Pengawasan dan Pengendalian Pengembangan Kelembagaan

pengendalian termasuk dalam kegiatan pemantauan dan pengukuran kinerja, adapun tahapannya adalah : 1. Perencanaan program pengawasan dan pengendalian; 2. Prosedur program pengawasan dan pengendalian; 3. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian; 4. Pelaporan pengawasan dan pengendalian. 5. Hasil dari kegiatan pengawasan dan pengendalian akan digunakan sebagai dasar tindakan pencegahan dan perbaikan preventive andcorrective action. Bila kegiatan pengawasan dilaksanakan melalui mekanisme yang benar dan dilakukan selama proses kegiatan berlangsung, maka bila terjadi kesalahan segera diperbaiki, tanpa harus menunggu kegiatan tersebut selesai terlebih dahulu. Manfaat lain adalah dapat dilakukan pencegahan agar kesalahan serupa tidak terulang lagi pada proses selanjutnya. Tahapan pengawasan dan pengendalian yang dilaksanakan oleh tim evaluasi terhadap pelaksanaan GERHAN di Kota Ambon menunjukkan mekanisme sebagaimana disebutkan di atas tidak dilaksanakan. Tidak ada perencanaan kegiatan pengawasan dan pengendalian, prosedur pengawasan dan pengendalian juga tidak tersedia, hasil kegiatan pengawasan serta pengendalian berupa laporan, dibuat secara insidentil. Mekanisme kegiatan pengawasan dan pengendalian yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan pemantauan, mensyaratkan hasil kegiatan pemantauan secara periodik menjadi salah satu umpan balik bagi penyempurnaan kegiatan pada tahap berikutnya, dan demikian seterusnya, sehingga roda manajemen Plan – Do - Check – Action selalu dapat diputar. Dari hasil kajian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengawasan dan pengendalian belum dilaksanakan berdasarkan mekanisme pengawasan dan pengendalian yang benar. Kondisi tersebut menyiratkan bahwa pelaksanaan GERHAN di lokasi Kota Ambon belum memberikan dampak pada perubahan tingkat pengetahuan dan pemahaman para pihak terhadap mekanisme pengawasan dan pengendalian pelaksanaan GERHAN.

5.3.5 Peranan Kelembagaan Masyarakat Yang Dapat Mendukung Kegiatan

Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Kelembagaan pembentukan kelompok tani sebaiknya dibentuk atas pertimbangan yang tepat dengan melibatkan kelembagaan di dalam pemerintah negeri, sehingga pembentukan kelompok tani sifatnya permanen, karena apabila pembentukan kelompok tani berdasarkan kelembagaan desa atau pemerintah negeri maka kelompok tani tersebut mempunyai fungsi berkesinambungan tidak semata-mata karena proyek dan setelah proyek selesai kelompok tani pun bubar, yang mengakibatkan faktor pemicu kegagalan GERHAN. Selanjutnya dalam penentuan lokasi rehabilitasi sebaiknya memperhatikan batas administrasi desa, karena belum tentu peta yang diterbitkan oleh Baplan di lapangan akan sesuai dengan batas administrasi desa, mengapa demikian karena masyarakat Maluku dan Pulau Ambon khususnya mempunyai batas petuanan yang berbeda-beda, bahkan satu desa sebagai contoh misalnya desa A mempunyai batas adminstrasi bisa masuk sampai ke dalam negeri desa B dan selanjutnya seperti itu. Batas administrasi wilayah di Maluku dan Ambon pada khususnya disahkan dengan peta kesepakatan raja-raja di depan belanda yang disebut dengan Kart. Sebagai contoh GERHAN tahun 2007 pernah memicu konflik kerusuhan sosial di Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah yakni Hurale dan Saleman pemicunya adalah petugas penyusun rencana tahunan GERHAN menggunakan peta tutupan lahan sebagai rujukan penyusunan rancangan tanpa memperhatikan batas-batas adminstrasi desa. Hubungan kelembagaan dinas kehutanan, pemerintah negeri dengan batas wilayah dalam pengelolaan hutan, dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Hubungan kelembagaan dinas kehutanan, pemerintah negeri dengan batas wilayah dalam pengelolaan hutan Kelembagaan Lokal Yang Dapat Mendukung Keberhasilan Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan, Yaitu :

1. Pengelolaan Hutan dengan Sistem Agroforestry Tradisional Dusung

Praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat memiliki berbagai istilah lokal seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada masyarakat pesisir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara. Praktek tersebut menunjukkan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumberdaya alam termasuk hutannya secara turun-temurun Suhardjito et al. 1999. Menurut Wattimena 2003 sebelum bangsa Portugis tiba di Maluku pada awal abad ke-16 dan Bangsa Belanda tiba pada awal abad ke-17 1602, agroforestri yang dikenal di Maluku sebagai dusung telah membudaya pada masyarakat Maluku. Dusung adalah suatu aset “intagible” di Maluku yang termasuk dalam “indigenous knowledge” dan “indigenous technology” yang sudah teradaptasi dengan lingkungan fisik, biologis dan masyarakat setempat. Sistem Batas wilayah Desa Kewang Pemerintah Negeri Disahkan dengan peta kesepakatan raja-raja di depan belanda yang disebut dengan kart Tetua Adat Kepala Desa Batas Administrasi Kelompok Tani Dinas Kehutanan Dusung Sasi