Latar Belakang National self sufficiency model of white crystal sugar with system dynamics approach

4 sesuai dengan konsep ketahanan pangan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012. Pentingnya komoditas gula dengan berbagai potensi pengembangan yang dimiliki serta berbagai masalah yang menghambat ketersediaannya mendorong pemerintah menerapkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah Revitalisasi Industri Gula Nasional RIGN. RIGN merupakan rencana jangka panjang industri gula selama lima tahun 2010-2014 sebagai pedoman dalam rangka meningkatkan produksi gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. RIGN diharapkan dapat meningkatkan produksi gula untuk konsumsi langsung yaitu jenis Gula Kristal Putih GKP sebanyak 3.54 juta ton pada tahun 2014, terdiri dari produksi gula dari perkebunan besar negara PBN sebanyak 2.32 juta ton dan produksi gula dari perkebunan besar swasta PBS sebanyak 1.22 juta ton. Dengan demikian kebutuhan konsumsi gula langsung akan dapat dicukupi dari produksi gula nasional yang berbahan baku tebu lokal, bahkan diperkirakan akan mengalami surpus gula konsumsi sekitar 584 ribu ton Kementerian BUMN, 2011. Namun target swasembada gula ini dihadapkan pada berbagai tantangan dari sisi on farm, off farm dan manajemen serta melibatkan kepentingan berbagai macam stakeholders mulai dari pemerintah, industri PBN dan PBS, petani, pedagang besar, lembaga keuangan dan masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan sistem dengan cara membangun model yang mampu merepresentasikan sistem industri GKP nasional, sehingga berbagai dinamika swasembada GKP dapat disimulasikan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat. Model swasembada GKP nasional ini dibangun dengan pendekatan sistem dinamis. Pendekatan ini dipilih karena mampu menangkap sistem pergulaan nasional yang bersifat dinamis dimana setiap kebijakan pergulaan yang dibuat didasarkan pada kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang dinamis dari waktu ke waktu. Pendekatan ini juga tepat karena mampu menangkap kompleksitas permasalahan yang terjadi pada sistem industri gula nasional dan menyederhanakannya dalam bentuk model. Dari pemodelan ini, akan dapat diketahui dinamika swasembada GKP, serta dapat dilakukan simulasi dampak kebijakan RIGN dan penyusunan skenario kebijakan alternatif untuk mendukung swasembada GKP.

1.2 Perumusan Masalah

Industri gula Indonesia pernah mencapai kejayaan pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar di dunia setelah Kuba. Namun pada perkembangan selanjutnya, industri gula Indonesia lambat laun mengalami penurunan kinerja sehingga menjadi salah satu importir gula utama Susilohadi et al.2012. Secara umum permasalahan ini disebabkan adanya ketidakseimbangan antara sisi penyediaan dan kebutuhan gula. Ketidakseimbangan penyediaan dan kebutuhan gula akan menimbulkan ketergantungan terhadap gula impor. Hal ini mengingat permintaan gula diperkirakan terus bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan industri makanan dan minuman. DGI 2002 dalam Susila dan Sinaga 2005 mengungkapkan bahwa salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor 5 yang meningkat selama periode 1991-2001 dengan laju 16.6 persen per tahun. Peningkatan ini terjadi karena laju konsumsi meningkat sebesar 2.96 persen per tahun, sedangkan produksi menurun sebesar 3.03 persen per tahun. Laju impor ini terus meningkat pada periode selanjutnya. Data AGI 2011 menunjukkan adanya peningkatan laju impor GKP sebesar 29.49 persen per tahun selama 2005-2010. Peningkatan laju impor tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya peningkatan defisit GKP sebesar 27.65 persen per tahun, hingga pada tahun 2010 defisit GKP terhitung sebesar 511 612 ton. Hal ini dikarenakan peningkatan laju konsumsi GKP yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan laju produksi GKP. Selama periode 2005-2010 laju produksi meningkat sebesar 0.63 persen per tahun, sedangkan laju konsumsi meningkat sebesar 1.28 persen per tahun BKP 2010. Gambar 4 menunjukkan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia periode 2005 hingga 2010. ‐1000000 ‐500000 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Produksi Konsumsi SurplusDefisit Gambar 4 Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia Sumber: BKP 2010 Peningkatan permintaan yang tidak dibarengi peningkatan produksi pada masa yang akan datang akan mengancam industri gula nasional karena gula impor akan mengalahkan gula dalam negeri yang umumnya mempunyai kualitas lebih rendah Asmarantaka et al. 2012. Disamping itu membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48 persen akan berpengaruh negatif terhadap upaya mencapaian ketahanan pangan Pakpahan 2000; Simatupang et al. 2000 dalam Natawidjaja et al. 2012. Selanjutnya beban devisa untuk mengimpor juga akan terus meningkat. Upaya mengurangi ketergantungan terhadap GKP impor menuntut industri gula untuk merealisasikan swasembada GKP. Tercapainya swasembada GKP di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dalam penyediaan bahan baku, pengolahan gula, perdagangan dan kebutuhan gula, baik secara sendiri- sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Faktor faktor ini akan membentuk perilaku sistem industri GKP nasional. Penelitian, kajian dan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja industri dan swasembada gula nasional telah banyak dilakukan. Namun demikian sebagian besar penelitian tersebut lebih menekankan pada pentingnya perbaikan aspek 6 teknologi, kebijakan protektif dan kelembagaan ekonomi Zaini et al. 2012, tetapi kurang memperhatikan dinamika pengadaan bahan baku, pengolahan gula, konsumsi dan perdagangan secara bersama sama dengan pendekatan sistem dinamis dalam menganalisis swasembada gula. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Mungkinkah swasembada Gula Kristal Putih akan terwujud tanpa kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional? 2. Bagaimana dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih? 3. Bagaimana skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dinamika swasembada Gula Kristal Putih nasional dengan membangun model sistem dinamik. Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji kemungkinan pencapaian swasembada Gula Kristal Putih tanpa Revitalisasi Industri Gula Nasional. 2. Mengkaji dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih. 3. Menyusun skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika swasembada GKP nasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk mengevaluasi kebijakan RIGN yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada GKP tahun 2014. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas gula dan penggunaan sistem dinamik dalam menganalisis kebijakan di bidang pertanian serta menjadi bahan rujukan bagi penelitian lanjutan.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup dan batasan penelitian yang digunakan adalah penelitian hanya difokuskan untuk menganalisis dinamika swasembada GKP nasional dengan pendekatan sistem dinamik melalui penyusunan model swasembada GKP nasional. Penyusunan model dalam penelitian ini dibatasi pada submodel penyediaan bahan baku, pengolahan gula, perdagangan dan kebutuhan. Penelitian ini juga tidak menganalisis sistem industri GKR nasional dan tidak meninjau aspek keberlanjutan swasembada berdasarkan dimensi. 7 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula

Dinamika ketersediaan gula tidak dapat dilepaskan dari dinamika produksi dan konsumsi gula. Produksi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan tebu, produktivitas dan rendeman Priyono 2008; P3GI 2008; Asmara et al. 2012, efisiensi pabrik Asmarantaka 2012, jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja Widarwati 2008, bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin Cahyono 2009, hari hujan, tenaga kerja dan rendemen efektif Istianto 2008. Hasil penelitian Tchereni et al. 2012 juga menunjukkan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam meningkatkan produksi. Faktor penentu efisiensi teknis lainnya antara lain pengalaman petani, pendidikan dan jenis kelamin. Sementara hasil penelitian Widhaningsih 2007 menunjukkan bahwa ketersediaan dan produksi gula domestik hanya dipengaruhi oleh luas area. Luas area dan manajemen stok memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi dan ketersediaan gula. Senada dengan pendapat tersebut, hasil penelitian Zaini 2008 menyimpulkan bahwa peningkatan produksi gula dapat dilakukan dengan memperluas areal perkebunan tebu di luar pulau Jawa dan mengurangi konversi alih guna lahan perkebunan tebu di pulau Jawa. Dari berbagai faktor tersebut, faktor yang paling mendapat perhatian masyarakat industri gula adalah rendemen. Rendemen adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen Trisnawati et al. 2012. Peningkatan rendemen merupakan upaya praktis yang berdampak positif dan signifikan terhadap produksi gula Wibowo 2012. Oleh karena itu salah satu upaya menuju swasembada gula nasional 2014 adalah peningkatan rendemen. Tanaman tebu harus dapat diberdayakan sehingga kapasitasnya untuk menghasilkan dan menyimpan sukrose menjadi lebih baik Soemarno 2010. Secara umum dapat disimpulkan bahwa produksi gula nasional dipengaruhi oleh luas areal, produktivitas tebu, rendemen, kapasitas giling dan efisiensi pabrik. Sementara apabila dilihat dari sisi permintaan, Ginandjar 2012 dan Hanani et al. 2012 berpendapat bahwa peningkatan konsumsi gula terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hartono 2012 dan Asmara et al. 2012 yang menyatakan bahwa konsumsi gula akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan perkembangan industri makanan dan minuman. Hasil penelitian Fitriadi 2007 menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan gula pasir bertanda positif artinya konsumsi langsung gula pasir per kapita akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Menguatkan pendapat tersebut, hasil penelitian Sugiyanto 2007 menunjukkan bahwa elastisitas permintaan gula terhadap pendapatan menurun, jangka pendek 0,4 dan jangka panjang 0,2. Selain dorongan kenaikan pendapatan, permintaan gula terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk.