Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan

3.3.1 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan

Seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, bahwa kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dijumpai kepribadian yang berbeda dari individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, oleh karena masing-masing tinggal di daerah-daerah yang berlainan dengan kebudayaan-kebudayaan khusus yang berbeda pula Soekanto, 1986: 184. Maryam adalah anak yang dilahirkan dari keluarga Ahmadiyah. Ia berwajah cantik dan menjadi salah satu idaman laki-laki di kampungnya. Dilihat dari faktor kedaerahannya, Maryam taat sekali dalam beribadah. Kedua orangtuanya selalu mengajak Maryam ke pengajian apabila di tempat itu mengadakan pengajian. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 17 Maryam memiliki kecantikan khas perempuan dari daerah timur. Kulit sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis tebal, dan bibir agak tebal yang selalu kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam sejak kecil selalu dibiarkan panjang melebihi punggung dan lebih sering dibiarkan tergerai. Di luar segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang cerdas dan ramah. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus dalam kesamaan iman? Madasari, 2012: 24 Berdasarkan kutipan 17 terlihat jelas bahwa Maryam merupakan gadis dari daerah timur yang memiliki kecantikan khas timur dari tempat tinggalnya. Selain dikenal gadis yang cantik, ia juga dikenal sebagai orang cerdas sekaligus ramah. Dilihat dari latar belakang sosialnya, Maryam hidup dengan penghasilan orangtua yang mencukupi hidupnya. Ayahnya bekerja sebagai tengkulak ikan. Dari hasil menjadi tengkulak ikan itulah Maryam dapat berkuliah di universitas yang ia inginkan. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 18 Bapak Maryam menjadi tengkulak ikan. Membeli hasil tangkapan nelayan-nelayan, lalu menjualnya ke pasar kecamatan dan rumah-rumah makan. Dengan hasil dari ikan itulah bapak Maryam bisa membangun rumah yang layak, punya satu pikap, dan menyekolahkan dua anaknya. Kuliah Maryam di Surabaya dibiayai orangtuanya sendiri. Dia hanya menumpang tinggal di rumah Pak Zul, demi keamanan, juga karena tradisi persaudaraan sesama mereka. Madasari, 2012: 21-22 19 Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak tinggi itu. Ia tak punya pantai indah berpasir putih, sebagaimana pantai-pantai lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan perahu-perahu nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan berkulit legam. Setiap orang hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. Bapak Maryam satu dari sedikit orang yang beruntung. Ia hidup dari ikan itu tanpa perlu lagi melaut sendiri. Ia hanya perlu menunggu setoran orang-orang, membelinya sesuai kesepakatan, lalu menjualnya di Pasar Sengkol, dua puluh kilometer ke arah barat dari Gerupuk. Madasari, 2012: 41-42 Berdasarkan kutipan 18 dan 19 terlihat jelas bahwa secara sosial, Maryam berasal dari keluarga yang berpenghasilan cukup. Bapak Maryam bekerja sebagai tengkulak ikan dari hasil tangkapan ikan daripada nelayan- nelayan. Maryam pun dapat berkuliah di Surabaya berkat hasil kerja keras ayahnya tersebut. Maryam selalu dituntun oleh orangtuanya untuk menikah dengan laki-laki yang berasal dari Ahmadiyah yang sama dengannya. Di sisi lain, Maryam merasa heran akan aturan yang diberikan oleh orangtuanya mengenai pernikahan yang harus dilaksanakan pada orang-orang yang benar-benar memiliki kepercayaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang sama. Meskipun begitu, Maryam telah memiliki kekasih yang sangat ia cintai, tetapi bukan dari keluarga Ahmadiyah. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 20 Maryam menjadi gusar. Ia merasa kepulangan dan segala upayanya untuk meredam segala kemarahan sia-sia. Tapi Maryam masih mencoba bertahan. Ia merasa masih punya harapan. Bapak dan ibunya mungkin masih menyimpan pengertian. Maka pelan-pelan Maryam menyampaikan apa yang dipikirkannya. Tentang pernikahan yang tak mengungkit-ungkit keyakinan. Tentang hidup bersama dalam bahagia dengan membiarkan satu sama lain memelihara apa yang sejak kecil telah mereka percayai. Maryam juga menambahkan cerita-cerita tentang keluarga Ahmadi di Kampung Gondrong. Maryam ingin menunjukkan ia tak akan melupakan akarnya, ia akan sering-sering datang ke sana, ia akan makin rajin datang ke pengajian Ahmadi setelah menikah