mendorong peserta didik bosan, malas untuk mempelajari sejarah secara serius.
Pendekatan saintifik memberikan hal-hal yang baru dalam proses pembelajaran sejarah. Hal-hal yang baru yang dimaksud ialah mengamati,
menanya, menalar, mengeksplorasi, jejaring pembelajaran. Pendekatan saintifik ini dapat meningkatkan keberhasilan peserta didik dalam memahami
pelajaran sejarah.
6. Prestasi Belajar Sejarah
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, prestasi adalah hasil yang telah dicapai dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya.
25
Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan,
memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian.
26
Belajar dapat dinyatakan sebagai perubahan atau usaha seseorang untuk memperoleh sesuatu
yang belum diketahui sebelumnya, sehingga dengan belajar ia dapat mengetatahuinya secara mendalam berdasarkan usaha-usaha yang dilakukannya.
Jadi, prestasi belajar yaitu keberhasilan dari penguasaan siswa terhadap pengetahuan dan keterampilan yang ditunjukkan oleh prestasi siswa melalui nilai
angka yang diberikan oleh guru.
25
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua, Balai Pustaka, hlm. 14.
26
Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hlm. 9.
7. Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah
Paul Suparno dalam bukunya “Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan
”, mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi
bentukan kita sendiri.
27
Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pengetahuan seseorang dapat diperoleh melalui pengalaman yang ia peroleh setiap hari.
Semakin banyak seseorang memperoleh pengalaman, maka pengetahuannya semakin banyak pula. Jadi, melalui pengalaman tersebut sangat menunjang
pengetahuan seseorang. Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif seseorang berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, tetapi dikonstruksi
dari dalam diri seseorang. Pendapat ini menekankan pengertian bahwa pengetahuan berasal dari luar, tetapi setelah seseorang mendapatkan pengetahuan
tersebut maka dikonstruksinya kembali dari dalam dirinya. Teori lain mengemukakan konstruktivisme adalah proses pembelajaran
yang menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang
bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang siap dipraktikannya.
Manusia harus
mengkonstruksikannya terlebih
dahulu pengetahuan itu dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Dalam
konstruktivisme terdapat hal-hal di antaranya : 1 belajar berarti menyediakan
27
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan,Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 18.
kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya, 2 kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengkonstruksi pengetahuan, bukan
menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan konsep, prinsip baru,
menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan atas penemuan. 3 belajar
adalah proses aktif mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari
makna dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki.
28
Konstruktivisme dapat mendukung proses pembelajaran untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini dikarenakan konstruktivisme memiliki prinsip-
prinsip antara lain : 1 pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif, 2 tekanan pada proses pembelajaran terletak pada siswa, 3 mengajar adalah membantu
siswa belajar, 4 tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir, 5 kurikulum menekankan partisipasi siswa, 6 guru adalah fasilitator.
29
Dari paparan tersebut dapat kita menarik suatu kesimpulan bahwa melalui teori konstruktivisme di dalam proses pembelajaran di kelas, menuntun siswa untuk
terlibat secara aktif selama proses pembelajaran sehingga tidak menimbulkan sikap kaku atau pasif dari diri siswa itu sendiri, dan guru berperan sebagai
fasilitator untuk membantu siswa dalam belajar.
28
Hosnan, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21: Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hlm. 270.
29
Paul Suparno, op.cit. hlm. 73.
a. Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah
Konstruktivisme menekankan
bagaimana manusia
membangun pengetahuan diri sendiri melalui pengalaman-pengalaman. Pengetahuan yang
dimaksud yaitu pengetahuan yang dibangun secara aktif, efektif, mandiri,
sehingga menumbuhkan jiwa kemandirian dari diri manusia.
Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk
yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran
adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh
peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang
terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set
idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka. Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan
baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada
pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
30
30
Y. R. Subakti, Paradigma Pembelajaran Sejarah, https:www.usd.ac.idlembagalppmf1l3 Jurnal20Historia20Vitaevol24no1april2010PARADIGMA20PEMBELAJARAN20SEJA
RAH20YR20Subakti.pdf diunduh pada hari Senin, 30 November 2015, pukul 15 : 40
8. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif cooperative learning merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
31
Pada hakikatnya pembelajaran kooperatif sama halnya dengan kerja kelompok. Maka tidak
mengherankan jika terdapat para guru yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang unik dalam cooperative learning karena mereka beranggapan bahwa
pembelajaran cooperative learning dalam bentuk kelompok sering diterapkan di dalam kelas, sehingga sudah tidak asing lagi. Namun, tidak semua kerja kelompok
dikatakan cooperative learning, seperti dikatakan Abdulhak bahwa pembelajaran kooperatif dilaksanakan melalui sharing proses antara peserta belajar, sehingga
dapat mewujudkan pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri.
32
Menurut pendapat Lie A., bahwa model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dalam
pembelajaran dalam cooperative learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model
cooperative learning dengan benar-benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih fektif.
33
Berdasarkan pernyataan Abdulhak dan Lie A, telah memberikan suatu pencerahan bahwa cooperative learning bukanlah
31
Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 202.
32
Abdulhak, Komunikasi Pembelajaran: Pendekatan Konvergensi dalam Peningkatan Kualitas dan Efektivitas Pembelajaran, UPI, Bandung, 2001, hlm. 19-20.
33
Lie A., Cooverativel Learning, Grasindo, Jakarta, 2002, hlm. 29.
bentuk kerja kelompok yang memiliki taraf sederhana, akan tetapi bentuk kerja kelompok yang mengutamakan proses antara peserta belajar serta memiliki tujuan
untuk mewujudkan pemahaman bersama antara peserta belajar. Pembelajaran kooperatif cooperative learning merupakan sistem
pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif
dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur
dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif di
antara anggota kelompok. Pada dasarnya kooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau
membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja
sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah kerja sama, diskusi,
berbagi pendapat dan pengetahuan, mengambil giliran, bertanya, dan aktif mengikuti diskusi.
9. Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division STAD