93 sebanyak 7 orang yaitu Na 35 th, Su 28 th, Iw 18 th, Uj 19 th,
He 25 th, Ib 17 th dan De 16th anak Ny. Lis korban pencurian.”
Setelah berkumpul para pihak, akhirnya ketua Forum melakukan musyawarah dengan hasil sebagaimana dikemukakan lebih lanjut oleh Ketua
Forum sebagai berikut: ”Hasil musyawarah yang disepakati yaitu keluarga tersangka akan
mengganti kalung yang hilang apabila anaknya mengakui kalau dia yang mengambil kalung tersebut, kemudian karena sakitnya cukup
parah, pihak yang melakukan pemukulan sebanyak 7 orang sanggup mengganti biaya perawatan korban sampai sembuh dan Angggota
Forum akan menanyai pelaku pencurian Wk setelah sembuh dari luka-lukanya dan nantinya akan dilakukan musyawarah ulang.”
Setelah satu minggu kemudian ternyata Wk meninggal dunia di rumah sakit akibat luka memar di wajah adanya resapan darah di kepala bagian belakang
sehingga menyebabkan geger otak. Tidak terima dengan kejadian yang menimpa anaknya, Ku Ayah korban melaporkan kasus tersebut pada pihak kepolisian,
sehingga beberapa anggota dari Polres Bandung Timur mendatangi Ketua RW dan menjelaskan bahwa prosesnya harus ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian
karena telah menyebabkan hilangnya nyawa orang, akhirnya ke tujuh pelaku pemukulan diproses secara hukum.
7.2. Evaluasi Masyarakat
Penerapan restoratif justice di Kelurahan Pasanggarahan mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang
Ketua Forum Musyawarah Pemulihan FMP di RW 14 Kelurahan Pasanggrahan bapak Adi sebagai berikut :
”Berdasarkan arahan dari team RJ bahwa harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bisa tidaknya kasus diselesaikan oleh forum, yaitu
adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku anak nakal; adanya persetujuan pihak korban untuk melaksanakan
penyelesaian dengan cara musyawarah”
94 Lebih lanjut Adi mengemukakan bahwa :
”Selain itu bagi kasus yang sudah terlanjur dilaporkan kepada pihak kepolisian, bisa saja Forum meminta untuk dilakukan musyawarah
terlebih dahulu tetapi tetap dengan ijin dari pihak kepolisian dan mendapatkan dukungan dari masyarakat”
Dengan adanya persetujuan dari pihak kepolisian, maka diharapkan apabila masalah tersebut dapat diselesaikan oleh forum, maka pihak kepolisian dapat
menghentikan penyidikannya dan melakukan deskresi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang dapat dilaksanakan melalui restorative justice adalah bukan kasus kenakalan
yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas, kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak
menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan.
Menurut tokoh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, pemilahan kasus tersebut sudah tepat seperti dikemukakan oleh Ketua Tim Kelurahan yaitu Bapak
Wahyudin : ”Sebaiknya penyelesaian kasus yang dilakukan oleh forum itu bukan
kasus yang berat-berat, sebab kalau kasusnya berat pihak korban dan juga masyarakat akan protes, misalnya apabila kasusnya perkosaan,
saya tidak setuju apabila diselesaikan secara kekeluargaan karena hal tersebut sudah menyangkut mental anak yang bobrok sehingga apabila
ada kasus yang berat sebaiknya ditindak saja dan biarkan pihak kepolisian yang bekerja”
Untuk kasus-kasus yang ringan, masyarakat menyetujui apabila hal tersebut diselesaikan oleh forum melalui musyawarah, seperti dikemukakan oleh salah
seorang pengurus PKK di Kelurahan Pasanggrahan Ibu Dani sebagai berikut : ”Kebanyakan kasus yang pernah terjadi di Kelurahan Pasanggrahan
khususnya yang pelaku anak-anak adalah kasus pencurian atau perkelahian. Saya menyetujui apabila hal tersebut diselesaikan oleh
forum dan tidak usah dilaporkan kepada pihak kepolisian”
95 Terhadap kasus kenakalan anak tersebut, model penyelesaian dilakukan dengan
cara musyawarah atau dapat diberi nama Musyawarah Pemulihan. Hal ini dikarenakan musyawarah merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia sejak
jaman dahulu, khususnya di masyarakat sunda. Musyawarah memiliki nilai-nilai saling menghargai dan menghormati sebagai manusia, pengakuan terhadap hak
dan kewajiban masing-masing, bekerjasama, saling membantu untuk mencari pemecahan yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak, mengembangkan
kesadaran masyarak at untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat, seperti yang
dituturkan oleh salah seorang pengurus FMPA Bapak Wiratmo :
”ketika dilakukan sosialisasi oleh LPA tentang restorative justice yang pada intinya setiap kasus anak nakal diselesaikan oleh masyarakat
melalui musyawarah, sebenarnya hal ini sudah sering kita lakukan, tetapi sifatnya hanya insidentil saja dan tidak melembaga, saya sebagai salah
seorang warga dan dipercaya untuk menjadi anggota FMPA sangat setuju dengan penyelesaian anak nakal melalui jalan musyawarah, karena
musyawarah merupakan ciri kepribadian dan budaya leluhur kita”
Penggunaan bermusyawarah dipandang tepat karena dirasakan sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga pada masyarakat Indonesia atau
kota Bandung pada khususnya. Selain itu cara musyawarah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian,
ketimbang cara mediasi yang hanya dapat melibatkan para pihak dalam hal ini pelaku dan korban dan mediator. Tentang nama musyawarah pemulihan, lebih
dimaksud sebagai upaya untuk senantiasa mengingat adanya tujuan yang bersifat memulihkan yang hendak dicapai dalam proses musyawarah tersebut yaitu
memulihkan segala ”kerugian” dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut dan adanya hubungan yang lebih baik lagi antara
tersangka, korban dan masyarakat secara menyeluruh. Selanjutnya selain penilaian masyarakat bahwa program restorative justice
cukup bermanfaat dan perlu ditingkatkan kinerjanya, sebagaimana uraian di atas, ternyata ada beberapa hal yang perlu evaluasi lanjut, terutama untuk beberapa
96 kasus yang tidak tertangani. Terdapat tiga kasus kenakalan anak yang tidak
ditangani oleh Forum dan terjadi diwilayah Kelurahan Pasanggrahan, yaitu terjadi di RW 01, RW 08 dan RW 11. Kedua kasus tersebut oleh pihak korban dilaporkan
langsung kepada pihak kepolisian sehingga diproses secara hukum. Ketiga kasus tersebut adalah :
a. Kasus pencurian Handphone yang dilakukan oleh seorang wanita bernama Is 15 th. Saat itu Is hendak mengunjungi salah satu temannya yang beralamat di
RW 8, tetapi karena sudah lama lupa lagi alamatnya, sehingga ketika masuk ke salah satu rumah mau menanyakan alamat temannya, rumah tersebut dalam
keadaan kosong dan pintu depannya terbuka, Is mengetuk pintu tetapi tidak ada yang menyahut, dan dia melihat diatas meja tamu ada satu buah
handphone, kemudian Is mengambilnya, namun ketika mau keluar rumah ketahuan oleh pemilik rumah dan Is diinterogasi kemudian pihak korban
langsung menelepon ke Polres Bandung Timur. Tidak lama kemudian pihak kepolisian datang dan membawa Is untuk diproses lebih lanjut.
b. Kasus seorang anak bernama Wan 17 th yang diduga melakukan percobaan pencurian sepeda motor dilingkungan RW 01. Pada awalnya Wan bertemu
dengan Kel di Pasar Ujung Berung, saat itu Kel menyuruh Wan untuk mengambil motor yang sedang diparkir didekat pasar sambil menyerahkan
kunci motornya, tanpa curiga Wan mau saja mengambil motor tersebut, namun setelah motor itu dihidupin, ternyata ada yang meneriakinya maling,
Wan kaget ketika massa mengerubuti, untunglah ada Polisi yang sedang berjaga sehingga langsung diamankan ke kantor kepolisian, sedangkan Kel
yang menyuruh Wan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Akhirnya Wan diproses secara hukum.
c. Kasus seorang anak bernama Gn 15 th yang diduga melakukan pencurian kencleng Mesjid Baiturahman di RW 11. Pada awalnya Gn pura-pura akan
shalat Dhuhur, namun ketika suasana sepi Gn mendekati kencleng mesjid yang terletak dipojok, kemudian mencongkelnya dengan menggunakan obeng
dan mengambil uangnya. Ketika akan keluar mesjid, ternyata aksinya tersebut diketahui oleh satu warga yang kebetulan mau masuk mesjid dan curiga
97 melihat kelakuan pelaku, setelah pelaku mau keluar langsung ditangkap dan
diinterogasi, akhirnya Gn diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut.
Ketiga kasus tersebut memperlihatkan bahwa sosialisasi tentang penanganan anak nakal belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat yang ada di kelurahan
Pasanggrahan, hal ini seperti dituturkan oleh salah seorang pengurus DKM
Baiturahman Bapak Zumadi : ”Pada saat kejadian seorang anak mengambil kencleng di Mesjid, waktu
itu kami menginterogasinya dan ternyata dia bukan warga disini, sehingga oleh kami langsung dilaporkan kepada pihak kepolisian supaya
ada efek jera bagi anak tersebut”
Ketika ditanyakan kepada Bapak Zumadi, apakah bapak pernah mengenal tentang penanganan anak melalui resotrative justice dijawabnya tidak mengetahui dan
malah balik bertanya seperti apaan itu ? Setelah ditelusuri kepada Ketua RW 11, ternyata restorative justice belum
sempat disosialisasikan kepada warganya sehingga tidak mengetahui penanganan yang terbaik buat anak, demikian juga waktu kasus pencurian Handphone di RW
01 dan percobaan pencurian sepeda motor di RW 11. Setelah Ketua RW mengikuti sosialisasi di Kelurahan, mereka tidak mensosialisasikan kepada
warganya, sehingga program tersebut tidak pernah dilaksanakan dan masyarakat masih belum mengetahui penanganan anak nakal dengan model restorative
justice” Dari ketiga kasus yang tidak tertangani ini, sebagai evaluasi dapat
disimpulkan meski penanganan kasus kenakalan anak dengan pendekatan restorative justice telah cukup efektif menurut penilaian masyarakat. Namun
dalam pelaksanaannya tetap memerlukan proses sosialisasi dan desiminasi informasi penyelenggaraan restorative justice. Hal ini dimaksudkan agar
pemahaman tentang konsep penyelenggaraannya menjadi lebih luas dan memberikan dampak yang lebih efektif bagi penanganan kasus-kasus anak yang
berkonflik dengan hukum, terutama di wilayah tersebut.
98
7.3. Evaluasi Keluarga Korban