dengan Alam. Sampai pada cerita ini Maryam berkaca-kaca. Ia menyembunyikan kenyataan bahwa Alam dan keluarganya telah memintanya menanggalkan semua yang jadi keyakinannya, menjauhi orang-orang yang jadi keyakinannya, menjauhi orang-orang yang sekelompok dengannya, setelah nanti menjadi istri Alam. Madasari, 2012: 34-35 Berdasarkan kutipan 20 terlihat jelas bahwa Maryam berusaha meyakinkan kedua orangtuanya untuk selalu ingat bahwa ia akan selalu ingat bahwa ia adalah Ahmadiyah. Di sisi lain, ia tak bisa menepati janjinya terhadap kedua orangtuanya. Meskipun ia tahu, orangtuanya selalu mengingatkannya untuk menikah dengan sesama Ahmadiyah. Maryam justru diminta oleh Alam dan keluarga Alam untuk meninggalkan keyakinannya, dan mengikuti keyakinan Alam beserta keluarga Alam nantinya. Sikap dan tindakan Maryam sangat berbeda saat berada di rumah Alam. Maryam digambarkan sebagai sosok wanita yang sabar dan pasrah dalam keadaan yang ia jalani kepada keluarga Alam. Meskipun segala kekecewaan pun bisa ia terima. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 “Aku capek. Aku bosan disalahkan terus. Kenapa semua hal gara-gara aku? Kenapa se muanya karena dulu aku Ahmadi?” jawab Maryam penuh emosi, meski tidak dengan nada tinggi. Setiap kata diucapkan dengan penuh tekanan, untuk menggantikan suara tinggi yang sengaja dikekang. “Siapa yang menyalahkan kamu?” Tidak ada yang mengatakan seperti i tu.” “Ah... sudahlah. Nggak usah pura-pura bodoh. Selama ini aku sudah banyak mengalah. Tapi jangan terus-terusan aku dijadikan sumber masalah. Kalau memang aku belum hamil mau diapakan lagi?” “Tapi memang tidak ada yang menyalahkan kamu...” “Kamu nggak dengar, tadi Ibu kamu bilang apa di depan banyak orang?” “Cuma minta didoakan. Nggak ada yang salah, kan?” “Dia bilang ‘sesat’ Apa lagi maksudnya kalau bukan Aku?” “Maryam, kamu terlalu sensitif. Tersinggung terhadap sesuatu yang jelas- jelas bukan ditujuk an ke kamu...” Madasari, 2012: 123 Berdasarkan kutipan 21 terlihat jelas bahwa Maryam selalu disalahkan terus-menerus oleh Alam. Alam yang tak peka terhadap penderitaan Maryam, menganggap bahwa tak ada hinaan ibunya kepada Maryam. Maryam justru dinilai terlalu sensitif menganggap perkataan ibunya. Padahal Maryam tahu selain ia masih keturunan Ahmadiyah, ia juga masih belum bisa dikaruniai seorang anak. Kehidupan rumah tangga antara Maryam dan Alam pun tak berjalan semulus yang ia inginkan. Ia mengakhiri hubungannya bersama Alam, dan memilih pergi dari rumah Alam. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 22 Perkawinan yang umurnya belum genap lima tahun itu karam. Maryam memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu bertahan. Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan dan kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki yang dicintainya hanya sebatas bualan? Madasari, 2012: 15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Berdasarkan kutipan 22 terlihat jelas bahwa Maryam telah memilih pilihan yang tepat dengan mengambil tindakan bercerai dengan Alam, suaminya, yang selama hampir lima tahun dibangun. Meskipun ia berusaha membangun kebahagiaan ditengah-tengah kesedihannya. Maryam yang merasa Alam tulus mencintainya, namun ia salah, Alam juga tak bisa mempertahankan rumah tangganya.

3.3.2 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama

Dokumen yang terkait

KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI: Kritik Sosial Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 12

ANXIETY OF MARYAM IN OKKY MADASARI THE OUTCAST NOVEL (2012): A PSYCHOANALYTIC APPROACH Anxiety Of Maryam In Okky Madasari The Outcast Novel (2012): A Psychoanalytic Approach.

0 3 13

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

1 3 12

NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

0 1 11

PENDAHULUAN NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA).

0 0 9

ASPEK BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Budaya dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari : Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN IMPLIKASINYA Aspek Sosial Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Di SMA.

0 2 12

REPRESENTASI IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI: Pendekatan Sejarah Intelektual.

0 0 13

PROBLEM KEJIWAAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI.

2 12 153

GAYA HIDUP POSMODERN TOKOH-TOKOH DALAM NOVEL MATA MATAHARI KARYA ANA MARYAM SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

0 0 108