instrumen Motivasi Berprestasi ... 67

Tabel 6. Distribusi Butir Layak dan Gugur Skala Regulasi Diri ... 70

Tabel 7. Distribusi Butir Layak dan Gugur Skala Konsep Diri ... 70

Tabel 8. Distribusi Butir Layak dan Gugur Skala Motivasi Berprestasi ... 70

Tabel 9. Koefisien Korelasi ... 71

Tabel 10. Hasil Analisis Deskriptif ... 78

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Regulasi DiriPeserta didik ... 79

Tabel 12. Klasifikasi Data Regulasi Diri Peserta didik ... 80

Tabel 13. Persentase Setiap Indikator Regulasi Diri Peserta Didik ... 81

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Konsep Diri Peserta didik... 83

Tabel 15. Klasifikasi Data Konsep Diri Peserta didik ... 84

Tabel 16. Persentase Setiap Indikator Konsep Diri Peserta Didik ... 85

Tabel 17. Distribusi Frekuensi Motivasi BerprestasiIPA Peserta didik... 86

Tabel 18. Klasifikasi Data Motivasi Berprestasi Peserta didik ... 87

Tabel 19. Persentase Setiap Indikator Motivasi Berprestasi IPA ... 88

Tabel 20. Rangkuman Hasil Uji Normalitas ... 89


(14)

xiv

Tabel 22. Rangkuman Hasil Multikolinieritas ... 90 Tabel 23. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi .... 93 Tabel 24. Rangkuman Hasil Uji Koefisien Determinasi Variabel X1 dan X2

Secara Parsial terhadap Variabel Y ... 96 Tabel 25. Ringkasan Hasil Perhitungan Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ... 97


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Fase Siklus Pengaturan Diri ... 15

Gambar 2. Hierarki Kebutuhan menurut Maslow ... 32

Gambar 3. Hubungan antarvariabel ... 56

Gambar 4. Diagram Distribusi Frekuensi Regulasi Diri Peserta Didik ... 80

Gambar 5. Diagram Kategori Regulasi Diri Peserta didik ... 81

Gambar 6. Diagram Distribusi Frekuensi Konsep Diri Peserta Didik ... 83

Gambar 7. Diagram Kategori Konsep Diri Peserta Didik ... 84

Gambar 8. Diagram Distribusi Frekuensi Motivasi Berprestasi IPA Peserta Didik ... 86


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Sekolah Dasar di Kecamatan Pengasih ... 114

Lampiran 2. Daftar Nama Peserta didik di SD se-Gugus 3 Kecamatan Pengasih ... 116

Lampiran 3. Data Uji Coba Instrumen Regulasi Diri ... 119

Lampiran 4. Data Uji Coba Instrumen Konsep Diri ... 120

Lampiran 5. Hasil Uji Coba Instrumen Motivasi Berprestasi ... 121

Lampiran 6. Tabel Nilai-Nilai r Product Moment ... 122

Lampiran 7. Tabel Nilai-Nilai Chi Kuadrat ... 123

Lampiran 8. Nilai-Nilai dalam Distribusi t ... 124

Lampiran 9. Tabel Nilai-Nilai untuk Distribusi F ... 125

Lampiran 10. Skala Uji Coba Regulasi Diri ... 126

Lampiran 11. Hasil Validitas Uji Coba Instrumen Regulasi Diri ... 127

Lampiran 12. Hasil Reliabilitas Uji Coba Instrumen Regulasi Diri ... 129

Lampiran 13. Skala Uji Coba Konsep Diri ... 131

Lampiran 14. Hasil Validitas Uji Coba Instrumen Konsep Diri ... 132

Lampiran 15. Hasil Reliabilitas Uji Coba Instrumen Konsep Diri ... 134

Lampiran 16. Skala Uji Coba Motivasi Berprestasi IPA ... 136

Lampiran 17. Hasil Validitas Uji Coba Instrumen Motivasi Berprestasi IPA ... 137

Lampiran 18. Hasil Reliabilitas Uji Coba Instrumen Motivasi Berprestasi IPA ... 139

Lampiran 19. Hasil Uji Multikolinieritas ... 141

Lampiran 20. Instrumen Penelitian ... 142

Lampiran 21. Data Hasil Penelitian Regulasi Diri ... 150

Lampiran 22. Data Hasil Penelitian Konsep Diri ... 151

Lampiran 23. Data Hasil Penelitian Motivasi Berprestasi IPA ... 153

Lampiran 24. Hasil Analisis Deskriptif Statistik ... 154

Lampiran 25. Hasil Uji Normalitas ... 158

Lampiran 26. Hasil Uji Linieritas Regulasi Diri dengan Motivasi Berprestasi ... 158

Lampiran 27. Hasil Uji Linieritas Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi ... 159

Lampiran 28. Hasil Uji Korelasi Parsial antara Regulasi Diri dengan Motivasi Berprestasi ... 159


(17)

xvii

Lampiran 29. Hasil Uji Korelasi Parsial antara Konsep Diri dengan Motivasi

Berprestasi ... 160

Lampiran 30. Hasil Uji Korelasi Ganda antara Regulasi Diri dan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi ... 160

Lampiran 31. Hasil Uji Regresi Ganda antara Regulasi Diri dan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi ... 161

Lampiran 32. Hasil Perhitungan Sumbangan Efektif (SE%) dan Sumbangan Relatif (SR%) ... 162

Lampiran 33. Foto Dokumentasi ... 163

Lampiran 34. Contoh Jawaban Peserta Didik ... 168

Lampiran 35. Surat Pernyataan Validator Instrumen... 173

Lampiran 36. Surat Uji Coba Instrumen ... 174

Lampiran 37. Surat Ijin Penelitian ... 183


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara pada hakikatnya bertujuan untuk menjadikan manusia yang merdeka secara batin pikiran dan tenaganya atau merdeka secara lahir dan batin. Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (b) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (c) sehat, mandiri, dan percaya diri; dan (d) toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, diperlukan adanya upaya mengembangkan potensi peserta didik di dalam proses pembelajaran.

Sedangkan dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 (M. Jumali. et.al., 2008: 91) dinyatakan bahwa pendidikan nasional mempunyai fungsi “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Fungsi pendidikan tersebut dirancang dan diimplementasikan dalam bentuk proses pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan peserta didik dengan tujuan tertentu.

Menurut Oemar Hamalik (2015: 54) proses pembelajaran itu berlangsung dalam situasi pembelajaran, di mana di dalamnya terdapat komponen-komponen


(19)

2

pembelajaran, yaitu tujuan, peserta didik, guru, metode, media, penilaian, dan situasi pembelajaran. Salah satu komponen pembelajaran yang telah disebut adalah peserta didik. Peserta didik merupakan salah satu komponen utama dalam pembelajaran. Dengan kata lain, peserta didik berperan sebagai subjek yang sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Terlebih peserta didik menjadi generasi yang akan menentukan nasib bangsa. Dalam hal ini diperlukan suatu upaya mempersiapkan generasi yang luwes, terampil memecahkan masalah, berpikir kreatif, suka bermusyawarah, dapat mengkomunikasikan gagasannya secara efektif, mampu bekerja secara efisien baik secara individu maupun dalam kelompok, dan mampu berprestasi.

Peserta didik mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, misalnya dalam hal motivasi berprestasi. Mc Clelland & Atkinson (dalam Sri E.W.D, 2006: 354) menyebutkan bahwa mootivasi berprestasi menjadi motivasi yang paling penting untuk psikologi pendidikan. Dengan demikian, guru tidak hanya sekedar proses penyampaian pengetahuan. Dalam hal ini, guru perlu mengoptimalkan pembelajaran, yaitu dengan mengembangkan kemampuan personal, melatih berpikir kritis dan inovatif, serta melibatkan peserta didik secara aktif selama proses pembelajaran.

Syarat untuk mengoptimalkan pembelajaran tersebut dapat dilakukan apabila peserta didik memiliki motivasi berprestasi. Motivasi menurut Djaali (2014: 101) adalah “kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (kebutuhan).” Motivasi menurut Oemar Hamalik (2015: 162), terbagi


(20)

3

dalam dua jenis, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan faktor pendorong yang berasal dari dalam diri peserta didik sendiri, sehingga setiap individu terdapat dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik terjadi apabila terdapat rangasangan atau dorongan dari luar. Dorongan dari luar tersebut bisa berupa insentif dan hukuman.

Adanya motivasi tersebut akan mendorong peserta didik untuk maju dan berprestasi. Terkait dengan motivasi untuk mencapai hasil yang terbaik pada proses pembelajaran, maka motivasi yang timbul adalah motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi merupakan hal yang terpenting dalam proses belajar, karena motivasi berprestasi akan menggerakkan, mengarahkan, dan memperkuat tingkah laku peserta didik. Menurut Djaali (2014: 107) “Motivasi berprestasi dapat diartikan dorongan untuk mengerjakan suatu tugas dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar keunggulan. Motivasi berprestasi bukan sekedar dorongan untuk berbuat, tetapi mengacu kepada suatu ukuran keberhasilan berdasarkan penilaian terhadap tugas yang dikerjakan seseorang.”

Dari defenisi tersebut dapat dinyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan dorongan pada diri seseorang untuk melakukan aktivitas dengan semaksimal mungkin untuk mencapai hasil dengan predikat unggul. Fernald & Fernald (dalam Zusy Aryanti, 2003) mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi dapat dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu keluarga dan kebudayaan, konsep diri, peran jenis kelamin, dan pengakuan terhadap prestasi. Schunk (2009: 504) juga menyebutkan salah satu faktor yang memengaruhi motivasi berprestasi yaitu regulasi diri.


(21)

4

Untuk memperoleh hasil dengan predikat unggul dalam proses pembelajaran, guru harus selalu berusaha membangkitkan motivasi peserta didik sehingga perhatian mereka fokus pada proses pembelajaran. Salah satu mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik selaku subjek pembelajaran adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang penting dan berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan Trianto (2010: 136-137) yang menjelaskan bahwa IPA merupakan suatu kumpulan teori yang sistematis dan penerapannya pada gejala-gejala alam, melalui metode ilmiah, sehingga terbentuk sikap ilmiah. Dengan demikian, mata pelajaran IPA mempunyai peran yang sangat penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang handal dan unggul. Oleh karena itu, penguasaan terhadap konsep IPA harus dipahami oleh peserta didik sejak dini.

Dalam proses pembelajaran IPA, tidak jarang peserta didik merasa bosan dan kurang aktif. Sering ditemukan peserta didik belajar dengan sistem kebut semalam atau sering disebut „SKS‟ di mana peserta didik belajar hingga larut malam dan akibatnya mereka menyontek saat ujian. Salah satu contohnya yaitu fenomena contek massal UN 2011 (Syaifud Adidharta, 2011). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan kemampuan peserta didik untuk mengontrol diri sendiri. Kemampuan tersebut disebut regulasi diri. Zimmerman (dalam Schunk, 2012: 545) menyatakan bahwa regulasi (pengaturan) diri merupakan proses yang digunakan peserta didik untuk memfokuskan pikiran, perasaan, dan tindakan secara sistematis untuk mencapai tujuan. Regulasi diri merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan seseorang dalam menjalani proses


(22)

5

pendidikannya (Schunk, 2012: 561). Sedangkan untuk mencapai prestasi dibutuhkan adanya motivasi berprestasi. Hal tersebut diperkuat oleh Pintrich, 2003; Wolters, 2003 (dalam Schunk, 2012: 585) yang menyebutkan bahwa “motivasi terkait erat dengan pengaturan diri.”

Berdasarkan alur pemikiran tersebut, maka regulasi diri akan memunculkan dorongan bagi peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hal tersebut penting dalam menumbuhkan motivasi berprestasi. Sebaliknya, jika peserta didik tidak memiliki regulasi diri yang baik, maka peserta didik tidak termotivasi. Selain regulasi diri, pemahaman konsep diri dalam diri peserta didik juga berkaitan erat dengan motivasi berprestasi. Hal ini sejalan dengan Hendriati Agustiani (2009: 138) menjelaskan bahwa “konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.” Fitts (dalam Hendriati Agustiani, 2009: 138) juga menambahkan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang.

Setiap orang bertingkah laku akan sesuai dengan konsep dirinya. Bila seorang peserta didik menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, maka peserta didik tersebut akan berusaha bertingkah laku rajin pula, misalnya belajar secara teratur, membuat catatan yang baik, dan mempelajari pelajaran dengan sungguh-sungguh. Schunk (2012: 541) juga menyebutkan “kontrol keyakinan berpengaruh kuat terhadap pencapaian prestasi. Konsep-diri dan pembelajaran memengaruhi satu sama lain dengan cara resiprokal.” Dari paparan tersebut menunjukkan bahwa konsep diri erat kaitannya dengan motivasi berprestasi.


(23)

6

Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan angket terbuka kepada peserta didik kelas IV di gugus 3 Kecamatan Pengasih yang terdiri dari delapan sekolah dasar, yaitu: 1) SDN Karangsari 1, 2) SDN Sendang, 3) SDN Kedungtangkil, 4) SDN Gunungdani, 5) SDN Kedungrejo, 6) SDN Karangsari 2, 7) SDN Ngento, dan 8) MI Ma‟arif Sendang pada tanggal 21-30 Oktober 2015 diperoleh informasi bahwa terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan proses pembelajaran IPA yaitu sebagai berikut.

Pertama, beberapa peserta didik belum terlihat memiliki motivasi berprestasi terhadap pembelajaran IPA. Hal tersebut dapat diketahui sebagian besar peserta didik tidak mengungkapkan pendapat ketika guru memintanya, ada peserta didik yang menjawab pertanyaan guru ketika diberi uang oleh guru, dan 80% peserta didik mengeluh ketika diberi soal evaluasi. Hasil angket terbuka yang dilakukan peneliti menunjukkan 70% peserta didik lebih menyukai pelajaran olah raga, SBK, agama, dan Bahasa Indonesia. Peserta didik mengatakan bahwa IPA adalah pelajaran yang sulit dan harus menghafal. Hal tersebut didukung hasil wawancara dengan beberapa kepala sekolah yang menyebutkan bahwa sebagian besar kejuaraan yang diperoleh oleh peserta didiknya berasal dari mata pelajaran SBK dan Bahasa Jawa. Motivasi peserta didik terhadap pelajaran eksak (Matematika dan IPA) perlu ditingkatkan. Kepala SD N Ngento menyatakan bahwa rata-rata nilai UN IPA tahun 2015 lebih rendah dibandingkan dengan dua mata pelajaran yang lainnya.

Kedua, peserta didik belum memiliki regulasi diri yang baik. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dan angket terbuka menunjukkan bahwa


(24)

7

50% peserta didik belajar ketika ada PR, ulangan, ujian, dan ketika diperintah orang tua saja. Sebagian besar peserta didik juga belum mengetahui makna belajar IPA. Beberapa peserta didik juga terlihat bermain, menjahili, dan berbicara dengan teman sebangkunya ketika proses pembelajaran IPA. Ketiga, peserta didik belum memiliki konsep diri yang baik. Hal tersebut dapat diketahui saat proses pembelajaran IPA, 90% peserta didik belum berani maju dan mengungkapkan pendapat. Hasil angket terbuka juga menunjukkan bahwa 75% peserta didik merasa takut, malu, tidak percaya diri, dan ragu-ragu ketika mengerjakan soal di papan tulis, menjawab pertanyaan guru dan menyampaikan pendapat. Keempat, 90% guru menggunakan metode ceramah dan sisanya menggunakan metode tanya jawab. Hal tersebut terlihat ketika guru mendominasi penyampaian materi dengan menggunakan buku cetak dan papan tulis. Kelima, guru jarang menggunakan media dalam proses pembelajaran IPA, karena fasilitas sekolah yang minim.

Beberapa permasalahan tersebut diperkuat dengan hasil dokumentasi peringkat 50 besar sekolah se-Kabupaten Kulon Progo dalam Latihan Ujian Nasional (LUN) Kabupaten tahun 2015 diperoleh data bahwa hanya ada satu sekolah dari gugus 3 Kecamatan Pengasih yang termasuk dalam peringkat 50 besar. Dari data tersebut, beberapa wali kelas IV dan kepala sekolah menyatakan bahwa motivasi berprestasi peserta didik menjadi PR bagi guru. Guru telah berusaha meningkatkan motivasi berprestasi peserta didik dengan memberikan pujian, hadiah, dan belajar di luar kelas. Sebagian besar peserta didik terlihat senang dengan mata pelajaran yang berkaitan dengan aktivitas di luar kelas.


(25)

8

Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti membatasi permasalahan pada regulasi diri, konsep diri, dan motivasi berprestasi IPA peserta didik yang kurang. Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam belajar. Apabila permasalahan tersebut tidak segera diatasi, maka akan menurunkan prestasi belajar dan perhatian peserta didik dalam pelajaran IPA. Motivasi berprestasi diduga erat kaitannya dengan kemampuan regulasi diri dan konsep diri peserta didik. Namun belum diketahui secara jelas tingkat regulasi diri dan konsep diri serta korelasi keduanya dengan motivasi berprestasi peserta didik. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting karena dengan mengetahui korelasi regulasi diri dan konsep diri dengan motivasi berprestasi, maka baik peserta didik maupun pihak lain dalam hal ini guru dapat melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasi pada diri peserta didik.

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah, maka muncul beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Motivasi berprestasi beberapa peserta didik pada mata pelajaran IPA kelas IV di SD se-Gugus 3 Kecamatan Pengasih masih kurang.

