Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung

60 pembentukan pengurus dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Hal ini diceritakan oleh Agus, Ketua LSM Saudara Sejiwa sebagai berikut: ”Kita dari LSM dan pihak LPA hanya sebagai fasilitator saja, tidak mengintervensi mereka pada saat pemilihan pengurus. Ketua RW ditetapkan sebagai Ketua Forum karena beliau lebih punya kewenangan dan kekuasan yang relatif paling dipercayai oleh masyarakat. Sedangkan Ketua Keamanan RW dipilih karena dipandang sebagai orang yang secara formal mempunyai kewenangan dalam hal keamanan lingkungan, Ustadz dan Guru dipilih karena mereka dipandang mengetahui dan memahami tentang hak-hak anak sedangkan satu lagi dari ibu PKK supaya ada keterwakilan dari kaum perempuan”. Dilihat dari perspektif Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan FMPA sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat. Sumardjo 2007 menyebutkan ada 7 tujuh tipologi partisipasi secara berurutan, yaitu partisipasi manipulatif, partisipasi informatif, partisipasi konsultatif, partisipasi insentif, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan partisipasi mandiri self mobilization. Ketujuh urutan tipologi ini memperlihatkan derajat partisipasi masyarakat; semakin ke kanan partisipasi masyarakat semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan pengaruh pemrakarsa semakin besar. Melihat tipologi tersebut, jenis partisipasi masyarakat dalam pembentukan FMPA merupakan jenis partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, yaitu membentuk FMPA. Pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan- keputusan utama yang disepakati, yaitu bahwa Unicef, LPA, dan beberapa LSM menetapkan Kelurahan Pasanggrahan sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya, dengan menyelesaikan kasus-kasus kenakalan anak di wilayahnya sendiri.

5.1.2. Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung

Penasehat senior Unicef dalam Peradilan Anak yaitu Mr. Geert Cappelaere, pada Juni 2002 melakukan kunjungan ke Kota Bandung melihat 61 situasi penanganan anak nakal yang ada di Bandung. Kunjungan dilakukan ke instansi terkait yaitu Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Polwiltabes Kepolisian Wilayah Kota Besar, Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan, dan LSM yang ada di kota Bandung khususnya ke LPA Jabar. Awal tahun 2003 kunjungan tersebut ditindaklanjuti oleh Unicef dengan mengutus Team JJ Juvenile Justice yang dipimpin Julie Lebeque dan membuat desain program untuk penanganan anak nakal di Kota Bandung. Pada tahap awal, Unicef bersama dengan LPA Jabar mengadakan penelitian restorative justice untuk menentukan model yang dianggap cocok bagi Kota Bandung. Seperti yang dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar: ”Setelah kedatangan Julie Lebeque ke Bandung, LPA mengadakan beberapa kegiatan yaitu pada bulan Pebruari 2003 ”Membangun Persepsi Isu Perlunya Bantuan bagi Anak Nakal”. Kemudian pada bulan April 2003 mengadakan ”Lokakarya Semua Stakeholder Terkait Anak Nakal”, dan pada bulan Mei 2003 ”Pembentukan Support Group dan Working Group”. Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa: ”Membangun persepsi isu perlunya penanganan anak nakal sebagai langkah awal sangat diperlukan, setelah itu dilanjutkan dengan dilaksanakannya lokakarya yang bertujuan agar seluruh stakeholder memiliki pandangan yang lebih empati terhadap anak nakal sehingga mengembangkan kepedulian serta mendorong penanganan yang terbaik terhadap anak dan menjadi lebih berpihak pada anak, bersifat restoratif serta melindungi dan menjamin pemenuhan hak- haknya sebagai anak”. Pada saat diadakan lokakarya melibatkan semua stakeholder yang ada di Kota Bandung, seperti diungkapkan oleh Ketua LPA Jabar sebagai berikut: ”Lokakarya diadakan atas kerjasama LPA Jabar dan Unicef dengan mendatangkan narasumber yang berpengalaman dalam penanganan anak nakal. Peserta yang diundang terdiri dari para ahli antropologi, sosiologi, psikolog, kriminolog, pengacara, pakar hukum, budayawan, sejarawan sunda, pekerja sosial, tokoh agama dan tokoh masyarakat Bandung serta institusilembaga terkait seperti Polisi, Hakim, Jaksa, DPRD Komisi E Kota Bandung, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Bagian Pemberdayaan Perempuan, Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, LBH Bandung, LBH Unpas, LSM Anak Laha, Bahtera, Grapiks, Yapena, 62 Saudara Sejiwa, Bina Buudaya Bangsa, Bina Mandiri, Repeh Rapih, Cahaya Beringin, Ketuk Nurani serta dari Perguruan Tinggi Fakultas Hukum Unpad, Fakultas Hukum Unpas dan STKS Bandung”. Penelitian dan pembuatan model dilakukan oleh working group kelompok kerja, dan didukung oleh support group kelompok pendukung. Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa: ”Setelah pelaksanaan lokakarya, maka direkomendasikan membentuk anggota working group kelompok kerja yang terdiri dari individu- individu yang memiliki latar belakang pengetahuan maupun pekerjaan yang relevan dengan persoalan anak anak yaitu Hakim Anak dari dari Pengadilan Negeri Bandung, Polisi, Petugas Balai Pemasyarakatan, Petugas Lembaga Pemasyarakatan, LBH Bandung, Fakultas Hukum Unpas, Lembaga Advokasi Hak Anak LAHA dan LPA Jabar. Sedangkan support group yaitu perwakilan dari Unicef Jabar dan tenaga pengajar dengan latar belakang yang kuat pada bidang hukum khususnya hukum pidana dan hukum acara pidana, kriminolog dan psikologi khususnya psikologi anak maupun psikologi perkembangan.” Penelitian dilakukan oleh Working Group Kelompok Kerja dengan memfokuskan pada: a apa yang membuat anak menjadi nakal; b apa yang terjadi pada saat anak berada dalam sistem peradilan anak; c bagaimana masyarakat, negara, maupun anak memandang anak nakal; d apakah kota Bandung memiliki sistem budaya yang dapat membantu penanganan anak nakal; e bagaimana alternatif yang dapat dilakukan bagi penanganan anak nakal. Salah seorang anggota Working Group, Distia, mengatakan : ”Tim Working Group sudah bekerjasama dan menjadi tim yang kompak, solid, dan mampu mengembangkan suasana tim yang kental sehingga dapat merumuskan dan menjawab berbagai persoalan baik yang berhubungan dengan konten maupun konteks, dan didukung oleh Tim Konsultan yang memposisikan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan tetapi tetap konsisten dalam mengembangkan kerangka asessment sehingga dapat dicapai hasil yang maksimal”. Penelitian dilakukan dengan cara diskusi, wawancara mendalam dan FGD Focus Group Discusion dengan nara sumber dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiolog, kriminolog, ahli agama, aparat penegak hukum, budayawan, 63 LSM anak, pimpinan pesantren dan tokoh masyarakat serta anak nakal dan keluarganya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Kerja restorative justice RJ adalah sebagaimana dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar berikut ini: ”Ada beberapa poin penting yang dihasilkan oleh kelompok kerja selama melakukan penelitian yaitu sebagai berikut: Pertama, dalam sistem peradilan ditemukan adanya mekanisme penyaringan kasus di masyarakat, walau tidak ditemukan bentuk peradilan tradisoional; Polisi punya kewenangan dekresi, namun adapula kewajiban untuk menindaklanjuti setiap perkara yang masuk; sistem hukum pidana masih bersifat retributif; telah ada pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum tentang pentingnya cara alternatif dalam penaganan anak nakal. Kedua, pelayanan bagi anak nakal ternyata sarana pokok dan pendidikan yang disediakan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan jauh dari memadai. Ketiga, pelaku kunci dalam hal ini Polisi dan Hakim, karena memiliki kewenangan untuk memutuskan perlakuan, namun pemahaman tentang restorative justice belum dimiliki secara mendalam. Keempat, adanya peluang yaitu bahwa tindakan pemidanaan dalam UU Pemasyarakatan berorientasi pada pembinaan, sedangkan restorative justice juga bertujuan pada pemulihan melalui pembinaan. Kemudian adanya LSM dan tokoh masyarakat yang berorientasi kesejahteraan sosial sebagai masyarakat umum yang masih terbuka menerima gagasan perubahan dan peluang berikutnya UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perampasan kemerdekaan harus dijadikan upaya terakhir dan apabila terhadap anak nakal dilakukan restorative justice, maka alokasi dana yang diperlukan dalam proses hukum akan berkurang. Kelima, selama assesment juga mempertimbangkan pendapat anak yang terungkap adalah untuk kasus kenakalan anak cukup dinasehati, diberi perhatian, kasih sayang dan komunikasi yang mantap dengan orang tua, kemudian bagi korban narkoba, dibina di panti rehabilitasi dan menurut pendapat anak ternyata kenakalan kecil dapat diselesaikan dengan mendamaikan antara pelaku dan korban serta keluarga masing- masing”. Menurut Tatan Rahmawan salah seorang Kelompok Kerja RJ, pada saat itu kelompok kerja RJ menyimpulkan bahwa: ”Pertama, masih terdapat kelemahan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia baik dalam sistem itu sendiri maupun pelaksanaannya; dan kedua, realitas pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Bandung tidak sejalan dengan UU No. 23 Tahun 2002 pasal 16 ayat 3 yang menyatakan bahwa ’penangkapan, 64 penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir’”. Lebih lanjut Tatan mengatakan bahwa: ”Berdasarkan hasil assesment, maka Kelompok Kerja RJ merekomendasikan untuk membuat alternatif penanganan anak nakal di tingkat masyarakat dan sebagai model dipilih Kelurahan Pasanggrahan dijadikan lokasinya. Hal tersebut disampaikan kepada pihak LPA Jabar dan Unicef”. Menindaklanjuti hal tersebut pihak LPA Jabar dengan dukungan dari Unicef melakukan sosialisasi penerapan model ”restorative justice” di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung. 5.2.Kinerja Forum di Kelurahan 5.2.1. Perkembangan Forum FMPA mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam bentuk keanggotaan maupun penyerahan kasus kenakalan anak yang dialaminya kepada FMPA. Keanggotaan FMPA yang terdiri dari berbagai unsur dan latar belakang yang berbeda ternyata membuat FMPA menjadi solid dan dipercaya oleh masyarakat, seperti dikemukakan oleh salah satu warga yang menjadi korban pencurian, yaitu Id, sebagai berikut: ”Ketika saya menjadi pihak korban dan mendengar akan diselesaikan oleh Forum, saya menanyakan siapa saja orang-orang yang akan menyelesaikan, dan setelah saya mengetahui anggota- anggotanya, saya terus terang langsung mempercayainya karena mereka mempunyai kredibilitas dalam masyarakat dan selama ini menjadi panutan bagi warga yang lainnya”. Ketika penulis menanyakan secara langsung pada pengurus FMPA latar belakang mereka mengapa mau untuk menjadi anggota forum, ada beberapa alasan yang mereka kemukakan, di antaranya Wiratmo anggota Forum di RW 14 mengatakan: ”Saya tertarik untuk terlibat aktif dalam forum, karena merasa bertanggung jawab terhadap keberadaan generasi muda khususnya anak-anak. Meskipun mereka terlibat kenakalan, tetapi tetap mereka adalah anak-anak kita, siapa lagi yang harus meluruskan jalannya 65 kalau tidak dari kita sendiri, sedangkan orang tuanya saya yakin tidak ada yang menyangka kalau anaknya berbuat nakal dan mengganggu ketertiban masyarakat. Saya merasa terpanggil untuk membantu anak-anak dan orang tuanya keluarganya agar anak- anaknya tidak nakal lagi”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ade Komar, Anggota FMPA Kelurahan Pasanggrahan yang mengatakan: ”Saya sendiri begitu mendengar ada program ini yang difasilitasi oleh LPA dan LSM Saudara Sejiwa, merasa terpanggil. Awalnya karena saya orang asli pribumi di sini, sejak tiga tahun yang lalu ada rumah yang dikontrak oleh LSM Saudara Sejiwa untuk dijadikan rumah singgah bagi anak-anak jalanan yang ada di sekitar Ujung Berung. Saat itu saya sangat respek dan salut kepada pihak LSM yang mau peduli, sehingga saya menjadi salah satu donatur bagi kebutuhan mereka. Terlebih lagi ketika ada program ini ada beberapa orang warga yang mendorong saya untuk terlibat aktif, dan saya memang tertarik dengan kegiatan ini karena menurut saya diperlukannya keterlibatan warga untuk mengatasi masalah anak- anak nakal yang ada di wilayah ini, jangan menyerahkan semua urusan kepada pemerintah dalam hal ini penegak hukum, kecuali kalau kita sebagai warga sudah tidak mampu mengatasinya”. Dalam pembentukan forum, pihak inisiator hanya berperan sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, LPA dan LSM Saudara Sejiwa sebatas memberi saran agar yang dijadikan anggota forum adalah wakil dari masyarakat yang dipandang mampu dan mempunyai peranan dalam masyarakat, mempunyai motivasi yang kuat untuk mengatasi permasalahan kenakalan anak, memahami tentang hak-hak anak dan sedikitnya ada pengalaman dalam menangani anak khususnya anak nakal, sehingga diharapkan dapat dapat mengatasi masalah- masalah yang dihadapi oleh pihak korban maupun tersangka anak. Sampai saat ini, perkembangan FMPA cukup baik karena didukung oleh unsur masyarakat yang bertindak sebagai pengurus maupun stakeholder lainnya. Beberapa kasus hukum ringan yang dilakukan oleh anak-anak nakal di wilayah Pasanggrahan dapat diselesaikan tanpa harus melewati proses peradilan formal. Beberapa kasus yang lain memang tidak diselesaikan melalui FMPA, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang keberadaan FMPA serta beratnya kasus yang terjadi yaitu sampai dengan hilangnya nyawa seseorang. 66

5.2.2. Proses Musyawarah Forum