Tokoh dan Penokohan Gubernur

2.2.2.5 Tokoh dan Penokohan Gubernur

Gubernur seharusnya merupakan seorang yang dapat bertanggung jawab pada rakyatnya bila rakyatnya menderita. Gubernur justru tak pernah membantu Maryam dan keluarganya untuk keluar dari pengusiran yang dilakukan oleh kelompok penentang. Ia selalu mencari berbagai alasan untuk menghindari orang- orang Ahmadiyah yang sedang mengungsi akibat pengusiran. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 45 Zulkhair bersama pengurus lainnya telah beberapa kali datang ke kantor Gubernur. Katanya, mereka seperti mengulang apa yang terjadi empat tahun lalu. Datang ke Gubernur, meminta penjelasan kapan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing. Gubernur tak pernah bisa memberi jawaban pasti. Pada kedatangan terakhir, Zulkhair dan pengurus lain marah besar. Mereka tak mau lagi datang ke kantor Gubernur sampai sekarang. “Gubernur macam apa, malah menyalahkan kita,” kata Zulkhair berulang kali. Madasari, 2012: 246 Berdasarkan kutipan 45 digambarkan bahwa Gubernur merupakan seorang pemimpin yang tak pernah peduli pada rakyatnya. Ia selalu menyalahkan kelompok Ahmadiyah karena telah membentuk organisasi sendiri. Banyak yang marah kepadanya karena tak tegas menjadi seorang Gubernur dan tak pernah membela kelompok Ahmadiyah untuk bisa kembali ke rumah mereka masing- masing. Saat Gubernur membicarakan tentang pimpinannya, pembicaraannya bersama Zul, Maryam, dan Umar dipotong langsung oleh Maryam. Wajah Gubernur ini menunjukkan bahwa ia sedang kesal pada sikap Maryam. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 46 “Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yang di Transito ini? Kapan bisa kembali ke rumah kami?” tanya Maryam. Ia memotong cerita Gubernur. Gubernur mengernyitkan dahi. Raut mukanya mendadak berubah. Antara sedang berpikir dan merasa tak suka. Seolah sedang pura- pura tak mendengar apa yang ditanyakan Maryam. Baru saat Gubernur mengeluarkan suara, mereka sama-sama mengangkat muka, memandang ke arah Gubernur, berusaha menunjukkan benar-benar sedang mendengarkan. Madasari, 2012: 248 Berdasarkan kutipan 46 digambarkan bahwa Gubernur begitu tak menyukai sikap Maryam yang berani-beraninya memotong pembicaraannya di tengah-tengah ia sedang mengatakan atas tanggung jawabnya sebagai pemimpin di wilayah Lombok dan NTB. Raut mukanya berubah, kemudian ia menunjukkan antara sedang berpikir dan merasa tak suka. Seolah-olah sedang berpura-pura tak mendengar apa yang ditanyakan Maryam. Gubernur pun menegaskan pendapatnya kepada Maryam, Zulhair, dan Umar bahwa ini adalah demi kebaikan bersama, jadi seharusnya membiarkan mereka mengungsi saja. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 47 “Saya ini harus bagaimana lagi,” kata Gubernur. “Sudah berkali-kali saya jelaskan, semua ini demi kebaikan bersama. Mau kembali ke sana sekarang lalu ada kerusuhan?” tanyanya sambil menatap muka Maryam. “Tapi itu rumah kami, Pak. Bukankah kita punya hukum? Siapa yang mengganggu dan siapa yang diganggu?” Maryam balik bertanya. Madasari, 2012: 248 Beradasarkan kutipan 47 digambarkan bahwa Pak Gubernur marah. Marah pada Maryam. Baginya, ia sudah berkali-kali menyatakan bahwa ini semua adalah demi kebaikan mereka secara bersama. Ia tak ingin bila mereka kembali ke rumah masing-masing yang nantinya akan menimbulkan kerusuhan lagi. Menanggapi hal itu, Gubernur memberikan pernyataan sambil mengingatkan Zulkhair sebagai ketua organisasi untuk bisa memahami akan itu semua. Ia tahu betul tentang Ahmadiyah itu, karena ia merasa bahwa ia telah bertanggung jawab kepada keluarga-keluarga Ahmadiyah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 48 “Pak Zul,” kata Gubernur. Kini pandangannya beralih ke arah Zulkhair. “Anda ketua organisasi. Juga pegawai pemerintah. Tahu mana yang benar dan mana yang salah...” Gubernur memenggal kalimatnya, seperti menunggu tanggapan dari Zulkhair. Tapi Zulkhair hanya diam. “Semua hal tentang Ahmadiyah itu sudah saya pegang,” lanjutnya. Madasari, 2012: 249 Berdasarkan kutipan 48 digambarkan bahwa Gubernur benar-benar marah. Ia menyatakan pada Zulkhair sebagai ketua organisasi bahwa sebagai ketua, ia tahu betul mana yang salah dan mana yang benar. Ia memberikan pernyataan bahwa semua hal yang mengenai Ahmadiyah telah diatur olehnya untuk ke depannya. Pak Gubernur tak bisa memahami Maryam dan keluarganya hidup dalam tempat pengungsian menyinggung mereka dengan kata-kata yang tak seharusnya dikatakan sebagai orang yang mempunyai jiwa kepemimpinan. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 49 Ruangan itu kembali sunyi. Muka Gubernur memerah. Kerutan di keningnya bertambah. Ia sedang memikirkan kata-kata yang paling tepat. “Sekarang mau kembali ke Gegerung. Tapi kenapa selalu mau ekslusif? Apa-apa sendiri. Tidak mau berbaur. Salat Jumat sendiri. Siapa yang tidak marah?” Madasari, 2012: 249 50 “Itu urusan kami, Pak, mau salat Jumat di mana,” jawab Umar. “Ini soal rumah kami yang dirampas. Kami diusir dari rumah sendiri” ”Bukan soal pengusiran Bantah Gubernur. Suaranya meninggi. “Ini soal bagaimana agar kita damai. Tak ada kekerasan. Kalian cuma ratusan. Orang-orang itu ribuan. Bisa jadi puluhan ribu kalau datang juga dari mana-mana. Lebih mudah mana, mengungsikan kalian atau mengungsikan mereka?” Madasari, 2012: 249 Berdasarkan kutipan 49 dan 50 digambarkan bahwa Pak Gubernur yang semula wajahnya tak memerah, kini memerah. Ia menyatakan pada Maryam buat apa harus kembali ke Gegerung, kalian sudah cukup aman berada di pengungsian. Ia semakin marah sambil berkata dengan nada tinggi. Sekali lagi ia katakan bahwa agar semua ini bisa tenang dan damai tak ada kekerasan. Gubernur pun semakin tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia menyatakan kepada Maryam, bila ingin kembali ke rumah masing-masing harus meninggalkan Ahmadiyah, dan ia akan mengatur itu semua. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 51 “Jadi hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus mengalah?” tanya Maryam. Gubernur berdecak sambil menggeleng. “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja. Keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegerung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya. Madasari, 2012: 249 Berdasarkan kutipan 51 digambarkan bahwa Gubernur menyudahi pembicaraan dengan begitu saja. Ia langsung berkata bila ingin kembali harus meninggalkan Ahmadiyah dan akan mencari jalan keluarnya nanti. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2.3 Alur atau Plot

Menurut Nurgiyantoro 2007: 149, tahapan alur dibagi menjadi lima bagian, yaitu i tahap penyituasian atau tahap situation, ii tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances, iii tahap peningkatan konflik atau tahap rising action, iv tahap klimaks atau tahap klimax, dan v tahap penyelesaian atau tahap denouement.

2.3.1 Tahap Penyituasian tahap situation

Pada tahap penyituasian dalam novel Maryam, awal cerita diawali dengan flashback kilas balik mengenai kehidupan Maryam yang telah menjadi seorang janda semenjak ia bercerai dengan suaminya, Alam. Maryam yang tak tahan akan kehidupannya sebagai istri yang sudah cukup banyak bersabar akan kecurigaan dan kepalsuan. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 52 Perkawinan yang umurnya belum genap lima tahun itu karam. Maryam yang memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu bertahan. Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan dan kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki yang dicintainya hanya sebatas bualan? Sepenuh hati Maryam datang ke pengadilan agama meminta perceraian. Tak butuh waktu terlalu lama, dua minggu saja, permohonannya dikabulkan. Alam melepasnya begitu saja, mertuanya ikut melancarkan segala urusan. Menjadi saksi yang menunjukkan perpisahan inilah yang terbaik untuk keduanya. Madasari, 2012: 15 Selanjutnya dipaparkan bahwa Maryam merupakan keluarga yang berasal dari Ahmadiyah. Di mana kakek dan nenek Maryam menurunkannya pada anaknya yang sekarang menjadi bapak dari Maryam, yaitu Pak Khairuddin. Kakek Maryam bukanlah seorang yang tak mengenal agama. Kakek Maryam menjadi

Dokumen yang terkait

KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI: Kritik Sosial Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 12

ANXIETY OF MARYAM IN OKKY MADASARI THE OUTCAST NOVEL (2012): A PSYCHOANALYTIC APPROACH Anxiety Of Maryam In Okky Madasari The Outcast Novel (2012): A Psychoanalytic Approach.

0 3 13

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

1 3 12

NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

0 1 11

PENDAHULUAN NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

0 0 9

ASPEK BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Budaya dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari : Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN IMPLIKASINYA Aspek Sosial Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Di SMA.

0 2 12

REPRESENTASI IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI: Pendekatan Sejarah Intelektual.

0 0 13

PROBLEM KEJIWAAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI.

2 12 153

GAYA HIDUP POSMODERN TOKOH-TOKOH DALAM NOVEL MATA MATAHARI KARYA ANA MARYAM SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

0 0 108