2. Peserta didik kelas IV di SD se-Gugus 3 Kecamatan Pengasih belum memiliki regulasi diri yang baik.

3. Peserta didik kelas IV di SD se-Gugus 3 Kecamatan Pengasih belum memiliki konsep diri yang baik.


(26)

9

4. Hampir 90% guru menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga peserta didik ada yang bermain dan tidak memerhatikan guru saat proses pembelajaran.

5. Beberapa sekolah menyebutkan bahwa sebagian besar kejuaraan yang diperoleh oleh peserta didiknya berasal dari mata pelajaran SBK dan Bahasa Jawa.

6. Guru jarang menggunakan media dalam proses pembelajaran IPA.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut dibatasi masalah regulasi diri, konsep diri, dan motivasi berprestasi IPA peserta didik kelas IV yang kurang di Sekolah Dasar se-gugus 3 Kecamatan Pengasih, Kulon Progo.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apakah terdapat korelasi antara regulasi diri secara parsial dengan motivasi berprestasi peserta didik pada mata pelajaran IPA kelas IV di Sekolah Dasar se-gugus 3 Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta?

2. Apakah terdapat korelasi antara konsep diri secara parsial dengan motivasi berprestasi peserta didik pada mata pelajaran IPA kelas IV di Sekolah Dasar se-gugus 3 Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta?


(27)

10

3. Apakah terdapat korelasi antara regulasi diri dan konsep diri secara simultan dengan motivasi berprestasi peserta didik pada mata pelajaran IPA kelas IV di Sekolah Dasar se-gugus 3 Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui ada tidaknya korelasi antara regulasi diri secara parsial dengan motivasi berprestasi peserta didik pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kelas IV Sekolah Dasar se-gugus 3 Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta.

2. Mengetahui ada tidaknya korelasi antara konsep diri secara parsial dengan motivasi berprestasi peserta didik pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kelas IV Sekolah Dasar se-gugus 3 Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta.

3. Mengetahui ada tidaknya korelasi antara regulasi diri dan konsep diri secara simultandengan motivasi berprestasi peserta didik pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kelas IV Sekolah Dasar se-gugus 3 Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Secara Teoritis


(28)

11

a. Dapat memberikan wawasan tentang korelasi regulasi diri dan konsep diri dengan motivasi berprestasi peserta didik.

b. Dapat mengetahui tingkat motivasi berprestasi peserta didik.

c. Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti yang relevan di masa mendatang.

2. Manfaat Secara Praktis a. Bagi sekolah

Penelitian ini digunakan untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan dalam kegiatan ilmiah. Pengembangan keilmuan ini dengan meneliti seberapa besar korelasi regulasi dan konsep diri dengan motivasi berprestasi dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.

b. Bagi peserta didik

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan pada peserta didik agar mempunyai motivasi berprestasi dalam pembelajaran IPA. Peserta didik diharapkan mampu menyadari bahwa IPA merupakan bekal yang penting bagi kehidupannya kelak, sehingga peserta didik akan mengatur dirinya, mempunyai keyakinan jika mereka memiliki kemampuan, memiliki dorongan untuk berprestasi, dan mampu meraih berbagai prestasi baik dalam bidang akademik maupun non akademik.

c. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan menambah wawasan guru mengenai seberapa besar korelasi regulasi diri dan konsep diri dengan motivasi berprestasi dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.


(29)

12

Sehingga diharapkan guru mampu menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasi peserta didik.

d. Bagi orang tua

Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan orang tua mengenai seberapa besar korelasi regulasi dan konsep diri dengan motivasi berprestasi. Sehingga diharapkan orang tua mampu menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasi putra-putrinya.


(30)

13

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Tinjauan tentang Regulasi Diri a. Pengertian regulasi diri

Teori Bandura menjadi dasar berkembangnya regulasi diri. Hal tersebut sesuai dengan Bandura, 1997; Pintrich, 2004; Pintrich & Zusho, 2002, B. Zimmerman, 2000; Zimmerman & Schunk, 2004 (dalam Schunk, 2012: 552) yang menyatakan bahwa prinsip teori kognitif sosial dari Albert Bandura telah diterapkan secara luas pada pengaturan (regulasi) diri. Teori tersebut menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan (Sugihartono, et.al., 2013: 101). Dari perspektif sosial kognitif, regulasi diri membutuhkan pilihan bagi peserta didik. Ini tidak berarti bahwa peserta didik selalu mengambil keuntungan dari pilihan yang tersedia, khususnya ketika mereka tidak memahami tentang apa yang dilakukan dan kemudian bertanya kepada guru.

Regulasi diri merupakan suatu alat bagi peserta didik untuk menyalurkan keinginan mereka dalam memenuhi kebutuhan kompetisinya (Elliot & Dweck, 2005: 6). Hal ini sejalan dengan pendapat Zimmerman (dalam Schunk, 2012: 545) menyatakan bahwa regulasi (pengaturan) diri merupakan proses yang digunakan peserta didik untuk memfokuskan pikiran, perasaan, dan tindakan


(31)

14

secara sistematis untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, regulasi diri berkaitan dengan proses pencapaian tujuan.

Schunk (2012: 561) menjelaskan bahwa regulasi diri merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan seseorang dalam menjalani proses pendidikannya. “Self-regulated learning refers to ability to controll all aspects of one’s learning, from advance planning to how one evaluates performance afterward” (Bruning, et.al., 2011: 114). Artinya regulasi diri merupakan kemampuan untuk mengontrol semua aspek pembelajaran, dari perencanaan hingga bagaimana mengevaluasi perilaku setelahnya. Dengan demikian, peserta didik yang memiliki regulasi diri akan muncul motivasi dalam dirinya. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa “motivasi terkait erat dengan pengaturan diri” (Pintrich, 2003; Wolters, 2003 dalam Schunk, 2012: 585).

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa regulasi diri merupakan kemampuan mengontrol diri sendiri yang mengarahkan pikiran, perasaan, dan tindakan yang direncanakan untuk mencapai tujuan personal. Peserta didik yang memiliki regulasi diri akan muncul motivasi dalam dirinya.

b. Aspek regulasi diri

Proses self regulation dilakukan agar seseorang atau individu dapat mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai suatu tujuan yang diharapkan, seseorang perlu mengetahui kemampuan fisik, kognitif, sosial, pengendalian emosi yang baik sehingga membawa seseorang kepada self regulation yang baik. Ajisuksmo (1958: 27) menyebutkan enam aspek regulasi


(32)

15

diri, yaitu mengecek, merencanakan, mengawasi, menguji, memperbaiki, dan mengevaluasi diri melalui proses pembelajaran yang aktif.

Schunk (2012: 141) menyebutkan tiga aspek utama dalam regulasi diri, yaitu pengawasan diri (perhatian yang disengaja terhadap aspek-aspek tertentu dari perilaku seseorang), pengajaran diri, dan penguatan diri (menguatkan diri sendiri untuk melakukan respon yang benar). Tiga aspek pengaturan diri menurut Ormrod (2008: 30) antara lain standar dan tujuan yang ditetapkan diri sendiri, cara memonitor dan mengevaluasi diri sendiri, dan konsekuensi yang ditentukan sendiri untuk setiap kesuksesan maupun kegagalan.

Sedangkan Zimmerman (dalam Schunk, 2012: 560) mengembangkan regulasi diri mencakup tiga fase, yaitu pemikiran, kinerja atau kendali, dan refleksi diri. Fase pemikiran mendahului kinerja aktual dan mengacu pada proses yang terjadi selama pembelajaran dan memengaruhi perhatian dan tindakan. Dalam fase ini, peserta didik membuat tujuan, terlibat dalam perencanaan strategi untuk mencapai tujuan. Kendali kinerja melibatkan strategi belajar yang memengaruhi motivasi. Selama refleksi diri, peserta didik melakukan evaluasi terhadap kinerja mereka. Berikut fase siklus pengaturan diri.

Gambar 1. Fase Siklus Pengaturan Diri (Zimmerman dalam Schunk, 2012: 560) Pemikiran

Kinerja atau kendali


(33)

16

Berdasarkan hasil uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa regulasi diri (self regulation) terdiri dari beberapa aspek. Regulasi diri menurut Zimmerman terdiri dari proses pemikiran yang mengawasi, mengatur, dan menguatkan diri, kemudian terdapat reaksi diri berupa kinerja yang menggunakan beberapa strategi untuk mencapai tujuan, serta diakhiri dengan proses refleksi yang di dalamnya terdapat proses evaluasi diri terhadap kinerja yang telah dilakukan.

c. Karakteristik regulasi diri

Schunk (2012: 561) menyebutkan “peserta didik bisa mengubah proses pengaturan diri dengan bekerja lebih keras, lebih tekun, mengadopsi apa yang mereka yakini sebagai strategi yang lebih baik, atau mencari bantuan dari guru dan teman.” Zimmerman (1990: 7) menyebutkan empat belas strategi regulasi diri dalam belajar antara lain adalah sebagai berikut.

1) Self evaluation, yaitu peserta didik menunjukkan inisiatifnya untuk mengevaluasi kualitas atau kemajuan kerja yang sudah dilakukannya. 2) Organization and transformation, yaitu peserta didik menunjukkan

inisiatifnya untuk mengatur atau menyusun kembali materi pelajaran untuk mempermudah proses belajarnya.

3) Goal setting and planning, yaitu peserta didik menetapkan tujuan akademik dan perencanaan aktivitas yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.


(34)

17

4) Seeking information, yaitu peserta didik menunjukkan usaha yang dilakukan untuk mencari sumber yang dibutuhkan dalam mengerjakan tugas dari sumber-sumber nonsosial.

5) Record keeping and self monitoring, yaitu peserta didik berinisiatif merekam suatu peristiwa atau hasil yang telah dicapai.

6) Environmental structuring, yaitu peserta didik mengatur lingkungan belajarnya agar dapat belajar lebih baik, baik lingkungan fisik maupun psikologis.

7) Giving self-consequences, yaitu peserta didik menunjukkan konsekuensi terhadap keberhasilan maupun kegagalannya.

8) Rehearsing and memorizing, yaitu peserta didik mengingat materi pelajaran dengan latihan.

9) Seeking social assistance from peers, yaitu peserta didik meminta bantuan kepada teman dalam kelompoknya.

10)Seeking social assistance from teachers, yaitu peserta didik meminta bantuan kepada guru.

11)Seeking social assistance from other adults, yaitu peserta didik meminta bantuan kepada orang dewasa lainnya.

12)Reviewing notes, yaitu peserta didik berinisiatif melihat kembali catatan. 13)Reviewing books, yaitu peserta didik berinisiatif melihat kembali buku

pelajaran.

14)Reviewing tests, yaitu peserta didik berinisiatif melihat kembali soal-soal ujian yang pernah dilakukan.


(35)

18

Sedangkan menurut Vermunt (dalam Ajisuksmo, 1996: 31) menjelaskan delapan aktivitas regulasi adalah menetapkan tujuan (orienting), merencanakan (planning), memantau (monitoring), menguji (testing), mendiagnosa (diagnosing), mengevaluasi (evaluating), dan merefleksi (reflecting). Clara R.P. Ajisuksmo (1996: 31) juga menambahkan bahwa salah satu komponen penting dalam regulasi diri adalah peserta didik memahami makna belajar, sehingga mereka mengetahui cara mengatur dirinya saat proses pembelajaran.

Ormrod (2008: 38) menjelaskan delapan karakteristik proses regulasi diri adalah sebagai berikut.

1) Penetapan tujuan (goal setting)

Peserta didik mengatur dirinya tentang apa yang ingin mereka capai ketika belajar. Dengan kata lain peserta didik telah mampu menetapkan pencapaian/target saat belajar. Selain itu, peserta didik juga mengaitkan tujuan-tujuan aktivitas belajar dengan tujuan dan cita-cita jangka panjang.

2) Perencanaan (planning)

Peserta didik mengatur diri dalam menggunakan waktu dan segala sumber daya atau fasilitas belajar yang ada. Dalam hal ini peserta didik mampu merencanakan waktu dan fasilitas belajar yang dapat mendukung aktivitas belajarnya.


(36)

19 3) Motivasi diri (self-motivation)

Peserta didik dengan regulasi diri yang baik akan menyelesaikan suatu tugas dengan sukses. Mereka mengarahkan proses belajar agar lebih menyenangkan, mengingatkan diri mereka sendiri akan pentingnya mengerjakan tugas dengan baik, dan menjanjikan kepada diri mereka sendiri hadiah tertentu begitu suatu tugas selesei dikerjakan.

4) Kontrol atensi (attention control)

Peserta didik mengatur dirinya dengan berusaha memfokuskan perhatian mereka pada pelajaran yang sedang berlangsung dan menghindari diri dari hal-hal yang mengganggu.

5) Penggunaan strategi belajar yang fleksibel (flexible use of learning strategies)

Peserta didik dengan regulasi diri baik akan memiliki strategi belajar yang berbeda tergantung tujuan spesifik yang akan mereka capai. Dalam hal ini, peserta didik mampu menetapkan berbagai strategi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

6) Monitor diri (self-monitoring)

Peserta didik dengan regulasi diri baik akan terus memonitor kemajuan mereka dalam kerangka tujuan yang telah ditetapkan.

7) Mencari bantuan yang tepat (appropriate help seeking)

Peserta didik dengan regulasi diri yang baik tidak selalu harus berusaha sendiri. Mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan orang lain dan mencari bantuan semacam itu.


(37)

20 8) Evaluasi diri (self-evaluation)

Peserta didik yang mampu mengatur diri menentukan apakah yang mereka pelajari telah memenuhi tujuan awal mereka.

Dari beberapa uraian tersebut, maka peneliti menggunakan karakteristik menurut Ormrod sebagai indikator instrumen regulasi diri, yaitu penetapan tujuan, perencanaan, motivasi diri, kontrol atensi, penggunaan strategi belajar yang fleksibel, monitor diri, mencari bantuan yang tepat, dan evaluasi diri. d. Faktor-faktor yang memengaruhi regulasi diri

Feist dan Gregory J. Feist (2013: 219-222) menjelaskan dua faktor yang memengaruhi regulasi diri (self regulation), yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal dan faktor internal akan dijelaskan sebagai berikut. 1) Faktor eksternal dalam regulasi diri

Faktor eksternal memengaruhi regulasi diri dengan dua cara: a) Standar

Faktor eksternal memberikan standar untuk mengevaluasi tingkah laku diri individu sendiri. Standar tidak hanya berasal dari daya-daya internal saja, namun juga berasal dari faktor-faktor lingkungan. Anak akan belajar melalui orang tua dan gurunya.

b) Penguatan (reinforcement)

Faktor eksternal memengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Individu membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Insentif untuk dapat menyelesaikan suatu proyek biasanya dalam bentuk penghargaan, sedangkan untuk


(38)

21

performa yang mengecewakan akan mendapat hukuman dari lingkungan.

2) Faktor internal dalam regulasi diri

Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri. Bandura (dalam Feist, 2013: 220-221) mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal adalah sebagai berikut.

a) Observasi diri (self observation)

Observasi diri dilakukan dengan memonitor penampilan diri sendiri, meskipun tidak lengkap atau akurat. Selain itu, perlu adanya perhatian secara selektif terhadap beberapa aspek perilaku dan melupakan yang lainnya sepenuhnya.

b) Proses penilaian (judgmental process)

Proses penilaian bergantung pada empat hal, yaitu standar pribadi, performa rujukan, pemberian nilai pada kegiatan, dan atribusi terhadap performa. Standar pribadi bersumber dari pengamatan model, misalnya orang tua atau guru. Standar pribadi adalah proses evaluasi yang terbatas. Sebagian besar aktivitas mengevaluasi performa dengan membandingkan dengan standar acuan.

Di samping standar pribadi dan standar acuan, proses penilaian juga bergantung pada keseluruhan nilai yang didapatkan individu dalam sebuah aktivitas. Sehingga regulasi diri akan mendorong individu mencari penyebab-penyebab tingkah laku untuk mencapai tujuan personal.


(39)

22 c) Reaksi diri (self response)

Setiap individu akan merespon perilakunya, baik secara positif maupun negatif. Bandura meyakini bahwa manusia menggunakan strategi reaktif dan proaktif untuk mengatur dirinya. Misalnya seorang peserta didik yang rajin dan telah menyelesaikan tugas dapat memberikan penghargaan pada dirinya sendiri dengan menonton program televisi kesukaannya.

Berdasarkan hasil uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi regulasi diri seseorang ada dua faktor-faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari standar dan penguatan (reinforcement), sedangkan faktor internal terdiri dari observasi diri (self observation), proses penilaian (judgmental process), dan reaksi diri (self response).

2. Tinjauan tentang Konsep Diri a. Pengertian konsep diri

Konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton Cooley (1864-1929) yang dinamakan looking-glass self, George Herbert Mead (1863-1931), dan Gordon E. Allport (1943). Pada teori motivasi, Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970), konsep diri muncul sebagai tema utama psikologi humanistik (Sugihartono, et.al., 2013: 118-119). Hendriati Agustiani (2009: 138) menjelaskan bahwa “konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.” Fitts (dalam Hendriati


(40)

23

Agustiani, 2009: 138) juga menambahkan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang.

Sedangkan menurut Anant Pai (dalam Djaali, 2014: 129-130) “konsep diri merupakan pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya serta bagaimana perilakunya berpengaruh terhadap orang lain.” Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa konsep diri merupakan pemahaman individu tentang tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan, sehingga berpengaruh terhadap orang lain dan tingkah laku individu sendiri. Konsep diri berperan sebagai pedoman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Peserta didik yang memiliki konsep diri positif akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka akan berperilaku sesuai dengan apa yang diyakininya.

b. Aspek-aspek konsep diri

Fitts (dalam Hendriati Agustiani, 2009: 139-142) melengkapi aspek konsep diri dengan membagi konsep diri menjadi 2 dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi ekternal sebagai berikut.

1) Dimensi internal

Dimensi internal merupakan penilaian yang dilakukan individu untuk menilai dirinya berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi internal dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.


(41)

24 a) Diri identitas (identity self)

Diri identitas berkaitan dengan identitas diri individu itu sendiri, misalnya gambaran tentang dirinya dan berkaitan dengan pemberian label kepada diri oleh individu yang bersangkutan.

b) Diri pelaku (behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya. Diri yang kuat ditunjukkan dengan kesesuaian antara diri identitas dengan dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat menerima baik dari diri identitas maupun diri pelakunya.

c) Diri penerimaan/penilaian (judging self)

Diri penerimaan berkaitan dengan kepuasaan seseorang akan dirinya. Jika individu mempunyai kepuasaan yang tinggi pada dirinya, maka individu tersebut akan mengembangkan dirinya. Sebaliknya, jika seseorang tidak mempunyai kepuasaan terhadap dirinya, maka ia akan mengalami ketidakpercayaan diri dan rendah diri.

2) Dimensi eksternal

Dimensi eksternal merupakan penilaian individu melalui hubungannya dengan orang lain melalui aktivitas sosial, nilai-nilai yang dianut di dalam masyarakat, ataupun hal-hal lain di luar dirinya. Fits membagi dimensi eksternal menjadi lima bentuk, yaitu sebagai berikut.

a) Diri fisik (psysical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang tentang keadaannya secara fisik. Contohnya mengenai kesehatan diri, penampilan dirinya


(42)

25

(cantik, jelek, menarik atau tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk atau kurus).

b) Diri etik-moral (moral-ethical self)

Diri etik-moral merupakan persepsi seseorang yang didasarkan pada standar pertimbangan secara moral dan etika. Hal ini berhubungan dengan Tuhan, kepuasaan seseorang akan agamanya, dan nilai moral.

c) Diri pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan persepsi seseorang mengenai keadaan pribadinya. Dalam hal ini menyangkut sejauh mana individu merasa sebagai pribadi yang tepat.

d) Diri keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Dalam hal ini, diri keluarga berkaitan dengan peran individu sebagai anggota keluarga.

e) Diri sosial (sosial self)

Diri sosial merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Dalam hal ini, lingkungan sosial berkaitan dengan peran individu sebagai anggota dalam lingkungan masyarakat.

Atwater (dalam Desmita, 2006: 180) mengidentifikasi konsep diri menjadi tiga bentuk, yaitu (1) body image, yaitu kesadaran tentang tubuhnya berupa pandangan seseorang tentang dirinya, (2) ideal self, yaitu


(43)

harapan-26

harapan seseorang mengenai dirinya, dan (3) social self, yaitu pandangan orang lain melihat dirinya. Semua bentuk konsep diri tersebut akan memengaruhi tingkah laku seseorang di dalam kehidupannya.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Atwater membagi konsep diri menjadi tiga bentuk, yaitu (1) body image, (2) ideal self, dan (3) social self. Aspek diri tersebut membentuk suatu kesatuan diri yang utuh dalam rangka menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Peneliti menggunakan tujuh dimensi konsep diri menurut Fitts sebagai indikator instrumen terdiri atas diri identitas, diri pelaku, diri penilai, diri fisik, diri etik-moral, diri keluarga, dan diri sosial.

c. Karakteristik konsep diri

Menurut Jalaluddin Rakhmat (2015: 103-104) konsep diri dibagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut.

1) Konsep diri positif

Jalaluddin Rakhmat (2015: 104) menyampaikan lima tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri positif adalah sebagai berikut.

a) Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. b) Ia merasa setara dengan orang lain.

c) Ia menerima pujian tanpa rasa malu.

d) Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. e) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan

aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.

Sedangkan Aunurrahman (2012: 12-13) menyebutkan tujuh tanda-tanda seseorang yang memiliki konsep diri positif antara lain: 1) memiliki pengetahuan yang luas tentang diri sendiri, 2) memiliki kemampuan


(44)

27

memahami kelebihan dan kelemahan diri sendiri, 3) memiliki keinginan yang kuat untuk berubah, 4) mampu menghargai dan menerima orang lain apa adanya, 5) terbuka menerima kritikan orang lain, 6) memiliki sistem pertahanan diri yang kuat, dan 7) memiliki kontrol internal diri. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa karakteristik individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah memiliki persepsi diri yang luas, percaya diri, optimis, dapat menerima pujian maupun kritik, menghargai orang lain, dan mampu memperbaiki dirinya.

2) Konsep diri negatif

Williarn D. Brooks & Philip Emmert (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2015: 103-104) menyebutkan empat ciri orang yang memiliki konsep diri negatif, yaitu peka pada kritik, responsif terhadap pujian, cenderung merasa tidak disenangi orang lain, dan pesimis terhadap kompetisi. Hurlock (dalam Sukma Amperiana, 2010: 28) menyatakan bahwa konsep diri negatif akan muncul jika seseorang mengembangkan perasaan rendah diri, merasa ragu, kurang pasti serta kurang percaya diri.

Hal ini sejalan dengan Aunurrahman (2012: 13) yang menyebutkan ciri-ciri seseorang yang memiliki konsep diri negatif antara lain: 1) pengetahuan tentang diri sendiri sempit, 2) memiliki pemahaman diri yang parsial, 3) tidak memiliki keinginan yang kuat untuk berubah, 4) kurang dapat menghargai dan menerima orang lain apa adanya, 6) mudah terpengaruh oleh lingkungan negatif, dan 7) kontrol diri eksternal. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa


(45)

28

karakteristik individu yang memiliki konsep diri yang negatif adalah memiliki persepsi diri yang sempit, pesimis, kurang percaya diri, merasa ragu, merasa tidak disenangi orang lain, responsif terhadap pujian maupun kritik, dan kurang menghargai orang lain.

d. Faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri

Jalaluddin Rakhmat (2015: 99-102), menjelaskan tiga faktor yang memengaruhi konsep diri adalah sebagai berikut.

1) Orang lain

Harry Stack Sullivan (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2015: 99-100) menjelaskan bahwa “jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita.”

2) Kehidupan

Jalaluddin Rakhmat (2015: 101) menerjemahkan sebuah puisi karya Dorothy Law Nolte dapat diketahui bahwa dari kehidupan yang dialami seseorang akan memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku.

3) Kelompok rujukan (reference group)

Dalam kehidupan, setiap individu pasti menjadi bagian dari anggota masyarakat yang di dalamnya terdapat norma-norma. Norma-norma tersebut akan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri seseorang.


(46)

29

Fitts (dalam Hendriati Agustiani, 2009: 139) menyebutkan bahwa konsep diri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengalaman, kompetensi, dan aktualisasi diri. Sebagian besar penggunaan waktu anak sekolah dasar dihabiskan di sekolah untuk berinteraksi dengan guru dan teman-temannya. Oleh karena itu, guru sebaiknya memberikan motivasi dan penguatan positif kepada peserta didik apabila peserta didik mengalami kegagalan dan memberikan dukungan apabila anak memperoleh keberhasilan dalam bidang akademik maupun non akademiknya.

Studi dari Meichanbeum (dalam Slameto, 2013: 184) mengatakan bahwa “bila peserta didik dibantu menyatakan hal-hal positif mengenai dirinya dan diberi penguatan, maka hal itu akan menghasilkan konsep diri yang positif.” Slameto (2013:183) juga berpendapat bahwa “keberhasilan dan kegagalan memengaruhi diri seseorang secara berlainan.” Kegagalan yang dialami seseorang berulang kali, kemungkinan apabila terjadi kegagalan yang baru akan mengurangi motivasinya untuk mencapai tujuan. Untuk menghindari kegagalan atau ketakutan pada diri peserta didik, biasanya peserta didik memakai cara-cara sebagai berikut.

1) Menghindari penilaian diri sendiri, sehingga tidak mengetahui kesahalannya.

2) Membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki kemampuan yang lebih rendah.

3) Hanya memilih tugas-tugas yang sangat muda.

4) Menghindari partisipasi yang dapat menyebabkan kegagalan.

5) Menolak tanggungjawab untuk kegagalan yang terjadi (Slameto, 2013: 183)

Dari beberapa uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri adalah orang lain, kehidupan, dan kelompok


(47)

30

rujukan. Oleh karena itu, guru harus memberikan motivasi kepada peserta didik agar tidak terlarut dan takut akan perasaan gagal atau mengingat kegagalan di masa lalu. Guru harus mendorong peserta didik memikirkan hal-hal positif tentang dirinya, agar tetap berupaya meraih cita-citanya.

3. Tinjauan tentang Motivasi Berprestasi a. Pengertian motivasi berprestasi

Motivasi menurut Oemar Hamalik (2015: 158) adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan adanya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Hal ini sejalan dengan Aunurrahman (2012: 114) yang menyatakan bahwa “motivasi merupakan tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki energi atau kekuatan melakukan sesuatu dengan penuh semangat.”

Adapun Greenberg (dalam Djaali, 2014: 101) menyebutkan bahwa motivasi adalah proses membangkitkan, mengarahkan, dan memantapkan perilaku arah suatu tujuan. Dimyati & Mudjiono (2006: 80) memandang motivasi sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia termasuk perilaku dalam belajar. Komponen utama dalam motivasi, yaitu kebutuhan, dorongan, dan tujuan.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa motivasi merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu aktivitas atau tugas tertentu sehingga mampu mencapai suatu tujuan. Dalam proses pembelajaran, motivasi erat kaitannya dengan pencapaian


(48)

31

prestasi. Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu ”presesatie” yang kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi ”prestasi” yang berarti hasil usaha.

Motivasi berprestasi menjadi hal yang utama dalam proses pembelajaran untuk mencapai prestasi tersebut. Achievement motivation (motivasi berprestasi) menurut Elliot & Church (dalam Schunk, 2012: 491) adalah “usaha untuk menjadi kompeten dalam aktivitas yang penuhperjuangan”. Mc Clelland mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi merupakan motivasi yang berhubungan dengan pencapaian beberapa standar kepandaian atau standar keahlian (Djaali, 2014: 103).

Hal ini sejalan dengan Djaali (2014: 107) yang menjelaskan “motivasi berprestasi dapat diartikan dorongan untuk mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar keunggulan. Motivasi berprestasi bukan sekedar dorongan untuk berbuat, tetapi mengacu kepada suatu ukuran keberhasilan berdasarkan penilaian terhadap tugas yang dikerjakan seseorang.”

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan motivasi berprestasi merupakan dorongan pada diri seseorang baik dari dalam maupun dari luar untuk melakukan aktivitas dengan semaksimal mungkin agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji atau unggul. Dalam proses pembelajaran, peserta didik yang memiliki motivasi berprestasi akan belajar dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil yang maksimum.

b. Teori motivasi

Lima teori motivasi menurut Siagian (2012: 140-179) antara lain sebagai berikut.


(49)

32 1) Teori kebutuhan

Teori kebutuhan memfokuskan pada apa yang dibutuhkan individu untuk hidup secara berkecukupan. Teori ini berfokus pada pemahaman bahwa seseorang menjadi termotivasi jika belum mencapai kebutuhan/kepuasan tertentu dalam kehidupannya. Abraham Maslow mengembangkan hierarki kebutuhan, yang mengelompokkan kebutuhan menjadi lima macam sebagaimana digambarkan pada hierarki berikut.

Gambar 2. Hierarki Kebutuhan menurut Maslow

Sehubungan dengan kebutuhan hidup manusia yang mendasari timbulnya motivasi, Maslow mengungkapkan bahwa kebutuhan dasar hidup manusia terbagi atas lima tingkatan, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Djaali, 2014: 101-102).

a) Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan pokok yang harus dipenuhinya dengan segera seperti keperluan untuk makan,minum, berpakaian, dan bertempat tinggal.

b) Kebutuhan keamanan, yaitu kebutuhan seseorang untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan, atau perlindungan

Aktuali-sasi diri Harga diri Kebutuhan

sosial

Kebutuhan aman dan nyaman Kebutuhan Fisiologis


(50)

33

dari ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup dan kehidupan dengan segala aspeknya.

c) Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan seseorang untuk disukai dan mencintai, bergaul, berkelompok, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

d) Kebutuhan akan harga diri, yaitukebutuhan seseorang untuk memperoleh kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan, dan pengakuan.

e) Kebutuhan akan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan seseorang untuk memperoleh kebanggaan, kekaguman, dan kemasyhuran sebagai pribadi yang mampu dan berhasil mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa.

2) Teori penentuan tujuan

Kejelasan tujuan yang hendak dicapai seseorang dalam melaksanakan tugasnya akan menumbuhkan motivasi yang semakin besar. Ditekankan dalam teori ini bahwa semakin besar partisipasi seseorang dalam menentukan tujuan itu, semakin besar pula motivasinya untuk meraih keberhasilan (Siagian, 2012: 174).

3) Teori penguatan

Teori penguatan mengasumsikan bahwa motivasi dapat dimodifikasi akibat adanya faktor dorongan dari luar yaitu adanya penguatan dan pengekangan untuk melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu. Penguatan dapat diciptakan oleh lingkungan sosial atau oleh suatu regulasi yang mengatur individu. Penguatan positif (positive reinforcement) baik berupa hadiah atau peningkatan status untuk pencapaian sesuatu dapat membangkitkan motivasi individu untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya adanya penguatan negative (negative reinforcement) dapat menyebabkan seseorang berusaha untuk menghindari sesuatu.


(51)

34 4) Teori keadilan

Teori ini berasumsi bahwa motivasi dapat timbul akibat kondisi ketidakadilan. Ketidakadilan dapat dipersepsikan sebagai kondisi nyata ketidakadilan maupun sebagai “ketidakadilan yang dipersepsi.” Ketidakadilan nyata dapat terjadi akibat adanya diskriminasi hak dan kewajiban.

Persepsi seseorang tentang keadilan perlakuan terhadap dirinya sangat dipengaruhi oleh pandangan orang yang bersangkutan mengenai dirinya sendiri (Siagian, 2012: 179). Contohnya jika seorang peserta didik mendapatkan nilai yang kurang baik, sementara peserta didik lainnya mendapatkan nilai yang lebih baik; maka dia dapat menganggap bahwa terjadi “ketidakadilan” karena keduanya telah sama-sama berusaha belajar, sehingga timbul upaya untuk mengejar dengan belajar lebih giat untuk mencapai prestasi.

5) Teori harapan

Teori harapan mengasumsikan bahwa kuatnya motivasi seseorang berprestasi tergantung pada pandangannya tentang betapa kuatnya keyakinan yang terdapat dalam dirinya bahwa ia akan dapat mencapai apa yang diusahakan untuk dicapai (Siagian, 2012: 180). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa teori motivasi menurut Siagian terdiri dari teori kebutuhan, penentuan tujuan, penguatan, keadilan, dan harapan.


(52)

35 c. Karakteristik motivasi berprestasi

Ausubel mengemukakan bahwa motivasi berprestasi terdiri atas tiga komponen, yaitu dorongan kognitif, an ego-enhacing one, dan komponen afilasi. Dorongan kognitif adalah keinginan peserta didik untuk mempunyai kompetensi dalam subjek yang ditekuninya serta keinginan untuk menyelesaikan tugas yang dihadapinya dengan hasil yang sebaik-baiknya. An ego-enhanching one adalah keinginan peserta didik untuk meningkatkan status dan harga dirinya (self esteem), misalnya dengan jalan berprestasi dalam segala bidang, sedangkan komponen afilasi adalah keinginan peserta didik untuk selalu berafiliasi dengan peserta didik lain (Djaali, 2014: 104).

Ormrod (2008: 126) menyebutkan karakteristik motivasi peserta didik tingkat kelas 3-5 antara lain: 1) munculnya minat yang agak stabil, 2) meningkatnya fokus pada tujuan, 3) pengakuan bahwa usaha dan kemampuan saling mengimbangi, 4) meningkatnya kepercayaan tentang kemampuan bawaan, dan 5) meningkatnya kesadaran tentang jenis-jenis atribusi yang akan memunculkan reaksi positif dari orang lain. Djaali (2014: 109-110) menyebutkan enam karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi adalah sebagai berikut.

1) Menyukai situasi atau tugas yang menuntut tanggung jawab pribadi atas hasil-hasilnya dan bukan atas dasar untung-untungan, nasib, atau kebetulan.

2) Memilih tujuan yang realistis tetapi menantang dari tujuan yang terlalu mudah dicapai atau terlalu besar risikonya.

3) Mencari situasi atau pekerjaan di mana ia memperolah umpan balik dengan segera dan nyata untuk menentukan baik atau tidaknya hasil pekerjaannya.


(53)

36

5) Mampu menangguhkan pemuasan keinginannya demi masa depan yang lebih baik.

6) Tidak tergugah untuk sekedar mendapatkan uang, status, atau keuntungan lainnya,ia akan mencarinya apabila hal-hal tersebut merupakan lambang prestasi, suatu ukuran keberhasilan.

