Masalah Komunitas Kasus Yang ditangani FMPA

48 untuk membeli dan memiliki tanah pada kawasan bernilai sosial ekonomi tinggi. Kelompok masyarakat miskin secara alamiah akan tersisihkan dan bermukim pada kawasan padat hunian. Akibatnya timbul kecemburuan sosial antara golongan atas dan golongan bawah yang akan mengarah pada kesenjangan ekonomi kaya dan miskin, sehingga berpeluang terjadinya kenakalan pada anak-anak yang miskin. e. Tekanan penduduk Penduduk di Kelurahan Pasanggrahan sebagian besar bermata pencaharian sebagai pegawai swasta 27,35 persen kedua adalah pegawai negeri sipil 25,33 persen disusul oleh dagang sebesar 23,07 persen. Sedangkan sektor pertanian sangat kecil sekali mengingat sudah tidak tersedianya lagi lahan untuk pertanian. Kelurahan Pasanggrahan adalah daerah perkotaan sehingga kehidupan masyarakat tidak ditentukan oleh hasil pertanian. Penduduk di Kelurahan Pasanggrahan tidak lagi tergantung pada “daya dukung internal” berupa tanah sawah pertanian, tetapi lebih dinamis lagi tergantung pada daya dukung eksternal yaitu berupa sumber daya yang berada di luar wilayah Kelurahan Pasanggrahan .

4.4. Masalah Komunitas

Kelurahan Pasanggrahan merupakan wilayah yang dekat dengan aktivitas ekonomi. Adanya fasilitas seperti Pasar dan tempat hiburan disamping memberikan kemudahan bagi masyarakat sekitar juga memberikan dampak negatif. Keberadaan fasilitas tersebut memberikan daya tarik bagi masyarakat luar untuk datang ke wilayah Ujung Berung. Meningkatnya jumlah penduduk dan menyempitnya lahan pemukiman yang ada karena dipakai untuk perumahan real estate dan ajang bisnis menimbulkan permasalahan sosial tersendiri bagi wilayah Ujung Berung. Migrasi penduduk luar ke wilayah Pasanggrahan tidak saja menyempitkan lahan-lahan pemukiman dan persaingan memperoleh pekerjaan tetapi menimbulkan pula 49 konflik-konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh adanya ketimpangan kesempatan. Masalah lain yang ada di Kelurahan Pasanggrahan adalah masalah kemiskinan dan pemukiman tidak layak huni. Hal ini terlihat dari data di Kelurahan Pasanggrahan bahwa penduduk yang seharusnya mendapatkan bantuan beras Raskin adalah 534 KK, tetapi baru 260 KK yang dapat dipenuhi. Secara sosial masalah-masalah tersebut dapat berkontribusi untuk terjadinya masalah-masalah sosial lainnya seperti terjadinya kenakalan pada anak, perilaku kekerasan dan tindakan kriminalitas sehingga menjadi tidak aman. Khusus masalah kenakalan yang terjadi pada anak-anak di Kelurahan Pasanggrahan volumenya meningkat sehingga diperlukan upaya pencegahannya dengan melibatkan berbagai pihak dan melibatkan masyarakat secara keseluruhan. 50 BAB V. KINERJA FORUM MUSYAWARAH PEMULIHAN ANAK

5.1. Proses Pembentukan dan Kinerja Restorative Justive di Kota Bandung

5.1.1. Proses Pembentukan

5.1.1.1. Potret Buram Penanganan Anak Nakal

Perlakuan terhadap anak nakal di Indonesia khususnya di Kota Bandung sampai hari ini masih sangat memprihatinkan. Kondisi ini ironis, karena pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan membuat beberapa perundangan yang berkaitan dengan hak anak, namun dalam prakteknya tetap memperlihatkan minimnya penghormatan respect dan perlindungan protect aparat negara terhadap hak-hak anak. Situasi menuntut upaya-upaya partisipasi aktif semua pihak tidak hanya pemerintah, agar penanganan kasus anak-anak yang berkonflik dengan hukum berjalan ke arah yang lebih baik. Dalam soal anak nakal, kepolisian sebagai penyidik menjadi institusi penting untuk intensif didorong dan dituntut agar perilaku mereka ramah terhadap anak. Proses penyidikan di kepolisian menentukan apakah seorang anak nakal akan diproses pada tingkat selanjutnya atau tidak. Pada beberapa pertemuan dengan penyidik, tampak bahwa pengetahuan dan pemahaman mereka tentang hak anak masih sangat kurang. Indikasinya mereka kebanyakan belum pernah membaca Konvensi Hak Anak KHA, hanya KUHP yang menjadi pegangan utama mereka dalam menyidik anak nakal dan sedikit mengadopsi UU No. 3 tahun 1997 khususnya tentang masa penahanan dan perlunya Litmas Penelitian Kemasyarakatan dari Bapas. Fakta inilah yang kemudian menyebabkan penyidik cenderung menyamakan perlakuannya dalam menangani anak nakal, dengan tersangka dewasa. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997, penyidik yang menangani anak nakal adalah penyidik yang memiliki Surat keputusan Penyidik Anak, disamping itu harus memenuhi syarat sebagai berikut : berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta 51 mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Meskipun Undang-Undang mengamanatkan demikian, sampai saat ini penyidik yang memiliki SKEP Penyidik Anak masih sangat minim jumlahnya. Adanya persyaratan ini tentu dimaksudkan agar penanganan anak nakal betul-betul memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, anak-anak yang menjalani pemeriksaan sebagai tersangka sudah pasti mengalami ketakutan yang luar biasa. Trauma psikologis ini akan diperparah jika perlakuan yang diberikan oleh penyidik tidak berbeda seperti halnya ia menangani tersangka dewasa. Di kalangan penyidik, seorang tersangka dewasa cenderung selalu ditempatkan sebagai residivis kambuhan, hal ini terjadi pula dengan tersangka anak-anak. Kalau mencermati pertanyaan-pertanyaan penyidik, stigmatisasi itu sangat kuat. salah satu indikatornya adalah pertanyaan-pertanyaan penyidik selalu mengarahkan tersangka untuk mengakui bahwa ini bukan perbuatan yang pertama kali. Selain itu juga masih terjadi praktek-praktek pemaksaan terhadap anak untuk mengakui sesuatu yang dikehendaki penyidik, misalnya pengakuan dibawah ini : ”... sebenarnya saya hanya berniat jalan-jalan dengan kendaraan bermotor bersama dengan teman-teman yang lain, dan ketika itu saya melihat didepan saya ada keributan, tidak lama kemudian datang mobil patroli polisi dan saya ditangkap, ketika dikantor kepolisian saya disuruh mengaku telah melakukan pemukulan terhadap korban, padahal saya sama sekali tidak tahu, tetapi polisi memaksa terus pada saya sambil memukul, menampar dan menyulut paha saya dengan rokok, karena tidak tahan akhirnya saya mengakui aja dan ketika disodori kertas untuk ditanda tangan, saya langsung mennandatanganinya tanpa bertanya lagi karena takut difisik lagi” Gm, mantan napi anak Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa penyidik wajib memeriksa tersangka dengan suasana kekeluargaan, dan pada waktu pemeriksaan agar anak didampingi oleh orang tua atau keluarga serta sebisa mungkin menghadirkan juga penasihat hukum. Sebetulnya perlakuan-perlakuan yang tidak ramah terhadap anak, apalagi sampai terjadi penyiksaan, tidak perlu lagi terjadi. Sejumlah instrumen hukum internasional memberikan koridor bahwa 52 penangkapan, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Pasal 37 huruf b Konvensi Hak-hak Anak disebutkan : ”Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya”. Namun faktanya, melakukan penahanan terhadap anak masih menjadi langkah kebanyakan yang biasa diambil oleh aparat penegak hukum ketimbang tidak menahan. Alasan penahanannya pun hanya berupa alasan formal sebagaimana yang termuat dalam Pasal 21 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHP, yaitu tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Sementara, Pasal 45 UU RI No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan : 1 Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat 2 Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan 3 Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa 4 Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap dipenuhi Pada sebuah pelatihan penyidik anak yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak LPA Jabar pada tahun 2004, diawal acara dilontarkan dua pertanyaan kepada 20 orang peserta dan harus dijawab dengan cepat, pertama, jika seorang anak melakukan tindak pidana, apakah anak tersebut harus dilakukan penahanan? Kedua, jika anak mereka melakukan tindak pidana, apakah setuju jika dilakukan penahanan? Untuk jawaban yang pertama 17 orang mengatakan setuju dan hanya 3 orang yang tidak setuju, sebaliknya untuk jawaban yang kedua, seluruh peserta menyatakan tidak setuju. Gambaran tersebut memperlihatkan kontradiksi terhadap kenyataan penanganan anak nakal di tingkat penyidik. 53 Pada kenyataannya perlu tidaknya seorang anak ditahan bukan didasari oleh penghormatan terhadap tersangka anak, akan tetapi lebih pada kedekatan fisik dan kekerabatan. Penahanan seolah-olah menjadi kewajiban penyidik, padahal di dalam KUHAP, seseorang tersangka tidak harus selalu dilakukan penahanan kecuali pada situasi tertentu yang memang mengharuskan adanya penahanan. Penahanan bagi anak kadang juga mengakibatkan cedera fisik, psikis dan sosial. Cedera fisik biasanya terjadi akibat penganiayaan oleh sesama tahanan karena anak dicampur dengan tahanan dewasa. Di ruang tahanan, anak-anak seringkali menjadi objek kekerasan fisik, bahkan kekerasan seksual oleh tahanan dewasa, seperti yang diutarakan oleh salah seorang anak sebagai berikut : ”.. selama di Polsek saya ditahan bersama tahanan dewasa sebanyak 15 orang, oleh sesama tahanan yang sudah besar saya sering ditendang, disuruh mijit, disuruh ngepel, disuruh meminta uang dan rokok kepada keluarga saya yang menjenguk” Ags, mantan napi anak Ruang tahanan yang sempit dan sangat jauh dari standar kesehatan yang layak semakin memperparah kondisi fisik anak. Anak-anak mudah tertular penyakit dari tahanan lain. Cedera yang kedua adalah cedera psikis. Penahanan membuat anak-anak menjadi stress, depresi dan mengalami tekanan psikis. Sementara itu anak-anak juga beresiko mengalami cedera sosial, sebab anak yang pernah mengalami penahanan akan sangat susah diterima oleh masyarakat. Umumnya masyarakat akan mengucilkan dan memberikan stigma kepada anak tersebut sebagai orang yang jahat dan perlu dijauhi, seperti diutarakan oleh salah seorang anak sebagai berikut : ”Setelah keluar dari tahanan selama tiga bulan, hidup saya menjadi tidak berarti, karena orang tua selalu menyalahkan saya, selain itu saya malu untuk bermain dengan teman-teman dilingkungan rumah saya apalagi status saya yang sudah dikeluarkan dari sekolah, sehingga sehari-hari saya hanya berdiam diri di rumah” Dn, mantan napi anak 54 Menyedihkan melihat kenyataan bahwa praktik penanganan anak oleh aparat penegak hukum, yang seharusnya mendapat perlindungan lebih daripada manusia dewasa, tetapi pada kenyataannya masih mengedepankan kekerasan fisik, bahkan kekerasan emosional pun kerap dialami anak-anak ini. Dn klien pengkaji masih ingat betul bagaimana ketika di ruang sidang pada persidangan pertama, hakim yang mengadilinya melontarkan kata-kata : ”kamu kecil-kecil jalannya sudah ke neraka, memeras ...., gimana sudah besar ? mau jadi preman”. Pemenjaraanpenahanan terhadap anak sebagai sesuatu yang harus dihindari atau merupakan alternatif terakhir dalam serangkaian proses hukum. Merupakan suatu kenyataan bahwa sampai dengan saat ini upaya perlindungan yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dirasakan masih kurang terutama bila dilihat dari indikator dilakukannya penahananpemenjaraan terhadap anak oleh Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum JPU maupun Hakim. Berdasarkan data empiris yang dimiliki oleh Bapas Klas I Bandung diketahui bahwa pihak Penyidik telah melakukan penahanan terhadap anak sebesar 91,55 persen dari 367 anak yang disidik selama periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Anak Nakal yang Diproses Hukum di Jawa Barat Tahun 2008 Kota Jumlah Persen Kota Bandung 85 23,16 Kab. Bandung 63 17,16 Kota Cimahi 26 7,08 Kab. Cianjur 16 4,35 Kab. Sukabumi 62 16,89 Kota Sukabumi 12 3,26 Kab. Purwakarta 16 4,35 Kab. Karawang 22 5,99 Kab. Sumedang 17 4,63 55 Kab. Subang 19 5,17 Kab. Garut 29 7,90 Jumlah 367 100 Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008 Memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa wilayah Kota Bandung menempati urutan tertinggi dalam jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak remaja. Tingginya jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak di Kota Bandung tidak terlepas dari status kota Bandung itu sendiri sebagai kota besar yang memiliki permasalahan sosial yang kompleks. Sedangkan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Kenakalan Anak menurut Jenisnya di Jawa Barat Tahun 2008 Jenis Kenakalan Jumlah Persen Pencurian 189 46,04 Penganiayaan 34 9,26 Pengeroyokan 62 16,89 Asusila cabul 31 8,44 Pembunuhan 1 0,27 Narkoba 17 4,63 Lakalantas 8 1,90 Penipuan 2 0,54 Penggelapan 2 0,54 SajamSenpi 7 1,90 Perjudian 3 0,81 Tindak Pidana lain 11 2,99 Jumlah 367 100 Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008 56 Memperhatikan data pada Tabel 10, terlihat bahwa tindak pidana pencurian menempati urutan tertinggi sebagai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Bapas Bandung, para pelaku jenis tindak pidana pencurian sebagian besar berasal dari masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah. Rendahnya kondisi sosial ekonomi mereka tercermin dari beberapa hal yaitu rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar anak, rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar orang tuanya dan rendahnya penghasilan sebagian besar orang tua. Bentuk hukuman bagi anak yang melanggar hukum dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah Kasus menurut Putusan Hakim dalam Sidang Perkara Anak di Jawa Barat Tahun 2008 No Putusan Jumlah Persentase 1 Pidana Penjara 342 93,18 2 Pidana Bersyarat 15 4,08 3 Anak Dikembalikan Kepada Orang TuaWali 5 1,36 4 Anak Diserahkan Kepada Lembaga Sosial 2 0,54 5 Anak Negara 3 0,81 Jumlah 367 100 Sumber : Bapas Klas I Bandung, 2008 Memperhatikan data di atas, sebagian besar putusan yang dijatuhkan oleh Hakim untuk perkara anak adalah berupa pidana penjara yaitu mencapai angka 93 persen. Penjara, walau bagaimanapun tetaplah penjara, tetap tak layak untuk pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak. Penjara bukanlah satu- satunya tempat hukuman bagi anak, sebab hukuman bagi seorang anak haruslah mendidik, mensejahterakan dan mendukung tumbuhnya mental dan moral anak secara optimal. 57 Selama masa penahanan dan pemenjaraan, tak ada tersedia fasilitas semacam perlengkapan mandi, pakaian atau alas tidur. Baik selama ditahan di sel tahanan kepolisian maupun di Rumah Tahanan Rutan, perlengkapan- perlengkapan semacam itu hanya diperoleh jika ada pemberian dari orang tua atau kerabat lainnya yang menjenguk sementara bagi anak yang tidak pernah dijenguk, mereka harus siap dan mau tidur dilantai tanpa alas. Di dalam penjara, anak-anak itu justru tidak menjadi sehat baik fisik maupun fsikisnya, apalagi kondisi penjara Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan yang sangat jauh dari menyejahterakan, kondisi ruangan yang tidak sehat, fasilitas air yang tidak layak, dan tidak adanya proses rehabilitasi selama anak-anak menjalani masa penahanan dan pemenjaraan. Anak-anak biasa mengisi waktu dengan bermain gapleh atau catur atau menyendiri di kamar dengan mengisi buku teka teki silang. Melihat semua itu menjadi bertambah keyakinan bahwa penjara memang sungguh tidak layak bagi anak. Dalam kenyataannya kebanyakan anak yang masuk penjara itu lebih banyak disebabkan oleh kejahatan-kejahatan remeh yang mereka lakukan. Pemenjaraan justru memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya dari pada kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Melihat kenyataan tersebut perlu dibuatnya alternatif penanganan terhadap anak nakal yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat setempat.

