Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama

Berdasarkan kutipan 22 terlihat jelas bahwa Maryam telah memilih pilihan yang tepat dengan mengambil tindakan bercerai dengan Alam, suaminya, yang selama hampir lima tahun dibangun. Meskipun ia berusaha membangun kebahagiaan ditengah-tengah kesedihannya. Maryam yang merasa Alam tulus mencintainya, namun ia salah, Alam juga tak bisa mempertahankan rumah tangganya.

3.3.2 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama

Seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto 1986: 185, agama juga mempunyai pengaruh besar untuk membentuk kepribadian seorang individu. Adanya madzhab dalam agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda pula. Maryam merupakan anak dari keluarga Ahmadiyah. Ia menjadi Ahmadiyah tidak terjadi begitu saja. Dimulai dari kakek Maryam yang memilih perjalanan yang berbeda. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 23 Keluarga Maryam menjadi Ahmadi tidak tiba-tiba. Pak Khairuddin sudah Ahmadi sejak lahir. Kakek dan nenek Maryam-lah yang menjadi pemula, lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Kakek Maryam bertemu dengan seorang dai saat pergi ke Praya. Tanpa sengaja, hanya pertemuan biasa. Awalnya ia juga tak tahu laki-laki itu dai. Sekali bertemu, mereka langsung akrab tanpa bisa dijelaskan kenapa dan bagaimana. Kakek Maryam diajak ke pengajian kecil di Praya, pengajian orang-orang Ahmadi yang saat itu pengikutnya hanya enam orang. Salah satu di antara mereka ayah Pak Zul. Memang, persahabatan kedua keluarga itu bukan diawali dari Pak Zul dan Pak Khairuddin, tapi dari orangtua mereka. Generasi pertama yang masuk Ahmadi di Praya. Madasari, 2012: 53 24 Rasa ingin tahu lebih banyak tentang agamanya membuat kakek Maryam tak ragu-ragu saat diajak ikut pengajian. Baginya, apa pun yang bermuara pada keberadaan Tuhannya adalah jalan kebaikan. Ia banyak mendengarkan ceramah-ceramah dari orang-orang baru. Bukan hanya dai yang pertama kali ditemuinya, tapi juga dai-dai lain yang bergiliran didatangkan dari Jawa dan Sumatra. Kakek Maryam sekaligus merasa punya teman-teman bicara yang setara, yang sama-sama tahu tentang agama, yang membicarakannya bersama untuk kebenaran dan kebaikan manusia. Hal yang tak bisa didapatkannya di Gerupuk. Yang orang- orangnya hanya menurut tanpa pernah bertanya. Yang hanya mengikuti tanpa memahami. Madasari, 2012: 53-54 Berdasarkan kutipan 23 dan 24 terlihat jelas bahwa kakek Maryam memilih jalan yang berbeda dengan memasuki Ahmadiyah. Tidak hanya kakek Maryam, ayah Pak Zul, sahabat Pak Khairuddin, ikut menjadi Ahmadiyah bersama kakek Maryam. Kakek Maryam merasa dengan kedatangan para dai dari Jawa dan Sumatra. Kakek Maryam merasa memiliki banyak teman. Dari situlah Pak Khairuddin, bapak Maryam, menjadi Ahmadiyah yang awal mulanya berasal dari Kakek Maryam tersebut. Pada novel ini, digambarkan Maryam sebagai orang yang dapat marah di depan orang-orang di Gerupuk itu. Ia juga menganggap Nur, temannya, tak lebih dari seorang penghianat. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 25 Rohmat memandang ke arah Nur dan ibunya. Tanpa kata-kata. Seolah yakin Nur akan paham maksudnya. Maryam ikut menatap Nur. Ada keyakinan Nur akan membelanya di depan orang-orang. Mengulang semua yang tadi ia katakan saat bertemu Maryam di Kuta. Pandangan Nur bertemu dengan pandangan Maryam. Lalu Nur melirik ibunya. Perempuan itu memainkan bibirnya tanpa ada yang bisa menebak apa artinya. Nur menunduk sebentar. Lalu beranjak mendekati Maryam. “Tolong pulang saja... jangan sampai ada apa-apa di rumah ini,” katanya pelan. Maryam membelalak tak percaya. Ia marah pada Nur yang ternyata sama saja dengan orang-orang. umar bergerak cepat. Menyentuh pundak Maryam dan memberinya isyarat untuk meninggalkan tempat ini. Muka Maryam merah padam. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengikuti langkah Umar ia berteriak-teriak. “Kalian semua bukan manusia” “Yang sesat itu kalian, bukan kami” “Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok” Madasari, 2012: 210-211 Berdasarkan kutipan 25 terlihat jelas bahwa kemarahan Maryam pada mereka dinilai buruk oleh Maryam. Maryam yang diusir tak dapat terima dengan pengusiran itu. Ia pun menilai bahwa orang-orang itu adalah orang yang sesat dan bukan Maryam, meskipun ia adalah bagian dari Ahmadiyah. Ia tak percaya akan tindakan Nur, ia merasa yakin akan ada pembelaan dari Nur, tapi Nur ikut-ikutan mengusir Maryam dan juga Umar, suaminya. Maryam tahu betul bahwa keyakinan yang ia miliki akan menimbulkan masalah. Tapi ia begitu bangga terhadap orangtuanya, mereka masih mempertahankan iman walaupun terusir dari rumah. Maryam tak malu dan menyesali atas iman yang dilahirkan untuknya. Meskipun ada sedikit penyesalan menikahi Alam, Maryam yang lebih memilih meninggalkan keyakinannya dan tak mempedulikan kedua orangtuanya. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 26 Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal atas semua yang dilakukannya demi bersama Alam. Menyesali segala keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa memaafkan orang-orang yang merongrong keluarganya karena dianggap tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman. Madasari, 2012: 77-78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Berdasarkan kutipan 26 terlihat jelas bahwa Maryam memang malu dan menyesali atas semua yang ia lakukan sebelumnya. Maryam begitu bangga akan kegigihan orangtuanya dengan berani mempertahankan imannya. Walaupun ia marah dan dendam pada orang-orang yang berani mengusir keluarganya dari kampung halamannya sendiri, namun ia tahu ia tak bisa mempertahankan imannya.

3.3.3 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Kelas Sosial

Dokumen yang terkait

KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI: Kritik Sosial Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 12

ANXIETY OF MARYAM IN OKKY MADASARI THE OUTCAST NOVEL (2012): A PSYCHOANALYTIC APPROACH Anxiety Of Maryam In Okky Madasari The Outcast Novel (2012): A Psychoanalytic Approach.

0 3 13

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

1 3 12

NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

0 1 11

PENDAHULUAN NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

0 0 9

ASPEK BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Budaya dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari : Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN IMPLIKASINYA Aspek Sosial Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Di SMA.

0 2 12

REPRESENTASI IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI: Pendekatan Sejarah Intelektual.

0 0 13

PROBLEM KEJIWAAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI.

2 12 153

GAYA HIDUP POSMODERN TOKOH-TOKOH DALAM NOVEL MATA MATAHARI KARYA ANA MARYAM SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

0 0 108