BAB III BENTUK-BENTUK KONFIK SOSIAL TOKOH MARYAM
DALAM NOVEL MARYAM
3.1 Pengantar
Setelah menganalisis struktur tokoh dan penokohan, alur, dan latar dalam novel Maryam karya Okky Madasari, langkah selanjutnya adalah pembahasan
mengenai konflik sosial yang terdapat dalam novel tersebut. Pemikiran, sikap, dan tindakan tokoh Maryam dalam cerita novel tersebut menjadi cerminan dalam
gambaran konflik. Konflik yang tercermin dalam novel Maryam tersebut adalah
konflik sosial.
Sesuai dengan landasan teori yang sudah dikemukakan di dalam Bab I, peneliti menggunakan teori konflik yang dikembangkan oleh Soerjono Soekanto
untuk menganalisis tokoh Maryam dengan melihat permasalahan konflik sosial yang dialaminya. Analisis sosiologi konflik berdasarkan akar-akar atau sebab-
musabab konflik menurut Soerjono Soekanto mencakup: perbedaan antara orang perorangan dan perbedaan kebudayaan.
Kajian tentang konflik cukup menyita perhatian. Hal ini dapat dimengerti karena konflik tersebut memiliki konsekuensi kemanusiaan yang besar. Telah
banyak nyawa korban yang mati sia-sia. Belum lagi kerugian materi, hilangnya masa depan sebagaimana dialami oleh anak-anak di kawasan konflik. Apa yang
terjadi di Indonesia pada kenyataannya juga terjadi di kawasan lain, di dunia bahkan tidak jarang dengan kondisi yang lebih tragis Susetyo, 2010: 13.
Perhatian terhadap konflik dalam pemikiran keagamaan berakar dalam pemikiran manusia yang aktif terlibat dalam peristiwa sosial dan politik. Kita
hampir tak perlu diyakinkan lagi bahwa konflik merupakan fakta yang sering terjadi di mana-mana dalam kehidupan kita. Konflik itu sendiri sangat
berpengaruh terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Pada prinsipnya, Ahmadiyah bukanlah merupakan agama baru meskipun
mempunyai nama tersendiri. Syahadatnya sama dengan syahadat kaum Muslimin, dan keyakinannya pun sama, yakni mengakui keesaan Allah dan kenabian
Muhammad s.a.w. Dengan demikian, Ahmadiyah adalah Islam yang benar sebagaimana aliran-aliran Islam yang lain, walaupun ajarannya tentang kenabian
bertentangan dengan keyakinan ummat Islam sebelumnya Al-Badry, 1981: 32. Ahmadiyah berbeda dengan aliran-aliran Islam, bahkan ia telah terlepas
dari ikatan Islam yang disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, ajarannya tentang berlangsungnya kenabian secara terus-menerus sesudah Muhammad s.a.w. kedua,
ialah ajarannya tentang khalifah kerohanian serta pergerakannya. Dari segi ajarannya mengenai kenabian, Ahmadiyah tidak percaya bahwa Muhammad
s.a.w. adalah nabi yang terakhir. Menurut mereka ada banyak nabi yang akan datang sesudah Muhammad s.a.w. yang berfungsi sebagai pelanjut syariat beliau,
sebagaimana Isa al-Masih melanjutkan syariat musa a.s. oleh karena pada nabi yang akan datang itu berfungsi sebagai pelanjut syariat Muhammad s.a.w. maka
mereka juga diberi gelar al-Masih, yakni al-Masih dalam kalangan ummat Islam sendiri Al-Badry, 1981: 33.
Dengan sistem kekhalifaan rohani, Ahmadiyah merupakan suatu organisasi yang bergerak secara sistematis di atas landasan ideologi tersendiri.
Khalifah sebagai pemimpin rohani secara hirarkis memimpin segenap ummat atau pengikut yang loyal setelah berbaiāat kepadanya. Hal-hal serupa ini tidak terdapat
pada aliran-aliran Islam. Ahmadiyah tidak saja merupakan kesatuan organisasi yang rapi, tetapi ia juga merupakan golongan yang mempunyai ideologi tersendiri.
Gerakan Ahmadiyah senantiasa diarahkan untuk mengembangkan ideologinya, sehingga ia harus menghadapi tantangan yang berat dari ummat Islam. Akibatnya
adalah bahwa ia terisolir dari dunia Islam, sebab ideologi yang dikembangkan itu bertentangan dengan ideologi ummat Islam Al-Badry, 1981: 34.
Melihat ajaran serta bentuk organisasi dan pergerakannya, Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai suatu aliran keagamaan yang senantiasa berjuang
mempertahankan eksistensinya yang terlepas dari ikatan dunia Islam. Bahkan lebih dari itu, Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai aliran yang merupakan agama
tersendiri yang berbeda dari lingkungan agama Islam. Dikatakan sebagai agama baru, oleh karena Ahmadiyah percaya akan kedatangan seorang nabi sesudah
Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, Ahmadiyah mengingkari status Muhammad s.a.w. sebagai penutup kenabian. Kepercayaan Ahmadiyah akan kenabian Mirza
Ghulam Ahmad, sebagai nabi yang datang sesudah Muhammad s.a.w., bukan hanya mengingkari kedudukan Muhammad s.a.w. sebagai penutup kenabian,
tetapi mengandung pula pengertian bahwa Ghulam Ahmad itulah pemimpin dan ikutan langsung mereka, sehingga orang-orang Ahmadiyah sendiri telah menjadi
ummat tersendiri bagi Ghulam Ahmad. Kelanjutan daripada masalah itu, bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ahmadiyah tidak menetapkan Muhammad s.a.w. sebagai ikutan langsung mereka, sehingga dengan demikian maka jelas orang-orang Ahmadiyah tidak merupakan
bahagian dari ummat Islam yang setia menjadi ummat Muhammad s.a.w. Al- Badry, 1981: 35.
3.2 Konflik karena Perbedaan Orang-perorangan