Penanganan anak nakal berbasis masyarakat dengan Restorative Justice: kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung

(1)

PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS

MASYARAKAT DENGAN

RESTORATIVE JUSTICE

(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung)

B U D I A N A

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice ( Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2009

BUDIANA NRP. I. 354070315


(3)

RINGKASAN

BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS.

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.

Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.

Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga.

Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.

Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat.


(4)

Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA, mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice, mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA

Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus.

Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal.

Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se- Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik

Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya

Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal.

Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.

Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah


(5)

dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui monitoring dan evaluasi.


(6)

PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS

MASYARAKAT DENGAN

RESTORATIVE JUSTICE

(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung)

B U D I A N A

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R

B O G O R 2 0 0 9


(7)

Judul Tugas Akhir : Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice

(Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung )

Nama : Budiana

NRP : I354070315

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Ketua Anggota

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan

Masyarakat,

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

P R A K A T A

Puji dan syukur sepatutnya senantiasa dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT. karena atas berkat, rahmat dan karunia-NYA maka penulisan tugas akhir dapat diselesaikan sesuai waktunya. Karya tulis Pengembangan masyarakat ini diberi judul “Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice sebuah karya studi kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung.

Penulisan studi kasus ini merupakan tugas akhir bagi Mahasiswa Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional (MP). Penulisan ini juga sebagai aplikasi dari materi perkuliahan dan diantaranya melalui proses Praktek Lapangan berupa Pemetaan sosial dan Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat di lokasi kajian. Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak, dan karenanya atas segala kebaikan yang diterima pada kesempatan yang baik ini ingin disampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1. Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku komisi pembimbing, yang mana disela kesibukannya senantiasa meluangkan waktu memberikan saran dan masukan bagi penyelesaian kajian ini.

2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku Dosen Penguji luar komisi yang banyak memberikan masukan-masukan bagi perbaikan kajian ini.

3. Bapak Ketua Program Studi beserta seluruh Dosen pendukung perkuliahan pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat (MPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB).

4. Bapak Agus Wiryawan, Bc.IP, SH selaku Kepala Bapas Klas I Bandung dan Bapak Mardjuki, M.Si, selaku Kepala Administrasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat, atas dukungannya penulis memiliki kesempatan menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana pada Institut Pertanian Bogor (IPB).

5. Bapak dan Ibu tokoh masyarakat di Pasanggrahan yang telah memberi dukungan mendalam selama pengumpulan data untuk kajian ini.

7. Ibunda dan Ayahanda yang mulia, Istri tercinta serta anak- anakku tersayang yang senantiasa memberi do’a dan semangat sejak awal perkuliahan hingga berakhirnya masa studi.

8. Rekan-rekan angkatan V Program Beasiswa Departemen Sosial pada studi Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah senantiasa banyak memberi dukungan dan bantuan moril dan spirituil selama masa perkuliahan berlangsung hingga selesainya penulisan kajian ini.

Semoga seluruh amal kebajikan yang telah dan akan dilakukan pihak-pihak terkait senantiasa mendapat ridho dan karunia dari Allah SWT. Harapan


(9)

saya kiranya kajian ini memberi manfaat dan menjadi inspirasi bagi penggiat pengembangan masyarakat kini dan yang akan datang.

Bogor, Nopember 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 20 Oktober 1969 dari pasangan Adun dan Yayah Haryati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Desa Sukamukti Kecamatan Cilawau Garut tahun 1982, kemudian melanjutkan ke SMP Cilawu Garut tamat tahun 1985. Pada tahun 1988 lulus dari SMAN 2 Garut jurusan Biologi, selanjutnya melanjutkan ke STKS Bandung dan selesai pada tahun 1993.

Sejak tahun 1996 bekerja pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Tengah di Palu, dan pada tahun 2000 alih tugas ke Pemda Tk. I Jawa Barat selama 6 bulan, selanjutnya pada Bulan Juli 2000 alih tugas ke Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat dan ditempatkan pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung

Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor kerjasama dengan STKS Bandung.


(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.


(12)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman Daftar Tabel ...

Daftar Gambar ... Daftar Lampiran ...

I. PENDAHULUAN ... i ii iii 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Kajian ... 3

1.4 Manfaat Kajian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pengembangan Masyarakat ... 5

2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal ... 7

2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Anak Nakal ... 9

2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana restorative justice... 14

2.5. Kenakalan Anak ... 15

2.6. Kerangka Pemikiran ... 26

III. METODOLOGI KAJIAN ... 27

3.1 Metode Kajian ... 27

3.2 Teknik Kajian ... 28

3.3 Metode Penyusunan Program ... 30

3.4 Prosedur dan Penyajian Data ... 30

IV. PETA SOSIAL DAERAH PENELITIAN ... 34

4.1 Kondisi Demografi dan kependudukan... 34

4.2 Sistem Ekonomi ... 40

4.3 Struktur Komunitas ... 41

4.4 Masalah Komunitas ... 48

V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK ... 50

5.1 Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justice ... 50

5.1.1 Proses Pembentukan ... 50

5.1.2 Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung ... 60

5.2 Kinerja Forum di Kelurahan ... 64

5.2.1 Perkembangan Forum ... 64

5.2.2 Proses Musyawarah Forum ... 66

5.2.3. Proses Relationship Building ... 68

5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi ... 70

VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM ... 73

6.1 Kinerja Anggota FMPA ... 74

6.1.1. Motivasi ... 74


(14)

6.1.3. Pengalaman ... 78

6.2. Peranan Inisiator FMPA ... 79

6.2.1. Unicef Jabar ... 79

6.2.2. LPA Jabar ... 80

6.2.3. LSM Saudara Sejiwa ... 81

6.3. Partisipasi Masyarakat ... 81

6.3.1. Orang Tua ... 82

6.3.2. Masyarakat Umum ... 84

6.3.3. Kelembagaan Masyarakat ... 84

VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM ... 87

7.1. Kasus Yang Ditangani FMPA ... 88

7.2. Evaluasi Masyarakat ... 93

7.3. Evaluasi Keluarga Korban ... 97

7.4. Evaluasi Keluarga Pelaku ... 99

VIII. PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS FORUM ... 100

8.1 Identifikasi Potensi, Permasalahan dan Kebutuhan ... 101

8.1.1. Identifikasi Potensi ... 101

8.1.2. Identifikasi Masalah ... 102

8.1.3. Identifikasi kebutuhan ... 103

8.2. Analisis Pohon Masalah ... 103

8.3. Rancangan Program ... 106

8.3.1. Program Jangka Pendek ... 108

8.3.2. Progam Jangka Panjang ... 109

8.3.3. Program Monitoring dan Evaluasi ... 112

IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 115

9.1 Kesimpulan ... 115

9.2 Rekomendasi ... 115


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data

Kajian Pengembangan Masyarakat di kelurahan Passanggrahan ... 31 2 Jumlah Penduduk Kelurahan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan

Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Ke lamin Tahun 2008...

35

3 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Agama Tahun 2008...

37 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung

Berung Kota Bandung Berdasarkan kelompok Usia Tenaga Kerja Tahun 2008 ...

37

5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Umum Tahun 2008...