Hal tersebut sejalan dengan Sardiman A.M. (2007: 85) yang menyebutkan delapan karakteristik seseorang yang memiliki motivasi berprestasi adalah tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, lebih senang bekerja mandiri, cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin, dapat mempertahankan pendapatnya, tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu, serta senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

Dari beberapa pendapat tersebut, peneliti menggunakan enam karakteristik motivasi berprestasi menurut Sardiman sebagai indikator instrumen penelitian. Indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut

1) Tekun menghadapi tugas, artinya peserta didik akan bekerja keras terus-menerus dalam waktu yang lama dan sungguh-sungguh dalam melakukan aktivitas belajar.

2) Ulet menghadapi kesulitan, artinya peserta didik tidak mudah putus asa dan tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya. Peserta didik akan tetap berusaha mempertahankan dan meningkatkan prestasi yang telah diraihnya.

3) Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, artinya peserta didik menunjukkan adanya rasa suka dan senang berpartisipasi dalam memecahkan masalah.


(54)

37

4) Lebih senang bekerja mandiri, artinya peserta didik akan lebih senang mengerjakan suatu aktivitas tanpa bantuan orang lain.

5) Cepat bosan pada tugas yang rutin, artinya peserta didik cenderung menyukai tantangan dan cenderung menolak tugas yang rutin.

6) Dapat mempertahankan pendapatnya, artinya peserta didik cenderung teguh pendirian dan tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.

d. Faktor-faktor yang memengaruhi motivasi berprestasi

Motivasi berprestasi merupakan suatu proses psikologis dengan usaha yang semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan dengan predikat unggul. Menurut Martianah (Sugiyanto, 2007: 5-6) motivasi berprestasi sebagai proses psikologis dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor-faktor yang memengaruhi motivasi berprestasi adalah sebagai berikut.

1) Faktor individu (intern)

Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu, yaitu sebagai berikut.

a) Kemampuan

Kemampuan merupakan kekuatan yang dimiliki sesorang sebagai pendorong atau penggerak dalam melakukan suatu tindakan. Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi biasanya didukung oleh kemampuan yang tinggi pula.

b) Kebutuhan

Sehubungan dengan kebutuhan hidup manusia yang mendasari timbulnya motivasi, Maslow mengungkapkan bahwa


(55)

38

kebutuhan dasar hidup manusia terbagi atas lima tingkatan, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Djaali, 2014: 101-102).

c) Minat

“Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh.” (Slameto, 2013: 180). Individu yang memiliki minat, akan ditunjukkan melalui partisipasinya dalam suatu aktivitas. Individu tersebut cenderung akan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subjek tersebut.

d) Harapan/keyakinan

Menurut Atkinson (dalam Djaali, 2014: 105) menyatakan bahwa “makin besar harapan seseorang terhadap suatu objek dan makin tinggi nilai objek itu bagi orang tersebut, berarti makin besar motivasinya.” Seseorang yang memiliki harapan dan keyakinan yang kuat, maka akan mendorongnya untuk menggapai harapan tersebut dengan usaha yang tinggi.

e) Regulasi Diri

“Motivation is intimately linked with self-regulation (Pintrich dalam Schunk, 2009: 503). Motivasi berhubungan erat dengan regulasi diri. Seseorang yang memiliki regulasi diri yang baik akan termotivasi untuk mencapai tujuan.


(56)

39 f) Konsep Diri

Fernald & Fernald (dalam Zusy Aryanti, 2003) mengungkapkan salah satu faktor yang memengaruhi motivasi berprestasi adalah konsep diri. Apabila seorang individu meyakini dirinya mampu melakukan suatu hal, maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya.

2) Faktor lingkungan (ekstern)

Mc Clelland (dalam Sugiyanto, 2007: 6-7), beberapa faktor lingkungan yang dapat membangkitkan motivasi berprestasi adalah sebagai berikut.

a) Adanya norma standar yang harus dicapai

Lingkungan akan berpengaruh terhadap standar kesuksesan yang harus dicapai dalam setiap penyelesaian tugas, sehingga mendorong seseorang untuk berbuat dengan sebaik-baiknya.

b) Ada situasi kompetisi

Situasi kompetisi tidak akan memengaruhi motivasi seseorang, apabila seseorang tersebut tidak mampu beradaptasi dengan baik di dalamnya.

c) Jenis tugas dan situasi menantang

Tugas dan situasi yang menantang akan memungkinkan kesuksesan atau kegagalan. Untuk menghindari kegagalan, biasanya sesorang akan termotivasi untuk mengerjakannya dengan baik.


(57)

40 d) Keluarga

Moh. Sochib (2010: 2) menjelaskan pentingnya peran orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan. Ki Hajar Dewantara (dalam Moh. Sochib, 2010: 3-4) menyebutkan bahwa esensi pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, sedangkan sekolah hanya berpartisipasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga menjadi kunci keberhasilan anak-anaknya. Hal tersebut diperkuat oleh Hurlock (1978: 201) yang menyatakan bahwa salah satu sumbangan keluarga pada perkembangan anak, yaitu sebagai perangsang kemampuan untuk mencapai keberhasilan di sekolah dan kehidupan sosial.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kemampuan, kebutuhan, minat, dan harapan/keyakinan, regulasi diri, dan konsep diri. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari adanya norma standar yang harus dicapai, ada situasi kompetisi, serta jenis tugas dan situasi menantang, dan keluarga.

e. Fungsi motivasi berprestasi

Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan peserta didik dalam belajar. Sardiman A.M (2007: 85) menyebutkan tiga fungsi motivasi, yaitu mendorong manusia untuk berbuat, menentukan arah perbuatan, dan menyeleksi perbuatan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.


(58)

41

Hal tersebut sejalan dengan Dimyati & Mudjiono (2006: 85-86) yang menyebutkan pentingnya motivasi berprestasi dalam belajar bagi peserta didik antara lain: 1) menyadarkan kedudukan pada awal, proses, dan hasil akhir belajar, 2) menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar yang dibandingkan dengan teman sebaya, 3) mengarahkan kegiatan belajar, 4) membesarkan semangat belajar, dan 5) menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja. Motivasi berprestasi juga penting diketahui oleh guru yang berfungsi sebagai berikut: 1) membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat peserta didik dalam belajar, 2) mengetahui dan memahami motivasi belajar peserta didik di kelas yang bermacam-macam, 3) meningkatkan dan menyadarkan guru akan perannya, dan 4) memberi peluang guru untuk „unjuk kerja‟ rekayasa pedagogis.

Dari beberapa uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa fungsi motivasi berprestasi bagi peserta didik antara lain dapat mendorong, mengarahkan, dan menyeleksi kegiatan belajar, meningkatkan semangat, serta memberikan pemahaman bahwa belajar berkaitan erat dengan masa depannya. Dalam hal ini, guru memiliki peran untuk membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat peserta didik agar mencapai tujuan pembelajaran dengan predikat unggul. Dengan demikian diperlukan upaya secara sinergis antara guru dengan diri peserta didik untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasi peserta didik.


(59)

42

4. Tinjauan tentang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) a. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan atau Sains yang semula berasal dari Bahasa Inggris „science‟. Kata „science‟ dalam Bahasa Latin berasal dari kata „scientia‟ yang berarti saya tahu (Jujun Suriasumantri dalam Trianto, 2010: 136). Menurut oxford dictionaries, “Science is the intellectual and practical activity encompassing the systematic study of the structure and behaviour of the physical and natural world through observation and experiment:the world of science and technology.” Dalam hal ini IPA diartikan sebagai kegiatan intelektual dan praktis yang dilakukan secara sistematis melalui observasi dan eksperimen.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sangat berkaitan erat dengan kehidupan dan lingkungan sekitar manusia. Dengan kata lain, IPA merupakan ilmu kealaman. “IPA membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia.” (Usman Samatowa, 2011: 3). Patta Bandu (2006: 9-10) secara umum mengartikan sains menjadi tiga, yaitu sains adalah sejumlah proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar, sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu, dan sains dicirikan oleh nilai-nilai dan sikap para ilmuwan menggunakan proses ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Hal ini sejalan dengan Trianto (2010: 136-137) yang menjelaskan bahwa:

IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui


(60)

43

metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa IPA merupakan suatu mata pelajaran yang membahas tentang gejala alam, yang disusun secara sistematis melalui hasil pengamatan dan percobaan. IPA bukan hanya terdiri dari kumpulan pengetahuan atau beberapa fakta yang dapat dihafal, melainkan terdiri dari proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam.

b.Tujuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Sekolah Dasar

Berdasarkan Depdiknas (dalam Trianto, 2010: 138) menyebutkan secara khusus fungsi dan tujuan IPA adalah sebagai berikut.

1) Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2) Mengembangkan keterampilan, sikap dan nilai ilmiah.

3) Mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang melek sains dan teknologi.

4) Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Hal tersebut diperkuat tujuan pendidikan IPA di sekolah dasar dalam Badan Nasional Standar Pendidikan adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling memengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, mengembangkan keterampilan proses, meningkatkan kesadaran untuk berperan serta melestarikan lingkungan alam, meningkatkan kesadaran


(61)

44

untuk menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan, serta memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP (Ahmad Susanto, 2013: 171-172).

Usaha untuk mencapai tujuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tersebut harus dilakukan dengan cermat dan tepat. Dalam hal ini, guru dapat menciptakan suatu keadaan atau lingkungan belajar yang memadai agar peserta didik dapat menemukan pengalaman-pengalaman nyata dan terlibat langsung. Peranan guru sangat penting untuk menciptakan situasi belajar sesuai dengan teori Piaget yang menyebutkan bahwa anak membangun sendiri skemata dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dinyatakan bahwa peran guru sebagai fasilitator sebaiknya mampu menciptakan situasi belajar yang menyenangkan dalam menanamkan konsep Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah dasar. Oleh karena itu, diperlukan regulasi diri, konsep diri, dan gaya mengajar guru yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik agar konsep IPA menjadi mudah dipahami dan meningkatkan motivasi berprestasi peserta didik.

5. Tinjauan tentang Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar

Proses belajar sebaiknya disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didiknya. Rita Eka Izzaty. et. al. (2008: 116) membagi masa anak-anak di sekolah dasar menjadi dua fase, yaitu anak kelas rendah (kelas 1 sampai dengan kelas 3) dan anak kelas tinggi (kelas 4 sampai dengan kelas 6). Peserta didik kelas IV


(62)

45

sekolah dasar termasuk pada masa anak kelas tinggi. Rita Eka Izzaty. et. al. (2008: 105-117) membagi perkembangan masa kanak-kanak akhir sebagai berikut.

a. Perkembangan fisik

Pertumbuhan fisik cenderung lebih stabil atau tenang sebelum memasuki masa remaja yang pertumbuhannya begitu cepat. Masa tenang ini diperlukan oleh anak untuk belajar berbagai kemampuan akademik. Anak menjadi lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat serta belajar berbagai keterampilan. Kenaikan tinggi dan berat badan bervariasi antara anak yang satu dengan yang lain. Peran kesehatan dan gizi sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.

b. Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif menggambarkan bagaimana kemampuan berfikir anak berkembang dan berfungsi. Kemampuan berfikir anak berkembang dari tingkat yang sederhana dan konkret ke tingkat yang lebih rumit dan abstrak. Pada masa ini anak sudah dapat memecahkan masalah-masalah yang bersifat konkret.

Kemampuan berfikir ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas mental seperti mengingat, memahami, dan memecahkan masalah. Pengalaman hidupnya memberikan andil dalam mempertajam konsep. Anak sudah lebih mampu berfikir, belajar, mengingat, dan berkomunikasi, karena proses kognitifnya tidak lagi egosentrisme, dan lebih logis.


(63)

46 c. Perkembangan bahasa

Kemampuan bahasa terus tumbuh pada masa ini. Anak lebih baik kemampuannya dalam memahami dan menginterpretasikan komunikasi lisan dan tulisan. Pada masa ini perkembangan bahasa nampak pada perubahan perbendaharaan kata dan tata bahasa.

d. Perkembangan moral

Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral terlihat dari perilaku moralnya di masyarakat yang menunjukkan kesesuaian dengan nilai dan norma di masyarakat.

e. Perkembangan emosi

Emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan anak. Akibat dari emosi ini juga dirasakan oleh fisik anak terutama bila emosi itu kuat dan berulang-ulang. Sering dan kuatnya emosi anak akan merugikan penyesuaian sosial anak. Ciri-ciri emosi masa kanak-kanak antara lain: (1) emosi anak berlangsung relatif lebih singkat (sebentar), (2) emosi anak kuat atau hebat, (3) emosi anak mudah berubah, (4) emosi anak nampak berulang-ulang, (5) respon emosi anak berbeda-beda, (6) emosi anak dapat diketahui atau dideteksi dari ngejala tingkah lakunya, (7) emosi anak mengalami perubahan dalam kekuatannya, dan (8) perubahan dalam ungkapan-ungkapan emosional. f. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial tak dapat dipisahkan dengan perkembangan sosial, yang disebut sebagai perkembangan tingkah laku sosial. Dunia


(64)

sosio-47

emosional anak menjadi semakin kompleks dan berbeda pada masa ini. Interaksi dengan keluarga dan teman sebaya memiliki peran penting. Sekolah dan hubungan dengan guru menjadi hal yang penting dalam hidup anak.

Karakteristik anak usia sekolah dasar secara umum menurut Bassett, Jacka, dan Logan adalah sebagai berikut.

1) Mereka secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri.

2) Mereka senang bermain dan lebih suka bergembira/riang.

3) Mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi suatu situasi dan mencoba usaha-usaha baru.

4) Mereka biasanya bergetar perasaannya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka mengalami ketidakpuasan dan menolak kegagalan-kegagalan.

5) Mereka belajar secara efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi.

6) Mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif dan mengajar anak-anak lainnya. (Anissatul Mufarokah, 2009: 11)

Lebih lanjut Piaget menyebutkan anak usia sekolah dasar yang berkisar 6 atau 7 tahun sampai 11 atau 12 tahun masuk dalam kategori fase operasional konkret (Ahmad Susanto, 2013: 170). Berdasarkan jabaran tersebut, tampak bahwa anak kelas tinggi sekolah dasar pada umumnya berada pada tahap operasional konkrit dimana cara berpikirnya masih memerlukan benda konkrit agar anak lebih mudah memahami.Dengan memperhatikan segi individualitas, karakteristik anak usia sekolah dasar, dan berbagai dimensi perkembangannya, seorang guru tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi melayani kebutuhan peserta didik secara keseluruhan, mengembangkan minat dan bakat, serta menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasinya. Sehingga proses pembelajaran akan menjadi lebih menarik dan bermakna bagi peserta didik.


(65)

48

Dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan motivasi berprestasi peserta didik dibutuhkan regulasi diri, konsep diri, dan gaya mengajar yang tepat agar lebih menyenangkan, dinamis, humanis, dan bermakna bagi peserta didik. Hal tersebut bertujuan agar peserta didik mampu memahami konsep, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan, dan memiliki sikap menghargai manfaat belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam kehidupan sehari-hari.

6. Hubungan Regulasi Diri dengan Motivasi Berprestasi Peserta Didik Regulasi diri yang dimaksud dalam peneitian ini adalah kemampuan mengontrol diri sendiri yang mengarahkan pikiran, perasaan, dan tindakan yang direncanakan untuk mencapai tujuan personal. Sedangkan motivasi berprestasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dorongan pada diri seseorang baik dari dalam maupun dari luar untuk melakukan aktivitas dengan semaksimal mungkin agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji atau unggul. Menurut Schunk (2012: 561), regulasi diri merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan seseorang dalam menjalani proses pendidikannya. Sedangkan untuk mencapai prestasi dibutuhkan adanya motivasi berprestasi. Hal tersebut diperkuat oleh Pintrich, 2003; Wolters, 2003 (dalam Schunk, 2012: 585) yang menyebutkan bahwa “motivasi terkait erat dengan pengaturan diri.”

Pentingnya peran regulasi diri dinyatakan oleh Aftina Nurul Husna, et.al. (2014) yang berpendapat bahwa pembelajar/peserta didik yang mampu melakukan regulasi diri cenderung berhasil secara akademik dan memiliki kontrol diri yang membuat proses belajar menjadi lebih termotivasi. Pendapat lain juga


(66)

49

disampaikan oleh Nitya Apranadyanti (2010) bahwa individu yang memiliki regulasi diri yang baik memiliki kemampuan berusaha untuk mengatur pikiran, perasaan, dan perilakunya untuk kemudian dievaluasi sehingga terarah sesuai dengan keinginan, harapan, maupun tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, Handy Susanto (2006: 70) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menjalani sesuatu termasuk pencapaian prestasi baik dalam pendidikan maupun bidang lainnya tidak ditentukan oleh IQ semata, namun salah satunya adalah kemampuan regulasi diri.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat diketahui bahwa regulasi diri terkait erat dengan motivasi berprestasi. Peserta didik yang memiliki kemampuan regulasi diri yang baik akan termotivasi dalam proses pembelajaran, sehingga mengarahkan perasaan, pikiran, dan tindakannya semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

7. Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Peserta Didik

Konsep diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman individu tentang tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan, sehingga berpengaruh terhadap orang lain dan tingkah laku individu sendiri. Konsep diri berperan sebagai pedoman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Peserta didik yang memiliki konsep diri positif akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nur Prima Septiana (2004) yang menyatakan bahwa konsep diri memegang peranan dalam memunculkan motivasi berprestasi dan mengarahkan seluruh perilaku.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)