78 Konvensi Hak Anak merumuskan empat prinsip perlindungan terhadap
anak, yaitu non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; serta penghargaan terhadap pendapat anak. FMPA
harus menempatkan prinsip ini dalam menangani masalah kenakalan anak. Non diskriminasi dapat diartikan bahwa setiap anak yang berlatar
belakang berbeda dari status sosial, ekonomi, maupun agama, harus mendapatkan perlakuan yang sama. Apabila anak tersebut melakukan kesalahan, selayaknya
mendapatkan proses pemulihan yang sama. FMPA juga harus membuat solusi yang terbaik bagi anak, dapat berarti selama mengikuti proses pemulihan, FMPA
memberi kesempatan kepada anak untuk terus mengikuti sekolah, berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya, dan tanpa mengalami pengucilan.
Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan bagi anak memberikan kesempatan kepada FMPA dan masyarakat umum untuk
membimbing dan mengarahkan perubahan fisik dan psikis anak menuju ke arah yang seharusnya. Penghargaan terhadap pendapat anak dimaksudkan agar anak
dapat menetapkan pilihan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya tanpa ”dikte” dari orang tua. Bagi anak yang melakukan kenakalan, FMPA harus
memperhatikan kasus tersebut dari sudut pandang anak, tidak ”menghakimi” sebelum
mendengar pendapat
anak terhadap
kasus tersebut.
Proses musyawarahdialog, relationship building, dan pemberian ganti rugi, tetap harus
memperhatikan pendapat anak. Sehingga proses pemulihan tersebut melibatkan juga keinginan anak untuk mendapatkan solusi yang terbaik.
6.1.3. Pengalaman
Pada masa lalu, proses musyawarah dalam menangani anak nakal di wilayah Pasanggrahan yang mayoritas suku sunda sebenarnya sudah berjalan. Hal
ini berkaitan dengan budaya Sunda yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap masalah. Hanya saja belum melembaga dan bersifat
insidentil. Tokoh masyarakat di lingkungan tersebut berupaya ”mendamaikan”
79 pelaku dan korban melalui proses musyawarah, hal yang sama dengan restorative
justice tetapi tidak dalam sebuah forum yang dilembagakan seperti FMPA.
Bagi anggota FMPA, pengalaman menangani anak nakal melalui program ini tidak lepas dari latar belakang yang bersangkutan. Anggota yang
berasal dari Ketua RTRW, guru, ustadz, dan ibu PKK, tentu mempunyai perhatian lebih terhadap perkembangan anak. Hal ini turut berpengaruh terhadap
kinerja FMPA. Anggota yang cenderung mempunyai latar belakang pendidik tersebut guru dan ustadz dapat memahami proses perkembangan anak,
memahami hak-hak anak, sehingga proses pemulihan dapat berjalan baik. Ibu PKK yang mempunyai anak, berkepentingan agar anak-anak di wilayahnya tidak
menjadi anak nakal, dan berperilaku sesuai dengan norma sosial yang terdapat di komunitasnya. Sedangkan bagi Ketua RTRW, faktor keamanan lingkungan bisa
jadi menjadi prioritas, sehingga menjaga lingkungan bebas dari anak nakal menjadi motivasi yang baik, seperti dituturkan oleh Ketua RW 14 berikut ini :
”Dalam memilih anggota Forum, saat itu masyarakat yang hadir dalam pertemuan sepakat untuk menunjuk kami berlima dengan pertimbangan
terdiri dari berbagai disiplin pekerjaan dan latar belakang yang bervariasi, sehingga diharapkan dengan perbedaan pengalaman yang
dimiliki tersebut akan menambah pemahaman dan pengetahuan dalam penanganan terhadap anak nakal”
Mengingat pentingnya pengalaman dan pemahaman terhadap hak anak, masyarakat memilih anggota FMPA sesuai dengan latar belakang dan pengalaman
yang baik dalam penanganan anak. Anggota FMPA yang terpilih juga harus mengedepankan proses pemulihan yang memihak kepada hak-hak anak.
6.2.
Peranan Inisiator FMPA 6.2.1. Unicef Jabar
Sejak tahun 2002, anak-anak yang bermasalah dengan hukum merupakan priotritas bagi UNICEF Indonesia yang dimulai dengan program peradilan anak
yang bersahabat untuk memperbaiki peradilan anak dan meningkatkan kesadaran atas situasi perlakuan yang salah terhadap anak dalam kerangka strategi prioritas
80 jangka menengah MTSP UNICEF dan sasaran-sasarannya. Keseluruhan tujuan
dari proyek adalah untuk mengembangkan sistem peradilan anak yang komprehensif, yang konsisten dengan Konvensi Hak Anak KHA dan petunjuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Kegiatan Uji coba model restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan
merupakan bagian dari kerjasama Pemerintah RI dengan UNICEF Indonesia dalam memberikan upaya perlindungan terhadap anak. Diperlukan perlindungan
khusus yang didasari atas dasar analisa kondisi obyektif dari anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus baik dalam bentuk kebijakan, model
penanganan atau bantuan serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk memberikan bantuan.
Anak nakal sehingga berhadapan dengan masalah hukum merupakan kelompok anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus, tetapi belum
memperoleh perhatian dan penanganan perlindungan yang berperspektif anak, untuk itulah kegiatan uji coba ini dilakukan.
Dalam pelaksanaannya kegiatan ini memperoleh dukungan sepenuhnya dari UNICEF Indonesia dan didampingi, dimonitor dan dievaluasi umpan balik
dari UNICEF FO Jabar dan Banten.
6.2.2. LPA Jabar