Analisis Kelayakan Finansial Aspek Ekonomi
Semua responden di lokasi penelitian tidak melakukan pendokumentasian tata niaga dan arus kas, sehingga untuk mempermudah analisis dan
mengantisipasi ketidaklengkapan data yang diperoleh dalam wawancara, maka digunakan beberapa acuan dan asumsi, yaitu :
1. Kuantitas bahan, alat, tenaga kerja, pajak tanah per hektar serta rata-rata
harga kayu yang digunakan dalam analisis sama seperti apa yang dinyatakan oleh responden dalam wawancara.
2. Komponen biaya pemasaran tidak digunakan dalam analisis.
3. Beberapa komponen biaya mengacu pada standar rancangan teknis
dishutlanak tahun 2004-2007, meliputi: a.
Pembuatan papan nama Rp. 500.000 b.
Pembuatan gubuk kerja Rp. 3.900.000 disesuaikan dengan kebutuhan c.
Pembuatan ajir Rp. 150batang d.
Bibit jati lokal Rp. 15.000batang e.
Bibit lenggua Rp. 5.000batang f.
Bibit mahoni Rp. 5.000batang g.
Bibit durian Rp. 5.000batang h.
Parang Rp. 25.000buah i.
Cangkul Rp. 50.000buah j.
Linggis Rp. 25.000buah k.
Tenaga kerja pembersihan lahan Rp. 50.000HOK l.
Tenaga kerja pembuatan lubang tanam dan penanaman Rp. 50.000HOK m.
Tenaga kerja penyulaman Rp. 50.000HOK n.
Tenaga kerja pemangkasan cabang Rp. 50.000HOK 4.
Penyulaman tanaman dilakukan pada tahun ke-2 dengan jumlah sulaman sebesar 10 dari total jumlah tanaman.
5. Pemangkasan cabang dilakukan pada tahun ke-5.
6. Penjarangan tanaman dilakukan 2 kali selama daur produksi yaitu pada tahun
ke-10 dan tahun ke-15, dengan jumlah sebesar 30 dari total tegakan awal untuk penjarangan pertama dan sebesar 30 dari total tegakan sisa untuk
penjarangan kedua.
7. Seluruh hasil penjarangan pertama dimanfaatkan sebagai kayu bakar dengan
asumsi satu pohon yang dijarangi menghasilkan kayu bakar. 8.
Kegiatan pemanenan kayu diasumsikan dilakukan oleh responden dengan sistem borongan, dengan biaya pemanenan meliputi penebangan,
penyaradan, retribusi angkut, dan pengangkutan sampai tempat penimbunan sebesar Rp. 100.000pohon.
9. Periode analisis ditetapkan 30 tahun dengan dasar pemikiran bahwa periode
analisis selama satu daur tebangan tanaman kayu jati 15 tahun pada tahun ke 15, pada tahun ke 16 penebangan tanaman kayu-kayuan dilakukan hanya
10 dari total jumlah tanaman pada suatu areal sehingga di asumsikan pada tahun ke-30 usahatani hutan rakyat GERHAN ini akan membentuk hutan
normal. 10.
Presentase tumbuh tanaman 100. Dalam analisis finansial kelayakan usaha dilakukan terhadap pelaksanaan
kegiatan GERHAN tahun 2004 – 2006.Pendugaan volume panen MPTS
menggunakan metode benefit transfer, yakni didasarkan pada hasil-hasil penelitian sebelumnya, sedangkan untuk jenis kayu-kayuan dengan asumsi
diameter rata-rata adalah 30 cm dan tinggi 7 m. Berdasarkan hasil analisis kegiatan hutan rakyat di DAS Waehapu pada tingkat suku bunga 15 dengan
periode analisis selama satu daur tebangan tanaman kayu jati 15 tahun pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha tipologi 2 sampai dengan 6 kepemilikan lahan
kegiatan GERHAN memenuhi persyaratan kelayakan secara finansial yang ditunjukan dengan NPV0, BCR1 dan IRR tingkat suku bunga yang berlaku,
sedangkan pada tipologi 1 tidak memunuhi syarat kelayakan secara finansial yang ditunjukan dengan NPV negatif, BCR kurang dari 1 dan IRR kuang dari tingkat
suku bunga yang berlaku. Hasil perhitungan disajikan pada tabel 16, sedangkan rincian perhitungan disajikan pada Lampiran11.
Tabel 16 Analisis kelayakan finansial pengelolaan kegiatan GERHAN selama 30 tahun
No Luas kepemilikan
lahan ha Jumlah
responden NPV
BCR IRR
1 1
15 -11.32. 038
0,75 10
2 1,5
19 4.507.946
1,09 17
3 2
11 17.101.078
1,33 20
4 2,5
12 54.330.085
2,03 26
5 3
12 47.013.207
1,85 25
6 5
6 107.449.436
2,67 30
Sumber : Data primer diolah, 2010 BCR merupakan perbandingan atau ratio antara total pendapatan terdiskonto
dengan total biaya yang terdiskonto. Melalui perhitungan parameter ini dapat diketahui apakah responden sebagai pengelola memperoleh keuntungan atau tidak
selama mengusahakan hutan rakyat di atas lahan miliknya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat GERHAN di lokasi penelitian
mampu memberikan keuntungan kepada responden sebagai pengelola, dengan nilai BCR pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha tipologi 2 sampai dengan tipologi 6
menunjukan 1, yaitu 1,09 sampai dengan 2,67 namun pada luasan tipologi 1tidak layak secara finansial yaitu dengan luas kepemilikan lahan 1 ha tidak
melebihi 1 yaitu 0,75 dapat dilihat pada Tabel 16. Melalui perhitungan nilai BCR telah diketahui bahwa pengelolaan hutan rakyat GERHAN di lokasi
penelitian menguntungkan secara ekonomi. Besarnya keuntungan yang diperoleh tersebut dapat dinilai melalui perhitungan NPV. Nilai NPV merupakan nilai
diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap aliran keluar masuknya uang. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPV pengusahaan hutan rakyat GERHAN
pada luasan 1 ha tipologi 1 bernilai negatif yaitu sebesar -11.32. 038 sedangkan pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha tipologi 2 sampai dengan 6
menunjukan nilai positif Rp. 4.507.946 hingga Rp. 107.449.436 lihat tabel 16. Nilai NPV tersebut dapat memproyeksikan atau menggambarkan rata-rata
keuntungan bersih per hektar yang bisa diperoleh oleh responden petani hutan rakyat dalam satu daur produksi tanaman kayu-kayuan dan juga produksi tanaman
MPTS antara 3 tahun sampai dengan 15 tahun yang dinilai pada saat penelitian dilakukan, dengan suku bunga acuan sebesar 15.
Internal Rate of Return atau IRR didefinisikan sebagai tingkat suku bunga
yang menyebabkan NPV sama dengan nol atau dapat juga diartikan sebagai suatu tingkat suku bunga yang menunjukan NPV sama dengan biaya investasi
pengusahaan. Suatu usahatani dipandang paling baik dari sudut peminjaman modal apabila IRR berada di atas suku bunga yang berlaku IRR i. Dari hasil
analisis diketahui bahwa pengusahaan hutan rakyat GERHAN di lokasi penelitian menghasilkan nilai IRR sebesar 0,75 pada luasan 1 ha tipologi 1 dan
sedangkan pada luasan 1,5 ha hingga 5 ha tipologi 2 sampai dengan tipologi 6, yaitu 17 sampai dengan 30. Hal ini berarti bahwa pengusahaan hutan rakyat
akan mencapai break even point ketika suku bunga Bank Indonesia BI-rate mencapai angka 30 dan akan mengalami kerugian saat Bi-rate berada di atas
nilai tersebut. Hasil perhitungan IRR dapat juga dikaitkan dengan resiliensi atau tingkat
ketahanan suatu usaha terhadap berkurangnya nilai uang atau inflasi. Suatu usaha bisa saja menguntungkan secara ekonomi tetapi tidak akan selalu memiliki
ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh inflasi. Dengan IRR sebesar 30 berarti usahatani hutan rakyat yang dikelola oleh responden memiliki ketahanan yang
cukup tinggi terhadap pengaruh inflasi. Pengusahaan hutan rakyat di lokasi penelitian akan tetap mendatangkan keuntungan walau terjadi inflasi yang
menyebabkan naiknya BI-rate sampai sebesar 15 poin. Temuan ini serupa dengan temuan Darusman et al. 2001 yang menyimpulkan bahwa kegiatan kehutanan
masyarakat termasuk pula usaha hutan rakyat di Indonesia memiliki resiliensi atau ketahanan usaha yang cukup tinggi walau terkena dampak krisis moneter pada
tahun 1997.