Konsep Aksi Kolektif Collective Action

non ‐excludable, sangat berisiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang gratis free rider. Pada situasi demikian, CPRs cenderung akan dieksploitasi dan dimanfaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses Hardin, 1968. Namun, Gautam dan Shivakoti 2005 melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom 1990; Thompson 1992; McGinnis and Ostrom 1996; Gibson and Koontz 1998; Agrawal and Gibson 1999; dan Gibson et al. 2000 tidak sepenuhnya menyetujui premis Hardin tersebut Nugroho dan Kartodihardjo 2009. Mereka mengatakan bahwa banyak bukti ‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi ‐aksi kolektif yang mereka bangun. Tentu saja bahwa tidak semua pengguna CPRs berhasil dalam melindungi dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari. Seperti halnya tidak semua pemilik sumberdaya pribadi private property mampu melindungi dan melestarikan sumberdayanya. Nugroho dan Kartodihardjo 2009 menyebutkan bahwa dalam membangun aksi kolektif bukan merupakan persoalan mudah. Ada beberapa kompleksitas dalam membangun aksi kolektif yang perlu diperhatikan, antara lain adalah: 1 Ukuran kelompok group size sangat menentukan keefektifan aksi kolektif. 2 Penunggangan gratis free riders yang muncul seringkali tidak segera ditindak sehubungan dengan kedekatan ‐kedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari ‐hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku penunggangan gratis mudah menular, karena penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera membangun “aliansi strategis” dengan pihak‐ pihak lain. 3 Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam membangun aksi kolektif. Semakin homogen masyarakat diharapkan, semakin mudah membangun aksi kolektif, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk membangun aksi kolektif pada masyarakat yang heterogen. 4 Aksi‐aksi kolektif membutuhkan kesepakatan multi pihak yang pada banyak kejadian memerlukan biaya transaksi transaction costs yang lebih mahal dibanding kesepakatan-kesepakatan bilateral. 5 Keberagaman kepentingan dan preferensi individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata ‐ratakan, kecenderungan ini menyebabkan pengambil keputusan untuk membuat satu aturan untuk semua one size fits all , padahal pada kenyataannya multi aspirasi. 6 Aksi kolektif memerlukan multilateral give and take, manfaat‐manfaat yang dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh indirect benefits dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan non mutual, serta hasil ‐hasil kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan menyebabkan kerusakan moral moral hazard, penunggangan gratis dan perilaku oportunistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya tragedy of the common. 7 Kepentingan dan preferensi kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu ‐individu yang terlibat. 8 Pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan sistem perwakilan yang rentan menimbulkan principal ‐agent problem dan memerlukan agency costs yang mahal. 9 Apabila wakil yang ditunjuk adalah partai politik dan birokrat cenderung akan memunculkan fenomena “exploitation of the majority by minorities”, karena pada dasarnya mereka memiliki kepentingan ‐kepentingan sendiri yang sulit dideteksi. 10 Apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu ‐individu yang terlibat, maka principals jadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil ‐ wakilnya rationally ignorant. Nugroho dan Kartodihardjo 2009 , tentu saja identifikasi kompleksitas membangun aksi kolektif seperti diuraikan di atas tidak dimaksudkan untuk menghindari aksi kolektif dalam penerapan mekanisme pengelolaan CPRs. Mengingat kemanfaatan aksi kolektif yang sangat strategis dalam penerapan pengelolaan CPRs, maka kompleksitas-kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain: 1 Membangun kesaling‐percayaan trust di antara para pihak yang akan terlibat dalam mekanisme pengelolaan CPRs. Dengan adanya kesaling ‐percayaan akan mengurangi minat individu ‐individu untuk berperilaku penunggangan gratis, biaya transaksi information, bargaining, monitoring, and enforcement costs dapat diminimalkan, akan memudahkan membagun koordinasi antar pihak, dan sosial cohesion dapat ditingkatkan. 2 Penetapan skala penerapan mekanisme pengelolaan CPRs yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme pengeloaan CPR mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub ‐sub kelompok yang lebih kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai. 3 Memastikan bahwa mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun benar‐benar dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan ketepatan pendifinisian akar masalah, tawaran solusi dan enabling condition yang diperlukan. Ketepatan mekanisme yang dibangun akan semakin mendekati kebutuhan lokal apabila identifikasi dilakukan oleh individu kelompok lembaga ‐lembaga yang mempunyai basis pendampingan masyarakat lokal dengan mekanisme partisipatif. 4 Untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran raising awareness, penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para actor, maka proses partisipatif dalam arti sesungguhnya akan sulit dicapai. Dengan demikian perbedaan kepentingan ‐kepentingan para pihak dapat didekatkan dan mampu diekspresikan dengan sempurna. 5 Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun memungkinkan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara langsung. Apabila keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan. 6 Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs harus dapat mendefinisikan hak dan kewajiban secara jelas dan tidak multi ‐interpretatif, serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel.