38

6 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Pendidikan Khusus

Tahun 2008 ... 39

7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung Berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk Tahun 2008 ...

39

8 Jumlah Lembaga Kemasyarakatan yang terdapat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2008 ...

43 9 Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum

di Jawa Barat Tahun 2008 ... 54 10 Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa

Barat Tahun 2008 ... 55 11 Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak

Tahun 2008 di Jawa Barat... 56 12 Sosialisasi Program Restorative Justice ……….. 109 13 Pembentukan Forum Komunikasi antar FMPA Tingkat RW

se-Kelurahan Pasanggrahan ………. 112 14 Program Monitoring dan Evaluasi ... 114


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Prinsip-prinsip Hak Anak ... 25 2 Kerangka Pemikiran ………. 26 3 Piramida Penduduk Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan

Ujungberung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008 ...

36

4 Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum ...

73 5 Pohon Masalah ... 105


(17)

Daftar Lampiran

Halaman 1 Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan

2 Panduan Wawancara 3 Dokumentasi


(18)

RINGKASAN

BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS.

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang mender ita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban

Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana

Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga

Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.

Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat

Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA, mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice, mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak


(19)

nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA

Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus

Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal

Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se- Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik.

Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya.

Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal

Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.

Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah dengan terbentuknya Forum ditingkat Kelurahan dan jangka panjang melalui monitoring dan evaluasi.


(20)

Rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan dalam penanganan anak nakal adalah sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat apabila menemukan kasus kenakalan anak terjadi didaerahnya, hendaknya digunakan restorative justice dalam proses penanganannya.

2. Bagi penegak hukum (pihak kepolisian), restorative justice dapat dijadikan acuan dalam penanganan anak nakal, sebelum anak tersebut diproses melalui proses hukum (peradilan formal)

3. Bagi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) apabila mendapatkan permintaan untuk pemeriksaan terhadap anak nakal dari pihak kepolisian, hendaknya segera ditempuh terlebih dahulu dengan cara restorative justice di masyarakat, hasilnya dilaporkan kepada pihak kepolisian, sehingga pihak kepolisian dapat memutuskan perkaranya dengan cara diversi, tetapi apabila restorative justice tidak berhasil dilakukan, maka kasusnya tetap berlanjut kedalam proses persidangan dan laporan tersebut akan menjadikan salah satu pertimbangan hakim dalam memutus perkara anak nakal.


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Wilayah Kelurahan Pasanggrahan ... 120 2. Panduan Wawancara ... 121 3. Dokumentasi ... .126


(22)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan individu yang memiliki posisi penting dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan terhadap anak sebagai generasi penerus ini memiliki konsekuensi perlunya upaya perlindungan dan jaminan terhadap terpenuhinya kebutuhan anak. Dengan demikian kita masih harus prihatin terhadap potret buram anak-anak Indonesia. Potret buram ini dapat dilihat dari masih banyak ditemukannya permasalahan sosial yang dialami oleh anak. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 mencatat setidaknya 3,5 juta anak usia 5 sampai dengan 8 tahun mengalami keterlantaran, 1,2 juta anak balita terlantar, 6,7 juta anak membutuhkan perlindungan khusus, 2 sampai dengan 8 juta jiwa anak menjadi pekerja, 3,5 juta anak Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan dan anak nakal sebanyak 193.155 jiwa (Suharto, 2007)

Fenomena kenakalan anak merupakan permasalahan sosial yang belakangan ini cepat berkembang. Balai Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Jawa Barat pada tahun 2005 mencatat 150 kasus anak nakal yang masuk dalam persidangan, pada tahun 2006 meningkat menjadi 188 anak, tahun 2007 meningkat menjadi 345 anak dan tahun 2008 meningkat lagi menjadi 435 anak.

Pemenjaraan atau penahanan terhadap anak adalah sesuatu yang harus dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum. Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan yang diberikan kepada anak nakal masih kurang terutama bila dilihat dari indikator dilakukannya penahanan atau pemenjaraan terhadap anak oleh aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksanaan, dan persidangan di pengadilan. Untuk mengatasi hal tersebut timbul gagasan agar tidak semua permasalahan kenakalan anak diproses secara hukum, tetapi diupayakan diselesaikan di tingkat masyarakat yang disebut dengan nama restorative justice.


(23)

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.

Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.

Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga.

Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.

Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan


(24)

kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang konsep restorative justice dalam penanganan anak nakal.

1.2. Rumusan Masalah adalah :

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah :

1. Bagaimana kinerja FMPA dalam menangani anak nakal dengan model restorative justice ?

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kinerja FMPA?

3. Bagaimana rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak)?

1.3. Tujuan Kajian adalah :

Tujuan kajian ini dilakukan adalah: 1. Mendeskripsikan kinerja anggota FMPA 2. Mendeskripsikan peranan inisiator FMPA

3. Mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice

4. Mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal dengan restorative justice

5. Merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA

1.4. Manfaat Kajian

Hasil kajian pengembangan masyarakat yang dilakukan di Kelurahan Pasanggrahan secara lebih khusus diharapkan dapat bermanfaat bagi :


(25)

1. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat menumbuhkan rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial dalam menangani anak nakal, sehingga tidak semua masalah kenakalan anak diproses secara hukum

2. Masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, dapat berpartisipasi dalam mencegah terjadinya kenakalan anak khususnya yang terjadi di kelurahan Pasanggrahan 3. Bagi instansi pemerintah khususnya penegak hukum seperti pihak kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan, kiranya kajian ini dapat dijadikan solusi terhadap penanganan anak nakal yang selama ini masih bersifat persial.

4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi terciptanya peraturan perundang-undangan yang ada khususnya Revisi terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997


(26)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia yang merupakan potensi, dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan, dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Anak adalah bagian dari keluarga, anak dilahirkan dalam keluarga, menerima status sosial awal dari keluarga, , dilindungi, dibesarkan, disosialisasikan dalam keluarga, untuk kemudian menjadi warga dalam masyarakat. Kondisi anak pada saat ini, akan sangat menentukan pada kondisi keluarga, masyarakat dan bangsa di masa yang akan datang.

Menurut Heny (2005) dalam perspektif sosiologi kesejahteraan anak terlihat dalam bentuk perkembangan fisik dan kepribadian yang ditandai pola perilaku anak yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Goode (1995) yang dikutip oleh Heny (2005) menyebutkan masyarakat dan kebudayaannya menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi yaitu sejauhmana sang anak mempelajari nilai-nilai, sikap-sikap dan tingkah laku masyarakat dan keluarganya. Di sinilah pentingnya keluarga, karena keluarga adalah titik awal perkembangan fisik dan kepribadian anak, sehingga seorang anak harus mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh kembang secara wajar baik secara jasmani, rohani dan sosialnya.

