Proses Musyawarah Forum Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justive di Kota Bandung

66

5.2.2. Proses Musyawarah Forum

Pada bab terdahulu telah dikemukakan bahwa konsep restorative justice sebagaimana disebutkan Lois Presser dan Patricia Van Voorhis 2008 harus mengandung unsur-unsur : adanya dialog musyawarah antara pihak yang terkait yaitu pelaku, korban, aparat penegak hukum, dan masyarakat; adanya relationship building membangun hubungan antara pihak-pihak yang terkait, serta adanya restorasi pemulihan khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya dan ganti rugi bagi korban. Dalam penanganan anak nakal yang dilaksanakan di Kelurahan Pasanggrahan, masyarakat melalui FMPA bertindak sebagai mediator penyelesaian masalah, dengan mempertemukan pihak korban dan pelaku dalam suatu forum dialog. Selama ini, FMPA bertindak setelah mendapatkan laporan masyarakat, yaitu dari pihak korban maupun warga masyarakat yang mengetahui kasus tersebut, sebagaimana dituturkan oleh Ade Komar salah satu anggota FMPA berikut ini : ”ketika kita menangani masalah anak-anak ini, pada awalnya ada laporan dari pihak korban tentang perbuatan yang disebabkan oleh salah satu anak, kemudian kita menerima laporan tersebut dan mencatat data-data yang dibutuhkan seperti data korban, data dugaan pelaku dan alamatnya, setelah itu kita harus mengetahui dengan pasti bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh anak nakal tersebut, setelah semuanya tercatat baru merancang pelaksanaan musyawarah meliputi kapan waktunya untuk musyawarah, dimana tempat yang paling tepat untuk melaksanakan musyawarah, dan siapa saja pihak-pihak yang harus hadir dalam proses musyawarah tersebut, setelah semuanya siap, baru kita mengundang pelaku dan keluarganya juga pihak korban dan keluarganya” Setelah mendapatkan laporan tersebut, anggota FMPA berinisiatif mengundang anggota lainnya untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui forum musyawarah. Pihak pelaku dan korban dipertemukan dalam suatu ruangan untuk berdialog. Proses ini memungkinkan terungkapnya kronologis kejadian yang sesungguhnya dari sudut pandang kedua belah pihak pelaku dan korban, penyebab terjadinya kasus, kerugian apa yang ditimbulkan, ganti rugi yang 67 diminta korban, sehingga FMPA sebagai mediator dapat mencari solusi yang menenteramkan hati bagi keduanya. Proses dialog yang baik, tanpa ada intimidasi dari pihak mana pun, menjadi prasyarat bagi tercapainya proses perdamaian yang baik. Di sinilah diperlukan FMPA yang dipercaya oleh kedua belah pihak untuk dapat menyelesaikan kasus tersebut, terjaganya netralitas FMPA tidak memihak salah satu pihak, FMPA tidak ”menghakimi” terlebih dahulu tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya, sebagaimana dituturkan oleh Ketua FMPA Kelurahan Pasanggrahan Bapak Adi sebagai berikut : ”Musyawarah pemulihan dilakukan secara tertutup, baik dari masyarakat umum maupun media massa, pada saat pelaksanaan musyawarah setelah semua berkumpul, ketua forum membuka acara setelah sebelumnya semua yang hadir diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian ketua forum menjelaskan tentang adanya pengaduan dari pihak korban, dan mempersilahkan pihak korban untuk menceritakan tentang apa yang telah dialami dan apa harapan korban dan keluarganya tentang perbuatan pelaku yang dianggapnya telah merugikan. Setelah itu ketua forum kemudian mempersilahkan pelaku untuk mengakui atau tidak tentang perbuatan yang dituduhkan kepada korban, apabila korban tidak mengakui, maka pertemuan batal dan keputusan diserahkan kembali kepada korban apabila hal tersebut akan diteruskan kepada pihak kepolisian, sedangkan apabila korban mengakuinya maka proses musyawarah dilanjutkan” Lebih lanjut, Bapak Adi mengemukakan bahwa keinginan korban dan pelaku benar-benar difasilitasi oleh forum, seperti diceritakannya sebagai berikut : ”Pada saat proses musyawarah, harapan korban dikemukakan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh pelaku agar dapat menggantikan tindakannya yang dianggap telah merugikan korban, kemudian ketua forum mempersilahkan pelaku dan keluarganya untuk menanggapi usulan korban dan keluarganya, dan setelah itu pada kesempatan berikutnya semua yang hadir boleh ikut menanggapi, sehingga ditemukan jalan yang terbaik baik buat pelaku maupun bagi korban. Setelah tercapai kesepakatan yang dianggap memuaskan kedua belah pihak, maka selanjutnya ketua forum akan menyimpulkan hasilnya, misalnya tindakannya berupa apa, dan bagaimana pelaksanaannya” Proses musyawarah bisa jadi tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban semata, tetapi beberapa pihak dapat terlibat di dalamnya. Aparat penegak hukum 68 maupun masyarakat dapat menjadi saksi atas proses dialog, sehingga kasus tersebut benar-benar dapat memuaskan berbagai pihak. Bagi pelaku, hal ini dapat memulihkan ”kesalahan” yang dilakukannya manakala masyarakat yang telah terpuaskan rasa keadilannya tidak memberi stigma negatif kepada pelaku karena pelaku telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban. Bagi aparat penegak hukum, proses seperti ini tentu lebih efektif dilakukan daripada melalui suatu proses peradilan formal yang ”menambah” pekerjaan dan membebani anggaran. Sampai dengan saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah berupaya untuk melakukan dialog yang baik antara beberapa pihak terkait. Beberapa kasus kenakalan anak yang terjadi di kelurahan ini yang tidak sempat dilakukan dialog dan ditangani oleh aparat penegak hukum, lebih disebabkan oleh belum tahunya korban terhadap keberadaan FMPA, sehingga tidak menyerahkan kasusnya kepada FMPA tetapi melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Hal ini menyiratkan bahwa FMPA perlu lebih mensosialisasikan kegiatan-kegiatannya dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan melalui berbagai kelembagaan yang ada dalam masyarakat.

5.2.3. Proses Relationship Building