2.4.4 Teori Kemitraan Agency Theory

Enggertsson 1990 diacu dalam Nugroho 2003 menyebutkan teori kemitraan yang biasanya digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hierarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran exchange. Dengan demikian, terdapat dua aspek penting untuk menjelaskan tentang teori ini yaitu : 1 institusi pertukaran institutional exchange yang menyangkut masalah pemindahan hak kepemilikan transfer of property rights , dan 2 masalah-masalah ketidaksepadanan informasi asymmetric information. Kelembagaan didefenisikan sebagai suatu aturan dalam masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar individu dalam mengadakan hubungan-hubungan Rodgers 1994 diacu dalam Nugroho 2003. Sedangkan North 1990 menjelaskan bahwa kelembagaan adalah aturan main pada suatu masyarakat, atau suatu cara manusia untuk membentuk hubungan-hubungan di antara sesamanya dengan membangun insentif-insentif di dalam pertukaran, baik sosial, politik maupun ekonomi. Pertukaran menyangkut hal kompleks, tidak saja menyangkut jual-beli barang dan jasa. Tampaknya teori ekonomi mikro tidak cukup lengkap untuk dapat menjelaskan masalah pertukaran yang kompleks tersebut. Pertama semua barang yang dipertukarkan homogenya, khususnya produk-produk pertanian. Kedua, tidak saja menyangkut pemindahan barang dan jasa tetapi juga meliputi pula pemindahan hak kepemilikan. Ketiga, apabila jual-beli diikat kontrak, pada kenyataannya sulit untuk meninggalkan kontrak tanpa adanya suatu kompensasi- kompensasi. Keempat, pembelian suatu barang tidak saja berarti memperoleh fisik barang tersebut, tetapi meliputi pula karakteristik-karakteristik barang yang lainnya, seperti rasa, kenikmatan, kehormatan dan lain sebagainya. Terakhir adalah ketidaksepadanan informasi antara pembeli dan penjual, sehingga rentan terhadap perilaku oportunis. Menurut Eggertsson 1990 diacu dalam Nugroho 2003, terdapat tiga kategori hak kepemilikan, yaitu : 1. Hak guna user rights yaitu hak untuk menggunakan manfaat potensial yang sah oleh seseorang, termasuk mentransformasi secara fisisk, bahkan untuk merusaknya. 2. Hak untuk memperoleh pendapatan atau uang sewa atas asset. 3. Hak untuk memindahtangankan secara permanen ke pihak lain. Teori keagenan Agency theory merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang prinsipal yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang agensi yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract ” Swadayamandiri 2008. Implikasi penerapan teori ini dapat menimbulkan perilaku efisiensi ataukah perilaku opportunistik bagi si Agen. Implikasi penerapan teori keagenan dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik opportunistic behaviour . Mengapa hal ini terjadi? Karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal keunggulan informasi, sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri self-interest karena memiliki keunggulan kekuasaan discretionary power. Jensen Meckling, 1976 diacu dalam Nugroho 2003 mengemukakan hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaan principals mempengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan agents untuk melaksanakan beberapa tugas principals melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud agents. Hubungan ini selalu memunculkan masalah ketidak sepadanan informasi, karena agents s umumnya memiliki informasi yang lebih lengkap dan sempurna tentang keragaan dirinya dibandingkan yang dimiliki oleh principals.