Konsep Hak Kepemilikan Property Right

komunitas dan Negara melalui pemberian sanksi ‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi ‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak transaction and enforcement costs yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia ‐sia. Kasper dan Streit 1998 mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya institution without sactions is useless. 3 Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi exclusion costs . Semakin mahal biaya ‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu assetsumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus. 4 Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North 1990 hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi ‐ tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan biaya penegakan hak mahal apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing ‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut. Menurut Nugroho dan Kartodihardjo 2009 Institutional arrangement property regime atas hak kepemilikan dapat bermacam ‐macam, yaitu 1 hak milik pribadi private property, 2 milik Negara state property, 3 hak milik komunal adatulayat communal property, 4 milik umum public property, 5 hak atas manfaat user rights, dan 6 tidak berpemilik open access property or no ‐property right. Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah 1 dapat diperjual belikan tradable, 2 dapat dipindah tangankan transferable; 3 dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak excludable dan 4 dapat ditegakkan hak ‐haknya enforceable. Menurut FAO 2002, sistem tenurial atas tanah dan sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam empat kategori umum kepemilikan sebagai berikut:

a. Milik Pribadi Private Property

Kepemilikan diberikan kepada suatu badan privat yang terdiri dari satu orangindividu, suami istri dari suatu keluarga, sekelompok orang, suatu lembaga baik perusahaan swasta maupun nirlaba. Pada golongan tanah ini badan privat tersebut dapat mengambil manfaat dari tanah tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku untuk kepentingan mereka. Sebagai contoh, dalam suatu masyarakat dapat diberikan hak kepada individu untuk membuka kebun.

b. Milik Komunal – Adat, Ulayat Communal common Property

Tanah jenis ini dimiliki secara komunal yang hanya dapat digunakan oleh anggota dari masyarakat tersebut. Misalnya tanah itu digunakan untuk menggembalakan ternak oleh masyarakat yang merupakan anggota kelompok. Anggota masyarakat dari luar hanya dapat memperoleh akses atas tanah komunal bila memenuhi syarat yang berlaku dalam komunal tersebut. c . Tidak Berpemilik Open Access Property or no-property right Pada dasarnya tidak ada yang dapat dikatakan sebagai “pemilik” dari tanah atau sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian siapa saja dapat mengambil manfaat dari sumber daya tersebut. Sebagai contoh perairan laut lepas dimana nelayan dapat mengambil ikan. d . Milik Publik atau Umum Public Property Lahan jenis ini merupakan lahan yang hak kepemilikannya diklaim oleh negara. Tanggung jawab pengelolaannya diserahkan pada satu sektor tertentu dalam pemerintah. Contohnya adalah di Indonesia, sebagain besar wilayah hutan yang diklaim sebagai hutan negara berada di bawah tanggung jawab Departemen Kehutanan.

2.4.3 Konsep Aksi Kolektif Collective Action

Nugroho dan Kartodihardjo 2009 menyebutkan bahwa kawasan hutan negara pada umumnya merupakan Common Pool Resources CPRs yang bersifat non ‐excludable, sangat berisiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang gratis free rider. Pada situasi demikian, CPRs cenderung akan dieksploitasi dan dimanfaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses Hardin, 1968. Namun, Gautam dan Shivakoti 2005 melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom 1990; Thompson 1992; McGinnis and Ostrom 1996; Gibson and Koontz 1998; Agrawal and Gibson 1999; dan Gibson et al. 2000 tidak sepenuhnya menyetujui premis Hardin tersebut Nugroho dan Kartodihardjo 2009. Mereka mengatakan bahwa banyak bukti ‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi ‐aksi kolektif yang mereka bangun. Tentu saja bahwa tidak semua pengguna CPRs berhasil dalam melindungi dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari. Seperti halnya tidak semua pemilik sumberdaya pribadi private property mampu melindungi dan melestarikan sumberdayanya. Nugroho dan Kartodihardjo 2009 menyebutkan bahwa dalam membangun aksi kolektif bukan merupakan persoalan mudah. Ada beberapa kompleksitas dalam membangun aksi kolektif yang perlu diperhatikan, antara lain adalah: 1 Ukuran kelompok group size sangat menentukan keefektifan aksi kolektif. 2 Penunggangan gratis free riders yang muncul seringkali tidak segera ditindak sehubungan dengan kedekatan ‐kedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari ‐hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku penunggangan gratis mudah menular, karena penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera membangun “aliansi strategis” dengan pihak‐ pihak lain. 3 Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam membangun aksi kolektif. Semakin homogen masyarakat diharapkan, semakin mudah membangun aksi kolektif, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk membangun aksi kolektif pada masyarakat yang heterogen.