Analisis Kinerja Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Laban (GERHAN) di Pulau Ambon Provinsi Maluku

(1)

AMBON PROVINSI MALUKU

RICHARD HUMPRY AMANUPUNNJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kinerja Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Di Pulau Ambon Provinsi Maluku adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Richard Humpry Amanupunnjo


(3)

RICHARD HUMPRY AMANUPUNNJO. Performance Analysis of National Forest and Land Rehabilitation Movement (GERHAN) in Ambon. Supervised by BRAMASTO NUGROHO and HARIADI KARTODIHARDJO.

Critical land areas increasing vast by year accros Indonesia because of forest and land degradation. Those phenomenon and its negative impact also happened in the Province of Moluccas. Critical land occupied 59.24% from the total area of Moluccas. Due to this situation, since 2004 Indonesian Ministry of Forestry made Moluccas as one of the priority target for GERHAN. This study aimed to analyze the technical, sosioeconomics, and institutional aspect of GERHAN, analyze factors that cause fluctuations on GERHAN achievment, and formulate a stategic recomendations for the future implementation of forest and land rehabilitation. The study used an evaluation approach by comparing the implementation of GERHAN at Moluccas with a standard performances for GERHAN setting up by Indonesian Ministry of Forestry. Study result showed that GERHAN were carried out on three types of tenure, wich is private land, clans land, and state forest area. The community whose join the program generally did not understand the technical aspect, especially in the planning stages. From financial point of view referring to the analysis of BCR, NPV, and IRR, using 15% interest rate and 30 years as a program period, GERHAN are feasible on all typologies, with first typology as an exception. The failure of investment in GERHAN mainly caused by forest fire and without any involvement from the local institutions. The farmer institusion is ad hoc and not permanent.


(4)

Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GERHAN) di Pulau Ambon Provinsi Maluku. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO dan HARIADI KARTODIHARDJO.

Laju kerusakan hutan dan lahan di Indonesia hingga saat ini mencapai 2,8 juta hektar per tahun. Akibatnya terdapat lahan kritis yang semakin luas setiap tahun di seluruh Indonesia. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dan dampak negatifnya terjadi pula di wilayah Provinsi Maluku yang memiliki lahan kritis seluas sekitar 59,24% atau 2.762.754 ha dari luas wilayah daratnya 5.418.500 ha.

Sementara itu luas lahan kritis di Kota Ambon sekitar 25.344 ha. Adapun yang

terdapat di dalam kawasan seluas 9.755 ha dan diluar kawasan seluas 15.589 ha. Oleh karena itu Provinsi Maluku merupakan salah satu satu wilayah sasaran kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode evaluasi. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling, sedangkan penentuan key informan dilakukan dengan menggunakan teknik snow ball. Selanjutnya pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara tertutup menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur atas dokumen-dokumen yang diperoleh dari instansi teknis terkait. Medote analisis data yang digunakan meliputi analisis deskriptif, analisis kelayakan finansial, analisis sensitivitas, analisis interaktif dan analisis gap.

Hasil analisis menunjukan bahwa penyusunan rencana teknis kegiatan GERHAN disusun oleh aparat Dishutlanak Kota Ambon dan pihak BPDAS Waehapu. Selanjutnya untuk memudahkan pelaksanaan kegitan tersebut di lapangan maka pihak Dishutlanak Kota Ambon menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana. Lokasi yang dipilih untuk kegiatan GERHAN yaitu lahan-lahan yang memiliki persentase kritis sebesar 80% dengan topografi bergelombang hingga bergunung serta kemiringan mencapai 20%. Sesuai dengan analisis pada aspek teknis dapat dikemukakan bahwa kegiatan penanaman yang dilakukan belum sesuai dengan petunjuk teknis yang ada, yaitu pada proses penanaman tidak didahului dengan pemupukan, di samping itu pada proses penggalian lubang, tidak dibedakan antara horizon A dan B. Akibatnya banyak tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik.

Pada tahun 2004 persentase hidup tanaman GERHAN melalui kegiatan hutan rakyat hanya sekitar 29,26%, selanjutnya kegiatan reboisasi sekitar 16,35%. Karena itu peresentase keberhasilan kegiatan tersebut dikategorikan sangat jelek. Akan tetapi pada tahun 2005 persentase keberhasilan tanaman yang hidup mencapai 78,51% atau dikategorikan baik. Pada tahun 2006 persentase keberhasilan sekitar 58,47% - 66,87% atau dikategorikan cukup/sedang. Hal ini karena terjadinya kebakaran pada lokasi tersebut. Selanjutnya pada tahun 2007 persentase keberhasilan kegiatan reboisasi hanya 25,9% dikategorikan sangat jelek, disebabkan oleh kebakaran, pencabutan oleh masyarakat sekitar, serta jenis tanah tidak sesuai dengan tanaman yang ditanam mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik . Pada aspek sosial, masyarakat setempat telah dilibatkan dalam kegiatan GERHAN. Akan tetapi pada beberapa wilayah,


(5)

GERHAN di lokasi penelitian mampu memberikan keuntungan kepada responden sebagai pengelola, dengan nilai BCR pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha (tipologi 2 sampai dengan tipologi 6) menunjukan > 1, yaitu 1,09 sampai dengan 2,67 namun pada luasan tipologi 1 tidak layak secara finansial yaitu dengan luas kepemilikan lahan 1 ha tidak melebihi 1 yaitu 0,75 (dapat dilihat pada Tabel 16). Melalui perhitungan nilai BCR telah diketahui bahwa pengelolaan hutan rakyat GERHAN di lokasi penelitian menguntungkan secara ekonomi. Besarnya keuntungan yang diperoleh tersebut dapat dinilai melalui perhitungan NPV. Nilai NPV merupakan nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap aliran keluar masuknya uang. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPV pengusahaan hutan rakyat GERHAN pada luasan 1 ha (tipologi 1) bernilai negatif yaitu sebesar ( -11.32. 038) sedangkan pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha (tipologi 2 sampai dengan 6) menunjukan nilai positif Rp. 4.507.946 hingga Rp. 107.449.436 (lihat tabel 16). Sehingga dapat diketahui bahwa jika terjadi perubahan akan berpengaruh terhadap ketahanan suatu usaha terhadap fenomena pasar yang terjadi. Dengan melihat persen tumbuh yang terjadi dilokasi penelitian yaitu % sampai dengan %, maka dapat disimpulkan bahwa ketertarikan masyarakat pada program GERHAN rendah.

Pada aspek Kelembagaan kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga yaitu 1) lahan milik individu; 2) lahan milik Marga; dan 3) lahan milik negara. Selanjutnya aksi bersama (collective action) dapat terwujud apabila dalam pembentukan kelompok tani perlu dipertimbangkan homogenesitas masyarakat. Kelompok tani yang homogen lebih mudah digerakkan dalam pelaksanaan kegiatan GERHAN. Agar kegiatan GERHAN dapat berjalan dengan baik maka diperlukan keterbukaan informasi dari pihak pemerintah terhadap masyarakat maupun sebaliknya. Selain itu perlu memaksimalkan pelibatan masyarakat sesuai kearifan-kearifan lokal yang ada.

Selanjutnya kegagalan penanaman disebabkan oleh kebakaran hutan, penanaman tidak didahului dengan pemupukan dan tidak adanya pengawasan yang berkelanjutan. Di samping itu waktu penanaman tidak sesuai dengan musim penghujan dan perekrutan tenaga kerja bukan dari masyarakat setempat dapat menimbulkan akibat kecemburuan sosial. Karena itu pelibatan masyarakat dalam kegiatan GERHAN sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan kelembagaan masyarakat setempat, sehingga mengurangi tingkat kegagalan pelaksanaan kegiatan tersebut.

Dengan demikian agar kegiatan GERHAN dapat mencapai hasil yang ditargetkan maka perlu pelibatan masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam proses penyusunan rencana sampai pada evaluasi kegiatan tersebut.


(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

AMBON PROVINSI MALUKU

RICHARD HUMPRY AMANUPUNNJO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

(10)

Segala puji, hormat dan syukur kepada Bapa di Sorga, karena atas kasih dan anugerah-Nya sehingga tesis dengan judul : Analisis Kinerja Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Di Pulau Ambon Provinsi Maluku ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan tinggi kepada :

1. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku dosen pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku dosen penguji.

2. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penyelesaian tesis.

3. Rekan-rekan mahasiswa Ilmu Pengelolaan Hutan Angkatan 2008 untuk kebersamaan, persahabatan dan masukannya dalam mempertajam analisis tesis ini.

4. Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kota Ambon yang telah mendukung penelitian ini.

5. Pimpinan beserta staf Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Dinas Kehutanan, Pertanian dan Peternakan Kota Ambon, yang telah membantu dalam pengumpulan data.

6. Keluarga tercinta, kedua orang tuaku, Semuel Matheus Amanupunnjo dan Juliana Christina Amanupunnjo/M (alm), istriku Fenthy Yourika Amanupunnjo/L, anak-anakku Craig Justin Amanupunnjo dan Kimberly Sharon Amanupunnjo, serta seluruh keluargaku atas dukungan doa, kesabaran dan dukungannya selama ini.

7. Pemerintah Provinsi Maluku melalui program beasiswa untuk penelitian dan penyelesaian studi S2 di IPB.

8. Teman-teman PERMAMA yang telah memberikan dorongan dan dukungan doa.

Bogor, Agustus 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Ambon (Maluku), 22 Januari 1978 dari Bapak Semuel Matheus Amanupunnjo dan Mama Juliana Christina Amanupunnjo/M. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Pada tanggal 21 Januari 2006 penulis menikah dengan Fenthy Yourika Amanupunnjo/L dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Craig Justin Amanupunnjo dan Kimberly Sharon Amanupunnjo. Penulis lulus dari SD Xaverius B Ambon pada Tahun 1990, SMP Katolik Ambon 1993, SMA Xaverius Ambon Tahun 1996. Menyelesaikan pendidikan sarjana kehutanan di Universitas Pattimura, lulus pada Tahun 2001. Pada tahun, 2008 penulis melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan.


(12)

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerusakan hutan dan lahan mendorong munculnya lahan kritis yang semakin luas setiap tahun di seluruh Indonesia. Kekritisan lahan ditunjukan oleh meningkatnya bencana alam seperti banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, dan tanah longsor. Kerugian yang timbul akibat bencana tersebut mencakup kerugian jiwa dan harta dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan pengukuran luas hutan pertengahan tahun 1980 (program pemetaan RePPProt) dan MoFEC tahun 1996, dalam jangka waktu 12 tahun telah terjadi penurunan luas hutan di Indonesia sebesar ± 20 juta hektar atau rata-rata sebesar 1,7 juta hektar per tahun (World Bank, 2001). Angka tersebut telah melebihi taksiran laju deforestasi yang dapat diterima yaitu berkisar antara 0,6 – 1,3 juta hektar per tahun (World Bank 2001). Laju deforetasi ini diperkirakan semakin besar dan tidak terkendali karena semakin meningkatnya kegiatan illegal logging dan konversi hutan menjadi areal penggunaan lain. Luas hutan indonesia mengalami penurunan rata-rata 1,872 juta hektar (1,7%) per tahun pada periode tahun 1990-2000, dan 1,871 juta hektar (2%) per tahun pada periode tahun 2000-2005 (FAO 2007).

Persoalan penurunan luas hutan ini sebenarnya bukan hanya dihadapi oleh Indonesia saja, tapi negara-negara lainnya juga mengalami hal serupa, walaupun dalam degradasi dan masa yang berbeda. Hutan tropis Indonesia (dan negara Asia serta negara berkembang lainnya) sebenarnya mengalami tekanan serupa dengan yang dialami negara-negara maju beberapa abad yang lalu (Maini dan Ullsten 1993).

Upaya untuk memerangi laju deforestasi dan degradasi hutan serta melakukan recovery hutan yang rusak telah banyak dilakukan melalui berbagai cara. Diantara upaya tersebut adalah rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1950-an. Hingga kini prestasi rehabilitasi memang terus bertambah luas setiap tahun, namun ternyata tidak mampu mengejar laju pertambahan luas deforestasi. Sehingga ketimpangan laju deforestasi dengan laju rehabilitasi masih tinggi dari tahun ke tahun.


(13)

Oleh karena itu, Departemen Kehutanan menempatkan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sebagai prioritas yang strategis dalam rangka memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan (Peraturan Menhut No.P.03/Menhut-V/2010). Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam meredam laju degradasi hutan, utamanya melalui kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan. Namun, upaya tersebut hingga saat ini belum juga mampu memberikan hasil nyata. Hal ini disebabkan pemerintah masih memandang masalah deforestasi sebagai masalah fisik semata, sehingga pendekatan teknologi selalu diandalkan untuk memecahkannya.

Kegagalan tersebut di atas dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, deforestasi hanyalah gejala dari masalah lain, baik ekonomi, sosial, politik dan kebijakan. Tanpa upaya untuk memecahkan masalah yang sebenarnya, kegiatan rehabilitasi akan terus mengalami kegagalan; Kedua, kegiatan rehabilitasi tidak menarik (atraktif) bagi masyarakat pengguna lahan untuk berpatisipasi, karena tidak mampu memecahakan masalah mereka secara langsung, misalnya meningkatkan pendapatan atau mengurangi resiko kegagalan panen (Kartodihardjo 2006).

Fenomena kerusakan hutan dan lahan dan dampak negatifnya terjadi pula di wilayah Provinsi Maluku yang memiliki lahan kritis sekitar 59,24% atau 2.762.754 ha dari luas wilayah daratnya 5.418.500 ha, sementara itu untuk Kota

Ambon luas lahan kritis adalah 25.344 ha yang terdapat, di dalam kawasan adalah 9.755 ha diluar kawasan adalah 15.589 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2005). Oleh karena itu Provinsi Maluku merupakan salah satu satu wilayah sasaran kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN).

Secara Nasional kegiatan GERHAN mulai dilaksanakan sejak tahun 2003, sedangkan di Provinsi Maluku baru dilaksanakan tahun 2004. Handadhari (2004) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan akselerasi upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), maka mulai tahun 2003 Pemerintah mencanangkan suatu Gerakan yang akan melibatkan seluruh instansi dan lapisan masyarakat dalam upaya pemulihan sumberdaya alam melalui GERHAN yang dilakukan pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemulihan fisik hutan dan lahan yang rusak serta pencegahan dampak negatifnya dilakukan melalui rehabilitasi vegetatif dan sipil


(14)

teknis. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, lapangan kerja dan kesempatan usaha akan tercipta dari kegiatan yang bersifat langsung maupun kegiatan-kegiatan lain yang terkait. Disamping itu, hasil-hasil kegiatan-kegiatan penanaman hutan dan lahan pada saatnya nanti akan menghasilkan produksi berupa bahan baku kayu dan hasil buah-buahan .

Program GERHAN juga dirancang untuk implementasi good governance

dalam kegiatan reboisasi hutan dan lahan, artinya sistem rehabilitasi hutan dan lahan tersebut dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, efektifitas dan efisiensi (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2005). Secara prinsip, good governance menghendaki proses transformasi struktural dan transaksi proses pengelolaan hutan dan lahan yang merupakan prasyarat dan prakondisi bagi berlangsungnya upaya pemulihan mutu sumberdaya hutan dan lahan berkelanjutan. Dari sisi proses, kegiatan GERHAN dimaksudkan untuk menstimulir kesadaran semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Kesadaran yang akan ditumbuh-kembangkan adalah bahwa disamping memanfaatkan hutan maka budaya menanam sangat diperlukan sebagai respon untuk memulihkan mutu sumberdaya hutan dan lahan yang menurun akibat pemanfaatan yang eksesif (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2005). Dari sisi struktur, GERHAN memuat tujuan mendorong transformasi struktural pengelolaan bibit, pembuatan tanaman, bangunan konservasi tanah, kegiatan spesifik (percontohan tanaman unggul, renovasi persemaian, pengelolaan tanaman dengan silvikultur intensif, serta kegiatan pendukung antara lain koordinasi antar departemen (interdep), pengembangan kelembagaan serta pengawasan dan pengendalian).

Bentuk pembagian peran dan tanggungjawab pelaksanaan GERHAN dilakukan melalui penjenjangan peran dan tanggungjawab baik dalam proses pengendalian, pembinaan maupun pelaksanaan. Agar kegiatan GERHAN dapat dikembangkan secara berkelanjutan dan terlembagakan dalam kehidupan masyarakat, maka diperlukan upaya pebaikan dan penyempurnaan melalui mekanisme umpan balik (negative feedback). Untuk memperoleh data dan informasi pencapaian hasil kerja kegiatan tersebut perlu dilakukan proses


(15)

monitoring dan evaluasi kinerja tiap satuan kerja (Satker) yang telah ditetapkan sebagai pelaksanaan kegiatan melalui penilaian kinerja.

Penilaian kinerja adalah proses utnuk mengukur kinerja setiap tahapan kegiatan GERHAN. Hasil penilaian kinerja adalah informasi kinerja pelaksanaan yang menggambarkan seberapa besar standar prosedur telah dilaksanakan dan standar hasil telah dapat dicapai. Pencapaian kinerja unit satker diukur dari pencapaian keberhasilan pelaksanaan setiap unsur pengelolaan kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengedalian baik ketetapan prosedur maupun hasilnya dari unit-unit petak/blok kegiatan yang berada di wilayah satker.

Dengan demikian, pada prinsipnya penilaian kinerja pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam rangka GERHAN adalah proses audit manajemen kegiatan-kegiatan GERHAN. Aspek-aspek manajemen kegiatan yang dinilai meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pembinaan administrasi, pembinaan teknis dan pengedalian.

Teknik penilaian dilakukan terhadap sistem manajemen kegiatan mulai dari input, proses dan output. Dalam teknik penilaian sistem yang demikian maka dibutuhkan pemahaman tentang prosedur kegiatan, tupoksi unit-unit manajemen terkait dan kemampuan merekonstruksi proses pelaksanaan dan melakukan pengambilan keputusan berdasarkan professional judgment. Hal ini menjadi kunci validitas penilaian mengingat kegiatan yang dinilai adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan. Penilaian kinerja dilakukan secara berjenjang dari penilaian setiap petak/unit kegiatan, penilaian per jenis kegiatan diukur dari pencapaian aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan, pembinaan dan pengedalian untuk jenis kegiatan yang bersangkutan. Pencapaian kinerja unit satker diukur dari pencapaian keberhasilan pelaksanaan setiap jenis kegiatan.