5.1.1.2. Pembentukan Restorative Justice

Berangkat dari keprihatinan terhadap potret buram penanganan anak nakal, LSM yang peduli terhadap anak di Bandung sering mengadakan penelitian, diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai upaya mengatasi nasib buruk yang menimpa anak-anak tersebut. Untuk membuka mata dan hati aparat penegak hukum serta masyarakat, pada awal 2004 Koalisi Ketuk Nurani, yang terdiri dari LSM Peduli Anak pernah mengadakan diskusi yang bertajuk cukup unik, yaitu Mencari Kriminal-Kriminal Profesional. Hasil dari diskusi tersebut menyimpulkan bahwa perlakuan yang salah terhadap penanganan anak nakal dapat melahirkan kriminal-kriminal profesional, karena sewaktu mereka 58 ditahan di kepolisian ataupun dalam rumah tahanan rutan mereka dapat bergaul dengan penjahat dewasa, begitu juga di Lembaga Pemasyarakatan Lapas - apalagi Jawa Barat belum memiliki Lapas khusus untuk Anak - sehingga Lapas dijadikan sekolah baru bagi anak-anak dalam mempelajari kejahatan yang baru. Kiprah beberapa LSM di Kota Bandung tersebut bersambut baik dengan program yang dilaksanakan oleh Unicef dan LPA Jabar. Diawali pada bulan Juni 2002 dengan dilakukannya kunjungan oleh seorang penasehat seniornya dalam Peradilan Anak, Unicef bekerja sama dengan LPA Jabar dan beberapa LSM lainnya mengadakan serangkaian penelitian, pembentukan working group dan supporting group, lokakarya, sehingga terbentuk suatu desain program penanganan anak nakal di Kota Bandung. Desain program tersebut dimaksudkan agar penanganan anak nakal sedapat mungkin diselesaikan tidak melalui jalur peradilan, tetapi menerapkan model restorative justice yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Kota Bandung. Serangkaian penelitian tersebut juga menetapkan Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa restorative justice merupakan suatu gerakan penanganan anak nakal, yang sedapat mungkin menghindari proses peradilan yang cenderung mengabaikan kepentingan dan hak-hak anak. Gerakan ini muncul berawal dari konsep yang ditawarkan oleh Unicef, dan setelah bekerja sama dengan LSM yang peduli pada anak, membuat desain program dan menerapkannya di Kota Bandung. Dilihat dari perspektif Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan restorative justice tersebut menggunakan pendekatan demonstrasi, yaitu memanfaatkan pengalaman komunitas lain yang diketahui proses dan hasilnya. Konsep restorative justice telah diterapkan dan berhasil baik dalam beberapa negara oleh Unicef dan LSM di negara tersebut, setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Konsep ini kemudian diadopsi dan diterapkan di Indonesia, dengan mengambil lokasi di Kota Bandung sebagai pilot project-nya. 59

5.1.1.3. Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan

Pembentukan FMPA di Kelurahan Pasanggrahan diawali dengan sosialisasi tentang penerapan model restorative justice oleh LPA Jabar pada bulan Maret 2005. Pada saat itu LPA yang didukung oleh Unicef mendapat bantuan dari LSM yang ada di Kelurahan Pasanggrahan yaitu LSM Saudara Sejiwa yang menangani anak jalanan di sekitar wilayah Ujung Berung. LSM ini diajak untuk ikut serta dalam program restorative justice karena dipandang sudah mengetahui karakter masyarakat setempat dan sudah berpengalaman khususnya dalam menangani anak. Pada tanggal 27 Maret 2005 dilakukan lokakarya restorative justice dengan masyarakat kelurahan Pasanggrahan yang dilaksanakan di Aula Kelurahan Pasanggrahan mulai pukul 13.30 WIB s.d. 15.00 WIB. Lokakarya tersebut menghasilkan kesepakatan yaitu di tingkat Kelurahan Pasanggrahan dan Rukun Warga se-Pasanggrahan, akan dibentuk tim restorative justice dengan nama Forum Musyawarah Pemulihan untuk Anak FMPA, yang terdiri atas: 1. Tim Tingkat Kelurahan, terdiri dari: - Kepala Lurah Pasanggrahan sebagai Pembina - Ketua LPM Lembaga Pemberdayaan masyarakat - MUI Tingkat Kelurahan - LSM Saudara Sejiwa - PKK Tingkat Kelurahan Pasanggrahan 2. Tim Tingkat RW, terdiri dari: - Ketua yaitu para ketua RW mulai dari RW 01 s.d. 14 - Penunjukkan anggota forum masing-masing RW diserahkan kepada rapat di tiap-tiap RW Anggota Forum diharapkan yang dapat mewakili masyarakat. Seperti yang terbentuk di RW 14, forum beranggotakan 5 orang yaitu terdiri dari Ketua RW, Ketua Keamanan RW, dan tokoh masyarakat 3 orang dengan profesi masing-masing yaitu guru, ustadz, dan perwakilan ibu PKK tingkat RW. Proses 60 pembentukan pengurus dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Hal ini diceritakan oleh Agus, Ketua LSM Saudara Sejiwa sebagai berikut: ”Kita dari LSM dan pihak LPA hanya sebagai fasilitator saja, tidak mengintervensi mereka pada saat pemilihan pengurus. Ketua RW ditetapkan sebagai Ketua Forum karena beliau lebih punya kewenangan dan kekuasan yang relatif paling dipercayai oleh masyarakat. Sedangkan Ketua Keamanan RW dipilih karena dipandang sebagai orang yang secara formal mempunyai kewenangan dalam hal keamanan lingkungan, Ustadz dan Guru dipilih karena mereka dipandang mengetahui dan memahami tentang hak-hak anak sedangkan satu lagi dari ibu PKK supaya ada keterwakilan dari kaum perempuan”. Dilihat dari perspektif Pengembangan Masyarakat, proses pembentukan FMPA sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat. Sumardjo 2007 menyebutkan ada 7 tujuh tipologi partisipasi secara berurutan, yaitu partisipasi manipulatif, partisipasi informatif, partisipasi konsultatif, partisipasi insentif, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan partisipasi mandiri self mobilization. Ketujuh urutan tipologi ini memperlihatkan derajat partisipasi masyarakat; semakin ke kanan partisipasi masyarakat semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan pengaruh pemrakarsa semakin besar. Melihat tipologi tersebut, jenis partisipasi masyarakat dalam pembentukan FMPA merupakan jenis partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, yaitu membentuk FMPA. Pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan- keputusan utama yang disepakati, yaitu bahwa Unicef, LPA, dan beberapa LSM menetapkan Kelurahan Pasanggrahan sebagai pilot project penerapan restorative justice di Indonesia. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya, dengan menyelesaikan kasus-kasus kenakalan anak di wilayahnya sendiri.

5.1.2. Kinerja Restorative Justice di Kota Bandung

Penasehat senior Unicef dalam Peradilan Anak yaitu Mr. Geert Cappelaere, pada Juni 2002 melakukan kunjungan ke Kota Bandung melihat 61 situasi penanganan anak nakal yang ada di Bandung. Kunjungan dilakukan ke instansi terkait yaitu Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Polwiltabes Kepolisian Wilayah Kota Besar, Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan, dan LSM yang ada di kota Bandung khususnya ke LPA Jabar. Awal tahun 2003 kunjungan tersebut ditindaklanjuti oleh Unicef dengan mengutus Team JJ Juvenile Justice yang dipimpin Julie Lebeque dan membuat desain program untuk penanganan anak nakal di Kota Bandung. Pada tahap awal, Unicef bersama dengan LPA Jabar mengadakan penelitian restorative justice untuk menentukan model yang dianggap cocok bagi Kota Bandung. Seperti yang dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar: ”Setelah kedatangan Julie Lebeque ke Bandung, LPA mengadakan beberapa kegiatan yaitu pada bulan Pebruari 2003 ”Membangun Persepsi Isu Perlunya Bantuan bagi Anak Nakal”. Kemudian pada bulan April 2003 mengadakan ”Lokakarya Semua Stakeholder Terkait Anak Nakal”, dan pada bulan Mei 2003 ”Pembentukan Support Group dan Working Group”. Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa: ”Membangun persepsi isu perlunya penanganan anak nakal sebagai langkah awal sangat diperlukan, setelah itu dilanjutkan dengan dilaksanakannya lokakarya yang bertujuan agar seluruh stakeholder memiliki pandangan yang lebih empati terhadap anak nakal sehingga mengembangkan kepedulian serta mendorong penanganan yang terbaik terhadap anak dan menjadi lebih berpihak pada anak, bersifat restoratif serta melindungi dan menjamin pemenuhan hak- haknya sebagai anak”. Pada saat diadakan lokakarya melibatkan semua stakeholder yang ada di Kota Bandung, seperti diungkapkan oleh Ketua LPA Jabar sebagai berikut: ”Lokakarya diadakan atas kerjasama LPA Jabar dan Unicef dengan mendatangkan narasumber yang berpengalaman dalam penanganan anak nakal. Peserta yang diundang terdiri dari para ahli antropologi, sosiologi, psikolog, kriminolog, pengacara, pakar hukum, budayawan, sejarawan sunda, pekerja sosial, tokoh agama dan tokoh masyarakat Bandung serta institusilembaga terkait seperti Polisi, Hakim, Jaksa, DPRD Komisi E Kota Bandung, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Bagian Pemberdayaan Perempuan, Balai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, LBH Bandung, LBH Unpas, LSM Anak Laha, Bahtera, Grapiks, Yapena, 62 Saudara Sejiwa, Bina Buudaya Bangsa, Bina Mandiri, Repeh Rapih, Cahaya Beringin, Ketuk Nurani serta dari Perguruan Tinggi Fakultas Hukum Unpad, Fakultas Hukum Unpas dan STKS Bandung”. Penelitian dan pembuatan model dilakukan oleh working group kelompok kerja, dan didukung oleh support group kelompok pendukung. Lebih lanjut Ketua LPA Jabar mengatakan bahwa: ”Setelah pelaksanaan lokakarya, maka direkomendasikan membentuk anggota working group kelompok kerja yang terdiri dari individu- individu yang memiliki latar belakang pengetahuan maupun pekerjaan yang relevan dengan persoalan anak anak yaitu Hakim Anak dari dari Pengadilan Negeri Bandung, Polisi, Petugas Balai Pemasyarakatan, Petugas Lembaga Pemasyarakatan, LBH Bandung, Fakultas Hukum Unpas, Lembaga Advokasi Hak Anak LAHA dan LPA Jabar. Sedangkan support group yaitu perwakilan dari Unicef Jabar dan tenaga pengajar dengan latar belakang yang kuat pada bidang hukum khususnya hukum pidana dan hukum acara pidana, kriminolog dan psikologi khususnya psikologi anak maupun psikologi perkembangan.” Penelitian dilakukan oleh Working Group Kelompok Kerja dengan memfokuskan pada: a apa yang membuat anak menjadi nakal; b apa yang terjadi pada saat anak berada dalam sistem peradilan anak; c bagaimana masyarakat, negara, maupun anak memandang anak nakal; d apakah kota Bandung memiliki sistem budaya yang dapat membantu penanganan anak nakal; e bagaimana alternatif yang dapat dilakukan bagi penanganan anak nakal. Salah seorang anggota Working Group, Distia, mengatakan : ”Tim Working Group sudah bekerjasama dan menjadi tim yang kompak, solid, dan mampu mengembangkan suasana tim yang kental sehingga dapat merumuskan dan menjawab berbagai persoalan baik yang berhubungan dengan konten maupun konteks, dan didukung oleh Tim Konsultan yang memposisikan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan tetapi tetap konsisten dalam mengembangkan kerangka asessment sehingga dapat dicapai hasil yang maksimal”. Penelitian dilakukan dengan cara diskusi, wawancara mendalam dan FGD Focus Group Discusion dengan nara sumber dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiolog, kriminolog, ahli agama, aparat penegak hukum, budayawan, 63 LSM anak, pimpinan pesantren dan tokoh masyarakat serta anak nakal dan keluarganya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Kerja restorative justice RJ adalah sebagaimana dikemukakan oleh Ketua LPA Jabar berikut ini: ”Ada beberapa poin penting yang dihasilkan oleh kelompok kerja selama melakukan penelitian yaitu sebagai berikut: Pertama, dalam sistem peradilan ditemukan adanya mekanisme penyaringan kasus di masyarakat, walau tidak ditemukan bentuk peradilan tradisoional; Polisi punya kewenangan dekresi, namun adapula kewajiban untuk menindaklanjuti setiap perkara yang masuk; sistem hukum pidana masih bersifat retributif; telah ada pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum tentang pentingnya cara alternatif dalam penaganan anak nakal. Kedua, pelayanan bagi anak nakal ternyata sarana pokok dan pendidikan yang disediakan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan jauh dari memadai. Ketiga, pelaku kunci dalam hal ini Polisi dan Hakim, karena memiliki kewenangan untuk memutuskan perlakuan, namun pemahaman tentang restorative justice belum dimiliki secara mendalam. Keempat, adanya peluang yaitu bahwa tindakan pemidanaan dalam UU Pemasyarakatan berorientasi pada pembinaan, sedangkan restorative justice juga bertujuan pada pemulihan melalui pembinaan. Kemudian adanya LSM dan tokoh masyarakat yang berorientasi kesejahteraan sosial sebagai masyarakat umum yang masih terbuka menerima gagasan perubahan dan peluang berikutnya UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perampasan kemerdekaan harus dijadikan upaya terakhir dan apabila terhadap anak nakal dilakukan restorative justice, maka alokasi dana yang diperlukan dalam proses hukum akan berkurang. Kelima, selama assesment juga mempertimbangkan pendapat anak yang terungkap adalah untuk kasus kenakalan anak cukup dinasehati, diberi perhatian, kasih sayang dan komunikasi yang mantap dengan orang tua, kemudian bagi korban narkoba, dibina di panti rehabilitasi dan menurut pendapat anak ternyata kenakalan kecil dapat diselesaikan dengan mendamaikan antara pelaku dan korban serta keluarga masing- masing”. Menurut Tatan Rahmawan salah seorang Kelompok Kerja RJ, pada saat itu kelompok kerja RJ menyimpulkan bahwa: ”Pertama, masih terdapat kelemahan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia baik dalam sistem itu sendiri maupun pelaksanaannya; dan kedua, realitas pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Bandung tidak sejalan dengan UU No. 23 Tahun 2002 pasal 16 ayat 3 yang menyatakan bahwa ’penangkapan, 64 penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir’”. Lebih lanjut Tatan mengatakan bahwa: ”Berdasarkan hasil assesment, maka Kelompok Kerja RJ merekomendasikan untuk membuat alternatif penanganan anak nakal di tingkat masyarakat dan sebagai model dipilih Kelurahan Pasanggrahan dijadikan lokasinya. Hal tersebut disampaikan kepada pihak LPA Jabar dan Unicef”. Menindaklanjuti hal tersebut pihak LPA Jabar dengan dukungan dari Unicef melakukan sosialisasi penerapan model ”restorative justice” di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung. 5.2.Kinerja Forum di Kelurahan 5.2.1. Perkembangan Forum FMPA mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam bentuk keanggotaan maupun penyerahan kasus kenakalan anak yang dialaminya kepada FMPA. Keanggotaan FMPA yang terdiri dari berbagai unsur dan latar belakang yang berbeda ternyata membuat FMPA menjadi solid dan dipercaya oleh masyarakat, seperti dikemukakan oleh salah satu warga yang menjadi korban pencurian, yaitu Id, sebagai berikut: ”Ketika saya menjadi pihak korban dan mendengar akan diselesaikan oleh Forum, saya menanyakan siapa saja orang-orang yang akan menyelesaikan, dan setelah saya mengetahui anggota- anggotanya, saya terus terang langsung mempercayainya karena mereka mempunyai kredibilitas dalam masyarakat dan selama ini menjadi panutan bagi warga yang lainnya”. Ketika penulis menanyakan secara langsung pada pengurus FMPA latar belakang mereka mengapa mau untuk menjadi anggota forum, ada beberapa alasan yang mereka kemukakan, di antaranya Wiratmo anggota Forum di RW 14 mengatakan: ”Saya tertarik untuk terlibat aktif dalam forum, karena merasa bertanggung jawab terhadap keberadaan generasi muda khususnya anak-anak. Meskipun mereka terlibat kenakalan, tetapi tetap mereka adalah anak-anak kita, siapa lagi yang harus meluruskan jalannya 65 kalau tidak dari kita sendiri, sedangkan orang tuanya saya yakin tidak ada yang menyangka kalau anaknya berbuat nakal dan mengganggu ketertiban masyarakat. Saya merasa terpanggil untuk membantu anak-anak dan orang tuanya keluarganya agar anak- anaknya tidak nakal lagi”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ade Komar, Anggota FMPA Kelurahan Pasanggrahan yang mengatakan: ”Saya sendiri begitu mendengar ada program ini yang difasilitasi oleh LPA dan LSM Saudara Sejiwa, merasa terpanggil. Awalnya karena saya orang asli pribumi di sini, sejak tiga tahun yang lalu ada rumah yang dikontrak oleh LSM Saudara Sejiwa untuk dijadikan rumah singgah bagi anak-anak jalanan yang ada di sekitar Ujung Berung. Saat itu saya sangat respek dan salut kepada pihak LSM yang mau peduli, sehingga saya menjadi salah satu donatur bagi kebutuhan mereka. Terlebih lagi ketika ada program ini ada beberapa orang warga yang mendorong saya untuk terlibat aktif, dan saya memang tertarik dengan kegiatan ini karena menurut saya diperlukannya keterlibatan warga untuk mengatasi masalah anak- anak nakal yang ada di wilayah ini, jangan menyerahkan semua urusan kepada pemerintah dalam hal ini penegak hukum, kecuali kalau kita sebagai warga sudah tidak mampu mengatasinya”. Dalam pembentukan forum, pihak inisiator hanya berperan sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, LPA dan LSM Saudara Sejiwa sebatas memberi saran agar yang dijadikan anggota forum adalah wakil dari masyarakat yang dipandang mampu dan mempunyai peranan dalam masyarakat, mempunyai motivasi yang kuat untuk mengatasi permasalahan kenakalan anak, memahami tentang hak-hak anak dan sedikitnya ada pengalaman dalam menangani anak khususnya anak nakal, sehingga diharapkan dapat dapat mengatasi masalah- masalah yang dihadapi oleh pihak korban maupun tersangka anak. Sampai saat ini, perkembangan FMPA cukup baik karena didukung oleh unsur masyarakat yang bertindak sebagai pengurus maupun stakeholder lainnya. Beberapa kasus hukum ringan yang dilakukan oleh anak-anak nakal di wilayah Pasanggrahan dapat diselesaikan tanpa harus melewati proses peradilan formal. Beberapa kasus yang lain memang tidak diselesaikan melalui FMPA, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang keberadaan FMPA serta beratnya kasus yang terjadi yaitu sampai dengan hilangnya nyawa seseorang. 66

5.2.2. Proses Musyawarah Forum

Pada bab terdahulu telah dikemukakan bahwa konsep restorative justice sebagaimana disebutkan Lois Presser dan Patricia Van Voorhis 2008 harus mengandung unsur-unsur : adanya dialog musyawarah antara pihak yang terkait yaitu pelaku, korban, aparat penegak hukum, dan masyarakat; adanya relationship building membangun hubungan antara pihak-pihak yang terkait, serta adanya restorasi pemulihan khususnya bagi pihak pelaku tindak pidana maupun korban, meliputi pemulihan fisik dan psikisnya dan ganti rugi bagi korban. Dalam penanganan anak nakal yang dilaksanakan di Kelurahan Pasanggrahan, masyarakat melalui FMPA bertindak sebagai mediator penyelesaian masalah, dengan mempertemukan pihak korban dan pelaku dalam suatu forum dialog. Selama ini, FMPA bertindak setelah mendapatkan laporan masyarakat, yaitu dari pihak korban maupun warga masyarakat yang mengetahui kasus tersebut, sebagaimana dituturkan oleh Ade Komar salah satu anggota FMPA berikut ini : ”ketika kita menangani masalah anak-anak ini, pada awalnya ada laporan dari pihak korban tentang perbuatan yang disebabkan oleh salah satu anak, kemudian kita menerima laporan tersebut dan mencatat data-data yang dibutuhkan seperti data korban, data dugaan pelaku dan alamatnya, setelah itu kita harus mengetahui dengan pasti bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh anak nakal tersebut, setelah semuanya tercatat baru merancang pelaksanaan musyawarah meliputi kapan waktunya untuk musyawarah, dimana tempat yang paling tepat untuk melaksanakan musyawarah, dan siapa saja pihak-pihak yang harus hadir dalam proses musyawarah tersebut, setelah semuanya siap, baru kita mengundang pelaku dan keluarganya juga pihak korban dan keluarganya” Setelah mendapatkan laporan tersebut, anggota FMPA berinisiatif mengundang anggota lainnya untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui forum musyawarah. Pihak pelaku dan korban dipertemukan dalam suatu ruangan untuk berdialog. Proses ini memungkinkan terungkapnya kronologis kejadian yang sesungguhnya dari sudut pandang kedua belah pihak pelaku dan korban, penyebab terjadinya kasus, kerugian apa yang ditimbulkan, ganti rugi yang 67 diminta korban, sehingga FMPA sebagai mediator dapat mencari solusi yang menenteramkan hati bagi keduanya. Proses dialog yang baik, tanpa ada intimidasi dari pihak mana pun, menjadi prasyarat bagi tercapainya proses perdamaian yang baik. Di sinilah diperlukan FMPA yang dipercaya oleh kedua belah pihak untuk dapat menyelesaikan kasus tersebut, terjaganya netralitas FMPA tidak memihak salah satu pihak, FMPA tidak ”menghakimi” terlebih dahulu tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya, sebagaimana dituturkan oleh Ketua FMPA Kelurahan Pasanggrahan Bapak Adi sebagai berikut : ”Musyawarah pemulihan dilakukan secara tertutup, baik dari masyarakat umum maupun media massa, pada saat pelaksanaan musyawarah setelah semua berkumpul, ketua forum membuka acara setelah sebelumnya semua yang hadir diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian ketua forum menjelaskan tentang adanya pengaduan dari pihak korban, dan mempersilahkan pihak korban untuk menceritakan tentang apa yang telah dialami dan apa harapan korban dan keluarganya tentang perbuatan pelaku yang dianggapnya telah merugikan. Setelah itu ketua forum kemudian mempersilahkan pelaku untuk mengakui atau tidak tentang perbuatan yang dituduhkan kepada korban, apabila korban tidak mengakui, maka pertemuan batal dan keputusan diserahkan kembali kepada korban apabila hal tersebut akan diteruskan kepada pihak kepolisian, sedangkan apabila korban mengakuinya maka proses musyawarah dilanjutkan” Lebih lanjut, Bapak Adi mengemukakan bahwa keinginan korban dan pelaku benar-benar difasilitasi oleh forum, seperti diceritakannya sebagai berikut : ”Pada saat proses musyawarah, harapan korban dikemukakan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh pelaku agar dapat menggantikan tindakannya yang dianggap telah merugikan korban, kemudian ketua forum mempersilahkan pelaku dan keluarganya untuk menanggapi usulan korban dan keluarganya, dan setelah itu pada kesempatan berikutnya semua yang hadir boleh ikut menanggapi, sehingga ditemukan jalan yang terbaik baik buat pelaku maupun bagi korban. Setelah tercapai kesepakatan yang dianggap memuaskan kedua belah pihak, maka selanjutnya ketua forum akan menyimpulkan hasilnya, misalnya tindakannya berupa apa, dan bagaimana pelaksanaannya” Proses musyawarah bisa jadi tidak hanya terjadi antara pelaku dan korban semata, tetapi beberapa pihak dapat terlibat di dalamnya. Aparat penegak hukum 68 maupun masyarakat dapat menjadi saksi atas proses dialog, sehingga kasus tersebut benar-benar dapat memuaskan berbagai pihak. Bagi pelaku, hal ini dapat memulihkan ”kesalahan” yang dilakukannya manakala masyarakat yang telah terpuaskan rasa keadilannya tidak memberi stigma negatif kepada pelaku karena pelaku telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban. Bagi aparat penegak hukum, proses seperti ini tentu lebih efektif dilakukan daripada melalui suatu proses peradilan formal yang ”menambah” pekerjaan dan membebani anggaran. Sampai dengan saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah berupaya untuk melakukan dialog yang baik antara beberapa pihak terkait. Beberapa kasus kenakalan anak yang terjadi di kelurahan ini yang tidak sempat dilakukan dialog dan ditangani oleh aparat penegak hukum, lebih disebabkan oleh belum tahunya korban terhadap keberadaan FMPA, sehingga tidak menyerahkan kasusnya kepada FMPA tetapi melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Hal ini menyiratkan bahwa FMPA perlu lebih mensosialisasikan kegiatan-kegiatannya dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan melalui berbagai kelembagaan yang ada dalam masyarakat.

5.2.3. Proses Relationship Building

Membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku dengan korban perlu dilakukan. Hal ini karena seringkali pelaku dan korban bertempat tinggal di lokasi yang berdekatan, atau sebenarnya merupakan teman main maupun teman sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua RW 14 berikut ini : ”Kasus pemukulan yang dilakukan oleh De terhadap An yang menyebabkan An luka lebam, dan setelah mereka diselesaikan lewat forum, malah sekarang ini mereka jadi bersahabat dan sering bermain bersama, malahan orang tua korban pernah menawarkan kepada De untuk sekolah kembali dengan biaya ditanggung oleh orang tua korban, tetapi sayang sekali De tidak mempunyai minat lagi untuk sekolah dengan alasan malu sudah terlalu tua dibanding anak yang lainnya.” 69 Hal tersebut memperlihatkan bahwa setelah permasalahannya ditangani oleh forum, ternyata telah terbangun proses hubungan yang lebih dekat dan bersifat kekeluargaan diantara keluarga pelaku dan keluarga korban. Pihak korban yang tadinya merasa kesal, setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya pihak korban dan keluarganya malahan menjadi empati, demikian juga pelaku yang pada awalnya merasa sering terhina oleh korban, setelah proses musyawarah, timbul perasaan yang lebih dekat dan mau bersahabat dengan korban. Selain terjadinya pemulihan hubungan antara korban dan pelaku, ternyata juga terjadi hubungan yang lebih positif diantara keluarga kedua belah pihak, hal ini dikemukakan oleh salah satu dari orang tua korban kasus pencurian besi sebagai berikut : ”Seminggu setelah kejadian, saya mendatangi rumah Ketua RW dan meminta tolong untuk mengantarkan saya ke keluarga pelaku, ternyata setelah sampai dilokasi rumahnya, saya kaget melihat kondisi rumahnya yang sudah reyot dan mau rubuh. Saat itu kedua orang tuanya sedang tidak berada dirumah, yang ada hanya pelaku bersama dengan adiknya yang masih berusia 4 tahun, ketika saya tanya kepada pelaku, kamu berdua sudah makan? Dia menjawab belum pak, bapak dan ibu saya belum pulang kerja sebagai pemulung, biasanya mereka pulang setelah magri, saya jadi iba kemudian saya berikan uang sekedar untuk makan hari itu” Empati bagi pihak korban ternyata tidak hanya sampai disitu saja, beberapa hari kemudian orang tua dari korban kembali mendatangi rumah tersebut seperti dituturkan oleh kedua orang tua pelaku sebagai berikut : ”Saya malu sama bapak In yang begitu baik sama kami sekeluarga. Malam hari Bapak In datang ke rumah saya dan membawa beras satu karung berikut minyak goreng dan mie rebus satu dus, juga membawa kain sarung dan pakaian sebanyak lima potong, pakaiannya masih bagus- bagus lagi, Anak-anak dengan senang hati memakainya. Tidak hanya itu, beliau juga menawarkan kepada anak saya kalau mau sekolah lagi di SMP, sekolah saja, tetapi setelah ditanya anak saya tidak berminat lagi sekolah karena sudah ketuaan, malu sama yang lain katanya. Atas niat baik dari beliau saya sangat bersyukur, mudah-mudahan beliau diberi rizki yang banyak dan dipanjangkan umurnya” 70 Terjalinnya hubungan yang baik antara keluarga korban dengan keluarga pelaku, tidak terlepas dari fungsi dan peranan FMPA sebagai mediator. Pada saat proses musyawarah dilakukan, anggota FMPA berupaya untuk membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku, korban, maupun masyarakat sekitarnya. Prinsip-prinsip non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak; serta penghargaan terhadap pendapat anak; mendapatkan perhatian yang cukup serius bagi FMPA. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA Bapak Adi sebagai berikut : ”Senakal-nakalnya anak harus diupayakan proses perubahan perilaku dengan cara-cara yang baik, tidak harus melalui ”hukuman” peradilan formal, salah satunya adalah membangun kembali hubungan yang baik antara pelaku dengan korban, menumbuhkan kepercayaan diri keduanya untuk dapat berinteraksi kembali dalam suasana yang damai dan menenteramkan” Sampai dengan saat ini, FMPA telah menjalankan proses relationship building karena dalam beberapa kasus, pelaku dan korban menjalin hubungan yang erat pasca musyawarah pemulihan.

5.2.4. Proses Pemulihan dan Ganti Rugi

Kasus kenakalan anak pasti menimbulkan ”luka” baik berupa fisik maupun non fisik. Luka fisik dapat berupa hilangrusaknya harta benda, luka non fisik dapat berupa trauma, stress, rasa takut, rasa malu, dan sebagainya. Agar terjalin kembali hubungan yang baik antara pelaku dan korban, pelaku harus memberikan ganti rugi bagi korban, sesuai dengan kesepakatan yang dicapai pada saat proses musyawarah, seperti dikemukakan oleh Bapak Eman salah satu anggota FMPA sebagai berikut : ”Ganti rugi dari segala kerugian yang diderita oleh korban, merupakan salah satu prasyarat dalam restorative justice yang harus dipenuhi, apabila pihak korban meminta ganti rugi maka keluarga pelaku wajib untuk memenuhinya dan apabila tidak dipenuhi maka laporannya akan diteruskan kepada pihak kepoilsian”. 71 Bagi korban, ganti rugi tersebut diharapkan dapat memulihkan kerugian yang dialaminya, sedangkan bagi pelaku, ganti rugi merupakan bentuk ”hukuman” dan wujud tanggung jawabnya bagi terwujudnya perdamaian dengan korban maupun masyarakat, seperti dikemukakan oleh Ketua FMPA di RW 14 Bapak Adi sebagai berikut : ”Pemberian ganti rugi sangat penting artinya bagi pelaku agar dapat mengembalikan kepercayaan dari korban dan masyarakat terhadapnya. Meskipun pada kenyataannya pihak korban tidak selalu menuntut ganti rugi tetapi dalam proses musyawarah tetap hal tersebut menjadi pembahasan” Bagi masyarakat, ganti rugi dapat diartikan bahwa pelaku telah berupaya mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga kecenderungan memberikan stigma negatif kepada pelaku dapat dihilangkan. Sedangkan bagi aparat penegak hukum, ganti rugi merupakan wujud kesungguhan proses restorative justice yaitu memberikan hukuman bagi pelaku dan memberikan hak kepada korban. Dengan kata lain, ganti rugi akan memberikan kepuasan terhadap tercapainya rasa keadilan bagi semua pihak. Proses restorasipemulihan tidak semata pemulihan terhadap kerugian fisik semata. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah pemulihan terhadap kerugian non fisik. Bagi korban yang masih berusia anak-anak, bisa jadi kejadian kenakalan terhadap dirinya akan membekas dalam ingatannya dan berakibat kurang baik bagi perkembangan psikisnya. Sehingga, proses pemulihan bagi korban tidak semata hanya dilakukan oleh pelaku tetapi orang tua, FMPA, dan masyarakat sekitarnya dapat memberikan dukungan terhadap pemulihan, seperti dikemukakan oleh salah satu angggota FMPA berikut ini : ”Pemulihan bagi korban khususnya korban yang masih anak-anak, misalnya dengan perlakuan yang baik agar trauma yang dialaminya dapat hilang, hal itu dilakukan tidak hanya dengan memberikan rasa ”kasihan” tetapi lebih kepada memberikan dukungan agar korban dapat menerima peristiwa yang terjadi pada dirinya, sedangkan pemulihan bagi pelaku misalnya tidak memberikan stereotype, menyadari bahwa kenakalan yang dilakukan anak dapat disadarkan dengan perlakuan yang baik” 72 Kecenderungan memberikan ”cap” negatif kepada pelaku tidak hanya membuatnya sulit untuk beradaptasi kembali dengan masyarakat, tetapi perlakuan semacam itu akan dapat menjadikan dirinya bertambah nakal karena merasa dikucilkan. Sampai saat ini, FMPA Kelurahan Pasanggrahan telah menjalankan kewajibannya menjadi mediator pemberian ganti rugi fisik dari pelaku kepada korban. Diharapkan proses pemulihan non fisik juga dilakukan bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya. 73 BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FORUM Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan penulis, beberapa faktor dapat mempengaruhi kinerja FMPA dalam penerapan restorative justice. Peranan para stakeholder yaitu inisiatorfasilitator, masyarakat, dan aparat penegak hukum sangat berperan bagi tercapainya tujuan yang diharapkan. Restorative justice tidak berhasil dengan baik apabila para stakeholder tersebut tidak berkolaborasi atau bekerja sendiri-sendiri. Beberapa faktor yang teridentifikasi terbagi atas: 1 kinerja anggota FMPA yang meliputi motivasi, pemahaman tentang hak anak, serta pengalaman dalam menangani anak nakal; 2 peranan inisiator FMPA yaitu Unicef Jawa Barat, LPA Jawa Barat, serta LSM Saudara Sejiwa; dan 3 partisipasi masyarakat, termasuk peranan kelembagaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut sangat berperan terhadap keberhasilan penanganan anak nakal dengan restorative justice, dapat dilihat pada gambar 3. keberhasilan restorative justice KINERJA ANGGOTA FMPA PARTISIPASI MASY PERANAN INISIATOR masyarakat umum lembaga masyarakat peranan Unicef Jabar pendanaan peranan LSM Saudara Sejiwa peranan LPA Jabar motivasi pengalaman koordinasi dalam menangani kasus motivasi menerapkan restorative justice motivasi menjadi anggota bagaimana penanganan melalui hukum orang tua sumbangan konsep sumbangan konsep dan tindakan sumbangan konsep dan tindakan Gambar 4 : Diagram Tulang Ikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Forum 74 6.1. Kinerja Anggota FMPA 6.1.1. Motivasi Motivasi merupakan prasyarat utama bagi keberlanjutan suatu organisasi. Motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam individu yang mengarahkan seseorang kepada tujuan yang diinginkannya. Dalam sebuah organisasi, motivasi tiap anggotanya yang konsisten akan mempertahankan kondisi kepada tercapainya tujuan organisasi tersebut, meskipun terdapat hambatan dan gangguan. Sebagai sebuah organisasi, FMPA akan sustainable apabila motivasi anggotanya tetap terjaga. Perbedaan latar belakang tiap anggota guru, ustadz, anggota PKK membutuhkan proses adaptasi satu sama lain. Tetapi, apabila masing-masing mempunyai motivasi yang sama, yaitu motivasi untuk menangani anak nakal berbasis masyarakat tanpa melalui jalur peradilan formal, maka perbedaan tersebut justru akan menjadi modal yang baik. Perbedaan latar belakang dapat berarti perbedaan cara penanganan anak nakal bagi setiap anggota, tetapi hal tersebut akan memperkaya pemikiran bagaimana menangani anak nakal sesuai dengan hak-hak anak, hal tersebut tercermin dari anggota FMPA yang terbentuk berlatar belakang pendidikan dan profesi sebagaimana dituturkan oleh anggota FMPA Bapak Suratmo sebagai berikut : ”Anggota FMPA dibentuk setelah sebelumnya kita mengadakan pertemuan di tingkat RW, pada saat itu dengan difasilitasi oleh LSM Saudara Sejiwa kita membentuk kepengerusannya. Hasil musyawarah dalam pertemuan tersebut ditetapkan yang menjadi anggota FMPA terdiri dari profesi Guru, Tokoh agama, Ibu PKK dan Ketua RW sendiri ditambah dengan Ketua Pemuda. Hal tersebut mencerminkan kepengurusan dalam FMPA terdiri dari berbagai profesi” Agar dapat mempertahankan terciptanya motivasi yang konsisten, maka diperlukan situasi yang mendukung, antara lain: setiap anggota mempunyai hak suara yang sama, saling menghargai pendapat tiap anggota, menciptakan relationship yang baik di dalam dan di luar forum, dan saling berkolaborasi. Kolaborasi memungkinkan semua stakeholder yang terlibat dapat meningkatkan fungsi dan peranannya. 75 Dalam wawancara mendalam dengan beberapa anggota FMPA, penulis mencoba mengetahui motivasinya untuk menjadi anggota, dan motivasi untuk terus melaksanakan restorative justice dalam menangani permasalahan anak nakal di wilayahnya. Penulis menyimpulkan motivasi untuk menjadi anggota FMPA sebagai berikut: a. merasa bertanggung jawab terhadap keberadaan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa; b. senakal-nakalnya anak masih dapat diluruskandiperbaiki perilakunya dan memperbaiki perilaku anak-anak terutama di wilayahnya merupakan wujud tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat; c. membantu orang tua menangani anaknya yang nakal, karena semua orang tua pasti tidak menginginkan anaknya menjadi nakal dan mengganggu ketertiban masyarakat; Dengan motivasi ini, apa pun latar belakang anggota FMPA, akan tetap menjadi dorongan yang kuat karena tujuan utamanya adalah melaksanakan tanggung jawab sosial sebagai warga masyarakat untuk memperbaiki perilaku anak. Guru, ustadz, anggota PKK, maupun latar belakang status pekerjaan seseorang, pasti menginginkan anak menjadi generasi penerus yang baik. Sedangkan motivasi untuk menangani anak nakal melalui restorative justice adalah: a. program ini difasilitasi oleh LPA dan LSM Saudara Sejiwa yang telah lama berkiprah dan dipercaya dalam menangani permasalahan anak jalanan di Ujung Berung; b. mendukung program yang dirumuskan oleh LPA dan LSM tersebut; c. adanya dorongan dari warga lainnya untuk menjadi anggota FMPA; d. tidak ingin menyerahkan semua urusan penanganan anak nakal kepada aparat penegak hukum, kecuali warga sudah tidak mampu mengatasinya; e. penanganan anak nakal melalui peradilan formal tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat menjadikan anak menjadi lebih nakal. 76 FMPA di Kelurahan Pasanggrahan mempunyai motivasi yang baik dalam menerapkan program ini. Tetapi, karena partisipasi masyarakat merupakan bentuk partisipasi fungsional sebagaimana uraian pada bab terdahulu, pada tahap awal motivasi ini harus mendapatkan stimulan berupa pendampingansosialisasi tentang restorative justice dan dukungan dana dari pihak inisiator. Setelah berjalan beberapa lama, barulah FMPA menunjukkan kemandiriannya dalam menyelesaikan permasalahan anak nakal di wilayahnya melalui program ini. Dapat disimpulkan bahwa selama para anggota FMPA tetap mempertahankan motivasi dalam menerapkan program ini, dengan dukungan dari stakeholder lainnya maka penanganan anak nakal dapat diselesaikan tanpa melalui jalur peradilan formal.

6.1.2. Pemahaman tentang Hak Anak

Setiap manusia melewati fase-fase dalam kedidupannya, dimulai dari fase pre-natal, fase natal, dan fase post-natal. Fase post-natal terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa, dan tua. Masing-masing tahapan tersebut memerlukan perhatian yang sesuai dengan kebutuhan tahapan tersebut. Pada tahapan anak-anak dan remaja, kondisi psikologis masih labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan dan media massa atau kurangnya pengawasan dari orang tuanya, hal ini dikemukakan oleh salah satu tokoh pemuda yang menjadi angota FMPA di RW 14 sebagai berikut : ”secara sosial psikologis, menurut saya kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak tidaklah mutlak menjadi kesalahan dari anak itu sendiri secara individu, tetapi hal tersebut tidak terlepas dari beberafa faktor yang mempengaruhinya seperti ajakan dari temannya atau kurangnya pengawasan dari orang tuanya terhadap anak tersebut” Tahapan remaja menuju dewasa membutuhkan penyesuaian-penyesuaian bagi individu tersebut karena terjadi perubahan-perubahan fisik dan psikisnya. Anak mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dikarenakan pengaruh hormon kelamin dan hypophysis di mana terdapat penambahan berat badan yang 77 mencolok disertai penambahan panjang badan, serta terjadi perubahan pubertas fisik dan psikis. Pubertas fisik meliputi pertumbuhan kelamin, misalnya mengalami menstruasi dan mimpi basah, tumbuhnya bulu di beberapa bagian, perubahan pita suara, yang dapat membuat kikuk, salah tingkah, canggung bila berhadapan dengan lawan jenis. Pubertas psikis terjadi penghayatan di mana individu yang bersangkutan secara psikis kejiwaan, batiniah berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa makna hidup baginya. Yang tampak menonjol dari perubahan psikis adalah mulai tumbuhnya harga diri atau muncul “akunya” bahkan kadang menjadi sombong atau membanggakan apa yang dimilikinya, dorongan untuk bersifat agresif dan membentuk “geng”, dorongan nafsu seksual makin menggelora, ingin serba bisa memecahkan masalahnya sendiri, dan sering bersikap emosional. Pada masa remaja perubahan-perubahan fisik dan psikis tersebut menuntut perubahan dalam beradaptasi dengan diri dan lingkungannya, sehingga diperlukan bimbingan dan arahan yang jelas agar anak ini tidak terjerumus dalam hal-hal yang bersifat negatif. Kenakalan yang terjadi pada anak sering disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan media massa di samping perhatian orang tua yang kurang. Sebagai bagian dari masyarakat, anak mempunyai hak untuk berkembang sesuai dengan fase-fase hidupnya tersebut. Anak seharusnya diberi ruang untuk dapat menyalurkan gejolak perubahan psikologis tersebut kepada kegiatan- kegiatan yang positif. Terhadap anak yang melakukan kenakalan, masyarakat pun harus tetap memperhatikan hak-hak anak untuk tetap tumbuh dan berkembang secara normal. Pemahaman yang baik terhadap hak-hak anak meskipun anak tersebut melakukan kenakalan, akan memberikan solusi yang memulihkan bagi anak untuk merubah perilakunya ke perbuatan yang baik dan sesuai norma sosial. Dalam konsep restorative justice, pemahaman tentang hak anak oleh orang tua, masyarakat umum, dan anggota FMPA akan membawa proses pemulihan itu berjalan dengan baik. 78 Konvensi Hak Anak merumuskan empat prinsip perlindungan terhadap anak, yaitu non diskriminasi; yang terbaik bagi anak; hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; serta penghargaan terhadap pendapat anak. FMPA harus menempatkan prinsip ini dalam menangani masalah kenakalan anak. Non diskriminasi dapat diartikan bahwa setiap anak yang berlatar belakang berbeda dari status sosial, ekonomi, maupun agama, harus mendapatkan perlakuan yang sama. Apabila anak tersebut melakukan kesalahan, selayaknya mendapatkan proses pemulihan yang sama. FMPA juga harus membuat solusi yang terbaik bagi anak, dapat berarti selama mengikuti proses pemulihan, FMPA memberi kesempatan kepada anak untuk terus mengikuti sekolah, berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya, dan tanpa mengalami pengucilan. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan bagi anak memberikan kesempatan kepada FMPA dan masyarakat umum untuk membimbing dan mengarahkan perubahan fisik dan psikis anak menuju ke arah yang seharusnya. Penghargaan terhadap pendapat anak dimaksudkan agar anak dapat menetapkan pilihan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya tanpa ”dikte” dari orang tua. Bagi anak yang melakukan kenakalan, FMPA harus memperhatikan kasus tersebut dari sudut pandang anak, tidak ”menghakimi” sebelum mendengar pendapat anak terhadap kasus tersebut. Proses musyawarahdialog, relationship building, dan pemberian ganti rugi, tetap harus memperhatikan pendapat anak. Sehingga proses pemulihan tersebut melibatkan juga keinginan anak untuk mendapatkan solusi yang terbaik.

6.1.3. Pengalaman

Pada masa lalu, proses musyawarah dalam menangani anak nakal di wilayah Pasanggrahan yang mayoritas suku sunda sebenarnya sudah berjalan. Hal ini berkaitan dengan budaya Sunda yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap masalah. Hanya saja belum melembaga dan bersifat insidentil. Tokoh masyarakat di lingkungan tersebut berupaya ”mendamaikan” 79 pelaku dan korban melalui proses musyawarah, hal yang sama dengan restorative justice tetapi tidak dalam sebuah forum yang dilembagakan seperti FMPA. Bagi anggota FMPA, pengalaman menangani anak nakal melalui program ini tidak lepas dari latar belakang yang bersangkutan. Anggota yang berasal dari Ketua RTRW, guru, ustadz, dan ibu PKK, tentu mempunyai perhatian lebih terhadap perkembangan anak. Hal ini turut berpengaruh terhadap kinerja FMPA. Anggota yang cenderung mempunyai latar belakang pendidik tersebut guru dan ustadz dapat memahami proses perkembangan anak, memahami hak-hak anak, sehingga proses pemulihan dapat berjalan baik. Ibu PKK yang mempunyai anak, berkepentingan agar anak-anak di wilayahnya tidak menjadi anak nakal, dan berperilaku sesuai dengan norma sosial yang terdapat di komunitasnya. Sedangkan bagi Ketua RTRW, faktor keamanan lingkungan bisa jadi menjadi prioritas, sehingga menjaga lingkungan bebas dari anak nakal menjadi motivasi yang baik, seperti dituturkan oleh Ketua RW 14 berikut ini : ”Dalam memilih anggota Forum, saat itu masyarakat yang hadir dalam pertemuan sepakat untuk menunjuk kami berlima dengan pertimbangan terdiri dari berbagai disiplin pekerjaan dan latar belakang yang bervariasi, sehingga diharapkan dengan perbedaan pengalaman yang dimiliki tersebut akan menambah pemahaman dan pengetahuan dalam penanganan terhadap anak nakal” Mengingat pentingnya pengalaman dan pemahaman terhadap hak anak, masyarakat memilih anggota FMPA sesuai dengan latar belakang dan pengalaman yang baik dalam penanganan anak. Anggota FMPA yang terpilih juga harus mengedepankan proses pemulihan yang memihak kepada hak-hak anak. 6.2. Peranan Inisiator FMPA 6.2.1. Unicef Jabar Sejak tahun 2002, anak-anak yang bermasalah dengan hukum merupakan priotritas bagi UNICEF Indonesia yang dimulai dengan program peradilan anak yang bersahabat untuk memperbaiki peradilan anak dan meningkatkan kesadaran atas situasi perlakuan yang salah terhadap anak dalam kerangka strategi prioritas 80 jangka menengah MTSP UNICEF dan sasaran-sasarannya. Keseluruhan tujuan dari proyek adalah untuk mengembangkan sistem peradilan anak yang komprehensif, yang konsisten dengan Konvensi Hak Anak KHA dan petunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Kegiatan Uji coba model restorative justice di Kelurahan Pasanggrahan merupakan bagian dari kerjasama Pemerintah RI dengan UNICEF Indonesia dalam memberikan upaya perlindungan terhadap anak. Diperlukan perlindungan khusus yang didasari atas dasar analisa kondisi obyektif dari anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus baik dalam bentuk kebijakan, model penanganan atau bantuan serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk memberikan bantuan. Anak nakal sehingga berhadapan dengan masalah hukum merupakan kelompok anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus, tetapi belum memperoleh perhatian dan penanganan perlindungan yang berperspektif anak, untuk itulah kegiatan uji coba ini dilakukan. Dalam pelaksanaannya kegiatan ini memperoleh dukungan sepenuhnya dari UNICEF Indonesia dan didampingi, dimonitor dan dievaluasi umpan balik dari UNICEF FO Jabar dan Banten.

6.2.2. LPA Jabar

Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat LPA Jabar merupakan suatu organisasi independen, nirlaba, bergerak dalam bidang sosial dengan spesifikasi Perlindungan Hak Anak, yang berdiri sejak tanggal 27 Januari 2000. Adapun visi dari LPA Jabar adalah mewujudkan tatanan kehidupan yang mampu mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak anak serta memajukan dan melindungi anak dari hak-haknya, sedangkan misinya adalah melindungi anak dari setiap orang tua dan atau lembaga yang melanggar hak-hak anak serta mengembangkan partisipasi keluarga dan masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak. Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat yang telah berkomitmen untuk melakukan perlindungan terhadap anak, termasuk bagi anak yang berhadapan dengan hukum anak nakal. Sebagai lembaga advokasi, LPA dituntut untuk dapat 81 melakukan aktivitas yang akan memberikan dampak yang lebih mendasar bagi upaya perlindungan terhadap anak khususnya anak nakal, yaitu upaya yang dapat menjadi alternatif solusi bagi penanganan anak nakal yang lebih berperspektif anak. Solusi ini dirumuskan bersama antara LPA dengan stakeholders dalam hal ini lembagainstitusi yang memiliki akses bagi upaya perlindungan terhadap anak nakal yang terdiri dari unsur akademisi, aparat penegak hukum, lembaga pendamping dan para ahli. Melalui para akademisi diharapkan diperoleh dasar konseptual teoritik yang tegas. Dari aparat penegak hukum diharapkan diperoleh dasar praktik dan yuridis yang kuat, dari lembaga pendamping diharapkan diperoleh dasar empirik yang kuat serta dari para ahli diperoleh landasan profesional yang kuat. Atas darsar pemikiran tersebut dipandang perlu dilakukan asesmen tentang anak nakal di Kota Bandung yang mengeksplorasi permasalahan anak nakal.

6.2.3. LSM Saudara Sejiwa

LSM Saudara Sejiwa pada awalnya berfokus pada penanganan anak jalanan yang ada disekitar Pasar Ujung Berung. Lembaga ini mendirikan rumah singgah yang bertempat di Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Ujung Berung dengan jumlah anak jalanan yang ditampung sebanyak 35 anak pria dan 5 anak perempuan. LPA Jabar memilih LSM Saudara Sejiwa untuk dapat diajak bergabung dalam kegiatan restorative justice dengan pertimbangan lembaga tersebut telah berada dilokasi hampir lima tahun lamanya sehingga diharapkan dapat lebih mengetahui pola perilaku dan budaya setempat khususnya dalam penanganan anak nakal.

6.3. Partisipasi Masyarakat

Masyarakat Kelurahan Pasanggrahan seperti yang telah dibahas pada Peta Sosial, memiliki modal sosial yaitu adanya kepedulian terhadap sesama, ikatan bersama, adanya kepercayaan, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Apabila modal sosial tersebut dikelola dan digerakkan dengan baik, maka akan 82 menghasilkan kekuatan dalam menghadapi berbagai hambatan yang dihadapi oleh warga Kelurahan Pasanggrahan. Menanggapi adanya program ”Restoratife Justice” di Kelurahan Pasanggrahan, warga masyarakat pada umumnya menyambut positif kegiatan tersebut, hal ini ditunjukkan dengan partisipasi mereka pada saat dilakukan sosialisasi di Balai Pertemuan RW maupun pada saat pengajian di Mesjid. Seperti dituturkan oleh satu tokoh masyarakat Bapak Idi sebagai berikut : ”...ketika dilakukan penyuluhan hukum, warga mendengarkan paparan yang disampaikan oleh Team cukup antusias dan banyak bertanya tentang cara-cara penyelesaian yang terbaik, malah yang paling banyak memberikan pertanyaan adalah kaum perempuannya terutama tentang bagaimana mencegah agar anak-anak tidak melakukan kenakalan..” Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang pengkaji lakukan di Kelurahan Pasanggrahan terdapat beberapa lembaga lokal yang mempunyai tujuan kolektif terhadap masalah anak nakal dan penanganannya. Lembaga sosial tersebut meliputi : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Karang Taruna, Dewan Keluarga Mesjid DKM dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga PKK. Disamping itu terdapat juga nilai-nilai lokal berkaitan dengan anak yang ada di Kelurahan Pasanggrahan yaitu bagaimana masyarakat memandang seorang anak berdasarkan nilai-nilai budaya yang dipahaminya. Lebih jauh kelembagaan berkaitan dengan anak sebagai berikut :

6.3.1. Orang Tua

Peranan keluarga dan media massa dalam perkembangan dan tingkah laku sosial dan moral anak sangat besar. Keluarga merupakan komunitas pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar sebagai makhluk sosial dan berinteraksi dengan komunitasnya. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai kedudukan penting dalam penanaman moral anak. Keluarga yang harmonis, di mana orang tua memberikan kasih sayang dan perhatian yang baik bagi anak, sebaliknya anak berkembang sesuai dengan ajaran-ajaran moral yang diberikan orang tuanya, cenderung membentuk pribadi anak menjadi pribadi yang baik. Peranan orang tua juga sangat penting dalam menyaring informasi yang diperoleh 83 anak dari media massa. Pendampingan orang tua di saat anak menonton media televisi, misalnya, diperlukan agar orang tua dapat memberikan penjelasan yang dianggap perlu terkait dengan informqasi tersebut. Keutuhan orang tua juga mempunyai arti penting dalam perkembangan psikis anak. Orang tua yang bercerai, atau single parent, menjadikan perkembangan anak menjadi kurang sempurna. Figur ayah dan ibu yang baik dapat menyeimbangkan perkembangan anak. Seringkali anak menjadi nakal manakala perhatian orang tua kurang maksimal. Pemenuhan kebutuhan bagi anak tidak semata-mata diperoleh dari pemenuhan kebutuhan akan barangbenda, tetapi juga diperoleh dari bentuk perhatian, mengarahkan anak kepada hal yang baik. Pada beberapa kasus, orang tua yang hanya menyerahkan tanggung jawab pembinaan anak kepada guru di sekolah, harus mendapati anaknya menjadi kurang baik manakala pengaruh media massa dan lingkungan lebih besar dibandingkan sekolah. Hal ini dapat dimaklumi, karena waktu berinteraksi anak di sekolah hanya seperempat + tujuh jam dalam sehari, selebihnya proses interaksi anak terjadi dalam keluarga dan lingkungan. Terhadap anak yang nakal pun, peran orang tua sangat diperlukan. Tidak hanya menyalahkan anak, tetapi orang tua harus introspeksi diri mengapa anaknya dapat melakukan kenakalan. Proses pemulihan yang baik bagi anak akan menentukan perilaku anak berikutnya. Orang tua yang mendapati anaknya melakukan kenakalan dan menimbulkan korban dan tidak dapat mengatasi persoalannya sendiri, dapat meminta bantuan kepada FMPA. Faktor kepercayaan orang tua terhadap kinerja FMPA, menentukan proses pemulihan anak. FMPA dapat memberikan solusi yang memulihkan bagi anak nakal melalui restorative justice , sehingga orang tua perlu mendukung proses pemulihan tersebut. Selanjutnya, untuk memulihkan kondisi psikis anak, pendampingan orang tua masih diperlukan oleh anak tersebut. 84

6.3.2. Mayarakat Umum

Masyarakat umum selain pelaku dan korban mempunyai andil yang besar pula dalam kinerja restorative justice. Masyarakat dapat melaporkan kasus anak nakal kasus ringan sesuai dengan yang disepakati yang terjadi di wilayahnya kepada anggota FMPA agar diselesaikan di tingkat forum, tidak harus melalui aparat penegak hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja FMPA juga menentukan bagaimana FMPA tersebut dapat bekerja dengan baik. Andil masyarakat juga diperlukan dalam proses relationship building dan pemberian ganti rugi antara pelaku dan korban. Masyarakat dapat menjadi saksi dari proses tersebut, sehingga dapat menilai apakah proses itu dapat memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak. Sehingga kecenderungan untuk memberikan stereotype kepada pelaku dapat dikikis karena masyarakat mengetahui sendiri bahwa prose situ telah memuaskan dan menenteramkan hati kedua belah pihak. Dalam proses berikutnya, penerimaan kembali anak nakal ke dalam komunitas disertai dengan pendampingan mempercepat proses pemulihan bagi anak tersebut. 6.3.3. Kelembagaan Masyarakat 6.3.3.1. DKM Latar belakang kegiatan Dewan Keluarga Mesjid DKM ini adalah untuk mempererat dan mempersatukan tokoh-tokoh mayarakat dalam wadah keagamaan khususnya dalam kegiatan yang islami. Dalam kegiatan ini juga mempersatukan pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Ikatan Remaja Mesjid. Melalui kegiatan tersebut para pemuda dan pemudi diharapkan memiliki kepekaan terhadap lingkingan sosial dan masalah keagamaan yang bekaitan dengan kepemudaan. Ikatan Remaja Mesjid adalah salah satu media untuk memberikan pembinaan mental kepada para remaja, melalui lembaga ini, seorang remaja akan memperoleh lingkungan islami serta dapat mengembangkan kreativitasnya. Lingkungan yang islami ini akan mendukung perkembangan remaja secara positif dan menuntun mereka dalam kepribadian yang benar. Pembinaan yang islami juga akan memudahkan setiap orang tua memperoleh anak yang didambakannya yaitu 85 anak yang baik, beriman, berilmu dan berakhlak mulia sehingga tidak pernah terlibat dalam kenakalan. Kegiatan DKM dan Remaja Mesjid di Kelurahan Pasanggrahan masih terjebak dalam kegiatan yang besifat rutinitas ”ubudiyah” semata, seperti kegiatan memperingati hari-hari besar islam dan sejenisnya, padahal jika dilihat lebih jauh berdasarkan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan bagi remaja khususnya, banyak peran dan fungsi yang dimiliki dan dikembangkan oleh Remaja Mesjid

6.3.3.2. LPM

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, merupakan sebuah proses perubahan nama dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa LKMD. Kelembagaan ini mempunyai tugas sebagai mitra dari pemerintah kelurahan di dalam bidang pemerintahan dan pembangunan yang diserahkan kepada kelurahan sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh camat. Sebagai mitra dari pemerintah, kelembagaan ini mempunyai tugas mengkoordinir segala bentuk kegiatan di masyarakat dengan organisasi yang lebih atasnya dengan arah kegiatan lebih bersifat mobilisator sumber sosio kultural untuk membangun masyarakat yang kreatif dengan komitmen kemandirian yang memiliki sifat-sifat inovatif sebagai sumber daya pembangunan. LPM dalam penanganan anak nakal di Kelurahan Pasanggrahan belum nampak kegiatan yang nyata, padahal idealnya LPM berfungsi untuk mengkoordinir sumber-sumber sosio kultural, tetapi ketika dilaksanakan program restoratife justice, pihak LPM mendukung sepenuhnya kegiatan tersebut

6.3.3.3. Karang Taruna

Karang Taruna sebagai organisasi yang keberadaannya mendapat pembinaan dari Dinas Sosial merupakan wadah kegiatan pada pemuda untuk melaksanakan aktivitas dan kratifitasnya. Melalui Karang Taruna ini pada pemuda diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Dalam konteks pencegahan terjadinya kenakalan anak, Karang Taruna merupakan media yang tepat untuk melibatkan anak dalam aktivitas yang 86 dilakukannya baik yang bersifat rekreatif edukatif maupun yang bersifat pengembangan kemampuan anggotanya. Kegiatan yang bersifat rekreatif edukatif sangat relefan untuk mencegah terjadinya kenakalan anak. Kegiatan tersebut umumnya diwujudkan dalam bentuk olah raga, kesenian, pembelajaran komputer dan lain sebagainya.

6.3.3.4. PKK

Lembaga ini berada pada tingkat Kelurahan sampai pada tingkat RW. Sasaran utama dari pelayanan yang diberikan oleh PKK adalah para orang tua, dengan tujuan untuk menciptakan keluarga yang sejahtera. Dalam konteks penanganan anak nakal, PKK memotivasi para ibu-ibu untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap anak-anaknya agar terhindar dari kenakalan remaja yang akhir-akhir ini sering terjadi seperti masalah narkotika dan obat terlarang juga termasuk merebaknya minuman keras dikalangan remaja. Upaya penanganan anak nakal secara luas bukan hanya tanggung jawab pemerintah aparat penegak hukum namun tidak kalah pentingnya juga bagaimana masyarakat yang tergabung dalam organisasi khususnya PKK untuk menjembatani terpenuhinya kebutuhan dasar warga setempat. Dalam konteks ini diperlukan partisipasi warga masyarakat agar terus memperjuangkan hak-hak hidup layak dan bermartabat. Bagi pengurus PKK sebagai pelaksana perubahan di tingkat lokal perlu berpartisipasi aktif mengembangkan kemampuannya dalam upaya penanganan masalah anak nakal secara kondusif. Penanganan masalah anak nakal yang diberikan kelompok PKK di Kelurahan Pasanggrahan diwujudkan dalam bentuk gagasan kepada masyarakat untuk memberikan perhatian terhadap fasilitas olahraga futsal di Kelurahan Pasanggrahan. Dengan demikian secara tidak langsung kelompok PKK telah memberikan kontribusi terhadap upaya pencegahan masalah kenakalan anak di Kelurahan Pasanggrahan. 87 BAB VII. EVALUASI HASIL KINERJA FORUM Dalam melakukan analisis terhadap suatu program diperlukan kegiatan pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi dalam praktek pengembangan masyarakat merupakan salah satu langkah yang sangat penting yang harus dilakukan, sama pentingnya dengan langkah-langkah lainnya seperti need asessment , menyusun rencana intervensi, intervensi, serta tindak lanjut yang kesemuanya merupakan tahapan yang harus dilalui dalam proses pemberian pertolongan dalam praktek pengembangan masyarakat. Secara umum, evaluasi diartikan sebagai kegiatan pengukuran terhadap sesuatu, apakah itu suatu proses atau hasil dari kegiatan dengan menggunakan alat ukur atau standar tertentu. Menurut Hendrakusumaatmaja 2007, evaluasi adalah suatu proses yang dilakukan secara obyektif untuk menentukan keterkaitan, efisiensi, efektifitas dan dampak suatu upaya sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, sedangkan pemantauan meliputi kegiatan mengamati, meninjau kembali, mempelajari dan mengawasi yang dilakukan secara terus-menerus atau berkala. Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu upaya berjalan sesuai dengan rencana, dan dilakukan selama upaya tersebut dilaksanakan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan upaya atau kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyusunan upaya atau kegiatan dan pengambilan keputusan di masa depan. Evaluasi dapat dilakukan pada saat pelaksanaan, saat berakhirnya suatu upaya, atau beberapa tahun setelah suatu upaya selesai. Lebih lanjut Hendrakusumaatmaja 2007 menyebutkan beberapa tujuan pemantauan dan evaluasi, yaitu: 1. mengetahui pelaksanaan suatu upaya keberhasilan-kelemahan, kegagalan, penyimpangan, dan penyebabnya; 2. mengetahui pencapaian tujuan yang hendak dicapai; 3. mengetahui manfaat dan dampaknya terhadap kelompok sasaran; 4. membuat tindakan korektif secara dini; 88 5. mengoptimalkan upaya yang dilakukan sumber daya manusia, dana, waktu; 6. menarik bahan pelajaran untuk perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan di masa mendatang secara lebih baik. Mengenai pentingnya hasil pemantauan dan evaluasi, adalah sebagaimana disebutkan oleh Sumardjo 2008, yaitu: 1. sarana untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan manajemen program pemberdayaan fakir-miskin; 2. meningkatkan kualitas perencanaan secara partisipatif dan kolaboratif antar pihak terkait; 3. membantu pihak-pihak terkait dalam membuat keputusan secara partisipatif yang akuntabel bertanggungjawab secara tepat dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 4. membantu dalam membuat kebijakan secara tepat, konvergen, dan sinergis bagi pemerintah; 5. menunjukkan di mana dibutuhkan penyesuaian dan tindakan selanjutnya dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 6. menunjukkan di mana dibutuhkan tindak lanjut lebih lanjut dan mendalam; 7. memberikan informasi kepada masyarakat yang lebih luas.

