Pembentukan Restorative Justice Proses Pembentukan

57 Selama masa penahanan dan pemenjaraan, tak ada tersedia fasilitas semacam perlengkapan mandi, pakaian atau alas tidur. Baik selama ditahan di sel tahanan kepolisian maupun di Rumah Tahanan Rutan, perlengkapan- perlengkapan semacam itu hanya diperoleh jika ada pemberian dari orang tua atau kerabat lainnya yang menjenguk sementara bagi anak yang tidak pernah dijenguk, mereka harus siap dan mau tidur dilantai tanpa alas. Di dalam penjara, anak-anak itu justru tidak menjadi sehat baik fisik maupun fsikisnya, apalagi kondisi penjara Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan yang sangat jauh dari menyejahterakan, kondisi ruangan yang tidak sehat, fasilitas air yang tidak layak, dan tidak adanya proses rehabilitasi selama anak-anak menjalani masa penahanan dan pemenjaraan. Anak-anak biasa mengisi waktu dengan bermain gapleh atau catur atau menyendiri di kamar dengan mengisi buku teka teki silang. Melihat semua itu menjadi bertambah keyakinan bahwa penjara memang sungguh tidak layak bagi anak. Dalam kenyataannya kebanyakan anak yang masuk penjara itu lebih banyak disebabkan oleh kejahatan-kejahatan remeh yang mereka lakukan. Pemenjaraan justru memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya dari pada kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Melihat kenyataan tersebut perlu dibuatnya alternatif penanganan terhadap anak nakal yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat setempat.

5.1.1.2. Pembentukan Restorative Justice

Berangkat dari keprihatinan terhadap potret buram penanganan anak nakal, LSM yang peduli terhadap anak di Bandung sering mengadakan penelitian, diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai upaya mengatasi nasib buruk yang menimpa anak-anak tersebut. Untuk membuka mata dan hati aparat penegak hukum serta masyarakat, pada awal 2004 Koalisi Ketuk Nurani, yang terdiri dari LSM Peduli Anak pernah mengadakan diskusi yang bertajuk cukup unik, yaitu Mencari Kriminal-Kriminal Profesional. Hasil dari diskusi tersebut menyimpulkan bahwa perlakuan yang salah terhadap penanganan anak nakal dapat melahirkan kriminal-kriminal profesional, karena sewaktu mereka 58 ditahan di kepolisian ataupun dalam rumah tahanan rutan mereka dapat bergaul dengan penjahat dewasa, begitu juga di Lembaga Pemasyarakatan Lapas - apalagi Jawa Barat belum memiliki Lapas khusus untuk Anak - sehingga Lapas dijadikan sekolah baru bagi anak-anak dalam mempelajari kejahatan yang baru. Kiprah beberapa LSM di Kota Bandung tersebut bersambut baik dengan program yang dilaksanakan oleh Unicef dan LPA Jabar. Diawali pada bulan Juni 2002 dengan dilakukannya kunjungan oleh seorang penasehat seniornya dalam Peradilan Anak, Unicef bekerja sama dengan LPA Jabar dan beberapa LSM lainnya mengadakan serangkaian penelitian, pembentukan working group dan supporting group, lokakarya, sehingga terbentuk suatu desain program penanganan anak nakal di Kota Bandung. Desain program tersebut dimaksudkan agar penanganan anak nakal sedapat mungkin diselesaikan tidak melalui jalur peradilan, tetapi menerapkan model restorative justice yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Kota Bandung. Serangkaian penelitian tersebut juga menetapkan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa restorative justice merupakan suatu gerakan penanganan anak nakal, yang sedapat mungkin menghindari proses peradilan yang cenderung mengabaikan kepentingan dan hak-hak anak. Gerakan ini muncul berawal dari konsep yang ditawarkan oleh Unicef, dan setelah bekerja sama dengan LSM yang peduli pada anak, membuat desain program dan menerapkannya di Kota Bandung. Dilihat dari perspektif Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan restorative justice tersebut menggunakan pendekatan demonstrasi, yaitu memanfaatkan pengalaman komunitas lain yang diketahui proses dan hasilnya. Konsep restorative justice telah diterapkan dan berhasil baik dalam beberapa negara oleh Unicef dan LSM di negara tersebut, setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Konsep ini kemudian diadopsi dan diterapkan di Indonesia, dengan mengambil lokasi di Kota Bandung sebagai pilot project-nya. 59

5.1.1.3. Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan