Peranan Kelembagaan Masyarakat Yang Dapat Mendukung Kegiatan

Gambar 7 Hubungan kelembagaan dinas kehutanan, pemerintah negeri dengan batas wilayah dalam pengelolaan hutan Kelembagaan Lokal Yang Dapat Mendukung Keberhasilan Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan, Yaitu :

1. Pengelolaan Hutan dengan Sistem Agroforestry Tradisional Dusung

Praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat memiliki berbagai istilah lokal seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada masyarakat pesisir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara. Praktek tersebut menunjukkan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumberdaya alam termasuk hutannya secara turun-temurun Suhardjito et al. 1999. Menurut Wattimena 2003 sebelum bangsa Portugis tiba di Maluku pada awal abad ke-16 dan Bangsa Belanda tiba pada awal abad ke-17 1602, agroforestri yang dikenal di Maluku sebagai dusung telah membudaya pada masyarakat Maluku. Dusung adalah suatu aset “intagible” di Maluku yang termasuk dalam “indigenous knowledge” dan “indigenous technology” yang sudah teradaptasi dengan lingkungan fisik, biologis dan masyarakat setempat. Sistem Batas wilayah Desa Kewang Pemerintah Negeri Disahkan dengan peta kesepakatan raja-raja di depan belanda yang disebut dengan kart Tetua Adat Kepala Desa Batas Administrasi Kelompok Tani Dinas Kehutanan Dusung Sasi dusung inilah yang membawa Maluku terkenal dengan nama “the Spice Island”. Bangsa Belanda berusaha menguasai Maluku pada tahun 1602 dan penebangan pada sebagian besar pohon –pohon pala, cengkeh untuk mempertahankan monopoli perdagangan rempah-rempah. Berdasarakan hasil wawancara dan observasi lapangan dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 jenis pola pengelolaan dusung di Maluku : 1. Dusung ditinjau dari Hak Kepemilikan Property Rights Ada tiga tipe dusung berdasarkan hak kepemilikan, yaitu : 1. Dusung Dati adalah dusung yang dimiliki oleh sebuah dati yang berada di atas atau dalam tanah dati. Dusung dati merupakan kumpulan dari satu marga A, yang terdiri dari beberapa kelompok satu darah, kakak-adik yang diberi suatu hak pengelolaan secara turun temurun dari nenek moyang untuk marga tersebut. 2. Dusung Pusaka adalah dusung milik bersama dari satu kelompok ahli waris yang diperoleh berdasarkan pewarisan dan dusung tersebut diwariskan secara turun-temurun. Dusung pusaka dikatakan sebagai milik bersama dari kelompok ahli waris karena dalam pemanfaatan hasil hutan, maupun kebun berupa cengkih, pala, sagu, ganemo, langsat, duku, kenari dan lain-lain, diperuntukkan untuk kesejahteraan kelompok tersebut yang diwarisi secara turun temurun. 3. Dusung Negeri adalah dusung yang dimiliki oleh Negeri yang biasanya diatas dusung ini ditemukan berbagai jenis tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Penduduk negeri diperkenankan untuk mengambil hasil atas dusung tersebut. Dusung negeri bisa diakses oleh semua masyarakat asli daerah tersebut, tidak termasuk pendatang. Dusung negeri mempunyai luas rata-rata sekitar kurang lebih 2 ha per negeri. 2. Dusung ditinjau dari pola pemanfatan Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer 2002 adalah areal kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan ternak. Status pemilikannya adalah perorangan dan memiliki fungsi produksi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat telah mempertahankan fungsi dusung ini dari generasi ke generasi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam di lokasi penelitian dusung juga dapat didefenisikan sebagai suatu kumpulan vegetasi yang terdiri dari berbagai strata dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi dimana di dalamnya terdapat berbagai jenis tanaman berkayu ditanam bersama dengan tanaman pertanian buah-buahan, dengan tutupan tajuk, perakaran berbeda dengan tujuan menjaga produktifitas, kelestarian. Dusung merupakan suatu sistem agroforestri tradisional yang diyakini dapat menekan laju deforetasi. Status pemilikannya perorangan dan keluarga marga, dimana ada yang telah disertifikasi dan ada yang tanpa status. Tidak mudah mengatasi persoalan ini, upaya penyelesaian yang diusahakan oleh masyarakat adalah mengeratkan hubungan kekerabatan antar marga yang diberi hak penguasaan dusung sehingga dengan demikian ada institusi hubungan kekerabatan itu yang mengatur hak-hak seseorang, hak-hak bersama dan mengatur fungsinya. Sistem pengelolaan hutan seperti ini bukan untuk mewujudkan orientasi keuntungan seorang pengelola, melainkan juga memperhatikan kepentingan bersama dan fungsi kawasan hutan itu sendiri. Luas penguasaan dusung dan status pemilikannya tidak akan menjadi hambatan bagi upaya membangun partisipasi yang ada, justru Partisipasi akan membantu mengatur mekanisme institusi lokal tersebut. Institusi lokal membantu mewujudkan keadilan dimana disamping memegang hak, individu juga memegang tanggung jawab. Hak seseorang diperoleh dan diakui oleh anggota masyarakat sehingga dipegang secara utuh, karena individu juga diberi tanggung jawab untuk kepentingan bersama menjaga kondisi hutan sekitarnya. Aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan free riding, rent seeking dan asimetrik informasi selalu berusaha diatasi antar pemilik dusung.

2. Kewang Polisi Hutan

Kewang adalah merupakan salah satu korps polisi negeri yang dipilih dan diangkat oleh suatu rapat saniri negeri lengkap pimpinan desa yang bertugas memeriksa, mengawasi, dan mengamankan petuanan negeridesa yang meliputi wilayah darat, perairan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk kehidupan dan penghidupan penduduk berdasarkan pranata sasi Ohorella 1994. Fungsi Kewang dalam hal ini adalah melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan hutan antara lain : 1. mengawasi batas-batas negeri, 2. memeriksa jenis-jenis tanaman yang sudah atau belum dipanen serta menentukan kapan pemberlakuan sasi, 3. menindak para pelanggar sasi, 4. menentukan areal yang boleh ditebang dan tidak boleh ditebang. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa saat ini pada masing-masing desa ditugaskan 2-3 orang kewang dimana penunjukan kewang ditentukan oleh kepala dusung dengan persetujuan masyarakat. Pada tahun 2009, petugas kewang diangkat dan telah digaji dengan jumlah Rp. 100.000bulan oleh Pemerintah Kota Ambon, khususnya Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kota Ambon atas persetujuan masyarakat setempat. Masyarakat sangat menghargai fungsi kewang ini dan sangat terbantu oleh tugasnya karena secara tidak langsung, kewang bertugas di hutan dan mengawasi dusung-dusung yang ada dan segera bertindak serta melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian bila terjadi penebangan liar. Akan tetapi sangat disesalkan bahwa dengan kinerja yang sangat efisien ini, di kotori dengan adanya keluhan dari anggota kewang itu sendiri karena upah kerja sering kali terlambat dibayarkan bahkan mengalami ketimpangan dalam pembayaran. Hal-hal seperti inilah yang perlu dihindari sehingga pelaksanaan pengawasan hutan dapat terus berlangsung. Masyarakat yang memahami hak individu yang dimilki atas pengelolaan dusung memelihara, memungut, memanfaatkan, mentransfer atau memindahtangankan hak ke pihak lain atas dusungnya. Meskipun masyarakat dalam hal ini individu mempunyai hak dan kewenangan penguasaan penuh atas dusung dan hasil yang diperolehnya, namun secara satuan kolektif masih mempunyai kewenangan-kewenangan untuk mengatur penggunaan dan alokasi kembali lahan tersebut dalam batas tertentu yang diakui sebagai hak kepemilikan berdasarkan ketentuan adat yang berlaku. Sebagai contoh untuk mengambil dan memanen hasil hutan dalam volume yang cukup besar terutama hasil hutan kayu diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada kewang utnuk memperoleh ijin dari Raja Kepala Desa setempat.

3. Sasi

Sasi merupakan sebuah bentuk pengaturan pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan masyarakat, yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan Maluku sejak jaman dulu kala. Istilah sasi berasal dari kata sanksi witnes yang mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu pada jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat Biley and Zerner1992. Istilah sasi sebenarnya tidak tergolong kepada kategori kata-kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal dan lambang atribut yang bersama-sama membuat institusi sasi mengikat. Batasan lain yang secara eksplisit memuat konsep pelestarian adalah yang dikemukakan oleh Kissya 1993 yang meyebutkan bahwa sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya kearah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh wargapenduduk setempat. Sasi juga dapat didefenisikan sebagi berikut yaitu larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu, selama periode tertentu tergantung jenis dan perkembangan populasinya sebagai upaya pelestarian demi menjaga kualitas dan populasi sumber daya hayati alam tersebut. Jenis sasi di Maluku antara lain sasi laut, sasi hutan, dan sasi negeri. Sasi negeri merupakan sasi yang dilaksanakan oleh pemerintah negeri ditandai dengan ujung daun kelapa muda, ditanam dengan buah kelapa sebagai tanda tetapi sebelum dilaksanakan ujung daun kelapa muda, dan kelapa muda dibawa ke gereja pada ibadah minggu kemudian didoakan oleh pendeta disaksikan oleh jemaat dengan periode tutup dan buka sasi pada waktu tertentu biasanya sekitar 5 sampai dengan 6 bulan. Sasi gereja di Maluku mulai dilakukan pada awal tahun 1968 bersamaan dengan diberlakukannya sasi gereja di Negeri Nolloth Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Sasi gereja merupakan hasil adaptasi dari sasi negeri yang mengatur tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusung. Tingginya kepatuhan dan ketaatan warga masyarakat terhadap agama baru dari pada adat menyebabkan pemerintah negeri merubah aturan sasi dari sasi negeri menjadi sasi gereja. Perubahan terjadi pada prosesi dan sanksi sedangkan objek sasi tetap yaitu sumberdaya dusung. Sasi gereja oleh masyarakat di Pulau Ambon diartikan sebagai salah satu bentuk aturan sasi darat yang lebih spesifik pada prosesi dan sanksi dalam penegakannya. Dalam pelaksanaan sasi, dikenal dua istilah penting yang sering diberlakukan dalam tahapannya yaitu tutup sasi dan buka sasi. Tutup sasi merupakan tahapan dilakukannya kegiatan pelarangan terhadap adanya akses masyarakat untuk mengambil atau memungut jenis-jenis hasil dusung-nya sampai dengan jangka waktu yang ditentukan. Sedangkan buka sasi merupakan salah satu bentuk tahapan dimana masyarakat dapat diperbolehkan mengambil hasil- hasil dusung yang telah di sasi sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan bersama. Pelaksanaan sasi gereja diawali dengan upacara tutup sasi yang berlangsung didalam gereja, dipimpin oleh pendeta serta disaksikan oleh seluruh jemaat gereja. Dalam pelaksanaannya, sasi gereja memakai buah kelapa dibawa ke gereja kemudian diletakkan dibawah mimbar, selanjutnya pendeta selaku orang yang berperan dalam pelaksana sasi gereja membacakan Doa sasi mewakili warga jemaat yang berniat menginginkan agar dusungnya di sasi. Warga tersebut diwajibkan mempersiapkan botol-botol yang berisi air yang didoakan bersamaan dengan doa tutup sasi. Warga diperbolehkan mengambil kembali botol air yang sudah didoakan oleh pendeta kemudian di pasang pada areal dusung sebagai simbol untuk diketahui oleh warga masyarakat bahwa dusung tersebut sedang di sasi tutup sasi. Sebaliknya jika salah satu warga ingin membuka sasi maka pelaksanaanya sama seperti pelaksanaan tutup sasi. Jenis hasil dusung yang di sasi adalah kayu, sagu, durian, langsat, kelapa, pala, dan cengkeh. Jenis-jenis hasil dusung ini untuk masyarakat di Pulau Ambon merupakan komoditas-komoditas yang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan dalam menunjang kebutuhan hidupnya. Sasi gereja terhadap hasil dusung secara khusus bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal baik secara kualitas maupun kuantitas, sekaligus guna mencegah pencurian oleh individu yang tidak bertanggung jawab terhadap masyarakat lainnya. Hal ini dapat terjadi karena sasi mewajibkan masyarakat mengambil hasil tepat pada waktu hasil mencapai kondisi yang sudah memenuhi syarat untuk dipanen. Sasi gereja selalu dilakukan dengan memperhitungkan waktu atau musim berbuah yaitu mulai dari waktu berbunga sampai dengan waktu petik, hal ini terkait dengan pemberlakuan periode tutup sasi dan buka sasi. Oleh karena waktu berbuah bagi setiap tanaman berbeda yang satu dengan yang lainnya, maka oleh lembaga kewang telah mengatur jenis tanaman beserta periode pemberlakuan sasi. Akan tetapi di lokasi tempat penelitian ada beberapa dusun yang tidak memberlakukan sasi itu sendiri yaitu dusun Air Ali, dusun Keranjang dan dusun Waringin Cap, penduduk ketiga dusun tersebut bukan penduduk asli Maluku yang memeluk agama Kristen melainkan pemeluk ajaran Islam, sehingga tidak bisa mengadopsi kelembagaan sasi gereja. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi bagi pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ke depan, di sajikan pada tabel berikut ini antara lain : Tabel 21 Matriks aspek teknis yang diteliti, temuan penelitian serta rekomendasi yang dihasilkan untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang berkelanjutan Aspek yang di teliti Temuan Penelitian Rekomendasi 1 2 3 1. Aspek Teknis A. Tahapan perencanaan penyelenggaraan GERHAN 1. Tahapan kegiatan sesuai dengan juknis, namun pada tahapan ini tidak melibatkan masyarakat. 2. Perencanaan jika dilaksanakan dengan baik dan bersifat horisontal, tidak semata-mata top- down akan menghasilkan tujuan yang baik. 1. Perlunya pelibatan masyarakat dalam hal perencanaan sehingga meminimalisir kesalahan- kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan di lapangan. 2. Perencanaan kegiatan sebaiknya dilaksanakan ditingkat daerah, bukan bersifat top-down. B. Tahapan pelaksanaan kegiatan GERHAN 1. Pada tahapan ini semua telah dilaksanakan sesuai juknis hanya pada tahapan penanaman tidak disertai dengan pemupukan. 2. Tidak adanya pemisahan jenis tanah pada saat pembuatan lubang tanam. 1. Perlu dilakukan pemupukan sebelum penanaman dan perlunya memperhatikan jenis tanah sebelum memasukan tanah galian pada waktu pembuatan lubang tanam. 2. Perlu dilakukan penyuluhanpelatihan yang intensif tentang bagaimana cara mempersiapkan hingga tahap penanaman, pemeliharaan sehingga dapat meminimalisir kegagalan. C. Tahapan pemeliharaan 1. Biaya pemeliharaan tahun ke-2 lebih kecil dari biaya pemeliharaan tahun ke-1 1. Biaya pemeliharaan merupakan salah satu faktor dalam menunjang pelaksanaan pemeliharaan tanaman secara berkesinambungan, untuk itu sebaiknya tidak dibedakan antara tahun ke-1 dan ke-2. Tabel 22 Matriks aspek sosial yang diteliti, temuan penelitian serta rekomendasi yang dihasilkan untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang berkelanjutan Aspek Yang Diteliti Temuan Penelitian Rekomendasi 1 2 3 2. Aspek Sosial A. Penyerapan tenaga kerja 1. Jumlah tenaga kerja pada 1 lokasi berjumlah 30 orang. 2. Perekrutan tenaga kerja pada lokasi Soya dan Kusu-kusu Sereh tidak melibatkan masyarakat sekitar 3. Pembentukan kelompok tani hanya bersifat sementara, proyek selesai kelompok tani pun bubar 1. Penyerapan tenaga kerja sebaiknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat, dalam artian bahwa perekrutan tenaga kerja jika tidak melibatkan masyarakat setempat maka dengan sendirinya kecemburuan sosial itu akan muncul, sehingga meminimalisir potensi konflik yang akan terjadi. 