50
BAB V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK
5.1. Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justive di Kota Bandung
5.1.1. Proses Pembentukan
5.1.1.1. Potret Buram Penanganan Anak Nakal
Perlakuan terhadap anak nakal di Indonesia khususnya di Kota Bandung sampai hari ini masih sangat memprihatinkan. Kondisi ini ironis, karena
pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan membuat beberapa perundangan yang berkaitan dengan hak anak, namun dalam prakteknya
tetap memperlihatkan minimnya penghormatan respect dan perlindungan protect aparat negara terhadap hak-hak anak. Situasi menuntut upaya-upaya
partisipasi aktif semua pihak tidak hanya pemerintah, agar penanganan kasus anak-anak yang berkonflik dengan hukum berjalan ke arah yang lebih baik.
Dalam soal anak nakal, kepolisian sebagai penyidik menjadi institusi penting untuk intensif didorong dan dituntut agar perilaku mereka ramah terhadap
anak. Proses penyidikan di kepolisian menentukan apakah seorang anak nakal akan diproses pada tingkat selanjutnya atau tidak. Pada beberapa pertemuan
dengan penyidik, tampak bahwa pengetahuan dan pemahaman mereka tentang hak anak masih sangat kurang. Indikasinya mereka kebanyakan belum pernah
membaca Konvensi Hak Anak KHA, hanya KUHP yang menjadi pegangan utama mereka dalam menyidik anak nakal dan sedikit mengadopsi UU No. 3
tahun 1997 khususnya tentang masa penahanan dan perlunya Litmas Penelitian Kemasyarakatan dari Bapas. Fakta inilah yang kemudian menyebabkan penyidik
cenderung menyamakan perlakuannya dalam menangani anak nakal, dengan tersangka dewasa.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997, penyidik yang menangani anak nakal adalah penyidik yang memiliki Surat keputusan Penyidik
Anak, disamping itu harus memenuhi syarat sebagai berikut : berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta
51 mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Meskipun
Undang-Undang mengamanatkan demikian, sampai saat ini penyidik yang memiliki SKEP Penyidik Anak masih sangat minim jumlahnya. Adanya
persyaratan ini tentu dimaksudkan agar penanganan anak nakal betul-betul memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, anak-anak yang menjalani
pemeriksaan sebagai tersangka sudah pasti mengalami ketakutan yang luar biasa. Trauma psikologis ini akan diperparah jika perlakuan yang diberikan oleh
penyidik tidak berbeda seperti halnya ia menangani tersangka dewasa. Di kalangan penyidik, seorang tersangka dewasa cenderung selalu
ditempatkan sebagai residivis kambuhan, hal ini terjadi pula dengan tersangka anak-anak. Kalau mencermati pertanyaan-pertanyaan penyidik, stigmatisasi itu
sangat kuat. salah satu indikatornya adalah pertanyaan-pertanyaan penyidik selalu mengarahkan tersangka untuk mengakui bahwa ini bukan perbuatan yang pertama
kali. Selain itu juga masih terjadi praktek-praktek pemaksaan terhadap anak untuk mengakui sesuatu yang dikehendaki penyidik, misalnya pengakuan dibawah ini :
”... sebenarnya saya hanya berniat jalan-jalan dengan kendaraan bermotor bersama dengan teman-teman yang lain, dan ketika itu
saya melihat didepan saya ada keributan, tidak lama kemudian datang mobil patroli polisi dan saya ditangkap, ketika dikantor
kepolisian saya disuruh mengaku telah melakukan pemukulan terhadap korban, padahal saya sama sekali tidak tahu, tetapi
polisi memaksa terus pada saya sambil memukul, menampar dan menyulut paha saya dengan rokok, karena tidak tahan akhirnya
saya mengakui aja dan ketika disodori kertas untuk ditanda tangan, saya langsung mennandatanganinya tanpa bertanya lagi
karena takut difisik lagi” Gm, mantan napi anak
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa penyidik wajib memeriksa tersangka dengan suasana kekeluargaan, dan pada waktu
pemeriksaan agar anak didampingi oleh orang tua atau keluarga serta sebisa mungkin menghadirkan juga penasihat hukum. Sebetulnya perlakuan-perlakuan
yang tidak ramah terhadap anak, apalagi sampai terjadi penyiksaan, tidak perlu lagi terjadi. Sejumlah instrumen hukum internasional memberikan koridor bahwa
52 penangkapan, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang
diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Pasal 37 huruf b Konvensi Hak-hak Anak disebutkan :
”Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya”.
Namun faktanya, melakukan penahanan terhadap anak masih menjadi langkah kebanyakan yang biasa diambil oleh aparat penegak hukum ketimbang tidak
menahan. Alasan penahanannya pun hanya berupa alasan formal sebagaimana yang termuat dalam Pasal 21 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana KUHP, yaitu tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.
Sementara, Pasal 45 UU RI No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan :
1 Penahanan
dilakukan setelah
dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat
2 Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus
dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan 3
Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa
4 Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak
harus tetap dipenuhi Pada sebuah pelatihan penyidik anak yang dilakukan oleh Lembaga
Perlindungan Anak LPA Jabar pada tahun 2004, diawal acara dilontarkan dua pertanyaan kepada 20 orang peserta dan harus dijawab dengan cepat, pertama, jika
seorang anak melakukan tindak pidana, apakah anak tersebut harus dilakukan penahanan? Kedua, jika anak mereka melakukan tindak pidana, apakah setuju
jika dilakukan penahanan? Untuk jawaban yang pertama 17 orang mengatakan setuju dan hanya 3 orang yang tidak setuju, sebaliknya untuk jawaban yang kedua,
seluruh peserta menyatakan tidak setuju. Gambaran tersebut memperlihatkan kontradiksi terhadap kenyataan penanganan anak nakal di tingkat penyidik.
53 Pada kenyataannya perlu tidaknya seorang anak ditahan bukan didasari oleh
penghormatan terhadap tersangka anak, akan tetapi lebih pada kedekatan fisik dan kekerabatan. Penahanan seolah-olah menjadi kewajiban penyidik, padahal di
dalam KUHAP, seseorang tersangka tidak harus selalu dilakukan penahanan kecuali pada situasi tertentu yang memang mengharuskan adanya penahanan.
Penahanan bagi anak kadang juga mengakibatkan cedera fisik, psikis dan sosial. Cedera fisik biasanya terjadi akibat penganiayaan oleh sesama tahanan
karena anak dicampur dengan tahanan dewasa. Di ruang tahanan, anak-anak seringkali menjadi objek kekerasan fisik, bahkan kekerasan seksual oleh tahanan
dewasa, seperti yang diutarakan oleh salah seorang anak sebagai berikut : ”.. selama di Polsek saya ditahan bersama tahanan dewasa sebanyak 15
orang, oleh sesama tahanan yang sudah besar saya sering ditendang, disuruh mijit, disuruh ngepel, disuruh meminta uang dan rokok kepada
keluarga saya yang menjenguk” Ags, mantan napi anak
Ruang tahanan yang sempit dan sangat jauh dari standar kesehatan yang layak semakin memperparah kondisi fisik anak. Anak-anak mudah tertular
penyakit dari tahanan lain. Cedera yang kedua adalah cedera psikis. Penahanan membuat anak-anak menjadi stress, depresi dan mengalami tekanan psikis.
Sementara itu anak-anak juga beresiko mengalami cedera sosial, sebab anak yang pernah mengalami penahanan akan sangat susah diterima oleh masyarakat.
Umumnya masyarakat akan mengucilkan dan memberikan stigma kepada anak tersebut sebagai orang yang jahat dan perlu dijauhi, seperti diutarakan oleh salah
seorang anak sebagai berikut : ”Setelah keluar dari tahanan selama tiga bulan, hidup saya menjadi
tidak berarti, karena orang tua selalu menyalahkan saya, selain itu saya malu untuk bermain dengan teman-teman dilingkungan rumah saya
apalagi status saya yang sudah dikeluarkan dari sekolah, sehingga sehari-hari saya hanya berdiam diri di rumah”
Dn, mantan napi anak
54 Menyedihkan melihat kenyataan bahwa praktik penanganan anak oleh
aparat penegak hukum, yang seharusnya mendapat perlindungan lebih daripada manusia dewasa, tetapi pada kenyataannya masih mengedepankan kekerasan fisik,
bahkan kekerasan emosional pun kerap dialami anak-anak ini. Dn klien pengkaji masih ingat betul bagaimana ketika di ruang sidang pada persidangan pertama,
hakim yang mengadilinya melontarkan kata-kata : ”kamu kecil-kecil jalannya sudah ke neraka, memeras ...., gimana sudah besar ? mau jadi preman”.
Pemenjaraanpenahanan terhadap anak sebagai sesuatu yang harus dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum.
Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dirasakan masih
kurang terutama bila dilihat dari indikator dilakukannya penahananpemenjaraan terhadap anak oleh Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum JPU maupun
Hakim. Berdasarkan data empiris yang dimiliki oleh Bapas Klas I Bandung diketahui bahwa pihak Penyidik telah melakukan penahanan terhadap anak
sebesar 91,55 persen dari 367 anak yang disidik selama periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum di Jawa Barat Tahun 2008
Kota Jumlah
Persen
Kota Bandung 85
23,16 Kab. Bandung
63 17,16
Kota Cimahi 26
7,08 Kab. Cianjur
16 4,35
Kab. Sukabumi 62
16,89 Kota Sukabumi
12 3,26
Kab. Purwakarta 16
4,35 Kab. Karawang
22 5,99
Kab. Sumedang 17
4,63
55 Kab. Subang
19 5,17
Kab. Garut 29
7,90 Jumlah
367 100
Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008
Memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa wilayah Kota Bandung menempati urutan tertinggi dalam jumlah tindak pidana yang
dilakukan oleh anak remaja. Tingginya jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak di Kota Bandung tidak terlepas dari status kota Bandung itu
sendiri sebagai kota besar yang memiliki permasalahan sosial yang kompleks. Sedangkan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa Barat Tahun 2008
Jenis Kenakalan Jumlah
Persen
Pencurian 189
46,04 Penganiayaan
34 9,26
Pengeroyokan 62
16,89 Asusila cabul
31 8,44
Pembunuhan 1
0,27 Narkoba
17 4,63
Lakalantas 8
1,90 Penipuan
2 0,54
Penggelapan 2
0,54 SajamSenpi
7 1,90
Perjudian 3
0,81 Tindak Pidana lain
11 2,99
Jumlah 367
100
Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008
56 Memperhatikan data pada Tabel 10, terlihat bahwa tindak pidana pencurian
menempati urutan tertinggi sebagai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Bapas Bandung, para
pelaku jenis tindak pidana pencurian sebagian besar berasal dari masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah. Rendahnya kondisi sosial ekonomi mereka
tercermin dari beberapa hal yaitu rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar anak, rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar orang tuanya dan rendahnya
penghasilan sebagian besar orang tua. Bentuk hukuman bagi anak yang melanggar hukum dapat dilihat pada
Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak di Jawa Barat Tahun 2008
No Putusan
Jumlah Persentase
1 Pidana Penjara
342 93,18
2 Pidana Bersyarat
15 4,08
3 Anak Dikembalikan Kepada Orang
TuaWali 5
1,36
4 Anak Diserahkan Kepada Lembaga
Sosial 2
0,54
5 Anak Negara
3 0,81
Jumlah 367
100
Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008
Memperhatikan data di atas, sebagian besar putusan yang dijatuhkan oleh Hakim untuk perkara anak adalah berupa pidana penjara yaitu mencapai angka 93
persen. Penjara, walau bagaimanapun tetaplah penjara, tetap tak layak untuk pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak. Penjara bukanlah satu-
satunya tempat hukuman bagi anak, sebab hukuman bagi seorang anak haruslah mendidik, mensejahterakan dan mendukung tumbuhnya mental dan moral anak
secara optimal.
57 Selama masa penahanan dan pemenjaraan, tak ada tersedia fasilitas
semacam perlengkapan mandi, pakaian atau alas tidur. Baik selama ditahan di sel tahanan kepolisian maupun di Rumah Tahanan Rutan, perlengkapan-
perlengkapan semacam itu hanya diperoleh jika ada pemberian dari orang tua atau kerabat lainnya yang menjenguk sementara bagi anak yang tidak pernah dijenguk,
mereka harus siap dan mau tidur dilantai tanpa alas. Di dalam penjara, anak-anak itu justru tidak menjadi sehat baik fisik
maupun fsikisnya, apalagi kondisi penjara Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan yang sangat jauh dari menyejahterakan, kondisi ruangan yang tidak
sehat, fasilitas air yang tidak layak, dan tidak adanya proses rehabilitasi selama anak-anak menjalani masa penahanan dan pemenjaraan. Anak-anak biasa mengisi
waktu dengan bermain gapleh atau catur atau menyendiri di kamar dengan mengisi buku teka teki silang. Melihat semua itu menjadi bertambah keyakinan
bahwa penjara memang sungguh tidak layak bagi anak. Dalam kenyataannya kebanyakan anak yang masuk penjara itu lebih banyak
disebabkan oleh kejahatan-kejahatan remeh yang mereka lakukan. Pemenjaraan justru memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya dari pada kejahatan-kejahatan
yang mereka lakukan. Melihat kenyataan tersebut perlu dibuatnya alternatif penanganan terhadap anak nakal yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat
setempat.
5.1.1.2. Pembentukan Restorative Justice