76 FMPA di Kelurahan Pasanggrahan mempunyai motivasi yang baik dalam
menerapkan program ini. Tetapi, karena partisipasi masyarakat merupakan bentuk partisipasi fungsional
sebagaimana uraian pada bab terdahulu, pada tahap awal motivasi ini harus mendapatkan stimulan berupa pendampingansosialisasi tentang
restorative justice dan dukungan dana dari pihak inisiator. Setelah berjalan
beberapa lama,
barulah FMPA
menunjukkan kemandiriannya
dalam menyelesaikan permasalahan anak nakal di wilayahnya melalui program ini.
Dapat disimpulkan bahwa selama para anggota FMPA tetap mempertahankan motivasi dalam menerapkan program ini, dengan dukungan dari stakeholder
lainnya maka penanganan anak nakal dapat diselesaikan tanpa melalui jalur peradilan formal.
6.1.2. Pemahaman tentang Hak Anak
Setiap manusia melewati fase-fase dalam kedidupannya, dimulai dari fase pre-natal, fase natal, dan fase post-natal. Fase post-natal terbagi menjadi beberapa
tahapan, yaitu bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa, dan tua. Masing-masing tahapan tersebut memerlukan perhatian yang sesuai dengan kebutuhan tahapan
tersebut. Pada tahapan anak-anak dan remaja, kondisi psikologis masih labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan dan media massa atau kurangnya pengawasan
dari orang tuanya, hal ini dikemukakan oleh salah satu tokoh pemuda yang menjadi angota FMPA di RW 14 sebagai berikut :
”secara sosial psikologis, menurut saya kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak tidaklah mutlak menjadi kesalahan dari anak itu sendiri
secara individu, tetapi hal tersebut tidak terlepas dari beberafa faktor yang mempengaruhinya seperti ajakan dari temannya atau kurangnya
pengawasan dari orang tuanya terhadap anak tersebut”
Tahapan remaja menuju dewasa membutuhkan penyesuaian-penyesuaian bagi individu tersebut karena terjadi perubahan-perubahan fisik dan psikisnya.
Anak mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dikarenakan pengaruh hormon kelamin dan hypophysis di mana terdapat penambahan berat badan yang
77 mencolok disertai penambahan panjang badan, serta terjadi perubahan pubertas
fisik dan psikis. Pubertas fisik meliputi pertumbuhan kelamin, misalnya mengalami menstruasi dan mimpi basah, tumbuhnya bulu di beberapa bagian,
perubahan pita suara, yang dapat membuat kikuk, salah tingkah, canggung bila berhadapan dengan lawan jenis. Pubertas psikis terjadi penghayatan di mana
individu yang bersangkutan secara psikis kejiwaan, batiniah berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa makna hidup baginya. Yang tampak
menonjol dari perubahan psikis adalah mulai tumbuhnya harga diri atau muncul “akunya” bahkan kadang menjadi sombong atau membanggakan apa yang
dimilikinya, dorongan untuk bersifat agresif dan membentuk “geng”, dorongan nafsu seksual makin menggelora, ingin serba bisa memecahkan masalahnya
sendiri, dan sering bersikap emosional. Pada masa remaja perubahan-perubahan fisik dan psikis tersebut
menuntut perubahan dalam beradaptasi dengan diri dan lingkungannya, sehingga diperlukan bimbingan dan arahan yang jelas agar anak ini tidak terjerumus dalam
hal-hal yang bersifat negatif. Kenakalan yang terjadi pada anak sering disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan media massa di samping perhatian orang tua yang
kurang. Sebagai bagian dari masyarakat, anak mempunyai hak untuk berkembang
sesuai dengan fase-fase hidupnya tersebut. Anak seharusnya diberi ruang untuk dapat menyalurkan gejolak perubahan psikologis tersebut kepada kegiatan-
kegiatan yang positif. Terhadap anak yang melakukan kenakalan, masyarakat pun harus tetap memperhatikan hak-hak anak untuk tetap tumbuh dan berkembang
secara normal. Pemahaman yang baik terhadap hak-hak anak meskipun anak tersebut melakukan kenakalan, akan memberikan solusi yang memulihkan bagi
anak untuk merubah perilakunya ke perbuatan yang baik dan sesuai norma sosial. Dalam konsep restorative justice, pemahaman tentang hak anak oleh orang tua,
masyarakat umum, dan anggota FMPA akan membawa proses pemulihan itu berjalan dengan baik.
78 Konvensi Hak Anak merumuskan empat prinsip perlindungan terhadap
anak, yaitu non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; serta penghargaan terhadap pendapat anak. FMPA
harus menempatkan prinsip ini dalam menangani masalah kenakalan anak. Non diskriminasi dapat diartikan bahwa setiap anak yang berlatar
belakang berbeda dari status sosial, ekonomi, maupun agama, harus mendapatkan perlakuan yang sama. Apabila anak tersebut melakukan kesalahan, selayaknya
mendapatkan proses pemulihan yang sama. FMPA juga harus membuat solusi yang terbaik bagi anak, dapat berarti selama mengikuti proses pemulihan, FMPA
memberi kesempatan kepada anak untuk terus mengikuti sekolah, berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya, dan tanpa mengalami pengucilan.
Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan bagi anak memberikan kesempatan kepada FMPA dan masyarakat umum untuk
membimbing dan mengarahkan perubahan fisik dan psikis anak menuju ke arah yang seharusnya. Penghargaan terhadap pendapat anak dimaksudkan agar anak
dapat menetapkan pilihan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya tanpa ”dikte” dari orang tua. Bagi anak yang melakukan kenakalan, FMPA harus
memperhatikan kasus tersebut dari sudut pandang anak, tidak ”menghakimi” sebelum
mendengar pendapat
anak terhadap
kasus tersebut.
Proses musyawarahdialog, relationship building, dan pemberian ganti rugi, tetap harus
memperhatikan pendapat anak. Sehingga proses pemulihan tersebut melibatkan juga keinginan anak untuk mendapatkan solusi yang terbaik.
6.1.3. Pengalaman