2. Kelembagaan petani sebaiknya bersifat keproyekan dalam artian ketika proyek selesai kelompok tani pun bubar bersifat ad hoc bukan permanen 3. Perlunya pembentukan kelompok tani yang permanen yang dapat mengakomodir kegiatan- kegiatan di dalam negeridesa B. Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat dimaknai sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan petani Partisipasi masyarakat di lokasi penelitian hanyalah sebatas kelompok tani, sebaiknya partisipasi dibangun dengan melibatkan masyarakat pada daerah tersebut. C. Jenis kegiatan yang melibatkan kelompok tani Pembuatan tanaman, pemeliharaan dan pengembangan kelembagaan kelompok tani Masyarakati dibatasi dengan jenis kegiatan yang dilaksanakan sehingga perlu adanya kesadaran yang timbul dari masyarakat, sehingga apapun jenis kegiatan yang dilakukan bisa menjawab kebutuhan masyarakat itu sendiri. 3. Masyarakat yang terlibat dalam program GERHAN Masyarakat yang terlibat dalam program GERHAN pada masing-masing lokasi bervariasi tergantung dari volume kegiatan, jenis kegiatan. Keterlibatan kegiatan GERHAN hanyalah sebatas jenis kegiatan untuk perlu di maksimalkan peranan dari kelembagaan adat yang berada di dalam desa Tabel 23 Matriks aspek ekonomi yang diteliti, temuan penelitian serta rekomendasi yang dihasilkan untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang berkelanjutan Aspek Yang Diteliti Temuan Penelitian Rekomendasi 1 2 3 3. Aspek Ekonomi 1. Pendapatan sebelum program GERHAN Pendapatan sebelum GERHAN berkisar antara Rp. 500.000bln sampai dengan Rp. 800.000bln Perlunya penyuluhan yang insentif tentang bagaimana mengoptimalkan fungsi Dusung sebagai kearifan lokal, sehingga adanya pertambahan pendapatan secara berkesinambungan 2. Pendapatan sesudah program GERHAN Pendapatan sesudah GERHAN berkisar antara Rp. 1.000.000 sampai dengan Rp. 1.500.000 Peningkatan pendapatan hanya sebatas jenis kegiatan yang diikuti oleh masyarakat dalam hal ini petani GERHAN, sehingga perlunya suatu badan pengelolaan hutan yang dibentuk atas dasar kepentingan bersama untuk mengakomodir pelaksanaan kegiatan serupa. 3. Analisis Kelayakan Finansial Dalam penelitian ini jenis tanaman kayu-kayuan yang dianalisis adalah jati, lenggua, mahoni, sedangkan untuk tanaman MPTS adalah jambu mete, coklat, mangga, pala, dan durian yang berasal dari hutan rakyat GERHAN. Berdasarkan hasil analisis pada luasan 1 ha diketahui bahwa petani tidak mendapatkan keuntungan tidak layak. 1. Perlunya peningkatan kesadaran dari masyarakat dalam mengatur dan menjaga fungsi dari hutan sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi pendapatan masyarakat 2. Perlu ditingkatkannya ketertarikan masyarakat pada kegiatan ini, sehingga dengan sendiri muncul motivasi untuk menjaga, memelihara dan melindungi yang nantinya akan menjadi tabungan di masa yang akan datang dan juga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat itu senditi. 4. Analisis Sensitivitas Berdasarkan hasil analisis perhitungan diketahui bahwa jika terjadi perubahan akan berpengaruh terhadap ketahanan terhadap usahatani hutan rakyat GERHAN terhadap fenomena pasar, Dengan melihat persen tumbuh maka dapat disimpulkan bahwa ketertarikan masyarakat pada program GERHAN rendah. Dari hasil analisis diketahui bahwa ketertarikan masyarakat terhadap kegiatan GERHAN rendah, namun ada hal-hal teknis yang bisa menjadi tolak ukur dari permasalahan tersebut antara lain perekrutan petani, penetuan lokasi GERHAN, jika ditanam dilahan milik individu atau marga maka akses masyarakat lain terhadap kegiatan tersebut tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, namun perlu disadari bahwa dengan adanya kelembagaan adatlokal masyarakat bisa menjadi salah satu alternatif mengatasi hal-hal tersebut sehingga ada yang mengatur mekanisme kegiatan pengelolaan apa saja yang terjadi di dalam negeridesa. Tabel 24 Matriks aspek kelembagaan yang diteliti, temuan penelitian serta rekomendasi yang dihasilkan untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang berkelanjutan Aspek Yang Diteliti Temuan Penelitian Rekomendasi 1 2 3 4. Aspek Kelembagaan 1. Hak Kepemilikan Property Rights Kepemilikan lahan dibagi ke dalam 3 bagian yaitu : 1. Lahan milik individu 2. Lahan milik marga 3. Lahan milik negara Pelakasanaan kegiatan GERHAN dilakukan pada lahan milik individu dengan memperhatikan luasan yang dimiliki masyarakat, akan tetapi pelaksanaan pada lahan negara dapat di klaim bahwa, milik daripada satu individu atau marga tertentu, sehingga perlu pembentukan badan pengelolaaan hutan yang dibentuk asal dasar keputusan bersama sehingga meminimalisir kecemburuan maupun konflik yang terjadi akibat pembagian jenis kegiatan, perlu pelibatan lembaga adat dalam pembentukan suatu kelompok tani yang terdapat di dalam negeri atau desa 2. Aksi Bersama Collective Action Pembentukan kelompok tani berdasarkan hubungan kekerabatan, tanpa melibatkan lembaga adat di dalam negeri atau desa Pembentukan kelompok tani sebaiknya dengan melibatkan kelembagaan lokalkelembagaan adat sehingga dapat mengakomodir jenis-jenis kegiatan yang berkembang di dalam desa maupun yang dilaksanakan oleh pemerintah dan melibatkan masyarakat. 3. Ketidaksepadanan Informasi Asymmetric Information Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap tanaman jati, tidak transparannya pemberian reward kepada petani Perlu dilakukan penyuluhan secara berkesinambungan terhadap jenis kegiatan, maupun jenis tanaman yang bernilai ekonomi sangat tinggi seperti jati yang dianggap sebagai tanaman yang tidak bisa di tebang dalam periode waktu tertentu, karena akan dihadapkan dengan pihak yang berwajib 4. Pengembangan Kelembagaan 1. Pembentukan tim pengendali 2. Pembentukan tim pembina 3. Pembentukan kelompok tani GERHAN 4. Koordinasi dalam pelaksanaan GERHAN Pembentukan tim pengendali, tidak menjelaskan bagaiman fungsi dan jabatan personil di instansi. Pembentukan tim pembina tidak merinci tanggung jawab dari personil yang terlibat, pembentukan kelompok tani semata-mata hanya sebatas keproyekan, koordinasi dalam suatu kegiatan berskala besar haruslah jelas akan tugas dan tanggung jawab. Dalam hal pemenuhan unsur keproyekan semuanya dilaksanakan akan tetapi perlunya kesadaran dari masing-masing personil, sehingga adanya koordinasi yang baik dalam pelaksanaan kegiatan serupa. Aspek Yang Diteliti Temuan Penelitian Rekomendasi 1 2 3 Peningkatan kapasitas Sumberdaya Manusia 1. Pelatihan petani kader 2. Kepoloporan TNI 3. Penyelenggaraan pendampingan Ketiga aspek tersebut telah dilaksanakan sesuai kebutuhan proyek Perlu ditingkatkan pelaksanaan pelatihan petani kader sehingga petani memahami akan tanggung jawab akan fungsi mereka bukan sebatas proyek, tetapi berkesinambungan, kegiatan pendampingan perlu ditingkatkan mengingat proyek yang dihibahkan oleh pemerintah membutuhkan dana yang besar sehingga diharapkan adanya manfaat yang didapatkan . Penyuluhan Penyuluhan telah dilaksanakan Masyarakat sebagian besar tidak memahami manfaat dari tanaman jati. Perlunya rekrutman tenaga-tenaga penyuluh yang memadai permasalahan-permasalahan seperti itu tidak terjadi lagi dalam masyarakat. Disamping itu juga ditempatkan di lokasi- lokasi strategis rawan kebakaran sehingga Pengawasan dan pengendalian Telah dilaksanakan secara insidentil, namun tidak adanya jadwal yang pasti periode pelaksanaan pengwasan secara teratur 1. Kegiatan pengawasan dan pengendalian sebaiknya dilakukan secara periodik sehingga dapat diketahui permasalahan-permasalahan di lapangan, dan adanya tindakan pencegahan dan perbaikan 2. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara konprehensif untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan 1 2 3 Kelembagaan lokal yang dapat mendukung keberhasilan kegiatan rehabitasi hutan dan lahan 1. Kewang 2. Dusung dan Sasi Ketiga kelembagaan lokal ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. 1. Bentuk pengelolaan hutan yang dapat di adopsi dari kelembagaan lokal 2. Perlunya ketiga kearifan lokal ini lebih diintensifkan, bahkan sangat diperlunnya pembentukan suatu badan pengelolaan yang permanen yang berfungsi memfasilitasi hubungan antara pemerintah dan masyarakat atau pun sebaliknya karena ketiga hal tersebut merupakan suatu kearifan lokal yang ada di masyarakat Maluku dimana dalam pelaksanaannya Kewang berfungsi sebagai polisi negeri dengan tugas sebagai pengawas terhadap sumberdaya di dalam negeri atau desa baik di darat maupun dilaut, sedangkan dusung jika dilihat dari hak kepemilikan terdiri dari 3 tipe yaitu, dusung dati, dusung pusaka dan dusung negeri., sedangkan jika ditinjau dari pola pemanfaatan merupakan kumpulan vegetasi yang terdiri dari berbagai strata dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi yang di dalamnya terdapat berbagai jenis tanaman berkayu, tanaman buah-buahan, dengan tutupan tajuk dan perakaran yang berbeda dengan tujuan mempertahankan produktivitas.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu : 1. a. Aspek teknis : Dalam hal ini perencanaan dalam kegiatan GERHAN merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai tujuan yang dicapai dengan memperhatikan perencanaan kegiatan, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian. b. Aspek ekonomi : Kegiatan rehabilitasi GERHAN di DAS Waehapu untuk luasan 1 ha tipologi 1 tidak layak secara finansial untuk dilaksanakan karena diketahui NPV bernilai negatif Rp. -11.32. 038, BCR lebih kecil dari 1 yaitu 0,75, IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga 15, sedangkan untuk lebih dari 1,5 ha hingga 5 ha tipologi 2 sampai dengan 6 memenuhi persyaratan kelayakan secara finansial ditunjukan NPV0, BCR1 dan IRR tingkat suku bunga yang berlaku. c. Aspek kelembagaan : Secara kelembagaan kegiatan GERHAN dilaksanakan pada lahan individu, marga, dan negara. Kegiatan ini dilakukan sebagai aksi bersama pemerintah dan masyarakat. Peran kelembagaan lokal sangat menentukan keberhasilan kegiatan GERHAN atau sejenisnya. 2. Kegagalan penanaman pada program GERHAN disebabkan oleh kebakaran hutan, penanaman yang tidak disertai dengan pemupukan, tidak adanya pengawasan yang berkelanjutan, waktu pelaksanan tidak sesuai dengan musim tanam, perekrutan tenaga kerja yang bukan berasal dari masyarakat dusun tersebut sehingga mengakibatkan konflik horisontal, dan tidak dilibatkannya institusi lokal seperti kewang dan tidak dimanfaatkannya kearifan lokal seperti dusung dan sasi. 3. Bentuk pengelolaan hutan yang dapat diadopsi dari kelembagaan lokal yang dianggap dapat mendukung keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah kewang, dusung, dan sasi. Pembentukan kelompok tani di areal studi tidak melibatkan kelembagaan adat yang terdapat di dalam negeridesa sehingga pembentukan kelompok tani bersifat ad hoc bukan bersifat permanen.

6.2 Saran

1. Perlu melibatkan masyarakat dalam penyusunan rencana kegiatan GERHAN atau sejenisnya agar keinginan masyarakat dalam aspek teknis, sosial, ekonomi dan kelembagaan dapat terakomodir. 2. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara komprehensif untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan. 3. Kegiatan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan sosial, budaya dan kelembagaan masyarakat setempat, sehingga mengurangi tingkat kegagalan pelaksanaan kegiatan itu sendiri.