Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan

59

5.1.1.3. Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan

Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan diawali dengan sosialisasi tentang penerapan model restorative justice oleh LPA Jabar pada bulan Maret 2005. Pada saat itu LPA yang didukung oleh Unicef mendapat bantuan dari LSM yang ada di Kelurahan Pasanggrahan yaitu LSM Saudara Sejiwa yang menangani anak jalanan di sekitar wilayah Ujung Berung. LSM ini diajak untuk ikut serta dalam program restorative justice karena dipandang sudah mengetahui karakter masyarakat setempat dan sudah berpengalaman khususnya dalam menangani anak. Pada tanggal 27 Maret 2005 dilakukan lokakarya restorative justice dengan masyarakat kelurahan Pasanggrahan yang dilaksanakan di Aula Kelurahan Pasanggrahan mulai pukul 13.30 WIB s.d. 15.00 WIB. Lokakarya tersebut menghasilkan kesepakatan yaitu di tingkat Kelurahan Pasanggrahan dan Rukun Warga se-Pasanggrahan, akan dibentuk tim restorative justice dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan untuk Anak FMPA, yang terdiri atas: 1. Tim Tingkat Kelurahan, terdiri dari: - Kepala Lurah Pasanggrahan sebagai Pembina - Ketua LPM Lembaga Pemberdayaan masyarakat - MUI Tingkat Kelurahan - LSM Saudara Sejiwa - PKK Tingkat Kelurahan Pasanggrahan 2. Tim Tingkat RW, terdiri dari: - Ketua yaitu para ketua RW mulai dari RW 01 s.d. 14 - Penunjukkan anggota forum masing-masing RW diserahkan kepada rapat di tiap-tiap RW Anggota Forum diharapkan yang dapat mewakili masyarakat. Seperti yang terbentuk di RW 14, forum beranggotakan 5 orang yaitu terdiri dari Ketua RW, Ketua Keamanan RW, dan tokoh masyarakat 3 orang dengan profesi masing-masing yaitu guru, ustadz, dan perwakilan ibu PKK tingkat RW. Proses 60 pembentukan pengurus dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Hal ini diceritakan oleh Agus, Ketua LSM Saudara Sejiwa sebagai berikut: ”Kita dari LSM dan pihak LPA hanya sebagai fasilitator saja, tidak mengintervensi mereka pada saat pemilihan pengurus. Ketua RW ditetapkan sebagai Ketua Forum karena beliau lebih punya kewenangan dan kekuasan yang relatif paling dipercayai oleh masyarakat. Sedangkan Ketua Keamanan RW dipilih karena dipandang sebagai orang yang secara formal mempunyai kewenangan dalam hal keamanan lingkungan, Ustadz dan Guru dipilih karena mereka dipandang mengetahui dan memahami tentang hak-hak anak sedangkan satu lagi dari ibu PKK supaya ada keterwakilan dari kaum perempuan”. Dilihat dari perspektif Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan FMPA sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat. Sumardjo 2007 menyebutkan ada 7 tujuh tipologi partisipasi secara berurutan, yaitu partisipasi manipulatif, partisipasi informatif, partisipasi konsultatif, partisipasi insentif, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan partisipasi mandiri self mobilization. Ketujuh urutan tipologi ini memperlihatkan derajat partisipasi masyarakat; semakin ke kanan partisipasi masyarakat semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan pengaruh pemrakarsa semakin besar. Melihat tipologi tersebut, jenis partisipasi masyarakat dalam pembentukan FMPA merupakan jenis partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, yaitu membentuk FMPA. Pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan- keputusan utama yang disepakati, yaitu bahwa Unicef, LPA, dan beberapa LSM menetapkan Kelurahan Pasanggrahan sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya, dengan menyelesaikan kasus-kasus kenakalan anak di wilayahnya sendiri.

5.1.2. Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung