Perumusan Masalah National self sufficiency model of white crystal sugar with system dynamics approach

7 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula

Dinamika ketersediaan gula tidak dapat dilepaskan dari dinamika produksi dan konsumsi gula. Produksi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan tebu, produktivitas dan rendeman Priyono 2008; P3GI 2008; Asmara et al. 2012, efisiensi pabrik Asmarantaka 2012, jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja Widarwati 2008, bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin Cahyono 2009, hari hujan, tenaga kerja dan rendemen efektif Istianto 2008. Hasil penelitian Tchereni et al. 2012 juga menunjukkan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam meningkatkan produksi. Faktor penentu efisiensi teknis lainnya antara lain pengalaman petani, pendidikan dan jenis kelamin. Sementara hasil penelitian Widhaningsih 2007 menunjukkan bahwa ketersediaan dan produksi gula domestik hanya dipengaruhi oleh luas area. Luas area dan manajemen stok memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi dan ketersediaan gula. Senada dengan pendapat tersebut, hasil penelitian Zaini 2008 menyimpulkan bahwa peningkatan produksi gula dapat dilakukan dengan memperluas areal perkebunan tebu di luar pulau Jawa dan mengurangi konversi alih guna lahan perkebunan tebu di pulau Jawa. Dari berbagai faktor tersebut, faktor yang paling mendapat perhatian masyarakat industri gula adalah rendemen. Rendemen adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen Trisnawati et al. 2012. Peningkatan rendemen merupakan upaya praktis yang berdampak positif dan signifikan terhadap produksi gula Wibowo 2012. Oleh karena itu salah satu upaya menuju swasembada gula nasional 2014 adalah peningkatan rendemen. Tanaman tebu harus dapat diberdayakan sehingga kapasitasnya untuk menghasilkan dan menyimpan sukrose menjadi lebih baik Soemarno 2010. Secara umum dapat disimpulkan bahwa produksi gula nasional dipengaruhi oleh luas areal, produktivitas tebu, rendemen, kapasitas giling dan efisiensi pabrik. Sementara apabila dilihat dari sisi permintaan, Ginandjar 2012 dan Hanani et al. 2012 berpendapat bahwa peningkatan konsumsi gula terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hartono 2012 dan Asmara et al. 2012 yang menyatakan bahwa konsumsi gula akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan perkembangan industri makanan dan minuman. Hasil penelitian Fitriadi 2007 menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan gula pasir bertanda positif artinya konsumsi langsung gula pasir per kapita akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Menguatkan pendapat tersebut, hasil penelitian Sugiyanto 2007 menunjukkan bahwa elastisitas permintaan gula terhadap pendapatan menurun, jangka pendek 0,4 dan jangka panjang 0,2. Selain dorongan kenaikan pendapatan, permintaan gula terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk. 8

2.2 Kebijakan Pengembangan Industri Gula di Indonesia

Pembangunan pertanian selama lima tahun ke depan 2010-2014 difokuskan kepada pencapaian empat target utama pembangunan pertanian, yaitu: 1 pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, 2 peningkatan diversifikasi pangan, 3 peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan 4 peningkatan kesejahteraan petani Kementan 2011. Oleh karena itu, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan pertanian, kebijakan umum pembangunan perkebunan diarahkan untuk mensinergikan seluruh sumberdaya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik Ditjenbun 2010. Hal ini tertuang dalam Rencana Strategis Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014 dan Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan 2010-2014. Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada dalam Renstra Kementerian Pertanian adalah gula. Swasembada yang dimaksud adalah swasembada gula konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit neraca perdagangan gula nasional yang diupayakan akan dicapai pada tahun 2014 Kementan 2011. Sasaran tersebut diimplementasikan dalam program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Program RIGN merupakan salah satu program unggulan pemerintah dalam rangka swasembada gula nasional tahun 2014 Kementrian BUMN 2011. Adapun langkah langkah operasional untuk mengimplementasikan strategi pencapaian swasembada gula tersebut difokuskan kepada: 1 peningkatan produktivitas melalui rasionalisasi atau penataan varietas, penerapan teknologi budidaya, percepatan bongkarrawat ratoon, efisiensi hara dan penggunaan pupuk organik serta suplesi air embung dan pompa, 2 perluasan areal melalui kebun bibit untuk pabrik gula baru, optimalisasi atau pemanfaatan lahan dan penyediaan lahan pertanaman tebu, 3 revitalisasi dan pembangunan industri gula berbasis tebu melalui rehabilitasipeningkatan kapasitas giling PG dan mutu produk, optimalisasi atau efisiensi hari giling, pemanfaatan idle capacity PG dan pembangunan PG baru, 4 kelembagaan dan pembiayaan, melalui penguatan kelembagaan riset dan pengembangan, penguatan kelembagaan usaha petani, penyiapan pengembangan SDM, fasilitasi KKP-Eguliran PUMK, serta pembiayaan untuk revitalisasi dan pembiayaan PG baru, 5 kebijakan pemerintah melalui pengaturan tata niaga penetapan BPPHPP, stabilisasi harga, perpajakan dan infrastruktur Kementan 2011.

2.3 Analisis Swasembada Gula di Indonesia

Kebijakan pertanian memiliki tiga tujuan utama yaitu mendorong kemajuan dan meningkatkan diversifikasi produksi, meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam dan meningkatkan jaminan produksi pangan yang cukup Stergides 1992. Tujuan kebijakan yang ketiga menunjukkan pentingnya swasembada pangan bagi suatu negara. Oleh karena itu diperlukan penelitian terhadap ukuran swasembada 9 yang tepat agar kebijakan dapat berjalan efektif Nielsen-Farrel 2006. Swasembada pangan telah menjadi isu dunia, hal ini terlihat dari banyaknya penelitian mengenai swasembada pangan, baik yang terkait dengan gula maupun komoditas lain. Amid 2007 melakukan penelitian mengenai swasembada gandum di Iran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan harga roti yang murah menjadi penyebab ketidakseimbangan permintaan dan penawaran dalam negeri sehingga impor meningkat. Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada oleh pemerintah Indonesia adalah gula. Swasembada gula bisa terwujud bila ketergantungan pada impor sedikit demi sedikit dikurangi dan harus memiliki paradigma swasembada dengan menaikkan produksi dalam negeri melalui penambahan luas tanam Ginandjar, 2012. Namun strategi pemenuhan kebutuhan gula belum terintegrasi dengan upaya pencapaian swasembada pangan secara keseluruhan, kebijakan pemenuhan kebutuhan gula berorientasi pada pemenuhan dalam arti swasembada fisik, tanpa memperhatikan pertimbangan ekonomis Natawidjadja et al. 2012. Di sisi lain intervensi kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah satu prasyarat pencapaian swasembada gula Arifin 2012. Secara umum keamanan nasional juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan swasembada Hollander 2005. Hasil penelitian Widyastutik 2005, Cahyani 2008, Sawit 2010, Zaini 2011, Asmarantaka 2012 dan Trisnawati et al. 2012 menunjukkan bahwa swasembada gula yang berkelanjutan akan sulit dicapai artinya produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Widyastutik 2005 menyatakan bahwa untuk mencapai DRC =1, analisis simulasi menunjukkan perlunya upaya peningkatan efisiensi pengusahaan gula dari subsistem agribisnis hulu hingga ke subsistem agribisnis hilir yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak mungkin terwujud. Hal ini terlihat dari nilai DRC 1 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian Asmarantaka 2012 yang menyatakan bahwa agroindustri gula belum efisien atau belum memiliki keunggulan komparatif berdasarkan hasil analisis integrasi, RCA dan EPD, sehingga sukar untuk mencapai swasembada gula pada tahun 2014. Cahyani 2008 melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula di Indonesia dan sampai pada kesimpulan bahwa konsumsi gula akan terus meningkat sampai tahun 2025. Sedangkan produksi gula cenderung konstan. Pesatnya perkembangan kebutuhan gula sementara peningkatan produksi relatif belum seimbang menjadikan Indonesia sebagai importir gula baik untuk gula kristal mentah maupun gula industri Ditjen Industri dan Agro Kimia 2009. Ketidakmampuan produksi dalam negeri mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas hablur terkait persoalan teknis dan non teknis agronomis, antara lain kesalahan dalam rekomendasi pemupukan yang dibuat atas dasar hasil analisis tanah saja dan mengabaikan beragam varietas, iklim, kondisi tanaman, dan hamapenyakit tanaman Hakim 2006. Selain permasalahan yang terkait dengan on farm, Widyastutik 2005 menjelaskan bahwa ketidakmampuan swasembada dikarenakan perusahaan gula belum memiliki keunggulan komparatif. Sementara Zaini 2011 berpendapat jika pencapaian swasembada hanya dilakukan dengan memperluas areal tanam tebu ke