2.1. Pengembangan Masyarakat

Alimusa (2003) mengemukakan bahwa : ”Pengembangan masyarakat adalah pengembangan swadaya masyarakat dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan”. Menurut Cary (1970), pengembangan masyarakat pada intinya merupakan : 1) usaha yang disengaja dan dilakukan bersama-sama oleh orang-orang dalam masyarakat, 2) mengarahkan masyarakat masa depan dan membangun serangkaian teknik yang diakui dan didukung masyarakat, 3) ditujukan untuk mencapai kehidupan sosial yang lebih baik dimasa depan


(27)

Pengertian diatas menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas dalam memenuhi kebutuhannya. Prakteknya proses pengembangan masyarakat hendaknya mempertimbangkan aspek kehidupan masyarakat sehingga keputusan apapun mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh masyarakat itu sendiri, dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat. Menurut Korten (1984), pengembangan masyarakat adalah suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan, dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat. Jadi dalam pengembangan masyarakat terkandung esensi partisipasi.

Partisipasi menurut Sumarjo dan Saharudin (2003), mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Agung dan Purnaningsih (2003), memberikan karakteristik partisipasi, yaitu : 1) masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, 2) cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, 3) masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan mereka sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.

Menumbuhkan partisipasi dalam pengembangan masyarakat tidak dapat tumbuh begitu saja. Masyarakat perlu di ajak untuk menyadari kelemahan dan potensi yang dimiliki dengan cara menumbuhkan kesadaran kritis. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan komunitas. Pendekatan ini menurut Cary (1973), seperti dikutip Gunardi (2003), menampilkan tiga ciri utama, yaitu : 1) partisipasi yang berbasis luas; 2) komunitas merupakan konsep yang penting; 3) kepeduliannya bersifat holistik. Keunggulan menggunakan pendekatan komunitas ini adalah adanya partisipasi tinggi dari warga dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan, adanya penelaahan secara menyeluruh, dan menghasilkan


(28)

perubahan yang didasari oleh pengertian, dukungan moral pelaksanaan oleh seluruh warga.

2.2. Pekerjaan Sosial dalam Pelayanan Anak Nakal

Pekerjaan sosial adalah suatu profesi pemberian bantuan yang dilaksanakan melalui pengembangan interaksi timbal balik yang saling menguntungkan antara orang dan lingkungan sosialnya (perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi dan masyarakat) untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat sebagai satu kesatuan harmonis yang berlandaskan hak asasi manusia dan keadilan sosial

Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa Pekerjaan Sosial yang diterapkan dalam usaha kesejahteraan anak, termasuk penanganan anak nakal :

1. Berlandaskan prinsip dan metode ilmu pengetahuan; 2. Berintikan pemberian bantuan;

3. Menggunakan hubungan anta manusia sebagai alat;

4. Ditujukan guna pengembangan personal dan sosial sebagai satu kesatuan; 5. Mencakup juga pengembangan kualitas lingkungan sosial dan fisik

(lingkungan hidup);

6. Demi terciptanya kesejahteraan sosial yang berlandaskan has asasi manusia dan keadilan sosial.

Dalam penanganan anak nakal ini, pekerjaan sosial dengan beberapa metodenya dapat dijadikan acuan dalam memcahkan berbagai masalah anak nakal, terutama dalam merubah sikap dan perilakunya

Dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu :

a. Prinsip Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal

1) Pelayanan yang diberikan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat anak nakal

2) Melaksanakan dan mewujudkan hak asasi anak nakal

3) Memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk menentukan pilihan bagi dirinya sendiri


(29)

4) Mengupayakan kehidupan anak nakal agar lebih bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat

b. Beberapa Metode Pelayanan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Anak Nakal 1). Bimbingan Sosial Individu

Metode bimbingan sosial individu ditujukan kepada anak nakal dilakukan secara tatap muka antara pekerja sosial dengan anak. Bimbingan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan atau menggali permasalahanyang bersifat mendasar yang dapat mengganggu proses pelayanan. Selanjutnya proses konsultasi dilakukan untuk menemukan kemampuan serta alternatif pemecahan masalah anak dan kehidupannya. Dalam metode ini pekerja sosial mendorong anak untuk mengungkapkan masalahnya baik yang bersifat individu maupun masalah-masalah lainnya seperti masalah keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu pekerja sosial juga memfasilitasi anak dalam mencari berbagai alternatif dan solusi pemecahannya.

2) Bimbingan Sosial Kelompok

Bimbingan sosial kelompok merupakan suatu metode pekerjaan sosial untuk memperbaiki dan meningkatkan peranan sosial individu melalui pengalaman kelompok yang disusun secara sadar dan bertujuan.

Dengan perkataan lain, pekerja sosial menggunakan kelompok sebagai alat intervensi untuk memenuhi kebutuhan individu yang akan dipengaruhinya, karena pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih baik dari pada mekanisme lainnya, dan bahwa kelompok memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila igali dan dikembangkan dengan kerjasama kelompok dapat merupakan sumber untuk penyembuhan dan pengembangan anggotanya

3) Bimbingan Sosial Masyarakat

Metode bimbingan sosial masyarakat ini menggunakan kehidupan dan interaksi masyarakat yang menjadi lingkungan sosial anak. Melalui


(30)

dapat menerima dan mendukung kehadiran dan permasalahan anak nakal. Disamping itu, pekerja sosial memotivasi anak untuk menerima dan hidup bersama lingkungannya. Bimbingan sosial masyarakat merupakan metode yang bersifat komprehensif yang diarahkan pada pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatoris untuk mempersatukan seluruh segmen masyarakat dalam penanganan permasalahan anak.

2.3. Restorative Justice sebagai Model Penanganan Kenakalan Anak

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang viktimologi dan kriminologi. Konsep ini mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Program ini memungkinkan korban, pelaku dan komunitas dapat terlihat langsung dalam merespon kejahatan, proses pemulihan yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan bagi anak.

Kelompok Kerja Peradilan Pidana Anak perserikatan Bangsa-Bansa (PBB) yang dikutip oleh Melani (2006) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan datang”.

Menurut Tony Marshal yang dikutip oleh Hidayat (2005) restorative justice adalah proses yang melibatkan semua pihak pada kejahatan, khususnya untuk memecahkan secara bersama-sama begaimana mengatasi akibat dari suatu kejahatan dan implikasinya di masa mendatang

Kevin I Minor and J.T. Morrison yang dikutip oleh Hidayat (2005) restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kriminal dengan memulihkan kerugian yang dialami oleh korban kejahatan dan untuk memfasilitasi perdamaian dan kesentosaan di antara kelompok yang menentang. Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa :


(31)

” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process.

(Daly and Immarigeon, 1998) Daly dan Immarigeon menyebutkan bahwa :

” Over the last two decades, ‘Restorative Justice’ has emerged in varied guises with different names, and in many countries; it has sprung from sites of activism, academia and justice system workplaces. The concept may refer to an alternative process for resolving disputes, to alternative sanctioning options, or to a distinctively different, new model of criminal justice organized around principles of restoration to victims, offenders and the communities in which they live. It may refer to diversion from formal court processes, to actions taken in parallel with court decisions, and to meetings between offenders and victims at any stage of the criminal process.

(Daly and Immarigeon, 1998)

Menurut Daly dan Immarigeon bahwa restorative justice telah mulai bermunculan di beberapa negara dengan nama yang berbeda. Konsep dasarnya adalah adanya proses alternatif untuk memecahkan permasalahan dan menghindari penghukuman lewat peradilan pidana dengan menerapkan bentuk diversi (pengalihan) bentuk hukuman dan menghindari proses peradilan formal. Menurut Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) bahwa dalam Proses restorative justice ada tiga hal yang harus ditempuh yaitu :

1. Family Group Cenference (FGC) yaitu adanya musyawarah dalam

keluarga untuk membahas permasalahan antara pihak korban dengan pelaku

2. Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban yang difasilitasi oleh mediator. Yang menjadi mediator adalah sukarelawan dari masyarakat (Volunter)


(32)

3. Peacemaking and sentencing circles yaitu tercapainya (terbangunnya) proses perdamaian antara pelaku tindak kejahatan dengan pihak korban dan masyarakat

Selanjutnya Lois Presser dan Patricia Van Voorhis (2008) menyebutkan bahwa dari ketiga bentuk yang tersebut di atas harus mengandung unsur-unsur :

1. Adanya dialog, yang terlibat dalam dialog adalah pihak korban dan pelaku, korban dan aparat penegak hukum, korban dan anggota masyarakat dan antara pelaku dengan anggota masyarakat serta pihak-pihak lain yang dibutuhkan

2. Relationship building (membangun hubungan) antara pelaku dengan korban dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu

3. Restorasi yaitu adanya pemulihan khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya, serta ganti rugi bagi korban

Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI (2008) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, tentang bagaimana menangani akibat perbuatan anak dimasa yang akanm datang. Tindak pidana dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki rekonsiliasi dan mententramkan hati”

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, restorative justice dapat didefinisikan sebagai respon terhadap perilaku kenakalan anak dengan memulihkan kerugian yang dialami oleh korban dan untuk memfasilitasi perdamaian. Upaya ini menekankan pemulihan atas kenakalan seorang anak harus dilakukan dalam lingkungan yang layak, masyarakat di lingkungan sekitar anak perlu berpartisipasi terlibat dalam penanganan anak tersebut, jadi kasus hukum yang ringan menyangkut anak-anak diharapkan tidak sampai ke pengadilan dan


(33)

diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau komunitas di masyarakat dengan jalan musyawarah. Penyelesaian di pengadilan hanya diterapkan pada jenis kejahatan yang belum ditolerir, seperti kejahatan terhadap asusila, pengrusakan atau penganiayaan terhadap tubuh hingga penghilangan nyawa.

Restorative justice menekankan pada proses pemulihan atas kenakalan seorang anak melalui penyelesaian secara musyawarah. Dasar pemikirannya bahwa masyarakat di lingkungan sekitar anak perlu berpartisipasi dalam penanganannya. Dengan ini kasus-kasus hukum yang ringan diharapkan tidak perlu sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tetapi cukup dilakukan di lingkungan setempat.

Manfaat restorative justice menurut Wright (1992) yang dikutip oleh Hidayat (2005) adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan pemahaman, menekankan pertanggungjawaban dan menaikkan daya terima masyarakat terhadap pelaku kejahatan

2. Menggabungkan kebijakan sosial dengan kebijakan pencegahan kejahatan 3. Memberikan contoh untuk perilaku yang baik

4. Menaikkan komunikasi dan partisipasi bagi korban, pelaku dan masyarakat 5. Melakukan penahanan hanya jika diperlukan

Program restorative justice (Wright, 1991) yang dikutip oleh Hidayat (2005) dikatagorikan menjadi tiga nilai yaitu :

1. Encounter, memberikan kesempatan bagi korban (pelaku) dan komunitas untuk bertemu, berdiskusi tentang kejahatan dan akibat yang ditimbulkan. 2. Amneds, mengharapkan pelaku untuk melakukan langkah-langkah guna

memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.

3. Reintegration, mencari cara untuk memulihkan korban dan pelaku secara menyeluruh bagi korban, pelaku dan masyarakat.

Penerapan konsep restorative justice mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya pengakuan atau adanya pernyataan bersalah dari pelaku


(34)

di luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku; adanya persetujuan dari kepolisian sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan diskresi (penghentian penyidikan) khusus untuk kasus yang sudah dilaporkan di Polisi; dan mendapatkan dukungan masyarakat setempat

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan kasus-kasus yang dapat dilaksanakan melalui restorative justice” adalah bukan kasus kenakalan yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas, kenakalan tersebut baru pertama kali dilakukan, kenakalan tersebut tidak menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat, dan kenakalan tersebut bukan merupakan kejahatan seksual misalnya perkosaan. Sedangkan katagori kasusnya bisa yang telah dilaporkan ke polisi ataupun yang belum dilaporkan ke polisi. Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses musyawarah yaitu pihak korban dan keluarga korban, pelaku (anak nakal) dan keluarganya serta wakil dari masyarakat yaitu diwakili oleh suatu forum yang beranggotakan tokoh atau yang mewakili masyarakat.

Manfaat penerapan konsep restorative justice bagi pelaku di antaranya tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua/tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana Manfaat konsep restorative justice bagi pihak korban adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, kerugian dapat segera dipulihkan, terhindar dari pemberitaan sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal didaerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga, dapat menyampaikan dan mewujudkan kepentingannya.

Bagi Penegak Hukum manfaat penerapan konsep restorative justice” adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk, dan menghemat dana operasional penanganan perkara.


(35)

2.4. Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) sebagai pelaksana Restorative Justice

Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) adalah suatu lembaga yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum dalam konteks restorative justice. Prinsip restorative

justice yang menekankan adanya proses alternatif untuk memecahkan

permasalahan dan menghindari penghukuman lewat peradilan formal. Proses alternatif tersebut adalah melalui jalur musyawarah yang difasilitasi oleh sukarelawan (volunteer). Musyawarah ini diperlukan dalam proses Victim Offender Mediation (VOM) yaitu adanya mediasi antara pelaku dengan pihak korban, dan proses Peacemaking and Sentencing Circles agar tercipta perdamaian sehingga masing-masing pihak merasa terpuaskan dan tercapai win-win solution.

Penerapan restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan melibatkan masyarakat sebagai volunteer, yang dilembagakan dalam bentuk forum yang disebut FMPA. Forum dimaksud beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan figur-figur lain yang dianggap mampu bertindak sebagai mediator, dipercaya oleh pihak korban maupun pelaku, serta mampu menjembatani masyarakat dengan penegak hukum. Dengan kata lain, FMPA adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat untuk menangani kasus anak nakal agar tidak sampai diproses di tingkat peradilan formal, terhadap kasus-kasus hukum yang ringan dan dapat ditolerir.

FMPA merupakan bentuk pengembangan masyarakat, di mana partisipasi aktif masyarakat mempunyai andil yang besar terhadap keberlangsungan forum ini. Partisipasi dapat terjadi apabila timbul motivasi dan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Partisipasi merupakan keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam atau di luar lingkungan


(36)

2.5. Kenakalan Anak

Kenakalan anak merupakan bentuk perilaku anak yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang ini bersifat dinamis dan cenderung mengikuti perkembangan suatu komunitas. Perkembangan tersebut mengarah pada adanya peningkatan baik dari segi jumlah, kualitas, dan tingkat kesadisannya. Peningkatan pada tingkat kesadisan dan kebengisan ini terutama terjadi pada aksi-aksi yang dilakukan dalam bentuk kelompok. Perkembangan ini terjadi seiring dengan lajunya industrialisasi dan urbanisasi (Kartono, 1986). Istilah yang banyak digunakan berkaitan dengan masalah perilaku menyimpang pada anak (remaja) adalah kenakalan remaja (juvenile delinguency). Kenakalan ditandai dengan adanya perilaku yang ilegal atau berlawanan dengan norma sosial, tetapi tidak selalu berupa kekerasan. Beberapa perilaku antisosial yang biasanya dilakukan oleh anak-anak atau remaja meliputi : tindakan agresif dan kekerasan di dalam keluarga, di sekolah dalam bentuk perkelahian dan perusakan barang-barang; pelanggaran hukum ringan (vandalisme, penyalahgunaan obat, kabur dari rumah); pelanggaran hukum berat (mencuri, merampok, pemerkosaan dengan kekerasan); kekerasan terhadap diri sendiri termasuk bunuh diri; dan keanggotaan dalam geng (Mc Whirter, 1998)

Pendapat Whirter mengisyaratkan bahwa perilaku antisosial yang dilakukan hanya dipandang sebagai kenakalan, meskipun beberapa sudah termasuk kategori berupa tindakan pelanggaran hukum yang berat. Ini berarti penanganannya pun tidak dapat disamakan dengan penanganan kasus kriminal sebagaimana umumnya. Pandangan ini sekaligus mengisyaratkan bahwa anak merupakan individu yang belum matang, sehingga dipandang belum mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum.

Waegel (1989) mengidentifikasikan beberapa ciri-ciri sosial dari pelaku kenakalan. Ciri-ciri tersebut terdiri dari usia, jenis kelamin, tempat tinggal, status sosial, dan struktur keluarga. Menurut Waegel, pelaku kenakalan pada anak paling banyak berusia 15 sampai 18 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tinggal di kota, berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan hanya memiliki satu orang tua kandung saja.


(37)

Di Indonesia, istilah yang digunakan adalah anak nakal dan anak yang berhadapan dengan hukum. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak yang termasuk pada kategori anak nakal, pelaku tindak pidana yang berdasarkan hasil penyelidikan/pemeriksaan aparat penegak hukum membutuhkan pembinaan di panti sosial anak, sedangkan anak nakal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 ayat 2 didefenisikan sebagai :

”Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”

Pemberian sebutan anak nakal sebenarnya merupakan hukuman yang sudah diberikan sebelum anak yang bersangkutan menjalani proses hukum, yaitu berupa pemberian label atau sebutan sebagai ”anak nakal”. Dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dikatakan bahwa seorang anak yang sudah berusia 8 tahun sudah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya. Batasan usia minimal ini jelas sangat memberatkan anak, karena pada usia tersebut anak baru memasuki usia sekolah. Dimana pada usia tersebut, seorang anak semestinya baru mulai mendapatkan pendidikan formal untuk bekal kemampuan kognisinya, dan juga dilakukan penanaman nilai-nilai yang berlaku secara umum.

2.5.1. Tipe Kenakalan Anak

Kenakalan pada anak tidak berlangsung dalam keterisolasian, tetapi terjadi dalam konteks antar personal dan sosio kultural. Oleh karenanya kenakalan anak bersifat organismis, psikis, interpersonal, antar personal dan budaya (Kartono, 2006). Sehubungan dengan sifat-sifat tersebut, Kartono (2006) membagi kenakalan anak dalam 4 kelompok yaitu :

b. Delikuensi individual

Kenakalan yang dilakukan individu dengan ciri-ciri khas jahat, biasanya disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku (psikopat, psikotis, neurotis,


(38)

a-sosial). Pelaku kenakalan tipe ini biasanya memiliki kelainan jasmaniah dan mental yang dibawa sejak lahir. Kenakalan yang mereka lakukan cenderung berupa tindak kriminal dan kekejaman yang dilakukan tanpa motif apapun. c. Delikuensi situasional

Tipe kenakalan ini dilakukan oleh anak normal, yang menerima pengaruh yang sangat kuat dari lingkungan dan situasi sosial disekitarnya. Pengaruh tersebut bersifat memaksa dan menekan individu sehingga membentuk perilaku buruk. Sebagai hasilnya anak yang seperti ini suka menampilkan perilaku melanggar aturan, norma sosial dan hukum formal. Interaksi yang terus menerus antara anak dengan situasi dan kondisi lingkungan yang buruk akan memperkuat perilaku nakal pada remaja. Pada situasi seperti ini kenakalan akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang wajar diterima oleh lingkungan sosialnya. Bentuk kenakalan seperti tawuran antar pelajat atau antar kampung, pesta minuman keras atau narkoba yang dilakukan bersama-sama teman sebaya merupakan contoh dari delikuensi situasional.

Delikuensi situasional merupakan jenis delikuensi yang paling mudah menular kepada anak secara meluas, sehingga masalah ini dapat menjadi masalah sosial yang serius. Untuk mengatasi hal ini Kartono (2006) menyarankan untuk melakukan reorganisasi secara mendasar terhadap :

1) Struktur kejiwaan anak-anak remaja dengan bantuan proses pendidikan 2) Struktur sosial masyarakatnya lewat pendidikan preventif, represif

(penekanan) dan punitif (hukuman), dan 3) Penataan ulang terhadap kebudayaan bangsa d. Delikuensi sistematis

Tipe kenakalan ini merupakan kenakalan yang dioganisir dalam bentuk geng. Pengorganisasian perilaku tersebut disertai dengan aturan tertentu, status formal, peranan tertentu, nilai-nilai dan norma tertentu, rasa kebanggaan dan moral delikuen yang berbeda dengan yang berlaku pada umumnya. Semua bentuk kenakalan tersebut dirasionalisasi dan dibenarkan sendiri oleh seluruh anggota geng.


(39)

Peraturan yang dibuat dalam geng tersebut biasanya sangat keras dengan sanksi hukuman yang berat, bertujuan untuk menegakkan kepatuhan anggota. Geng biasanya cenderung memiliki tujuan organisasi, wilayah operasi, ritual-ritual tertentu, kode-kode rahasia dan nama organisasi yang eksklusif yang bertujuan untuk menegakkan gengsi organisasinya. Bentuk perilaku kenakalan yang menjurus kriminal dan anarkis seperti yang dilakukan oleh beberapa geng motor di Kota Bandung merupakan salah satu contoh delikuensi sistematis.

e. Delikuensi kumulatif

Tipe ini merupakan bentuk kenakalan anak yang terjadi secara meluas ditengah masyarakat, sehingga memunculkan adanya fenomena disorganisasi/disintegrasi sosial dengan ciri yang mencolok yaitu terbentuk sub kultur delikuen di tengah kebudayaan suatu masyarakat. Delikuensi kumulatif biasanya paling mudah terjadi pada wilayah-wilayah dengan pemukiman yang terlalu padat, terjadi melalui suatu proses intimidasi maupun paksaan dari orang dewasa. Perilaku delinkuen yang membudaya di tengah masyarakat ini menurut Kartono (2006) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1) Mengandung banyak dimensi ketegangan syaraf, kegelisahan batin dan keresahan hati pada para remaja, yang kemudian disalurkan atau dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan dan agresivitas tidak terkendali

2) Merupakan adolescence revolt (pemberontakan adolesensi) terhadap kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa, dalam usaha mereka menemukan indentitas-diri lewat tingkah laku yang melanggar norma sosial dan hukum

3) Banyak terdapat penyimpangan seksual disebabkan oleh penundaan saat kawin jauh sesudah kematangan biologis, antara lain berupa promiskuitas, cinta bebas dan seks bebas, ”kumpul kebo”, perkosaan seksual, pembunuhan berlatarkan motivasi seks.

4) Banyak terdapat tindak ekstrim radikal yang dilakukan oleh para remaja yang menggunakan cara-cara kekerasan, pembunuhan, zibaku, tindak bunuh-diri, meledakka bom dan dinamit, penculikan, penyanderaan, dan lain-lain

Gunarsa (1988) melakukan pengelompokkan kenakalan anak dari segi hukum, dimana berkaitan dengan norma-norma hukum, yang meliputi :


(40)

1) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Jenis kenakalan ini antara lain berupa berbohong, membantah perintah orang tua karena tidak mau diatur oleh orang tua, berkelahi, meninggalkan rumah dan tinggal bersama dengan beberapa orang teman sebaya

2) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan oleh orang dewasa. Jenis ini berupa beberapa kenakalan yang merupakan tindakan kriminal yang cenderung pada penganiayaan, dan tindakan mengganggu ketertiban umum merupakan beberapa contoh kenakalan yang menjurus kearah kriminal

Lebih lanjut Jensen (1985) seperti dikutip oleh Sarwono (2007), membagi kenakalan anak menjadi empat jenis, yaitu :

a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain

b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan,

pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain

c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain : pelacuran, penyalahgunaan obat, melakukan hubungan seks sebelum nikah

d) Kenakalan yang melawan status, misanya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, menghindari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya

Berdasarkan jenis-jenis kenakalan yang disampaikan oleh Jensen tersebut, kenakalan anak dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu kenakalan yang berupa pelanggaran hukum dan kenakalan berupa pelanggaran status. Kenakalan dalam bentuk pelanggaran hukum merupakan jenis kenakalan pada point a,b dan c. Ketiga jenis kenakalan tersebut diatur dalam hukum dan akan dikenakan sanksi hukum apabila dilakukan, sedangkan kenakalan dalam bentuk pelanggaran status bukan termasuk perbuatan melanggar hukum karena pelanggaran tersebut dilakukan pada lingkungan keluarga dan sekolah, dimana tidak diatur secara rinci dalam hukum. Dengan demikian jenis kenakalan ini tidak dapat dikenakan sanksi atau tindakan hukum.


(41)

Sementara itu Sunarwiyati (1985) seperti dikutip oleh Masngudin (2004) mengelompokkan kenakalan anak berdasarkan bentuknya. Pengelompiokkan ini dilakukan secara bertingkat yang dimulai dari tingkat ringan menuju ke tingkat yang berat. Bentuk-bentuk kenakalan anak menurut Sunarwiyati meliputi :

1) Kenakalan biasa, merupakan jenis kenakalan yang paling banyak dilakukan oleh remaja. Kenakalan jenis ini cenderung tidak memiliki dampak yang terlalu berbahaya bagi anak dan tidak meresahkan kentraman umum. Bentuk kenakalan biasa antara lain berkelahi, membolos sekolah, keluyuran, begadang sampai larut malam, dan pergi dari rumah tanpa memberitahu pada orang tua

2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, merupakan

jenis kenakalan yang sudah mendekati tindakan kriminal. Jenis kenakalan ini bila tidak segera mendapatkan penanganan dan perhatian yang baik dari orang tua akan memudahkan anak untuk menjadi pelaku tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini meliputi pelanggaran aturan berlalu-lintas dengan mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM, mencuri barang-barang milik orang tua, mencuri buah-buahan milik tetangga, termasuk mencuri sandal atau sepatu milik teman bermain.

3) Kenakalan khusus, merupakan jenis kenakalan yang sudha berkaitan dengan tindakan kriminal. Bentuk kenakalan ini antara lain terlibat dalam pengedaran dan penyalahgunaan narkotika, melakukan perusakan fasilitas umum, mencuri, memperkosa, melakukan hubungan seks di luar nikah dan lain-lain

Memperhatikan pada pengelompokkan kenakalan anak oleh anak di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung termasuk jenis kenakalan biasa dan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan. Bentuk-bentuk kenakalan tersebut masih memungkinkan untuk


(42)

sebagai tempat terbaik membentuk perilaku anak. Selain itu upaya pembinaan terhadap anak melalui kegiatan-kegiatan kepemudaan yang ada, misalnya pengajian untuk remaja muslim, dapat dioptimalkan untuk mengarahkan perilaku anak agar sesuai dengan harapan masyarakat.

2.5.2. Analisis Faktor Penyebab Kenakalan Anak dalam Perspektif Ekosistem

Anak nakal merupakan salah satu masalah sosial yang mendapat perhatian cukup serius dari pemerintah. Masalah sosial tidak muncul dengan sendirinya tetapi karena adanya sebab. Penyebab masalah ini biasanya tidak tunggal dan terjadi karena adanya sesuatu yang salah dalam proses interaksi antara individu dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain penyebab masalah sosial adalah suatu hal yang bersifat sistemik, sehingga perlu dilakukan pencegahan secara sistematis.

Analisis terhadap faktor-faktor penyebab kenakalan dilakukan dengan menggunakan perspektif ekosistem. Hal ini merupakan kombinasi antara perspektif ekologi dengan teori sistem. Perspektif ini memfokuskan interaksi antara sub-sub sistem dengan lingkungan sosialnya. Beckert and Johnson (1995) dan Kirst-Ashman (2000) seperti dikutip Zastrow (2004) mendefinisikan teori ekosistem sebagai berikut : ”systems thoery used to describle and analyze people and other living systems and their transactions” (Zastrow, 2005:7). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa teori ekosistem merupakan sistem teori yang digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa orang-orang dan sistem yang ada di sekitarnya serta transaksi diantara orang dengan sistem tersebut.

Menurut teori ekosistem bahwa :

a. Setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan akan berfungsi secara lebih baik apabila berada dalam suatu lingkungan atau setting tertentu, dari pada ketika berada seorang diri

b. Ekosistem bersifat dinamis, setiap anggotanya secara perlahan namun pasti mengalami perubahan menyesuaikan dengan lingkungannya


(43)

Berdasarkan asumsi tersebut, perilaku yang ditampilkan oleh individu dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian perilaku nakal pada anak merupakan hasil dari proses interaksi tersebut. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan sehingga memunculkan perilaku nakal pada anak. Kemungkinan pertama adalah adanya kegagalan anak dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan, sehingga anak tidak mampu menampilkan peran sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya akhirnya perilakunya menyimpang dari norma-norma yang berlaku pada lingkungan sosial tersebut.

Kemungkinan kedua adalah adanya disorganisasi sosial pada lingkungan sosial dimana anak berinteraksi. Disorganisasi sosial ini menyebabkan beberapa fungsi lingkungan sosial, terutama fungsi sosialisasi dan fungsi kontrol sosial dari lingkungan sosial tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Eitzen (1986) dalam Masngudin (2004) bahwa lingkungan masyarakat yang buruk akan menyebabkan seseorang berpeilaku buruk. Ini dapat terjadi karena pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikatnya.

Lingkungan sosial yang terdekat dengan anak adalah keluarga, kemudian yang lebih luas adalah teman bermain, teman di sekolah dan teman di lingkungan ketetanggaan. Lingkungan inilah akan turut membentuk perilaku yang akan ditampilkan oleh seorang anak dalam kehidupan sehari-hari, deengan demikian agar anak nantinya dapat menampilkan perilaku yang pro-sosial, maka lingkungan sosial tersebut harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan memberikan tempat yang dapat mendukung perkembangan anak secara optimal.

2.5.3. Hak-Hak Anak

Sebagai salah satu negara penandatangan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child / CRC) yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 yang selanjutnya disahkan melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, Indonesia menyetujui untuk melaksanakan


(44)

sosial dan pendidikan yang layak dan maksimal guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah, cedera atau terjadinya eksploitasi terhadap anak.

Empat prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak ( KHA ) adalah :

1). Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam pasal 2 KHA yang selengkapnya berbunyi : ”Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang

ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah” (ayat 1)

Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya” (ayat 2)

2) Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), yaitu bahwa ” Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga-lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”

(pasal 3 ayat 1 )

3) Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (the right to life, survivbal and development), artinya, ” Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan”


(45)

Negara-negara Peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak” (pasal 6 ayat 2)

4) Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child) maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam pasal 12 (ayat 1) Konvensi Hak Anak sebagai berikut :” Negara-negara Peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak”

Keempat prinsip hak anak bisa dikonfigurasikan ke dalam Gambar 1 :

Gambar 1 : Prinsip-prinsip hak anak

Sejak ditetapkannya UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih kuat. Dalam UU tersebut, perlindunagn anak

Yang Terbaik untuk Anak

Non-diskriminasi Partisipasi Anak Kelangsungan

Hidup dan Perkembangan


(46)

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak mencakup serangkaian upaya terencana, terorganisasi, dan berkesinambungan berupa penyusunan dan pengembangan kebijakan, program, pelayanan, dan mekanisme untuk melindungi anak dari semua bentuk tindakan yang melanggar hak-hak anak untuk hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi secara wajar dan optimal.

2.6. Kerangka Pemikiran

Restorative justice merupakan pendekatan alternative yang bisa digunakan dalam menangani anak nakal, merupakan proses yang melibatkan semua pihak untuk memecahkan secara bersama bagaimana mengatasi akibat dari suatu kenakalan yang dilakukan anak dan implikasinya dimasa yang akan datang.

Restorative justice mengakui bahwa kenakalan anak dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka diperlukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakatpun dilibatkan. Program restorative justice ini memungkinkan korban, pelaku (anak nakal) dan komunitas masyarakat terlibat langsung dalam merespon kenakalan anak yang mengarah pada pertanggungjawaban pelaku kejahatan (anak nakal), ganti rugi bagi korban dan partisipasi oleh korban, pelaku dan masyarakat.

Proses pemulihan dilakukan oleh Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang merupakan perwakilan dari masyarakat untuk merumuskan langkah-langkah penyelesaian kasus anak nakal.


(47)

Kerangka Pemikiran

Kinerja Anggota FMPA

- Motivasi - Pemahaman

tentang hak anak - Pengalaman

Kinerja Inisiator FMPA

- Unicef Jabar - LPA Jabar - LSM Saudara

Sejiwa

Kinerja FMPA ( Forum Musyawarah Pemulihan Anak )

- Musyawarah (dialog) - Relationship

building (membangun hubungan) - Pemulihan dan

ganti rugi

Hasil

================ 1. Kepuasan

masyarakat

2. Kepuasan keluarga pelaku

3. Kepusan keluarga korban

Partisipasi dan Tanggapan Masyarakat dan

Institusi Lokal (DKM,. LPM, Karang Taruna,

PKK)


(48)

BAB III. METODOLOGI KAJIAN

3.1. Metode Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan pada latar alamiah. Fenomena sosial dalam pandangan kualitatif dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri, bersifat dinamis dan penuh makna (Sugiyono, 2007). Lebih lanjut Sugiyono (2007) mendefinisikan sebagai berikut :

”Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian berlandaskan pada filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengunpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi”. Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa metode penelitian kualitatif merupakan metode penilitian yang didasarkan pada setting lapangan secara alamiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara induktif, dimana hasil pengamatan tentang relaitas sosial yang khusus kemudian dikembangkan memjadi gagasan umum dan teori. Dalam penelitian kualitatif realitas sosial tergantung pada bagaimana pengalaman orang dalam kehidupannya dan bagaimana pengalaman tersebut dimaknai.

Strategi yang digunakan pada kajian ini adalah studi kasus karena studi kasus menggunakan pertanyaan-pertanyaan ’bagaimana’ dan ’mengapa’ lebih ekspalanatori. Hal ini disebabkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini berkenaan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri dan bukan sekedar frekuensi atau kemunculan. Hal ini tidak bisa mengandalkan survey atau telaah rekaman arsip melainkan harus menyelenggarakan apa yang disebut dengan analisis histories atau studi kasus, sehingga dengan studi kasus merupakan instrumental yang bersifat deskriptif terhadap permasalahan penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan.


(49)

3.2. Teknik Kajian Jenis Data

Data adalah informasi sahih dan terpercaya yang dibutuhkan untuk keperluan analisis dalam kajian. Data yang dipergunakan dalam kajian lapangan mempergunakan data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari informan dan hasil pengamatan di lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data statistik, laporan atau publikasi yang diperoleh dari instansi terkait dan LSM, dan data pendukung yang ada di Kelurahan Pasanggrahan, seperti monografi kelurahan, laporan tahunan dan buku isian potensi serta dokumen lainnya

Data primer bersumber dari anak nakal, keluarga anak nakal, pihak korban dan anggota Forum Pemulihan yang sudah dibentuk, termasuk juga pengurus lembaga lokal (LPM, Karang Taruna, DKM, PKK) yang berada di lokasi kajian. Data primer yang bersumber dari informan diperoleh dari tokoh formal dan informal, seperti Lurah, perangkat kelurahan, Ketua RW/RT. Tokoh informal yang dijadikan informan dalam kajian ini adalah tokoh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap masalah anak nakal seperti Ketua LSM Saudara Sejiwa, guru, dan ulama/ustad.

Cara Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam kajian adalah data primer dan sekunder. Cara pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan teknik sebagai berikut :

1. Teknik Wawancara Mendalam

Merupakan suatu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara yang dilakukan dengan cara temu muka berulang antara pengkaji dengan informan. Teknik ini digunakan selain untuk memperoleh data dan informasi juga untuk mengetahui tanggapan dari masing-masing pihak tentang permasalahan dan penanganan masalah anak nakal.


