menghancurkan kelompok Ahmadiyah, yang dinilai sebagai “aliran sesat” bagi mereka. Seperti pada klimaks yang terjadi pada saat kematian Pak Khairuddin
yang akan direncanakan dimakamkan di pemakaman umum, kelompok penentang sangat menolak kehadiran orang-orang yang datang ke tempat itu, mereka masih
saja menganggap Ahmadiyah adalah sesat yang tak bisa dipandang sebagai ajaran yang benar.
2.3.5 Tahap Penyelesaian tahap denouement
Pada tahap penyelesaian dalam novel Maryam, diawali dengan usaha Maryam yang tak tahan lagi berada dalam pengungsian, berusaha mencari
keadilan kepada pemerintah untuk bisa mempercayai mereka. Bahwa mereka tidak pernah mencari keributan. Mereka diusir dari rumah yang sebenarnya rumah
itu masih menjadi milik mereka. Orang-orang Ahmadiyah selalu mencari uang dengan bekerja. Bagi Maryam, ini sangatlah tidak adil. Tak seharusnya
kepercayaan mereka dikatakan “sesat”. Maryam pun menulis sebuah surat. Maryam berharap surat yang kali ini bisa ditanggapi. Mereka tak bisa menahan
lagi dengan hidup yang bersesakan. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: 72
Januari 2011 Saya Maryam Hayati. Ini surat yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat
saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung
Transito, Lombok. Selama itu kami berbagi ruangan dengan membuat kamar-kamar bersekat kain. Lebih dari dua ratus orang hidup bersama di
situ. Setiap hari kami memasak di dapur umum, yang sebenarnya juga tak layak
disebut dapur. Hanya karena kami meletakkan kompor di situ dan memasak di situ setiap hari, tempat sempit di sebelah kamar mandi itu
menjadi dapur. Setiap pagi kami mengantri untuk buang air besar, anak- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anak yang mau sekolah mandi di luar kamar mandi, dengan ember besar berisi air.
Madasari, 2012: 273 73
Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan
susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar
di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa- apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki
sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada
lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang
penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram.
Madasari, 2012: 274
Usaha Maryam tak cukup sampai di situ saja, ia tetap memohon dan memohon pada pemerintah untuk bisa melindungi dirinya yang diusir dari
rumahnya sendiri. Ia tak meminta lebih, yang terpenting baginya adalah ia bisa kembali ke rumah dan hidup dengan damai. Hal tersebut seperti dalam kutipan
berikut: 74
Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan
uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak- anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak
kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri,
kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang bisa diterima akal,
sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?
Salam hormat, Atas nama warga Gegerung yang diusir
Maryam Hayati
Madasari, 2012: 274-275 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.4 Latar atau Setting