Dalam pelaksanaannya, program GERHAN tidak terlepas dari beberapa masalah baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Permasalahan teknis yang dihadapi GERHAN antara lain terjadi pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan reboisasi kawasan hutan “remote area”, proses pembuatan tanaman

serta pemeliharaan pada lokasi-lokasi reboisasi yang terisolir, ketersediaan tenaga kerja dan kualitas bibit serta persen hidup tanaman yang rendah. Dalam aspek non-teknis, maka beberapa masalah yang dihadapi GERHAN antara lain meliputi


(16)

keterlambatan turunnya dokumen anggaran GERHAN, kurang optimalnya peran Tim Pengendali Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan masih rendahnya dukungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terutama dalam penyediaan anggaran pendamping. Sampai dengan saat ini Departemen Kehutanan masih “sendiri” dalam menyelenggarakan GERHAN. Departemen terkait lainnya bahkan belum mengalokasikan anggaran untuk GERHAN. Permasalahan non-teknis lainnya ialah masih lemahnya kelembagaan masyarakat serta masih belum lancarnya aliran laporan dari daerah. Meskipun demikian, pada dasarnya GERHAN dapat

dikatakan sebagai sebuah “Gerakan Moral” yang berskala Nasional. Idealnya

Gerakan Moral ini memerlukan komitmen publik, komitmen institusional, komitmen kelompok masyarakat dan akhirnya komitmen masyarakat/publik. Komitmen-komitmen ini penting agar pada saatnya nanti masyarakat menjadi tahu, mau, mampu dan sadar melaksanakan upaya RHL secara mandiri (Dephut 2006).

1.2Kerangka Pemikiran

Berdasarkan data statistik kehutanan (2008), degradasi dan deforestasi hutan tahun 2000 – 2005 adalah 5.447.800 ha dengan rata-rata tahunan 1.089.560 ha. Degradai dan deforestasi yang terjadi di dalam kawasan hutan seluas 766.602 ha dan di luar kawasan hutan seluas 1.303.935 ha. Provinsi Maluku memiliki luas 5.418.500 ha yang terdiri dari areal hutan seluas 4.663.346 ha, dan areal tak berhutan seluas 775.154 ha. Selanjutnya pada areal berhutan seluas 4.663.346 ha tersebut terdiri dari hutan suaka alam (HAS) seluas 475.443, hutan lindung (HL) dan hutan konversi (HPK) seluas 1.633.646 ha. Berdasarakan data Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Maluku (2007) bahwa terdapat 2.762.754 ha atau 59,24 % dari kawasan hutan merupakan kawasan kritis yang perlu direhabilitasi. Disamping itu masih terdapat areal di luar kawasan yang juga perlu direhabilitasi seluas 310.071 ha.

Secara nasional, upaya untuk mengendalikan laju kerusakan hutan dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) melalui pencanangan program GERHAN pada tanggal 31 Maret 2003 oleh Presiden RI Megawati. Target yang ingin dicapai melalui program tersebut di atas, yaitu


(17)

rehabilitasi pada lahan kritis seluas 3 juta hektar yang pelaksanaannya dari tahun 2003-2007. Untuk mendukung keberhasilan kegiatan tersebut maka telah ditetapkan Surat Keputusan Bersama tiga menteri koordinator yakni Menteri Koodinator Kesejahteraan Rakyat. Nomor 09/KEP/MENKO/KESRA/III/2003, Menteri Ekonomi melalui keputusan Nomor KEP.16/M.EKON/03/2003, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan melalui keputusan Nomor KEP.08/MENKO/POLKAM/III/2003, tentang Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (Dephut 2008) .

Di Provinsi Maluku target pelaksanaan GERHAN sejak tahun 2004 – 2007 mencapai luas 3.072.825 ha. Untuk kawasan berhutan 2.762.754 ha dan di luar kawasan hutan 310.071 ha (59 %). Realisasinya sebesar 27.534 ha atau hanya 0,896 % dari total luasan yang harus direhabalitasi dalam kurun waktu 5 tahun. Hal Ini berarti bahwa capaian kegiatan rehabilitasi setiap tahunnya hanya sekitar 5.506,8 ha dan ini merupakan suatu angka yang sangat kecil. Dengan demikian luas hutan yang rusak ini memerlukan sekitar 553 tahun untuk dapat direhabilitasi secara menyeluruh, itupun dengan catatan tidak ada pertambahan luasan hutan yang rusak, serta dana pemerintah yang disediakan untuk penanganan program ini masih seperti begini (Limba 2007). Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh dunia kehutanan di daerah ini.

Di Pulau Ambon luas kawasan hutan yang perlu direhabilitasi berdasarkan kelompok penutupan lahan pada seluas 9.755 ha, sedangkan luas lahan yang perlu direhabilitasi di luar kawasan hutan berdasarkan kelompok penutupan lahan pada seluas 15.589 ha, dan target pelaksanaan GERHAN 2004 – 2007 sebesar 1.335 ha. Fakta di atas menunjukan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dana yang dialokasikan untuk merehabilitasi kawasan hutan terdegradasi dan lahan kritis lainnya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran sebagai warga negara untuk ikut peduli terhadap kondisi kerusakan hutan. Disamping itu masyarakat harus menyadari bahwa kerusakan hutan akan sangat sulit untuk direhabilitasi atau diperbaiki. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk mencoba membangun model pelaksanaan RHL yang sesuai dengan kondisi biofisik Pulau Ambon.


(18)

Upaya Penanggulangan

`

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kekritisan Lahan

(meningkatnya bencana alam seperti : banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi dan tanah longsor)

Lahan Kritis

Diluar Kawasan Hutan Didalam Kawasan Hutan

Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

(GERHAN)

Teknis Sosial & Ekonomi Kelembagaan Rehabilitasi Hutan dan

Lahan

Degradasi Hutan dan Lahan

1. Persiapan 2. Pelaksanaan 3. Pengawasan dan

Pengendalian

1. Penyerapan Tenaga Kerja 2. Partisipasi Masyarakat 3. Jenis Kegiatan Yang

Melibatkan Masyarakat 4. Keterlibatan Masyarakat 5. Analisis Kelayakan

Finansial & Sensitivitas

1. Hak Kepemilikan 2. Aksi Bersama 3. Ketidaksepadanan

Informasi

Rekomendasi Bagi Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Lahan Yang Akan

Datang

Pengelolaan Hutan Yang Lestari di Pulau

Ambon Permasalahan-permasalahan apa saja yang menyebabkan terjadinya fluktuasi

keberhasilan GERHAN Hutan


(19)

1.3Perumusan Masalah

Deforestasi dan degradasi hutan telah menimbulkan kerugian dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Salah satu upaya untuk menanggulanginya telah dilaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan, yang mana salah satunya adalah GERHAN. Sebagaimana telah diuraikan di depan, GERHAN adalah program nasional untuk perbaikan kualitas lingkungan yang dalam pelaksanaannya melibatkan banyak pihak.

Pembangunan kehutanan merupakan salah satu bagian dalam pembangunan yang terintegrasi ke dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Program GERHAN yang merupakan upaya pemerintah dalam rangka pembangunan kehutanan seharusnya memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di samping aspek teknis dan biologi. Perhatian pada aspek-aspek tersebut diyakini akan memberikan kontribusi positif dalam pencapaian tujuan program GERHAN pada khususnya dan pembangunan masyarakat (baik sekitar hutan maupun keseluruhan) pada umumnya. Berdasarkan hasil laporan Lembaga Penilaian Independen (LPI) diperoleh presentase keberhasilan GERHAN pada tahun 2004 adalah sebesar 29,26 % (sangat jelek),

tahun 2005 adalah 78,51 % (baik), tahun 2006 adalah 66,87 % (cukup/sedang), tahun 2007 adalah 25,9 % (sangat jelek).

Gap antara laporan dan kenyataan di lapangan merupakan permasalahan yang perlu untuk dipecahkan. Permasalahan kegagalan program kehutanan, dapat terjadi karena aplikasi teknologi yang kurang tepat/tidak sesuai dengan kondisi biofisik setempat, atau dapat pula disebabkan oleh persoalan-persoalan sosial lainnya. Perlu dicermati bahwa di Provinsi Maluku khususnya Pulau Ambon kegiatan GERHAN telah dilakukan sejak tahun 2004 dan berakhir tahun 2007. Karena itu, bagaimana memikirkan masa transisi setelah program GERHAN ini dan juga bagaimana memperoleh pembelajaran untuk pelaksanaan kegiatan serupa.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) Nomor: P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Kehutanan Tahun 2010 – 2014, penyusunan rencana rehabilitasi hutan dan lahan ke depan harus mengacu pada struktur perencanaan pembangunan yang ditetapkan


(20)

dalam pedoman penyusunan Renstra, serta sejalan dengan proses restrukturisasi program dan kegiatan yang merupakan bagian dari reformasi perencanaan pembangunan nasional. Sebagai dokumen perencanaan lima tahun, renstra kementerian tersebut, telah dirumuskan visi yang menggambarkan keadaan yang ingin dicapai sampai dengan akhir masa renstra. Selanjutnya renstra tersebut juga telah merumuskan misi yang merupakan upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi, dan tujuan dari masing-masing misi serta sasaran strategis pembangunan kehutanan tahun 2010-2014. Salah satunya adalah Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di 32 Provinsi dengan luasan 1.600.000 ha pada DAS, 2.000.000 ha pada HKm, dan 500.000 ha pada Hutan Desa. Untuk Provinsi Maluku RHL DAS dengan luasan 31.800 ha dan 2.600 ha untuk Hutan Desa.