(50)

2. Diskusi Kelompok

Merupakan metode pengumpulan data yang biasa terbuka, meluas dan tidak terkontrol. Menurut Sumarjo dan Saharudin (2004), hasil dari kegiatan diskusi kelompok digunakan untuk mengevaluasi atau melengkapi data sebelumnya.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik penelusuran dokumen, diantaranya dengan melakukan studi kepustakaan (dokumentasi) terhadap data yang berkaitan dengan kajian. Data tersebut bersumber dari Unicef Jabar, Lembaga Perlindungan Anak Jabar, instansi terkait dan data pendukung yang ada di kelurahan seperti monografi kelurahan, daftar isian potensi kelurahan, laporan tahunan, serta dokumen lain

Cara Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data yaitu data yang tergali dari berbagai sumber lapangan dengan teknik-teknik penelusuran dokumen, wawancara mendalam, observasi, dan diskusi kelompok seluruhnya direkam dalam catatan harian. Data yang terkumpul, dimanfaatkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam kajian.

Pengolahan dan analisis data berdasarkan kepada analisis data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992), dalam menganalisis data kualitatif dilakukan tiga jalur analisis yaitu : reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sitorus, dan Agusta., 2004). Melalui reduksi data maka dilakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini dilakukan secara terus menerus selama kajian berlangsung. Kegiatan yang dilakukan dalam mereduksi data, melalui; meringkas data, mengkode, mebelusur tema, membuat gugus-gugus; membuat partisi dan menulis memo. Melalui reduksi data tersebut dilakukan penajaman, penggolongan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan akhir dapat diambil.


(1)

q

Kegiatan FGD


(2)

FGD BERAKHIR,

ACARA DITUTUP OLEH

LURAH PASANGGRAHAN


(3)

PENANGANAN ANAK NAKAL BERBASIS

MASYARAKAT DENGAN

RESTORATIVE JUSTICE

(Kasus di kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan

Ujung Berung, Kota Bandung)

B U D I A N A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(4)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat dengan Restorative Justice ( Kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung Kota Bandung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Nopember 2009

BUDIANA NRP. I. 354070315


(5)

RINGKASAN

BUDIANA, Penanganan Anak Nakal Berbasis Masyarakat Melalui Konsep

Restorative Justice (kasus di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung

Kota Bnadung) Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJUARA P LUBIS.

Restorative justice adalah sebuah gerakan perubahan yang baru dalam bidang victimologi dan kriminologi. Dalam konsepnya, restorative justice

mengakui bahwa kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan komunitas, maka sangat diperlukan sekali untuk melakukan perbaikan keadilan bagi yang menderita akibat kejahatan dan pada prosesnya masyarakat pun dilibatkan. Gerakan ini memungkinkan korban, pelaku, dan komunitas dapat terlibat secara langsung dalam mengatasi permasalahan anak nakal. Proses musyawarah yang melibatkan semua pihak adalah dasar untuk mencapai hasil yang memulihkan baik bagi anak nakal itu sendiri maupun bagi pihak korban.

Penerapan konsep restorative justice memberi manfaat bagi pelaku (anak nakal), bagi pihak korban, bagi masyarakat, dan bagi penegak hukum. Manfaat penerapan konsep ini bagi pelaku (anak nakal) di antaranya : tidak dirampas kemerdekaannya, tidak dicap buruk oleh lingkungan, pelaku bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan, pelaku memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat selalu berhubungan dengan orang tua atau tidak terpisah dengan orang tua, pelaku dapat tetap sekolah dan terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui sistem peradilan pidana.

Bagi pihak korban manfaat restorative justice adalah dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan dan kerugian dapat segera tergantikan, sedangkan bagi masyarakat (tempat terjadinya kejadian) yaitu masyarakat dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan, dapat membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat, dapat menghindarkan konflik yang berkepanjangan antara warga.

Sedangkan bagi penegak hukum manfaat penerapan konsep restorative justice adalah mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk serta menghemat dana operasional penanganan perkara.

Di Kota Bandung, Unicef (United Nation for Children and Education Fund) telah menetapkan Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia dalam penanganan anak nakal sejak tahun 2005. Lokasi tersabut dipilih disebabkan banyaknya kejadian kenakalan anak diwilayah tersebut. Dalam pelaksanaannya Unicef bekerjasama dengan LPA Jabar dan LSM setempat dengan melibatkan masyarakat. Sebagai pelaksana kegiatan dibentuklah suatu forum dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) yang berasal dari masyarakat setempat.


(6)

Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan kinerja anggota FMPA (Forum Musyawarah Pemulihan Anak), mendeskripsikan peranan inisiator FMPA, mendeskripsikan mekanisme penerapan model restorative justice, mendeskripsikan partisipasi dan tanggapan masyarakat dalam menangani anak nakal melalui model restorative justice dan merumuskan rencana strategis program aksi pengembangan masyarakat dalam peningkatan kapasitas FMPA

Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kasus sehingga bisa memahami kinerja Forum Pemulihan Anak. Teknik pengumpulan data dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus.

Hasil kajian menunjukkan bahwa Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal dengan menggunakan model

restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk, peranan dari inisiator FMPA dan adanya kerterlibatan serta partsipasi dari masyarakat/institusi lokal.

Proses penyusunan program peningkatan kapasitas FMPA diawali dengan mengididentifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dilanjutkan dengan penyusunan program yaitu program jangka pendek yaitu sosialisasi/pertemuan antara FMPA dengan masyarakat, didukung oleh stakeholder, program jangka panjang yaitu terbentuknya forum komunikasi FMPA Tingkat RW se- Kelurahan Pasanggrahan. Serta dilakukannya evaluasi dan monitoring terhadap setiap kegiatan agar berjalan dengan baik

Penerapan model restorative justice di kelurahan Pasanggrahan di beberapa RW sudah dapat dilaksanakan dan hasilnya cukup positif, tetapi di beberapa RW ternyata masih belum dapat dilaksanakan karena belum tersosialisasikannya penanganan anak nakal dengan model tersebut, sehingga perlu dilakukan desiminasi dari RW yang sudah melakukan restorative justice kepada RW yang belum melaksanakannya

Kinerja Forum Musyawarah Pemulihan Anak (FMPA) dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Passanggrahan dengan menggunakan model restorative justice dipengaruhi oleh peranan dari anggota forum yang telah dibentuk. Peranan dari masing-masing anggota tersebut terkait dengan motivasi untuk menjadi anggota, pemahaman tentang hak-hak anak dan pengalaman masing-masing anggota dalam menangani anak nakal.

Metoda penyelesaian kasus anak nakal dilakukan dengan musyawarah pemulihan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat. Keuntungan dengan cara musyawarah ini adalah dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan ”luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.

Agar penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan lebih efektif dan efisien, diperlukan program peningkatan kapasitas forum. Program jangka pendek dengan cara sosialisasi yang menyebar keseluruh RW, program jangka menengah