7.1. Kasus Yang ditangani FMPA

Selama dimulainya program restorative justice sampai dengan sekarang sudah ada tujuh kasus yang ditangani oleh FMPA. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini diketengahkan beberapa kasus praktek penanganan anak nakal yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Pasanggrahan, yaitu sebagai berikut: 1. Kasus perkelahian sesama anak a. Kronologis Kasus ini berawal dari pelaku bernama De 16 th yang sering diejek oleh An 15 th. De merasa tersinggung ketika dikata-katain caludih kotor pakaiannya. De memang berasal dari keluarga miskin, orang tuanya sudah 89 bercerai dan De tinggal dengan ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci, sehingga pakaian yang dipakainya hanya itu-itu juga. Tidak menerima dengan ejekan tersebut, De memukul korban dan terjadilah perkelahian, namun karena tenaga De lebih kuat mengakibatkan An babak belur. Untunglah ada warga yang melerainya sehingga perkelahian berhenti, kemudian oleh Pengurus RT setempat mereka dilaporkan kepada Ketua RW untuk diselesaikan. b. Upaya Penyelesaian Ketua RW kemudian mengundang anggota Forum yang lainnya untuk menyelesaikannya, demikian juga pihak keluarga korban dan keluarga pelaku dipertemukan dan dilakukan musyawarah. Pada awalnya keluarga korban tidak menerima dengan perlakuan pelaku, namun setelah mendengarkan penjelasan dari pelaku dan korban anaknya akhirnya keluarga korban meminta maaf atas kesalahan anaknya demikian juga ibunya pelaku meminta maaf pada korban dan orang tuanya. Hasil musyawarah adalah sebagai berikut: - Pelaku dan korban saling memaafkan dan tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah lagi. - Atas luka lebam yang ditimbulkan oleh pelaku, keluarga korban tidak menuntut biaya pengobatan, mengingat korban juga mempunyai andil kesalahan. Setelah kejadian tersebut, menurut informasi dari Ketua RW pelaku dan korban malah jadi bersahabat dan sering mereka bermain bersama, demikian juga keterangan dari orang tua korban bahwa antara De dan An terjalin persahabatan yang cukup erat seperti dituturkan oleh orang tua An sebagai berikut: ”Mereka sekarang menjadi sahabat yang erat dan satu sama lain saling kompak, karena pelaku hanya tamat SD, saya pernah menawarkan kepada De dan ibunya untuk sekolah lagi mengikuti paket B dan semua biaya ditanggung oleh saya, tetapi De sudah tidak berminat sekolah lagi dan pingin cari kerja saja untuk membantu ibunya”. 90 Kasus di atas memperlihatkan bahwa proses penyelesaian restorative justice cukup efektif untuk memulihkan kedua belah pihak baik korban maupun pelaku. 2. Kasus pemalakan yang berlanjut pada perkelahian a. Kronologis Pada awalnya ada empat orang anak berinisial A, C, B dan H, mereka biasa mengamen di Terminal Ujung Berung. Pada suatu ketika mereka selesai mengamen dan mau pulang ke rumah sewaannya, bertemu dengan dua anak pelajar bernama Wa dan He. Salah seorang dari kelompok pengamen mendekati Wa diikuti oleh teman yang lainnya dan meminta uang, tetapi Wa tidak memberinya, sehingga terjadi keributan kecil dan berujung pada ”cekcok” mulut, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena keburu dilerai oleh warga sekitar yag melihatnya. Tidak terima dengan kejadian tersebut Wa dan He melaporkan kepada orang tuanya dan kemudian orang tuanya melaporkan kejadian tersebut pada FMPA. b. Upaya Penyelesaian FMPA memanggil para pihak dan ternyata pelaku yang empat orang bukan berasal dari daerah Ujung Berung. Setelah dipertemukan keenam anak tersebut bersama dengan orang tuawalinya, dilakukan musyawarah dan dicapai kesepakatan sebagai berikut: - Pelaku yang empat orang meminta maaf pada korban dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah. - Pelaku mendapat hukuman yaitu membersihkan halaman Mesjid Al Amin di RW 03. 3. Kasus anak terjatuh dari motor karena dipaksa untuk mencoba mengendarai motor oleh temannya a. Kronologis Dua orang sahabat yaitu Mi 14 th dan De 14 th naik motor kepunyaan orang tuanya De. Saat di jalan yang agak sepi De menawarkan kepada Mi untuk mencoba belajar motor karena sepengetahuannya Mi belum bisa 91 naik motor, saat itu Mi menolaknya tetapi De memaksanya dan bilang tidak apa-apa nanti juga bisa dan tidak akan jatuh. Karena dipaksa untuk belajar motor oleh sahabatnya tersebut akhirnya Mi mencoba mengendarai motor tersebut, namun baru mulai jalan ternyata jatuh yang menyebabkan motor tersebut rusak pada sayap kirinya. Ketika De kembali ke rumahnya dengan membawa motor yang rusak, orang tuanya marah dan kemudian mendatangi rumah keluarga Mi untuk meminta ganti rugi. b. Upaya Penyelesaian Kabar tentang kejadian tersebut menyebar dan akhirnya tembus pada Ketua RT sehingga melaporkannya kepada Ketua RW, kemudian Ketua RW bersama anggota Forum lainnya mengadakan musyawarah dan memanggil para pihak. Setelah mendengar penjelasan dari kedua anak ltersebut, akhirnya dicapai kesepakatan sebagai berikut: - Orang tua Mi tidak menuntut ganti rugi atas kerusakan motornya, karena ternyata De disuruh oleh Mi untuk mengendarai motornya - Masing-masing pihak saling meminta maaf 4. Kasus pencurian besi rongsokan a. Kronologis Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 2006 sekitar jam 15.00 WIB, So 12 th dan Wa 12 th masing-masing pelajar kelas 6 SD, sedang bermain. Ketika melewati rumah Bapak In di kompleks perumahan yang cukup mewah mereka melihat di halaman rumahnya ada beberapa potong besi bekas. Melihat hal tersebut mereka mengambilnya dan membawanya pulang, namun kejadian tersebut dilihat oleh warga dan oleh warga dilaporkan kepada keamanan setempat Satpam. Kemudian mereka dibawa kepada pengurus RW 14. b. Upaya Penyelesaian Malam harinya Ketua RW mengundang anggota Forum yang lainnya dan orang tua kedua anak tersebut juga pihak korban. Pada saat musyawarah pihak korban langsung mengatakan bahwa dia tidak keberatan karena besi 92 tersebut sudah tidak dipakainya lagi, tetapi anggota forum tetap menjalankan musyawarah supaya ada efek jera buat kedua anak karena telah mengambil barang milik orang lain tanpa ijin. Hasil musyawarah dicapai kesepakatan: - Pelaku dan kedua orang tuanya meminta maaf pada pihak korban. - Pihak korban meminta kepada semua pihak baik anggota forum maupun kedua orang tuanya bahwa anak tersebut jangan diberi sanksi apapun karena masih anak SD. Sedangkan ada satu kasus yang telah ditangani oleh FMPA, tetapi masalahnya dilanjutkan kepada pihak kepolisian yaitu kasus pengeroyokan yang dilakukan terhadap Wk di RW 14 Kelurahan Pasanggrahan, seperti yang dituturkan oleh Ketua RW 14 sekaligus Ketua Forum di RW 14 berikut ini: ”Kasus ini bermula dari adanya dugaan masyarakat terhadap Wk, seorang remaja berusia 15 tahun yang telah melakukan pencurian kalung emas seberat 10 gram dan uang tunai Rp 600.000,- milik tetangganya bernama Ny. Lis. Pencurian yang dituduhkan warga tersebut terjadi pada hari Sabtu dini hari tanggal 2 Juli 2006, di warung kelontong yang merangkap rumah Ny. Lis. Para pelaku yang terdiri dari tujuh orang, selama sehari penuh memburu yang bersangkutan. Akhirnya pada hari Sabtu malam tanggal 2 Juli 2006, para pelaku menemukan Wk sedang asyik menonton pertunjukan musik di alun-alun Ujung Berung. Seketika itu juga pada pelaku membawa korban ke Kp. Telok Dengklok yang berjarak 3 Km ke arah utara dari alun-alun Ujung Berung. Menurut keterangan saksi, Wa dipukuli secara bergantian oleh para pelaku bahkan dalam keadaan sempoyongan sempat dibawa ke rumah Ny. Lis dan karena lukanya cukup parah warga membawanya ke rumah sakit”. Lebih lanjut Ketua Forum mengatakan bahwa : ”Pada hari Sabtu jam 01.00 dini hari, tanggal 2 Juli 2006, saya sebagai Ketua RW 14 didatangi oleh Ketua RT 02 yang melaporkan adanya kasus pencurian. Pada malam itu juga, saya mewanti-wanti kepada siapa pun agar korban jangan diapa-apakan, dan berusaha akan menyelesaikannya dengan restorative justice . Besoknya hari Minggu tanggal 3 Juli 2006 jam 08.00 saya bersama anggota Forum Pemulihan melakukan upaya penyelesaian dengan memanggil berbagai pihak yaitu keluarga pelaku pencurian, pihak korban pencurian Ny. Lis dan orang-orang yang melakukan pemukulan 93 sebanyak 7 orang yaitu Na 35 th, Su 28 th, Iw 18 th, Uj 19 th, He 25 th, Ib 17 th dan De 16th anak Ny. Lis korban pencurian.” Setelah berkumpul para pihak, akhirnya ketua Forum melakukan musyawarah dengan hasil sebagaimana dikemukakan lebih lanjut oleh Ketua Forum sebagai berikut: ”Hasil musyawarah yang disepakati yaitu keluarga tersangka akan mengganti kalung yang hilang apabila anaknya mengakui kalau dia yang mengambil kalung tersebut, kemudian karena sakitnya cukup parah, pihak yang melakukan pemukulan sebanyak 7 orang sanggup mengganti biaya perawatan korban sampai sembuh dan Angggota Forum akan menanyai pelaku pencurian Wk setelah sembuh dari luka-lukanya dan nantinya akan dilakukan musyawarah ulang.” Setelah satu minggu kemudian ternyata Wk meninggal dunia di rumah sakit akibat luka memar di wajah adanya resapan darah di kepala bagian belakang sehingga menyebabkan geger otak. Tidak terima dengan kejadian yang menimpa anaknya, Ku Ayah korban melaporkan kasus tersebut pada pihak kepolisian, sehingga beberapa anggota dari Polres Bandung Timur mendatangi Ketua RW dan menjelaskan bahwa prosesnya harus ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian karena telah menyebabkan hilangnya nyawa orang, akhirnya ke tujuh pelaku pemukulan diproses secara hukum.

7.2. Evaluasi Masyarakat