Dalam novel Maryam, tahap pemunculan konflik menceritakan perjalanan pulang Maryam yang ingin mencari kedua orangtuanya. Saat tahu keluarganya
diusir dan telah dianggap aib di kampung itu, tak ada seorang pun yang berusaha mempertahankan keluarga Pak Khairuddin untuk tidak diusir. Mengetahui hal itu,
Maryam dari dulu tak pernah tahu akan kejadian ini sebelumnya namun saat mengetahui orangtuanya diusir, ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan yang
dialami oleh keluarganya. Meskipun Maryam bisa merasakan penyesalan yang mendalam tak mengalami kejadian yang menimpa keluarganya yang bisa
menahan penderitaan dan kesakitan ia tak pernah menyesal yang pernah meninggalkan iman.
2.3.3 Tahap Peningkatan Konflik tahap rising action
Pada tahap peningkatan konflik dalam novel Maryam, diawali dengan kemarahan Maryam terhadap orang-orang yang mengusir keluarganya. Ia tak
pernah menyangka peristiwa ini terjadi. Di saat ia tak ada di sisi keluarganya, ia tak bisa menerima dengan semua perbuatan mereka terhadap keluarganya. Hal
tersebut seperti dalam kutipan berikut: 61
“Aku masih tak terima. Tapi harus pura-pura ikhlas karena Bapak dan Ibu pun sudah merelakannya. Tak mau megungkit-ungkit karena itu akan
membuat mereka sedih,” kata Maryam dengan suara lebih keras dan nada lebih tegas. Tapi air matanya masih tetap mengalir.
Madasari, 2012: 170 62
“Aku masih tak bisa menerima orangtua dan adikku pernah hidup di pengungsian. Sementara rumah yang dibangun susah payah tak boleh
digunakan...” Suara Maryam mulai memelan. Isakannya juga melemah. Maryam terlihat sudah lebih tenang.
Madasari, 2012: 170-171 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Peningkatan konflik selanjutnya, Maryam dan Umar mencari tahu laki- laki yang ternyata mencabuli beberapa perempuan adalah seorang dukun. Hal ini
yang mengundang tanya pada Maryam, sambil mengingat seperti inikah keluarganya diusir waktu itu dan mengapa mereka main hakim sendiri tanpa
melaporkannya pada polisi. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 63
“Guru mengaji ternyata dukun. Dukun sesat. Cabul” kata laki-laki itu dengan suara lantang. Laki-laki itu menyebut nama Abah Aziz, pemilik
rumah yang baru saja dibakar. “Ite
7
pikir iye
8
orang baik. Guru mengaji. Muridnya sudah banyak. Delapan puluh orang ada. Tiap hari mengaji di
sini.” “Kenapa bisa sesat?” tanya Maryam. Ia disekap. Iye laporan ke ite.”
“Abah Aziz mati dibakar?” tanya Umar. “Ndeq
9
. Sudah kabur. Ite mau lapor polisi. Biar diburu. Dipenjara.”
Madasari, 2012: 177 64
“Mungkin seperti itu juga waktu Bapak dan Ibu diusir,” kata Maryam tiba- tiba.
“Tidak ada pembakaran...” jawab umar. “Hanya belum kejadian saja. Karena Bapak cepat-cepat mengalah dan
pergi...” “Tapi ini berbeda, Maryam,” Umar memotong dengan cepat. “Dukun itu
salah. Dia menyekap orang, mencabuli seenaknya...” “Kenapa tidak lapor polisi?” Maryam menyambar dengan suara tinggi.
Umar tersentak mendengar pertanyaan Maryam. Ia tak bisa buru-buru menjawab. “Ya, memang harusnya lapor polisi... tapi mungkin orang-
or ang sudah tak bisa lagi menahan marah,” kata Umar setelah diam agak
lama. “Ya kalau yang dikatakan orang-orang itu memang benar. Bagaimana
kalau ternyata hanya fitnah? Bagaimana juga kalau yang tak salah nanti terbakar?” lagi-lagi Maryam bicara dengan suara tinggi. Meski nadanya
menyerupai pertanyaan, ia sama sekali tak butuh jawaban. Madasari, 2012: 178
Dalam novel Maryam diceritakan bahwa adanya pertemuan Maryam dan Nuraini, teman kecilnya dulu. Setelah bercerita dan bercanda, Maryam dan Umar
dikejutkan dengan kondisi yang menyesakkan, mereka diusir dari kampung itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Maryam sebelum diusir. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
65 Maryam merangkul Nur. Entah kenapa tiba-tiba air mata berdesakan ingin
keluar dari matanya. Maryam menahan sekuat tenaga. Perjumpaan tak sengaja ini menghadirkan rasa haru dalam dirinya. Betapa masa lalu,
apalagi masa-masa yang membahagiakan, tetapi punya ruang sendiri di hatinya. Tak bisa tergusur dan hilang meski ia berkeras tak mau
megingatnya.
Madasari, 2012: 192 66
“Tolong pulang saja... jangan sampai ada apa-apa di rumah ini,” katanya pelan.
Maryam membelalak tak percaya. Ia marah pada Nur yang ternyata sama saja dengan orang-orang. Umar bergerak cepat. Menyentuh pundak
Maryam dan memberinya isyarat untuk meninggalkan tempat ini. Muka Maryam merah padam. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengikuti langkah
Umar ia berteriak-teriak.
“Kalian semua bukan manusia” “Yang sesat itu kalian, bukan kami”
“Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok” Madasari, 2012: 211
Tahap peningkatan konflik pun terjadi ketika pengajian empat bulanan kehamilan Maryam. Ketegangan memuncak dan mencekam ketika polisi datang
dengan tegas meminta kaum Ahmadiyah untuk meninggalkan rumah mereka. Ketakutan, kesedihan, dan rasa marah mencuat yang didramatisir dengan
rubuhnya seorang wanita tua serta isak tangis para ibu Ahmadiyah dan anak-anak. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
67 Orangtua Maryam sudah memilih hari pada pertengahan Ramadan untuk
menggelar pengajian empat bulan kehamilan Maryam. Pengajian akan diakhiri dengan buka puasa bersama. Persiapan sudah dilakukan sejak tiga
hari sebelumnya. Ibu Umar ikut berbelanja sesuai bagian yang telah mereka atur bersama. Pengajian ini akan mengundang seluruh anggota
organisasi. Sekaligus menggantikan pengajian rutin yang diadakan organisasi seminggu sekali.
Madasari, 2012: 220 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68 Komandan mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian”
teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan Kami sudah menawarkan jalan keluar terbaik Mengungsi dulu biar semuanya
selamat” Madasari, 2012: 227
69 Tiba-tiba seorang perempuan tua roboh. Tamu yang datang dari jauh. Satu
daerah di bagian timur Lombok. Dia datang bersama anak laki-laki satu- satunya dengan menggunakan angkutan umum. Selama ini mereka
memang rajin datang ke pengajian. Meski tak seminggu sekali, setidaknya mereka selalu muncul sekali sebulan. Ibu tua itu sudah lama menjadi
Ahmadi. Semua orang di dalam berteriak saat tubuh itu terkulai. Anak laki- lakinya yang berada di luar langsung lari ke dalam, sambil berseru
memanggil ibunya. Yang lainnya juga ikut bergerak. Mendekat ke pintu rumah. Salah satu dari mereka memberi aba-aba, menunjuk Umar dan dua
laki-laki lain yang terihat masih muda untuk menggotong tubuh perempuan tua itu dan membawa mereka ke rumah sakit.
Madasari, 2012: 227-228
Dalam novel Maryam, tahap peningkatan konflik diawali dengan kemarahan Maryam yang semakin tak bisa menerima dengan kejadian yang
dialami oleh keluarganya di saat ia tak ada bersama mereka waktu itu. Kemudian, peristiwa adanya dukun cabul yaang menambahkan permasalahan di tempat itu,
sehingga Maryam pun memandang bahwa peristiwa tersebut tak jauh berbeda dengan peristiwa pengusiran terhadap kedua orangtuanya. Sementara itu, tahap
peningkatan konflik juga terjadi ketika pertemuan Maryam dan Nuraini, Maryam tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan dua laki-laki yang berniat mengusir
Maryam dari rumah Nuraini. Hal itu membuat Maryam marah besar pada semua orang terutama Nur yang awalnya mengatakan bahwa ia akan mempercayai
Maryam. Selanjutnya, tahapan peningkatan konflik terjadi lagi ketika adanya pengajian empat bulanan pada kehamilan Maryam. Maryam dan lainnya yang
terkejut akan sikap polisi yang anarkis. Hal itu pula yang membuat seorang perempuan tua roboh akibat peristiwa yang terjadi di hari itu.
2.3.4 Tahap Klimaks tahap climax