Proses Pemulihan dan Ganti Rugi

70 Terjalinnya hubungan yang baik antara keluarga korban dengan keluarga pelaku, tidak terlepas dari fungsi dan peranan FMPA sebagai mediator. Pada saat proses musyawarah dilakukan, anggota FMPA berupaya untuk membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku, korban, maupun masyarakat sekitarnya. Prinsip-prinsip non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak; serta penghargaan terhadap pendapat anak; mendapatkan perhatian yang cukup serius bagi FMPA. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA Bapak Adi sebagai berikut : ”Senakal-nakalnya anak harus diupayakan proses perubahan perilaku dengan cara-cara yang baik, tidak harus melalui ”hukuman” peradilan formal, salah satunya adalah membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku dengan korban, menumbuhkan kepercayaan diri keduanya untuk dapat berinteraksi kembali dalam suasana yang damai dan menenteramkan” Sampai dengan saat ini, FMPA telah menjalankan proses relationship building karena dalam beberapa kasus, pelaku dan korban menjalin hubungan yang erat pasca musyawarah pemulihan.

5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi

Kasus kenakalan anak pasti menimbulkan ”luka” baik berupa fisik maupun non fisik. Luka fisik dapat berupa hilangrusaknya harta benda, luka non fisik dapat berupa trauma, stress, rasa takut, rasa malu, dan sebagainya. Agar terjalin kembali hubungan yang baik antara pelaku dan korban, pelaku harus memberikan ganti rugi bagi korban, sesuai dengan kesepakatan yang dicapai pada saat proses musyawarah, seperti dikemukakan oleh Bapak Eman salah satu anggota FMPA sebagai berikut : ”Ganti rugi dari segala kerugian yang diderita oleh korban, merupakan salah satu prasyarat dalam restorative justice yang harus dipenuhi, apabila pihak korban meminta ganti rugi maka keluarga pelaku wajib untuk memenuhinya dan apabila tidak dipenuhi maka laporannya akan diteruskan kepada pihak kepoilsian”. 71 Bagi korban, ganti rugi tersebut diharapkan dapat memulihkan kerugian yang dialaminya, sedangkan bagi pelaku, ganti rugi merupakan bentuk ”hukuman” dan wujud tanggung jawabnya bagi terwujudnya perdamaian dengan korban maupun masyarakat, seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA di RW 14 Bapak Adi sebagai berikut : ”Pemberian ganti rugi sangat penting artinya bagi pelaku agar dapat mengembalikan kepercayaan dari korban dan masyarakat terhadapnya. Meskipun pada kenyataannya pihak korban tidak selalu menuntut ganti rugi tetapi dalam proses musyawarah tetap hal tersebut menjadi pembahasan” Bagi masyarakat, ganti rugi dapat diartikan bahwa pelaku telah berupaya mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga kecenderungan memberikan stigma negatif kepada pelaku dapat dihilangkan. Sedangkan bagi aparat penegak hukum, ganti rugi merupakan wujud kesungguhan proses restorative justice yaitu memberikan hukuman bagi pelaku dan memberikan hak kepada korban. Dengan kata lain, ganti rugi akan memberikan kepuasan terhadap tercapainya rasa keadilan bagi semua pihak. Proses restorasipemulihan tidak semata pemulihan terhadap kerugian fisik semata. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah pemulihan terhadap kerugian non fisik. Bagi korban yang masih berusia anak-anak, bisa jadi kejadian kenakalan terhadap dirinya akan membekas dalam ingatannya dan berakibat kurang baik bagi perkembangan psikisnya. Sehingga, proses pemulihan bagi korban tidak semata hanya dilakukan oleh pelaku tetapi orang tua, FMPA, dan masyarakat sekitarnya dapat memberikan dukungan terhadap pemulihan, seperti dikemukakan oleh salah satu angggota FMPA berikut ini : ”Pemulihan bagi korban khususnya korban yang masih anak-anak, misalnya dengan perlakuan yang baik agar trauma yang dialaminya dapat hilang, hal itu dilakukan tidak hanya dengan memberikan rasa ”kasihan” tetapi lebih kepada memberikan dukungan agar korban dapat menerima peristiwa yang terjadi pada dirinya, sedangkan pemulihan bagi pelaku misalnya tidak memberikan stereotype, menyadari bahwa kenakalan yang dilakukan anak dapat disadarkan dengan perlakuan yang baik” 72 Kecenderungan memberikan ”cap” negatif kepada pelaku tidak hanya membuatnya sulit untuk beradaptasi kembali dengan masyarakat, tetapi perlakuan semacam itu akan dapat menjadikan dirinya bertambah nakal karena merasa dikucilkan. Sampai saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah menjalankan kewajibannya menjadi mediator pemberian ganti rugi fisik dari pelaku kepada korban. Diharapkan proses pemulihan non fisik juga dilakukan bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya. 73 BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan penulis, beberapa faktor dapat mempengaruhi kinerja FMPA dalam penerapan restorative justice. Peranan para stakeholder yaitu inisiatorfasilitator, masyarakat, dan aparat penegak hukum sangat berperan bagi tercapainya tujuan yang diharapkan. Restorative justice tidak berhasil dengan baik apabila para stakeholder tersebut tidak berkolaborasi atau bekerja sendiri-sendiri. Beberapa faktor yang teridentifikasi terbagi atas: 1 kinerja anggota FMPA yang meliputi motivasi, pemahaman tentang hak anak, serta pengalaman dalam menangani anak nakal; 2 peranan inisiator FMPA yaitu Unicef Jawa Barat, LPA Jawa Barat, serta LSM Saudara Sejiwa; dan 3 partisipasi masyarakat, termasuk peranan kelembagaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut sangat berperan terhadap keberhasilan penanganan anak nakal dengan restorative justice, dapat dilihat pada gambar 3. keberhasilan restorative justice KINERJA ANGGOTA FMPA PARTISIPASI MASY PERANAN INISIATOR masyarakat umum lembaga masyarakat peranan Unicef Jabar pendanaan peranan LSM Saudara Sejiwa peranan LPA Jabar motivasi pengalaman koordinasi dalam menangani kasus motivasi menerapkan restorative justice motivasi menjadi anggota bagaimana penanganan melalui hukum orang tua sumbangan konsep sumbangan konsep dan tindakan sumbangan konsep dan tindakan Gambar 4 : Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum 74 6.1. Kinerja Anggota FMPA 6.1.1. Motivasi Motivasi merupakan prasyarat utama bagi keberlanjutan suatu organisasi. Motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam individu yang mengarahkan seseorang kepada tujuan yang diinginkannya. Dalam sebuah organisasi, motivasi tiap anggotanya yang konsisten akan mempertahankan kondisi kepada tercapainya tujuan organisasi tersebut, meskipun terdapat hambatan dan gangguan. Sebagai sebuah organisasi, FMPA akan sustainable apabila motivasi anggotanya tetap terjaga. Perbedaan latar belakang tiap anggota guru, ustadz, anggota PKK membutuhkan proses adaptasi satu sama lain. Tetapi, apabila masing-masing mempunyai motivasi yang sama, yaitu motivasi untuk menangani anak nakal berbasis masyarakat tanpa melalui jalur peradilan formal, maka perbedaan tersebut justru akan menjadi modal yang baik. Perbedaan latar belakang dapat berarti perbedaan cara penanganan anak nakal bagi setiap anggota, tetapi hal tersebut akan memperkaya pemikiran bagaimana menangani anak nakal sesuai dengan hak-hak anak, hal tersebut tercermin dari anggota FMPA yang terbentuk berlatar belakang pendidikan dan profesi sebagaimana dituturkan oleh anggota FMPA Bapak Suratmo sebagai berikut : ”Anggota FMPA dibentuk setelah sebelumnya kita mengadakan pertemuan di tingkat RW, pada saat itu dengan difasilitasi oleh LSM Saudara Sejiwa kita membentuk kepengerusannya. Hasil musyawarah dalam pertemuan tersebut ditetapkan yang menjadi anggota FMPA terdiri dari profesi Guru, Tokoh agama, Ibu PKK dan Ketua RW sendiri ditambah dengan Ketua Pemuda. Hal tersebut mencerminkan kepengurusan dalam FMPA terdiri dari berbagai profesi” Agar dapat mempertahankan terciptanya motivasi yang konsisten, maka diperlukan situasi yang mendukung, antara lain: setiap anggota mempunyai hak suara yang sama, saling menghargai pendapat tiap anggota, menciptakan relationship yang baik di dalam dan di luar forum, dan saling berkolaborasi. Kolaborasi memungkinkan semua stakeholder yang terlibat dapat meningkatkan fungsi dan peranannya.