pemeluk agama yang sangat taat menjadi Islam. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
53 Keluarga Maryam menjadi Ahmadi tidak tiba-tiba. Pak Khairuddin sudah
menjadi Ahmadi sejak lahir. Kakek dan nenek Maryam-lah yang menjadi pemula, lebih dari tujuh puluh tahun lalu.
Madasari, 2012: 53 54
Kakek Maryam bukan orang yang belum kenal agama. Ia pemeluk Islam yang taat, membaca Al Quran dengan indah, hafal banyak surat, dan tahu
banyak cerita tentang malaikat-malaikat dan nabi-nabi. Semua diajarkan oleh bapaknya, kakek buyut Maryam. Meski tak pernah sekolah dan tak
tahu huruf Latin, mereka menguasai ilmu agama dengan baik. Karena dianggap orang yang paling tahu di Gerupuk, kakek Maryam sering
diminta menjadi imam dan khatib di masjid kampung. Ada tanda hitam di keningnya. Bekas terlalu banyak sujud. Tanda hitam itu juga yang
membuat orang-orang memercayainya untuk jadi imam atau khatib.
Madasari, 2012: 53 55
Kakek Maryam kini sudah memilih jalan yang berbeda. Islam-nya tak lagi sama. Orang-orang pun mengerti. Entah benar-benar paham atau sekadar
tak mau pusing. Tak ada yang menjadikan semua itu masalah. Semua orang masih menghormati kakek Maryam sebagai sesepuh kampung ini.
Madasari, 2012: 54
Dalam novel Maryam, tahap penyituasian diawali dengan kilas balik flash back mengenai kehidupan Maryam yang telah menjadi janda setelah bercerai
dengan Alam. Selanjutnya diketahui bahwa Maryam berasal dari bagian keluarga Ahmadiyah.
2.3.2 Tahap Pemunculan Konflik tahap generating circumstances
Pada tahap pemunculan konflik dalam novel Maryam, menceritakan perjalanan kembalinya Maryam kepada orangtuanya. Penyesalan Maryam pun
semakin mendera. Mengetahui orangtuanya telah diusir dari kampungnya sendiri, ia merasa sedih dan merasa telah menyakiti hati kedua orangtuanya. Kepulangan
Maryam dimaksudkan bukan untuk menolong jemaahnya melainkan menebus rasa bersalahnya terhadap ibunya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
56 Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada
keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal
atas semua yang dilakukannya demi Alam. Menyesali segala keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang
dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu
kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia
pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan
keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa memaafkan orang-orang yang merongrong keluarganya karena dianggap
tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman.
Madasari, 2012: 77-78
Tidak hanya diusir dari rumah saja. Orang-orang telah berpikir bahwa nama Pak Khairuddin sudah tak ada lagi. Setelah mendengarkan cerita Zulkhair,
Maryam memikirkan apa yang diungkapkan oleh laki-laki bernama Jamil. Laki- laki yang pernah bekerja menjadi bawahan Pak Khairuddin. Mereka menjadikan
Pak Khairuddin dan keluarganya sebagai keluarga yang mengundang aib untuk kampung mereka sehingga akan menjadi malapetaka untuk orang-orang yang
tinggal di daerah tersebut. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 57
Mendengar cerita Zulkhair seperti melanjutkan potongan kisah yang terpenggal dari Jamil. Yang diketahui Jamil berakhir seiring laju roda
pikap meninggalkan Gerupuk. Begitu pikap menghilang di tikungan jalan, lenyap pula segala yang diketahui Jamil tentang keluarga Maryam. Pak
Khairuddin dan keluarganya telah dianggap tidak ada. Tak seorang pun berani mneyebut tentang keluarga itu. Pak Khairuddin dan keluarganya
seperti telah menjadi aib Gerupuk yang harus ditimbun dalam-dalam.
Madasari, 2012: 68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pak Khairuddin bukanlah orang yang sembarangan. Dalam kesehariannya Pak Khairuddin dipandang sebagai orang yang peduli terhadap sesama. Ia
merupakan orang terpandang secara ekonomi dari sebagian jemaah lainnya. Maryam mempertanyakan apa yang menyebabkan orang-orang berubah menjadi
beringas dengan seenaknya mengusir keluarganya dari rumah yang dimiliki dari kakeknya dan tanah yang dibeli dari hasil bekerja. Ia tidak pernah melihat ini
sebelumnya namun saat mengetahui orangtuanya diusir, ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh keluarganya. Hal tersebut seperti
dalam kutipan berikut: 58
Maryam mengangguk-angguk mengerti. Di pulau ini, orang-orang Ahmadi yang berhasil secara ekonomi bisa dihitung dengan jari. Dan
bapaknya adalah satu-satunya Ahmadi dari desa yang punya usaha dan selalu punya kelebihan rezeki. Orang-orang Ahmadi lain yang mampu
tinggal di pusat kota ini. Tak ada kerusuhan di kota. Tak ada satu pun orang Ahmadi di kota yang terusir. Maryam bertanya penuh keheranan, kenapa
tidak semua tempat bisa damai seperti ini?
Madasari, 2012: 70 59
Maryam menarik napas panjang. Ia menggerutu dalam hati. Memaki-maki orang-orang desa yang mau dibodohi. Tidakkah mereka bisa berpikir
sejenak, menimbang-nimbang mana yang benar dan mana yang hanya hasutan? Tapi Maryam kemudian disadarkan oleh kata-kata Zulkhair.
“Kalau di pusat kota seperti ini kebanyakan orang-orangnya lulus sekolah. Punya pekerjaan. Tak ada waktu mengurus begituan,” kata Zulkhair.
Lalu Maryam bertanya, kenapa tiba-tiba orang-orang desa bisa berubah beringas seperti itu? Sejak lahir ia tinggal di Gerupuk, kata Maryam, tak
pernah seorang pun yang meributkan soal keyakinan keluarganya. Semua rukun, semua damai, bahkan tak pernah peduli kenapa keluarga
Khairuddin tak pernah ikut salat di masjid mereka. Zulkhair tak menjawab.
Ia hanya mengangkat pundaknya, seolah ingin berkata, “Entahlah.” Madasari, 2012: 70-71
Mendengar cerita Zulkhair, Maryam merasa malu. Ia tahu akan perkataan Zulkhair yang menyinggung tentang dirinya, ketika Zulkhair berusaha
meyakinkan Maryam bahwa iman orang-orang Ahmadiyah, tak bisa dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan. Namun, ia sendiri tidak merasakan sedikit
penyesalan meninggalkan keimanannya. Baginya, ia kembali bukan untuk iman melainkan untuk keluarganya. Ia bisa merasakan ketangguhan keluarganya
menghadapi peristiwa ini. Ia kembali menitikkan air mata dan bangga. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut:
60 “Meski demikian, dalam segala keputusasaan, tak ada satu pun yang
berpikir untuk meninggalkan keimanan,” kata Zulkhair. Ia mengulang kalimat itu berkali-kali. Ada nada syukur dan bangga. Seolah ia ingin
meyakinkan pada Maryam bahwa iman orang-orang Ahmadi tak bisa dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan. Tapi dalam telinga Maryam,
pengulangan itu seperti sindiran. Ia merasa Zulkhair sedang membicarakan dirinya, ingin membuatnya malu dan menyesal atas apa yang dilakukan.
Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya
terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal atas semua yang dilakukannya demi bersama Alam. Menyesali segala
keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu
dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang
sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya.
Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa
memaafkan orang-orang yang merongrong keuarganya karena dianggap tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman.
Kesadaran itu membuat Maryam mendapatkan kembali seluruh kepercayaan dirinya. Kata-kata Zulkhair tak lagi terdengar seperti
sindiran. Ia kembali menyimak cerita Zulkhair sepenuhnya, merekam dalam ingatannya, ia ingin menyimpan semuanya, seolah-olah ia sendiri
ikut melihat dan mengalaminya.
Madasari, 2012: 78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam novel Maryam, tahap pemunculan konflik menceritakan perjalanan pulang Maryam yang ingin mencari kedua orangtuanya. Saat tahu keluarganya
diusir dan telah dianggap aib di kampung itu, tak ada seorang pun yang berusaha mempertahankan keluarga Pak Khairuddin untuk tidak diusir. Mengetahui hal itu,
Maryam dari dulu tak pernah tahu akan kejadian ini sebelumnya namun saat mengetahui orangtuanya diusir, ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan yang
dialami oleh keluarganya. Meskipun Maryam bisa merasakan penyesalan yang mendalam tak mengalami kejadian yang menimpa keluarganya yang bisa
menahan penderitaan dan kesakitan ia tak pernah menyesal yang pernah meninggalkan iman.
2.3.3 Tahap Peningkatan Konflik tahap rising action