Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
9 yang tepat agar kebijakan dapat berjalan efektif Nielsen-Farrel 2006.
Swasembada pangan telah menjadi isu dunia, hal ini terlihat dari banyaknya penelitian mengenai swasembada pangan, baik yang terkait dengan gula maupun
komoditas lain. Amid 2007 melakukan penelitian mengenai swasembada gandum di Iran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan harga roti
yang murah menjadi penyebab ketidakseimbangan permintaan dan penawaran dalam negeri sehingga impor meningkat.
Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada oleh pemerintah Indonesia adalah gula. Swasembada gula bisa terwujud bila ketergantungan pada
impor sedikit demi sedikit dikurangi dan harus memiliki paradigma swasembada dengan menaikkan produksi dalam negeri melalui penambahan luas tanam
Ginandjar, 2012. Namun strategi pemenuhan kebutuhan gula belum terintegrasi dengan upaya pencapaian swasembada pangan secara keseluruhan, kebijakan
pemenuhan kebutuhan gula berorientasi pada pemenuhan dalam arti swasembada fisik, tanpa memperhatikan pertimbangan ekonomis Natawidjadja et al. 2012. Di
sisi lain intervensi kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah satu prasyarat pencapaian swasembada gula Arifin 2012.
Secara umum keamanan nasional juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan swasembada Hollander 2005.
Hasil penelitian Widyastutik 2005, Cahyani 2008, Sawit 2010, Zaini 2011, Asmarantaka 2012 dan Trisnawati et al. 2012 menunjukkan bahwa
swasembada gula yang berkelanjutan akan sulit dicapai artinya produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Widyastutik 2005 menyatakan bahwa untuk mencapai DRC =1, analisis
simulasi menunjukkan perlunya upaya peningkatan efisiensi pengusahaan gula dari subsistem
agribisnis hulu
hingga ke subsistem agribisnis hilir yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara
berkelanjutan tidak mungkin terwujud. Hal ini terlihat dari nilai DRC 1 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki
keunggulan komparatif. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian Asmarantaka 2012 yang menyatakan bahwa agroindustri gula belum efisien atau
belum memiliki keunggulan komparatif berdasarkan hasil analisis integrasi, RCA dan EPD, sehingga sukar untuk mencapai swasembada gula pada tahun 2014.
Cahyani 2008 melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula di Indonesia dan sampai pada kesimpulan bahwa konsumsi gula akan terus meningkat sampai
tahun 2025. Sedangkan produksi gula cenderung konstan.
Pesatnya perkembangan kebutuhan gula sementara peningkatan produksi relatif belum seimbang
menjadikan Indonesia sebagai importir gula baik untuk gula kristal mentah maupun gula industri Ditjen Industri dan Agro Kimia 2009. Ketidakmampuan
produksi dalam negeri mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas hablur terkait persoalan teknis dan non
teknis agronomis, antara lain kesalahan dalam rekomendasi pemupukan yang dibuat atas dasar hasil analisis tanah saja dan mengabaikan beragam varietas,
iklim, kondisi tanaman, dan hamapenyakit tanaman Hakim 2006.
Selain permasalahan yang terkait dengan on farm, Widyastutik 2005 menjelaskan bahwa ketidakmampuan swasembada dikarenakan perusahaan gula
belum memiliki keunggulan komparatif. Sementara Zaini 2011 berpendapat jika pencapaian swasembada hanya dilakukan dengan memperluas areal tanam tebu ke
10 luar Pulau Jawa dan membangun pabrik gula baru tanpa diikuti oleh peningkatan
efisiensi produksi di Pulau Jawa, maka hanya mengalihkan rente ekonomi gula dari yang semula diterima importir ke produsen gula namun tetap membebani
konsumen. Sawit 2010 juga menilai bahwa kebijakan gula yang dibuat oleh pemerintah belum terintegrasi dengan baik dan belum mengarah ke tujuan yang
sama.
Pada umumnya, masing masing kementerian atau lembaga lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek daripada jangka panjang, dan dirancang secara ad
hoc dan parsial. Disamping itu, kebijakan distribusiperdagangan yang dirancang pemerintah belum mampu mengoreksi konsentrasi perdagangan gula, akibatnya pasar
gula semakin menjauhi struktur pasar yang adil dan yang muncul adalah pasar oligopolioligopsoni.
Priyono 2008 menyebutkan bahwa untuk mencapai program swasembada diperlukan pembukaan lahan tebu dan pendirian pabrik gula baru di sejumlah
wilayah oleh investor baik dari dalam dan luar negeri. Untuk mewujudkan swasembada gula 2014 pemerintah juga perlu menitikberatkan sektor off farm,
diantaranya peremajaan mesin pabrik gula serta perbaikan kelembagaan pemasaran Asmarantaka et al. 2012. Sementara menurut Ditjen Industri Agro
dan Kimia 2009, diperlukan pengembangan industri gula pengolahan tebu yang terpadu mulai dari perkebunan, pengolahan, pemasaran dan distribusi yang
didukung oleh pemangku kepentingan termasuk lembaga pendukung seperti litbang, SDM, keuanganperbankan dan transportasi. Selain itu juga diperlukan
upaya upaya merevitalisasi koperasi tebu rakyat Hanani et al. 2012.
Peningkatan produktivitas secara global juga dapat tercapai bila pemangku penentu kebijakan mengambil keputusan kebijakan Pengembangan Produk
Alternatif, lalu diikuti keputusan Dukungan Kebijakan Moneter, dan terakhir kebijakan Penentuan Tarif Bea Masuk. Dengan mengikuti pola pemeringkatan
kebijakan tersebut, maka diharapkan pada tahun 2014 dapat dicapai swasembada gula Dibyoseputro 2012. Sejalan dengan pendapat tersebut, Susila 2005
menunjukkan bahwa
berbagai kombinasi kebijakan harga provenue, tarif impor, Tariff Rate Quota TRQ, dan subsidi input merupakan instrument kebijakan yang
efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun dalam mewujudkan swasembada gula, terdapat berbagai kondisi yang
kontra produktif terhadap upaya pencapaian swasembada antara lain aktivitas lobi dan tekanan politik produsen. Zaini 2011
melalui analisis regresi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingginya aktivitas lobitekanan politik produsen dengan
besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor.