Berdasarkan kutipan 26 terlihat jelas bahwa Maryam memang malu dan menyesali atas semua yang ia lakukan sebelumnya. Maryam begitu bangga akan
kegigihan orangtuanya dengan berani mempertahankan imannya. Walaupun ia marah dan dendam pada orang-orang yang berani mengusir keluarganya dari
kampung halamannya sendiri, namun ia tahu ia tak bisa mempertahankan imannya.
3.3.3 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Kelas Sosial
Menurut Soekanto 1986: 185, kebudayaan khusus kelas sosial di dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan-lapisan sosial oleh karena setiap
masyarakat mempunyai sikap menghargai terhadap bidang kehidupan tertentu. Dengan demikian, kita mengenal lapisan sosial yag tinggi, rendah dan menengah.
Himpunan orang-orang yang merasa dirinya tergolong pada lapisan sosial tertentu, hal mana diakui masyarakat, itu dinamakan kelas sosial.
Maryam tak tahu-menahu tentang pengusiran yang terjadi padanya dan keluarga lainnya. Ia menganggap bahwa tanah di wilayah itu merupakan tanah
milik kakeknya. Ia bisa berpura-pura ikhlas dan tak menangis dihadapan orangtuanya meskipun ia tak bisa terima akan pengusiran yang terjadi oleh
kelompok penentang. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 27
Pikiran Maryam langsung menerawang ke masa-masa ia masih tinggal di Gerupuk bersama keluarganya. Masa-masa jauh sebelum ia datang ke
Jakarta, dan jauh sebelum keluarganya terusir dari rumah yang telah puluhan tahun mereka tinggali. Semuanya berulang dalam kepalanya.
Seperti rekaman video yang sewaktu-waktu bisa diputar ulang. Ada yang membuat Naryam tertawa, ada bagian yang membuatnya terharu, lalu ada
bagian lain yang kembali menghadirkan rasa bersalah. Ketika yang hadir adalah gambaran pengusiran yang didapatnya dari Jamil, amarah Maryam
menggelegak. Madasari, 2012: 169-170 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28 “Rumah itu milik kakekku. Dibangun dengan uangnya sendiri. Tanahnya
warisan dari buyut-buyutku. Lalu diwariskan ke bapakku. Dibangun sampai bisa seperti yang sekarang dari hasil keringat bapak. Aku dan
Fatimah lahir dan besar di sana. Dan sekarang kami diusir begitu saja?” gugat Maryam. Suara Maryam bergetar. Air matanya jatuh. Ia terisak.
Umar kaget dan bingung. Ia tak menyangka emosi Maryam bisa berubah begitu cepat. Digenggamnya tangan Maryam. Dielusnya. Sambil dari
mulutnya keluarkan desis “ssssh”. “Sabar, Maryam...” katanya. “Aku masih tak terima. Tapi harus pura-pura ikhlas karena Bapak dan Ibu
pun sudah merelakannya. Tak mau mengungkit-ungkit karena itu akan mem
buat mereka sedih,” kata Maryam dengan suara lebih keras dan nada lebih tegas. Tapi air matanya masih tetap mengalir.
Madasari, 2012: 170 29
“Kita semua marah,” kata Umar. “Kita semua tak terima. Tapi apa gunanya sekarang? Yang penting bagaimana kita kedepannya bisa hidup lebih baik.
Lebih aman.” “Aku masih tak bisa menerima orangtua dan adikku pernah hidup di
pengungsian. Sementara rumah yang dibangun susah payah tak boleh digunakan...” Suara Maryam mulai memelan. Isakannya juga melemah.
Maryam terlihat sudah lebih tenang. Tangan kiri Umar menggenggam erat tangan istrinya sementara tangan kanan terus mengendalikan setir.
Madasari, 2012: 170-171 30
“Namanya juga cobaan. Bagian dari ujian iman, Maryam. Juga bukti bahwa kita memang benar...” kalimat Umar terdengar menggantung. Ia
ingin menenangkan Maryam dengan cara terbaik. Meredam kemarahan dan menumbuhkan keikhlasan. Kata-kata itu keluar begitu saja dari
mulutnya. Sepanjang umurnya, inilah pertama kalinya Umar bicara tentang iman dengan begitu bijak. Umar seorang Ahmadi. Beribadah
bersama-sama orang Ahmadi. Mengaji bersama orang-orang Ahmadi. Ia hafal di luar kepala tentang sejarah keyakinannya. Tapi tak satu alasan pun
baginya untuk menjadi bagian dari Ahmadiyah selain karena memang sejak lahir ia telah dijadikan seorang Ahmadi oleh kedua orangtuanya.
Karenanya ketika tiba-tiba saja kata-kata tentang iman keluar dari mulutnya, ia sendiri menjadi ragu atas apa yang dikatakannya. Apalagi
yang baru ia katakan sebenarnya hanya pengulangan atas apa yang dikatakan orang-orang Ahmadi lainnya atas kepedihan yang telah mereka
alami.
Madasari, 2012: 171 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berdasarkan kutipan 27, 28, 29 dan 30 terlihat jelas bahwa Maryam merasakan kesakitan atas derita yang ia dan keluarganya alami. Ia tak bisa
menerima pegusiran yang terjadi di waktu itu. Ia memang dilahirkan dari bagian Ahmadiyah oleh kedua orangtuanya. Di sisi lain, Maryam juga berusaha
menyembunyikan kesedihannya dari kedua orangtuanya. Namun, ia sama sekali tak bisa menerima pengusiran itu.
Kebudayaan kelas sosial selanjutnya berada pada tempat pengungsian yang terjadi pada anak-anak yang tak bersekolah, langsung dinikahkan di tempat
mereka tinggal. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 31
Gedung Transito kian hari terasa kian sesak. Barang-barang bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan kain itu kini
terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian ini. Anak-anak bertambah besar. Beberapa anak remaja yang remaja yang
sudah di bangku SMP dikirim ke Surabaya dan Kuningan. Tinggal bersama keluarga Ahmadi dan disekolahkan seperti anak sendiri. Ada
yang masih betah sampai sekarang. Ada yang minta pulang setelah tiga bulan. Di pengungsian ini juga, pemuda-pemudi yang sudah tak sekolah
langsung dikawinkan. Berumah tangga dan tinggal di sini juga. Lalu lahirlah lagi generasi-generasi baru Ahmadi. Ada yang lahir, ada yang
pergi. Selama di pengungsian ini, empat orang telah meninggal. Pak Khairuddin salah satunya.
Madasari, 2012: 266
Berdasarkan kutipan 31 terlihat jelas bahwa kelas sosial yang terjadi semenjak pengusiran dan pengungsian itu terjadi. Tidur dalam kamar yang sempit,
anak-anak yang bertumbuh remaja, tak dapat bersekolah lagi. Anak-anak ini pun dinikahi di tempat ini. Sampai pada akhirnya melahirkan anak dan menjadikan
anak tersebut sebagai Ahmadiyah. Namun, tak sedikit dari mereka dapat bertahan hidup akibat hidup dalam kesesakan yang dipenuhi banyak pengungsi di tempat
tersebut dan kurangnya kebutuhan sehari-hari mereka untuk bisa bertahan hidup. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kegigihan Maryam membulatkan tekadnya untuk menghentikan ketidakadilan yang ia alami selama ini. Berusaha meminta keadilan atas tindakan
pengusiran yang dilakukan oleh kelompok penentang kepadanya. Dengan berusaha menulis sebuah surat agar dapat diterima dan dapat membantunya keluar
dari kejahatan kelompok penentang. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 32
Ini surat ketiga yang saya kirimkan ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan.
Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok. Selama itu kami berbagi
ruangan dengan membuat kamar-kamar bersekat kain. Lebih dari dua ratus orang hidup bersama di situ.
Madasari, 2012: 273 33
Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan
uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak- anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak
kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri,
kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang bisa diterima akal,
sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?
Madasari, 2012: 274-275
Berdasarkan kutipan 32 dan 33 terlihat jelas bahwa Maryam tak tahan lagi dengan hidupnya yang diharuskan mengungsi di tempat yang benar-benar tak
luas karena banyaknya mereka diusir dari rumah mereka. Meskipun mereka membeli rumah itu dengan usaha dan hasil kerja keras mereka, Maryam sungguh
tak bisa menerima perbuatan ini. Maryam sangat membutuhkan bantuan dari atasan supaya bisa membantunya keluar dari ketidakadilan, kejahatan, dan
penderitaan ini. Maryam tahu perbuatannya ini sudah tak bisa ditolerir lagi karena ia juga sudah tak bisa bersabar lagi.
3.4 Rangkuman