Apabila RHL yang dimulai tahun 2010 tersebut diharapkan akan berhasil atau sukses khususnya di Maluku, maka Program GERHAN yang telah dilaksanakan sebelumnya dijadikan ukuran untuk pelaksanaan RHL yang akan berjalan. Dengan demikian, kinerja GERHAN pada waktu lampau di Maluku perlu diketahui untuk memastikan rekomendasi yang tepat bagi rencana program RHL berikutnya.

Dari laporan pelaksanaan GERHAN sebelumnya (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2006), dipaparkan bahwa kinerja GERHAN di Maluku khususnya Kota Ambon berhasil. Namun demikian, permasalahannya adalah indikator yang digunakan, penilaian kinerja tersebut masih perlu untuk memasukkan indikator pendukung lainnya, disamping hanya menggunakan faktor teknis, guna menentukan kinerja GERHAN secara lebih komprehensif. Untuk itu penelitian ini dibangun dalam rangka menganalisis kinerja GERHAN di Pulau Ambon dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti aspek teknis, aspek sosial ekonomi, dan aspek kelembagaan. Pulau Ambon merupakan wilayah yang menarik dan strategis untuk di teliti, karena lokasi kegiatan GERHAN di pulau tersebut memiliki aksessibilitas yang sangat baik dengan berbagai stakeholder yang terlibat dalam kegiatan GERHAN.


(21)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana aspek teknis, sosial ekonomi, dan kelembagaan yang mempengaruhi pelaksanaan GERHAN, permasalahan-permasalahan yang menyebabkan terjadinya fluktuasi keberhasilan GERHAN dan rekomendasi apa saja yang dihasilkan bagi pelaksanaan RHL di Maluku. Untuk mencapai tujuan dimaksud, diperlukan beberapa kajian sebagai berikut :

1. Mengkaji aspek teknis, sosial ekonomi dan kelembagaan pelaksanaan GERHAN.

2. Menganalisis permasalahan-permasalahan apa saja yang menyebabkan terjadinya fluktuasi keberhasilan GERHAN.

3. Menyusun rekomendasi bagi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan berdasarkan kinerja GERHAN yang telah diketahui.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna :

1. Sebagai acuan dan sumber informasi terkait pengembangan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ke depan di Pulau Ambon.

2.Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kebijakan dan kelembagaan untuk meningkatkan peranan masyarakat dalam kegitan rehabilitasi hutan dan lahan. 3. Memberikan informasi yang dapat memperkaya Khasanah ilmu pengetahuan

mengenai aspek teknis, sosial ekonomi,kelembagaan dari kegiatan Rehabilitasi, khususnya GERHAN di DAS Waehapu.


(22)

2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)

Untuk memulihkan kembali fungsi hutan dan lahan yang kritis diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Undang-undang Nomor 41 tahun 1999).

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan (Departemen Kehutanan, 2003b).

Departemen Kehutanan, menggunakan istilah khusus untuk mendefenisikan upaya rehabilitasi berdasarkan status dan lokasi lahan atau area proyek rehabilitasi. Pertama adalah reboisasi, atau reforestasi atau rehabilitasi hutan

yaitu kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan. Kedua adalah penghijauan atau aforestasi atau rehabilitasi lahan yaitu kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan di luar kawasan hutan yaitu pada lahan masyarakat. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia telah dilaksanakan di 400 lokasi. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diklasifisikan sebagai berikut (Departemen Kehutanan dalam Tim CIFOR dan Litbang Dephut, 2004) :

a. 1950 – 1980 : Pendekatan top down.

b. 1990 – pertengahan 1990 : transisi dari pendekatan top-down menuju pendekatan partisipatif.

c. Akhir 1990 – sampai sekarang : penekanan pada pendekatan partisipatif.

Untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang semakin parah, Departemen Kehutanan telah mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) yang dimulai pada tahun 2003.


(23)

GERHAN merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan yang efektif dan efisien (Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). Program ini bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS), serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. (Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). GERHAN ini meliputi dua ruang lingkup yaitu :

1. Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan GERHAN ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu, a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan

Kegiatan pencegahan perusakan lingkungan adalah kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum.

b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi

Kegiatan ini meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, pemeliharaan tanaman,dan lain-lain) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, dan lain-lain), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan.

2. Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah kegiatan GERHAN diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani.


(24)

2.2 Aspek Teknis

Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Maluku (2006), aspek teknis yang sangat penting dalam merealisasi kegiatan GERHAN adalah perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta pengendalian. Tahapan teknis selanjutnya dijabarkan ke dalam komponen-komponen kegiatan, dengan memperhatikan kelayakan lokasi, kelayakan jenis tanaman sesuai kondisi biofisik wilayah, dan pelaksanaan teknis kegiatan di lapangan merupakan faktor yang sangat perlu diperhatikan.

2.3 Aspek Sosial Ekonomi

Pembangunan kehutanan merupakan salah satu bagian dalam pembangunan yang terintegrasi ke dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Program GERHAN yang merupakan upaya pemerintah dalam rangka pembangunan kehutanan seharusnya memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di samping aspek teknis dan biologi. Perhatian pada aspek-aspek tersebut diyakini akan memberikan kontribusi positif dalam pencapaian tujuan program GERHAN pada khususnya dan pembangunan masyarakat (baik sekitar hutan maupun keseluruhan) pada umumnya (Departemen Kehutanan 2005).

Dalam perkembangannya, upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis telah dimulai pada tahun 1960-an. Secara nasional program ini dicanangkan sebagai program penyelematan hutan dan air. Dalam pelaksanaannya selama masa orde baru, bahkan sampai masa Reformasi, program ini belum berhasil dengan baik. Luasan lahan yang direhabilitasi dan hutan yang terselamatkan belum maksimal (Kartasubrata 1986).

Bila dicermati lebih jauh, fakta ketidakberhasilan tersebut karena faktor-faktor teknis (teknik pertanian/silvikultur yang tidak sesuai dengan lokasi), maupun faktor kesesuaian teknik dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat (Departemen Kehutanan 2005). Misalnya disebabkan karena kemungkinan oleh keterlibatan petani dalam tahapan perancangan kegiatan, tanaman yang diberikan tidak disukai petani karena mengurangi ruang untuk tanaman semusim (yang dibutuhkan petani untuk kehidupan sehari-hari), pertumbuhan tanaman tidak menggairahkan (lambat), adanya larangan menebang,


(25)

minimnya bimbingan dan penyuluhan dalam hal perawatan/pemeliharaan tanaman. Selain itu , motif ekonomi juga turut mewarnai dimana penduduk menganggap lahan tersebut potensial untuk perladangan dan peternakan.

Dalam program ini, diharapkan disamping penerapan aspek kesesuaian tanaman dengan lokasi setempat, dipertimbangkan juga aspek kesesuaian dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

Menurut Departemen Kehuatanan 2005, Pengelolaan hutan berbasis masyarakat alternatif pelaksanaan GERHAN, perbedaan persepsi dan cara pengelolaan serta pemanfaatan hutan seringkali menimbulkan konflik, baik secara vertikal (pemerintah dengan masyarakat) maupun horisontal (masyarakat dengan masyarakat). Sebagai catatan sejak tahun 1973 sampai 2003, berbagai kasus benturan kepentingan dalam pengelolaan hutan telah terjadi, dimana yang paling banyak adalah benturan kepentingan ekonomi pada kawasan hutan hutan bahkan termasuk pada kawasan yang harusnya dilindungi.

Untuk menghindarkan konflik dalam pengelolaan hutan diperlukan perubahan pendekatan pengelolaan, dimana kehutanan bukan lagi semata-mata dimonopoli oleh negara saja, tetapi milik seluruh pelaku kehutanan yakni masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Diperlukan kerjasama dan keterlibatan para pihak tersebut untuk mengurangi laju degradasi hutan serta memperbaikinya dengan menghindari konflik.

Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka tersebut adalah merancang GERHAN, yang dalam pelaksanaanya membuka ruang yang sangat besar bagi para pihak untuk berpartisipasi. Masyarakat sebagi pelaku, pelaksana serta sasaran program tersebut seyogianya menangkap peluang tersebut, berpartisipasi dan berperan aktif untuk mengembangkannya.

2.4Aspek Kelembagaan 2.4.1 Pengertian Kelembagaan

Kelembagaan/institusi didefenisikan sebagai aturan dalam masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar individu dalam mengadakan hubungan-hubungan (Rodgers 1994 diacu dalam Nugroho 2003). Sedangkan North (1990) diacu dalam Nugroho (2003), menjelaskan bahwa


(26)

kelembagaan/institusi adalah aturan main pada suatu masyarakat, atau suatu cara manusia untuk membentuk hubungan-hubungan di antara sesamanya dengan membangun insentif-insentif di dalam pertukaran, baik sosial, politik maupun ekonomi. Ada dua arti berbeda menyertai defenisi tersebut, pertama merujuk pada organisasi dan kedua merujuk pada aturan main, norma-norma dan larangan-larangan dalam mengatur perilaku, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kedua-duanya sangat relevan untuk membahas masalah-masalah pertukaran, karena dalam pertukaran terjadi interaksi antar individu yang memerlukan aturan main sekaligus pengorganisasian.

Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti organisasi pemerintah, bank, koperasi, pendidikan dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunaknya. Karena itu, masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk membangun kelembagaan secara utuh, termasuk mengidentifikasi kemitraan yang terjadi, kontrak yang melandasi kemitraan, principalagents relationship, property rights, collecticve action dan lain-lain.

Kelembagaan didefenisikan sebagai suatu pranata sosial yang mengatur sistem perilaku dan hubungan-hubungan untuk memenuhi kebutuhan khususnya dalam kehidupan masyarakat. Menurut Kartodihardjo (2006), kelembagaan adalah perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan di dalamnya. Para pengambil keputusan tidak dapat memperbaiki penyelenggaraan kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras, hokum yang berlaku dan instruksi-instruksi yang terkandung dalam kebijakan. Melainkan juga sangat tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting untuk menumbuhkan rasa saling percaya, patuh karena peduli yang dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi serta keterbukaan informasi.

Menurut Wibowo dan Soetino (2003) kelembagaan mengandung 3 komponen utama yaitu :

1. Kepemilikan, hal ini mengandung makna sosial yang berasal dari adanya konsep hak (right) dan kewajiban (obligation). Batas kepemilikan ini


(27)

didefenisikan atau diatur oleh hukum, adat/tradisi/konsesus, norma atau peraturan.

2. Kewenangan, wilayah atau otoritas suatu lembaga atau mengadung kedua-duanya. Hal ini sangat penting dalam suatu organisasi/institusi untuk menetukan siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh.

3. Representasi, mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dan bagaimana proses pengambilan keputusan.

2.4.2 Konsep Hak Kepemilikan (Property Right)

Hak kepemilikan merupakan kumpulan hak‐hak (bundle of rights) yang diatur melalui aturan tertentu. North (1990) diacu dalam Nugroho (2003) yang menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah.

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Konsekuensinya diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu:

1) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang dimaksud.

2) Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara. Konsep pengakuan dan penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh


(28)

komunitas dan Negara melalui pemberian sanksi‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak (transaction and enforcement costs) yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia‐sia. Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya (institution without sactions is useless).

3) Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion costs). Semakin mahal biaya‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus.

4) Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi ‐ tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan hak mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut.

Menurut Nugroho dan Kartodihardjo (2009) Institutional arrangement (property regime) atas hak kepemilikan dapat bermacam‐macam, yaitu (1) hak milik pribadi (private property), (2) milik Negara (state property), (3) hak milik komunal/ adat/ulayat (communal property), (4) milik umum (public property), (5) hak atas manfaat (user rights), dan (6) tidak berpemilik (open access property or no‐property right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah tangankan (transferable); (3) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (4) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable).


(29)

Menurut FAO (2002), sistem tenurial atas tanah dan sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam empat kategori umum kepemilikan sebagai berikut:

a. Milik Pribadi (Private Property )

Kepemilikan diberikan kepada suatu badan privat yang terdiri dari satu orang/individu, suami istri dari suatu keluarga, sekelompok orang, suatu lembaga baik perusahaan swasta maupun nirlaba. Pada golongan tanah ini badan privat tersebut dapat mengambil manfaat dari tanah tersebut (sesuai dengan aturan yang berlaku) untuk kepentingan mereka. Sebagai contoh, dalam suatu masyarakat dapat diberikan hak kepada individu untuk membuka kebun.

b. Milik Komunal– Adat, Ulayat (Communal (common) Property)

Tanah jenis ini dimiliki secara komunal yang hanya dapat digunakan oleh anggota dari masyarakat tersebut. Misalnya tanah itu digunakan untuk menggembalakan ternak oleh masyarakat yang merupakan anggota kelompok. Anggota masyarakat dari luar hanya dapat memperoleh akses atas tanah komunal bila memenuhi syarat yang berlaku dalam komunal tersebut.

c. Tidak Berpemilik (Open Access Property or no-property right)

Pada dasarnya tidak ada yang dapat dikatakan sebagai “pemilik” dari tanah atau sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian siapa saja dapat mengambil manfaat dari sumber daya tersebut. Sebagai contoh perairan laut lepas dimana nelayan dapat mengambil ikan.

d. Milik Publik atau Umum (Public Property)

Lahan jenis ini merupakan lahan yang hak kepemilikannya diklaim oleh negara. Tanggung jawab pengelolaannya diserahkan pada satu sektor tertentu dalam pemerintah. Contohnya adalah di Indonesia, sebagain besar wilayah hutan yang diklaim sebagai hutan negara berada di bawah tanggung jawab Departemen Kehutanan.

2.4.3 Konsep Aksi Kolektif (Collective Action)

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa kawasan hutan negara pada umumnya merupakan Common Pool Resources (CPRs) yang bersifat


(30)

non‐excludable, sangat berisiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang gratis (free rider). Pada situasi demikian, CPRs cenderung akan dieksploitasi dan dimanfaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin, 1968). Namun, Gautam dan Shivakoti (2005) melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson (1992); McGinnis and Ostrom (1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and Gibson (1999); dan Gibson et al. (2000) tidak sepenuhnya menyetujui premis Hardin tersebut (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Mereka mengatakan bahwa banyak bukti‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi‐aksi kolektif yang mereka bangun. Tentu saja bahwa tidak semua pengguna CPRs berhasil dalam melindungi dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari. Seperti halnya tidak semua pemilik sumberdaya pribadi (private property) mampu melindungi dan melestarikan sumberdayanya.

Nugroho dan Kartodihardjo (2009) menyebutkan bahwa dalam membangun aksi kolektif bukan merupakan persoalan mudah. Ada beberapa kompleksitas dalam membangun aksi kolektif yang perlu diperhatikan, antara lain adalah: 1) Ukuran kelompok (group size) sangat menentukan keefektifan aksi kolektif. 2) Penunggangan gratis (free riders) yang muncul seringkali tidak segera

ditindak sehubungan dengan kedekatan‐kedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari‐hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku penunggangan gratis mudah menular, karena penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera membangun “aliansi strategis” dengan pihak‐ pihak lain.

3) Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam membangun aksi kolektif. Semakin homogen masyarakat diharapkan, semakin mudah membangun aksi kolektif, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk membangun aksi kolektif pada masyarakat yang heterogen.


(31)

4) Aksi‐aksi kolektif membutuhkan kesepakatan multi pihak yang pada banyak kejadian memerlukan biaya transaksi (transaction costs) yang lebih mahal dibanding kesepakatan-kesepakatan bilateral.

5) Keberagaman kepentingan dan preferensi individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata‐ratakan, kecenderungan ini menyebabkan pengambil keputusan untuk membuat satu aturan untuk semua (one size fits all), padahal pada kenyataannya multi aspirasi.

6) Aksi kolektif memerlukan multilateral give and take, manfaat‐manfaat yang dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh (indirect benefits) dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan (non mutual), serta hasil‐hasil kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan menyebabkan kerusakan moral (moral hazard), penunggangan gratis dan perilaku oportunistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya tragedy of the common.

7) Kepentingan dan preferensi kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu‐individu yang terlibat.

8) Pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan sistem perwakilan yang rentan menimbulkan principal‐agent problem dan memerlukan agency costs yang mahal.

9) Apabila wakil yang ditunjuk adalah partai politik dan birokrat cenderung akan memunculkan fenomena “exploitation of the majority by minorities”, karena pada dasarnya mereka memiliki kepentingan‐kepentingan sendiri yang sulit dideteksi.

10)Apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu‐individu yang terlibat, maka principals jadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil‐ wakilnya (rationally ignorant).

Nugroho dan Kartodihardjo 2009, tentu saja identifikasi kompleksitas membangun aksi kolektif seperti diuraikan di atas tidak dimaksudkan untuk


(32)

menghindari aksi kolektif dalam penerapan mekanisme pengelolaan CPRs. Mengingat kemanfaatan aksi kolektif yang sangat strategis dalam penerapan pengelolaan CPRs, maka kompleksitas-kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain:

1) Membangun kesaling‐percayaan (trust) di antara para pihak yang akan terlibat dalam mekanisme pengelolaan CPRs. Dengan adanya kesaling‐percayaan akan mengurangi minat individu‐individu untuk berperilaku penunggangan gratis, biaya transaksi (information, bargaining, monitoring, and enforcement costs) dapat diminimalkan, akan memudahkan membagun koordinasi antar pihak, dan sosial cohesion dapat ditingkatkan.

2) Penetapan skala penerapan mekanisme pengelolaan CPRs yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme pengeloaan CPR mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub‐sub kelompok yang lebih kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai. 3) Memastikan bahwa mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun benar‐benar

dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan ketepatan pendifinisian akar masalah, tawaran solusi dan enabling condition yang diperlukan. Ketepatan mekanisme yang dibangun akan semakin mendekati kebutuhan lokal apabila identifikasi dilakukan oleh individu/ kelompok/ lembaga‐lembaga yang mempunyai basis pendampingan masyarakat lokal dengan mekanisme partisipatif.

4) Untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran (raising awareness), penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para actor, maka proses partisipatif dalam arti sesungguhnya akan sulit dicapai. Dengan demikian perbedaan kepentingan‐kepentingan para pihak dapat didekatkan dan mampu diekspresikan dengan sempurna.

5) Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun memungkinkan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara langsung. Apabila


(33)

keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan.

6) Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs harus dapat mendefinisikan hak dan kewajiban secara jelas dan tidak multi‐interpretatif, serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel.

2.4.4 Teori Kemitraan (Agency Theory)

Enggertsson (1990) diacu dalam Nugroho (2003) menyebutkan teori kemitraan yang biasanya digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hierarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran (exchange). Dengan demikian, terdapat dua aspek penting untuk menjelaskan tentang teori ini yaitu : (1) institusi pertukaran

(institutional exchange) yang menyangkut masalah pemindahan hak kepemilikan

(transfer of property rights), dan (2) masalah-masalah ketidaksepadanan informasi (asymmetric information).

Kelembagaan didefenisikan sebagai suatu aturan dalam masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar individu dalam mengadakan hubungan-hubungan (Rodgers 1994) diacu dalam Nugroho (2003). Sedangkan North (1990) menjelaskan bahwa kelembagaan adalah aturan main pada suatu masyarakat, atau suatu cara manusia untuk membentuk hubungan-hubungan di antara sesamanya dengan membangun insentif-insentif di dalam pertukaran, baik sosial, politik maupun ekonomi.

Pertukaran menyangkut hal kompleks, tidak saja menyangkut jual-beli barang dan jasa. Tampaknya teori ekonomi mikro tidak cukup lengkap untuk dapat menjelaskan masalah pertukaran yang kompleks tersebut. Pertama semua barang yang dipertukarkan homogenya, khususnya produk-produk pertanian. Kedua, tidak saja menyangkut pemindahan barang dan jasa tetapi juga meliputi pula pemindahan hak kepemilikan. Ketiga, apabila jual-beli diikat kontrak, pada kenyataannya sulit untuk meninggalkan kontrak tanpa adanya suatu kompensasi-kompensasi. Keempat, pembelian suatu barang tidak saja berarti memperoleh fisik barang tersebut, tetapi meliputi pula karakteristik-karakteristik barang yang lainnya, seperti rasa, kenikmatan, kehormatan dan lain sebagainya. Terakhir


(34)

adalah ketidaksepadanan informasi antara pembeli dan penjual, sehingga rentan terhadap perilaku oportunis.

Menurut Eggertsson (1990) diacu dalam Nugroho (2003), terdapat tiga kategori hak kepemilikan, yaitu :

1. Hak guna (user rights) yaitu hak untuk menggunakan manfaat potensial yang sah oleh seseorang, termasuk mentransformasi secara fisisk, bahkan untuk merusaknya.

2. Hak untuk memperoleh pendapatan atau uang sewa atas asset. 3. Hak untuk memindahtangankan secara permanen ke pihak lain.

Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktek bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract” (Swadayamandiri 2008).

Implikasi penerapan teori ini dapat menimbulkan perilaku efisiensi ataukah perilaku opportunistik bagi si Agen. Implikasi penerapan teori keagenan dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (opportunistic behaviour). Mengapa hal ini terjadi? Karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).

Jensen & Meckling, (1976) diacu dalam Nugroho (2003) mengemukakan hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaan principal(s) mempengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan agent(s) untuk melaksanakan beberapa tugas principal(s) melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud agent(s). Hubungan ini selalu memunculkan masalah ketidak sepadanan informasi, karena agents (s) umumnya memiliki informasi yang lebih lengkap dan sempurna tentang keragaan dirinya dibandingkan yang dimiliki oleh principal(s).


(35)

Hubungan prinsipal-agen terjadi whenever one individual’s actions have an effect on another individual atau whenever one individual depends on the action of another (Gilardi 2001). Stiglitz (1999) menyatakan bahwa masalah keagenan terjadi pada semua organisasi, baik publik maupun privat. Menurut Lane (2003),

“…the modern democratic state is based on a set of principal-agent relationships

in the public sector.” Principal-agent framework merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk menganalisis komitmen kebijakan publik karena pembuatan dan pengimplementasiannya melibatkan persoalan kontraktual yang berkaitan dengan asimetri informasi, moral hazard, bounded rationality, and adverse selection.

Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi: agents mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan

adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja agents dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie 2002). Kasper dan Streit (1999) mengemukakan bahwa adanya asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatif-pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic checks berupa persaingan.

2.4.5 Ketidaksepadanan Informasi (Asymmetric Information)

Pada umumnya pihak agent menguasai informasi tentang keragaan (work effort), keinginan-keinginan (preferences) dan motivasi (motives) yang ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan, keinginan dan motivasi agent

yang dimiliki oleh principal umumnya sangat terbatas. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.

Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan


(36)

dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (di luar manajemen). Para pengguna internal (para manajer) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal.

Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan antara

shareholder dan manajer, karena tidak bertemunya utilitas yang maksimal antara mereka. Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun disisi yang lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka. Sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling 1976).

Tindakan earnings management telah memunculkan dalam beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck, WorldCom dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett et al, 2006). Dalam kasus Enron misalnya, satu dampak yang sangat jelas yaitu kerugian yang ditanggung para investor dari ambruknya nilai saham yang sangat dramatis dari harga per saham US$ 30 menjadi hanya US$ 10 dalam waktu dua minggu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa suatu perusahaan kelas dunia dapat mengalami hal yang sangat tragis dengan mendeklarasikan

bangkrut justru setelah hasil audit keuangan perusahaannya dinyatakan “wajar

tanpa syarat”. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk

dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon 2005).

Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry), yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder

pada umumnya sebagai pengguna informasi (user). Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada


(37)

umunya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.

2.5 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat GERHAN

Menurut Gittinger (1986), proyek adalah kegiatan yang menggunakan sumber-sumber untuk memperoleh manfaat (benefit), atau suatu kegiatan dimana dikeluarkan biaya dengan harapan untuk memperoleh hasil pada waktu yang akan datang. Suatu proyek atau kegiatan hendaknya dipandang dari berbagai kelayakan

(feasibility) diantaranya kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi. Untuk mengevaluasi kelayakan proyek digunakan analisis manfaat-biaya.

Analisa biaya-manfaat adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analisis membandingkan dan menganjurkan suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dan total keuntungan dalam bentuk uang (Dunn 2003). Secara sederhana konsep analisa manfaat-biaya adalah mengenali manfaat (benefit) dan biaya (cost) atas proyek kemudian mengukurnya dalam ukuran yang dapat diperbandingkan. Apabila nilai manfaat lebih besar daripada nilai biaya, maka proyek tersebut menuju alokasi faktor produksi yang efisien (Suparmoko 2006).

Gittenger (1986) menyebutkan bahwa biaya dalam analisa proyek adalah tiap barang dan jasa yang digunakan dalam suatu proyek yang akan mengurangi tujuan yang harus ditempuh tergantung dari sisi mana analisa dilakukan, sedangkan manfaat adalah tiap barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu proyek yang dapat meningkatkan pendapatan petani atau perusahaan atau menaikkan pendapatan nasional masyarakat/suatu negara.


(38)

Bahan pertimbangan yang menjadi kriteria kelayakan investasi proyek adalah :

(1) Net Present Value(NPV)

Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Konsep net present value merupakan metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat ini dari uang masuk dan keluar dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga yang disyaratkan. Kriteria penilaian adalah, jika NPV>0 maka usaha yang direncanakan atau yang diusulkan layak untuk dilaksanakan dan jika NPV<0, jenis usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.

(2) Benefit Cost Ratio (BCR)

Metode analisa kelayakan usaha yang kedua adalah Benefit Cost Ratio

(BCR) atau Profitability index. Metode ini memprediksi kelayakan suatu proyek dengan membandingkan nilai penerimaan bersih dengan nilai investasi. Apabila nilai BCR lebih besar dari 1 (satu) maka rencana investasi dapat diterima, sedangkan apabila nilai BCR lebih kecil dari 1 (satu) maka rencana investasi tidak layak diusahakan. NPV dan BCR akan selalu konsisten. Dengan kata lain, kalau NPV mengatakan diterima, maka BCR juga mengatakan diterima dan sebaliknya kalau NPV mengatakan ditolak, maka BCR juga akan menolak

(3) Internal Rate Return (IRR),

Teknik perhitungan dengan IRR banyak digunakan dalam suatu analisis investasi, namun relatif sulit untuk ditentukan karena mendapatkan nilai yang akan dihitung diperlukan trial and error hingga pada akhirnya diperoleh tingkat bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. IRR dapat didefenisikan sebagai tingkat bunga yang akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai. Dengan kata lain, IRR adalah tingkat bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria penilain digunakan tingkat bunga bank, maka usaha yang direncanakan atau yang diusulkan layak untuk dilaksanakan, dan jika sebaliknya usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.


(39)

2.6 Analisis Kepekaan (Sensitivity Analysis)

Menurut Nugroho (2003), analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis yang telah dilakukan peka terhadap perubahan faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan (sensitivity) sendiri diartikan sebagai besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan (misalnya nilai kini, nilai tahunan, tingkat pengembalian) yang disebabkan oleh adanya perubahan estimasi faktor-faktor yang berpengaruh.

Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan teknik analisis ini sering digunakan analis, antara lain :

1. Disadari bahwa di dalam membuat proyeksi aliran kas terdapat ketidaksempurnaan estimasi yang menyangkut aliran kas masuk (manfaat-manfaat) dan keluar (biaya-biaya).

2. Adanya ketidakpastian (uncertainty) baik yang menyangkut harga-harga input dan output maupun estimasi produksi (produktivitas).

3. Adanya kemungkinan perubahan tingkat suku bunga bank, inflasi dan risiko-risiko di masa akan datang yang pada akhirnya berpengaruh terhadap besarnya tingkat pengembalian minimum aktraktif (TPMA). Pada analisis nilai kini, nilai rataan tahunan, dan rasio manfaat terhadap biaya, TPMA ditetapkan terlebih dahulu, untuk itu analis memandang perlu menguji hasil analisisnya apabila TPMA tersebut berubah.


(40)

2.7 Penelitian Sebelumnya

Berbagai penelitian mengenai Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam berbagai literatur yang ada, di antara nya adalah :

1. Penelitian Waluyo (1986) yang menyatakan, ketidaktanggapan akan faktor sosial budaya serta kebiasaan masyarakat setempat menjadi faktor penyebab ketidakberhasilan program reboisasi dan penghijauan di masa lalu. Disimpulkan pula bahwa di Pulau Samosir kepemilikan lahan adalah hak adat atau tanah marga.

2. Sipayung (1993), kegagalan program reboisasi dan penghijauan oleh minimnya keterlibatan petani dalam tahap perancangan kegiatan, tanaman yang diberi tidak disukai petani, pertumbuhan tanaman tidak menggairahkan (lambat), adanya larangan menebang, minimnya bimbingan dan penyuluhan dalam hal perawatan/pemeliharaan tanaman.

3. Hasil studi pada 2 kasus di Riau pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, baik yang dilakukan oleh pempus maupun pemda, belum disertai dengan upaya penguatan kelembagaan (Kartodihardjo 2006)

4. Widyastutik (2010), ada empat variabel penyebab kegagalan GERHAN yaitu perencanaan rehabilitasi, kemudahan hasil produksi, insentif/penghargaan, keterpaduan antara kegiatan rehabilitasi dengan perencanaan.


(41)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lokasi GERHAN di Pulau Ambon tahun 2004 – 2007 seluas 1.335 ha, yang meliputi 4 kecamatan di wilayah Pulau yaitu : 1). Kecamatan Nusaniwe, Kecamatan Sirimau, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, dan Kecamatan Teluk Ambon. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan Mei 2010 sampai dengan bulan Juli 2010.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan kuantitatif dan metode evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Metode survey adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nasir 2003). Metode evaluasi untuk mengetahui kualitas hal-hal, program, dan sebagainya yang sudah terjadi, biasanya dengan membandingkan suatu standar (Irawan 2007).

Metode survey difokuskan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) di Pulau Ambon). Metode evaluasi difokuskan untuk mengkaji aspek teknis, sosial ekonomi dan kelembagaan pelaksanaan kegiatan GERHAN sehingga dapat menjadi acuan bagi kegiatan serupa.

3.3Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara triangulasiyaitu:

a. Mempelajari dokumen (peraturan/kebijakan, hasil studi/kajian kinerja atau laporan) dan pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber/instansi dan hasil penelitian terdahulu.

b. Indepth interview atau wawancara secara mendalam yaitu informasi atau keterangan diperoleh secara langsung dari informan yaitu masyarakat atau


(42)

tokoh masyarakat, tokoh adat dan pengambil kebijakan di tingkat pemerintah daerah (dinas terkait), LSM, Perguruan tinggi dengan cara bertatap muka dan wawancara dengan menggunakan alat bantu interview guide (panduan wawancara) yang telah disusun sebelumnya.

c. Pengamatan secara langsung dilapangan dimana cara pengambilan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap obyek penelitian.

3.3.1 Jenis Data Yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder.Pengumpulan data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara, kuisioner kepada responden ataupun wawancara dengan pelaku GERHAN dan pengambil kebijakan, stakeholder, dan tokoh masyarakat/adat dengan berpedoman pada daftar pertanyaan, pengamatan langsung fakta-fakta yang terjadi dilapangan, serta dengan responden yang terkait dengan pelaksanaan programGERHAN di Pulau Ambon.

Data sekunder sifatnya sebagai data pendukung dan penunjang untuk melengkapi data primer.Pengumpulan data sekunder dilakukan melaluistudi kepustakaan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kegiatan GERHAN di wilayah BPDAS Waehapu, laporan dan publikasi dari dinas atau instansi, hasil-hasil penelitian, maupun pemberitaan majalah dan koran. Studi kepustakaan dilakukan untuk menelaah konsep-konsep dan teori yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.3.2 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian atau alat bantu penelitian yang digunakan adalah kuisioner sebagai alat pengumpul data primer dan pedoman wawancara untuk melengkapi data primer yang telah diperoleh sebelumnya dan untuk kepentingan panduan pengamatan di lapangan. Dalam penelitian ini digunakan alat-alat bantu lain untuk mengumpulkan data seperti catatan harian, tape recorder dan kamera digital.


(1)

No Komponen Kegiatan

Pendapat/Pandangan Sintesis

Masyarakat Dishut

1 Perencanaan A.Perencanaan

Penyelenggaraan GERHAN 1. Pemilihan Lokasi

2. Penyusunan Rancangan

1. Keterlibatan masyarakat dalam hal pemilihan lokasi, secara bersama-sama dengan dishut dalam mensurvei calon lokasi pelaksanaan kegiatan

1. Penyusunan rancangan teknis (rantek) tidak melibatkan masyarakat, tetapi hanya oleh dishut

Orientasi lapangan pada lahan kritis di dalam kawasan hutan pada DAS prioritas dan telah tercantum dalam RTT, dan dipetakan dengan skala sebagai berikut:

1. Pembuatan peta kerja dengan skala 1: 10.000 sampai dengan 1: 20.000 disesuaikan dengan standar

perpetaan.

2. Pembuatan peta u/ hutan rakyat dipetakan dengan skala 1 : 50.000 dan diberi nama sesuai dengan pemilik lahan.

1. Penyusunan rancangan teknis meliputi : keadaan umum lokasi, kebutuhan bibit, sarana/prasarana, dan teknis penanaman.

2. Penyusunan rantek oleh aparat Dishut

1. Lokasi reboisasi pada lahan kritis didalam kawasan hutan merupakan daerah kritis dengan topografi 80% bergelombang sampai bergunung (kelerengan > 15%), dan 20% topografinya mempunyai kelerengan <15%. 2. Lokasi kegiatan hutan rakyat dipilih desa-desa

pada lahan milik masyarakat yang kurang produktif dengan tingkat pendapatan rendah.

Rancangan dan peta telah disusun oleh Kepala Dinas Kehutanan, Pertanian dan Peternakan Kota Ambon dan sesuai dengan JUKNIS.


(2)

171

171

No Komponen Kegiatan Pendapat/Pandangan Sintesis

Masyarakat Dishut

2 Pelaksanaan Kegiatan

1. Persiapan lahan Keterlibatan masyarakat :

pembersihan lapangan dan pengolahan tanah, pembuatan arah larikan dan pemasangan ajir, pembuatan piringan tanaman, pembuatan lubang tanaman, pembuatan gubuk kerja dan papan pengenal proyek kegiatan GERHAN

Persiapan lahan ditandai dengan pemancangan tanda batas dan pengukuran lapangan

Pada persiapan lahan Dishut hanya berperan pada pengukuran dan pemancangan tanda batas selanjutnya tahapan kegiatan yang lain dilaksanakan oleh masyarakat dalam hal ini kelompok tani GERHAN 2. Pemilihan tanaman Pemilihan jenis tanaman untuk reboisasi

ditentukan oleh pelaksana proyek, tanpa memperhitungkan keinginan masyarakat, iklim dan edafis serta permintaan pasar

Pemilihan jenis tanaman dengan memperhatikan standard GERHAN yaitu 70% tanaman kayu-kayuan dan 30% tanaman MPTS

Pada tahapan ini standard bibit yang akan ditanam 70% kayu-kayuan dan 30% MPTS, selanjutnya diketahui bahwa untuk kegiatan reboisasi jenis tanaman ditentukan oleh pelaksana proyek tanpa memperhitungkan keinginan masyarakat , iklim dan edafis, serta permintaan pasar. 3. Penanaman Dari 4 jenis kegiatan penanaman hanya pada

tahapan pemupukan tidak dilakukan

Ada 4 jenis kegiatan : 1). Pembersihan lahan, 2). Pembersihan jalur tanam, 3). pembuatan dan pemasangan ajir, 4). Penanaman dan pemupukan. Tidak dilakukan pemupukan karena tidak adanya bantuan pupuk

Tahapan pemupukan tidak dapat dilaksanakan karena tidak adanya bantuan pupuk dari pemerintah

4. Pemeliharaan tahap ke - 1

Pemupukan tidak dilakukan karena tidak adanya bantuan pupuk dari pemerintah, pengendalian hama dan penyakit juga tidak dilakukan sehingga tanaman akan stress , tidak sehat selanjutnya mati

Terdapat 4 jenis kegiatan :

1). Penyulaman, 2). Penyiangan dan pendangiran, 3). Pemupukan, 4). Pengendalian hama dan penyaklit. Pemupukan dan pengendalian hama penyakit karena tidak adanya

Pada tahapan kegiatan ini, pemupukan dan pengendalian hama penyakit (hapen) tidak dilakukan karena tidak adanya bantuan dari pemerintah


(3)

Masyarakat Dishut 5. Pemeliharaan tahap

ke - 2

Pendapatan dari tahapan kegiatan sangat kecil

Biaya pemeliharaan tahap ke -2 lebih kecil dari pemeliharaan tahap ke - 1

Berdasarkan hasil sintesa dapat disimpulkan bahwa volume kerja pada periode pemeliharaan tahap ke -2 lebih kecil dari

pemeliharaan tahap ke - 1 yang mengakibatkan pembiayaan akan jenis kegiatan lebih kecil

3 Pemahaman terhadap perencanaan

1.Perencanaan kegiatan GERHAN

Hanya sebagian kecil yang paham terhadap perencanaan GERHAN

Seluruhnya paham terhadap perencanaan GERHAN

Berdasarkan hasil sintesa dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari Instansi yang terlibat semuanya paham

terhadap perencanaan GERHAN, sedangkan pada masyarakat (petani GERHAN) hanya sebagian yang paham terhadap perencanaan GERHAN 2.Proses dan

mekanisme

perencanaan kegiatan GERHAN

Responden yang berasal dari petani GERHAN belum memahami proses dan mekanisme peencanaan.

Responden yang berasal dari dishutlanak memahami akan proses dan mekanisme perencanaan, sedangkan 18 responden dari

stakeholder lain juga paham terhadap proses dan mekanisme perencanaan

Responden yang memahami proses dan mekanisme perencanaan umumnya

mempunyai jabatan struktural di bidang rehabilitasi hutan dan lahan juga terlibat langsung dalam penyusunan rencana GERHAN


(4)

173

173

No Komponen Kegiatan Pendapat/Pandangan Sintesis

Masyarakat Dishut

3. Proses pengesahan dokumen

perencanaan GERHAN

Tidak memahami proses pengesahan dokumen

Memahami proses pengesahan dokumen

Berdasarkan hasil sintesa dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak memahami proses

pengesahan dokumen karena proses ini hanya melibatkan Dishutlanak dan BPDAS 4.Perencanaan kegiatan

GERHAN

Hanya sebagian kecil yang paham terhadap perencanaan GERHAN

Seluruhnya paham terhadap perencanaan GERHAN

Berdasarkan hasil sintesa dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari Instansi yang terlibat semuanya paham

terhadap perencanaan GERHAN, sedangkan pada masyarakat (petani GERHAN) hanya sebagian yang paham terhadap perencanaan GERHAN 5.Proses dan

mekanisme

perencanaan kegiatan GERHAN

75 orang responden petani GERHAN belum memahami proses dan mekanisme peencanaan,

8 orang responden yang berasal dari dishutlanak memahami akan proses dan mekanisme perencanaan, sedangkan 18 responden dari

stakeholder lain juga paham terhadap proses dan mekanisme perencanaan

Responden yang memahami proses dan mekanisme perencanaan umumnya

mempunyai jabatan struktural di bidang rehabilitasi hutan dan lahan juga terlibat langsung dalam penyusunan rencana GERHAN


(5)

KARTODIHARDJO.

Laju kerusakan hutan dan lahan di Indonesia hingga saat ini mencapai 2,8 juta hektar per tahun. Akibatnya terdapat lahan kritis yang semakin luas setiap tahun di seluruh Indonesia. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dan dampak negatifnya terjadi pula di wilayah Provinsi Maluku yang memiliki lahan kritis seluas sekitar 59,24% atau 2.762.754 ha dari luas wilayah daratnya 5.418.500 ha. Sementara itu luas lahan kritis di Kota Ambon sekitar 25.344 ha. Adapun yang terdapat di dalam kawasan seluas 9.755 ha dan diluar kawasan seluas 15.589 ha. Oleh karena itu Provinsi Maluku merupakan salah satu satu wilayah sasaran kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode evaluasi. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling, sedangkan penentuan key informan dilakukan dengan menggunakan teknik snow ball. Selanjutnya pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara tertutup menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur atas dokumen-dokumen yang diperoleh dari instansi teknis terkait. Medote analisis data yang digunakan meliputi analisis deskriptif, analisis kelayakan finansial, analisis sensitivitas, analisis interaktif dan analisis gap.

Hasil analisis menunjukan bahwa penyusunan rencana teknis kegiatan GERHAN disusun oleh aparat Dishutlanak Kota Ambon dan pihak BPDAS Waehapu. Selanjutnya untuk memudahkan pelaksanaan kegitan tersebut di lapangan maka pihak Dishutlanak Kota Ambon menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana. Lokasi yang dipilih untuk kegiatan GERHAN yaitu lahan-lahan yang memiliki persentase kritis sebesar 80% dengan topografi bergelombang hingga bergunung serta kemiringan mencapai 20%. Sesuai dengan analisis pada aspek teknis dapat dikemukakan bahwa kegiatan penanaman yang dilakukan belum sesuai dengan petunjuk teknis yang ada, yaitu pada proses penanaman tidak didahului dengan pemupukan, di samping itu pada proses penggalian lubang, tidak dibedakan antara horizon A dan B. Akibatnya banyak tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik.

Pada tahun 2004 persentase hidup tanaman GERHAN melalui kegiatan hutan rakyat hanya sekitar 29,26%, selanjutnya kegiatan reboisasi sekitar 16,35%. Karena itu peresentase keberhasilan kegiatan tersebut dikategorikan sangat jelek. Akan tetapi pada tahun 2005 persentase keberhasilan tanaman yang hidup mencapai 78,51% atau dikategorikan baik. Pada tahun 2006 persentase keberhasilan sekitar 58,47% - 66,87% atau dikategorikan cukup/sedang. Hal ini karena terjadinya kebakaran pada lokasi tersebut. Selanjutnya pada tahun 2007 persentase keberhasilan kegiatan reboisasi hanya 25,9% dikategorikan sangat jelek, disebabkan oleh kebakaran, pencabutan oleh masyarakat sekitar, serta jenis tanah tidak sesuai dengan tanaman yang ditanam mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik . Pada aspek sosial, masyarakat setempat telah dilibatkan dalam kegiatan GERHAN. Akan tetapi pada beberapa wilayah,


(6)

perekrutan tenaga kerja tidak pada daerah tersebut, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial bagi penduduk sekitar lokasi GERHAN.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat GERHAN di lokasi penelitian mampu memberikan keuntungan kepada responden sebagai pengelola, dengan nilai BCR pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha (tipologi 2 sampai dengan tipologi 6) menunjukan > 1, yaitu 1,09 sampai dengan 2,67 namun pada luasan tipologi 1 tidak layak secara finansial yaitu dengan luas kepemilikan lahan 1 ha tidak melebihi 1 yaitu 0,75 (dapat dilihat pada Tabel 16). Melalui perhitungan nilai BCR telah diketahui bahwa pengelolaan hutan rakyat GERHAN di lokasi penelitian menguntungkan secara ekonomi. Besarnya keuntungan yang diperoleh tersebut dapat dinilai melalui perhitungan NPV. Nilai NPV merupakan nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap aliran keluar masuknya uang. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPV pengusahaan hutan rakyat GERHAN pada luasan 1 ha (tipologi 1) bernilai negatif yaitu sebesar ( -11.32. 038) sedangkan pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha (tipologi 2 sampai dengan 6) menunjukan nilai positif Rp. 4.507.946 hingga Rp. 107.449.436 (lihat tabel 16). Sehingga dapat diketahui bahwa jika terjadi perubahan akan berpengaruh terhadap ketahanan suatu usaha terhadap fenomena pasar yang terjadi. Dengan melihat persen tumbuh yang terjadi dilokasi penelitian yaitu % sampai dengan %, maka dapat disimpulkan bahwa ketertarikan masyarakat pada program GERHAN rendah.

Pada aspek Kelembagaan kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga yaitu 1) lahan milik individu; 2) lahan milik Marga; dan 3) lahan milik negara. Selanjutnya aksi bersama (collective action) dapat terwujud apabila dalam pembentukan kelompok tani perlu dipertimbangkan homogenesitas masyarakat. Kelompok tani yang homogen lebih mudah digerakkan dalam pelaksanaan kegiatan GERHAN. Agar kegiatan GERHAN dapat berjalan dengan baik maka diperlukan keterbukaan informasi dari pihak pemerintah terhadap masyarakat maupun sebaliknya. Selain itu perlu memaksimalkan pelibatan masyarakat sesuai kearifan-kearifan lokal yang ada.

Selanjutnya kegagalan penanaman disebabkan oleh kebakaran hutan, penanaman tidak didahului dengan pemupukan dan tidak adanya pengawasan yang berkelanjutan. Di samping itu waktu penanaman tidak sesuai dengan musim penghujan dan perekrutan tenaga kerja bukan dari masyarakat setempat dapat menimbulkan akibat kecemburuan sosial. Karena itu pelibatan masyarakat dalam kegiatan GERHAN sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan kelembagaan masyarakat setempat, sehingga mengurangi tingkat kegagalan pelaksanaan kegiatan tersebut.

Dengan demikian agar kegiatan GERHAN dapat mencapai hasil yang ditargetkan maka perlu pelibatan masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam proses penyusunan rencana sampai pada evaluasi kegiatan tersebut.