Zaman Penjajahan di Indonesia Dari Bolan Madu ke Gelap Gulita

17 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s Pada tahun 1629 Nieuwe Tijdinghen berganti nama menjadi Wekelyksche Tijdinghen. Pada masa peralihan surat selebaran menjadi surat kabar, Verhoeven telah melengkapi isinya dengan segala macam peristiwa. Hari terbitnya teratur dan hubungan antara nomor satu dengan yang berikutnya sudah teratur pula. Surat kabar ini mempunyai ilustrasi dengan menggunakan klise dari kayu. Isinya didasarkan pada keinginan sensasi dari pembaca, misalnya mengenai kejadian-kejadian yang mengerikan, peristiwa pembunuhan, perampokan Hamzah dkk, 1987:33. Di Jerman, terbit surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung pada 1609. Pada tahun yang sama juga terbit surat kabar Relations di Strasburg. Surat kabar ini diterbitkan oleh Johan Carolus. Di Belanda, surat kabar tertua bernama Courante Uyt Italien en Duytschland terbit pada 1618. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar Van Hilten di Amsterdam. Di Inggris, surat kabar pertama bernama Curant of General News terbit pada 1662. Di Perancis, pemerintah menerbitkan surat kabar Gassette de France pada 1631. Di Italia sudah ada surat kabar pada 1636. Semua surat kabar cetakan tersebut terbit sekali seminggu Hamzah, 1987:34.

3. Zaman Penjajahan di Indonesia

Di Indonesia, aktivitas jurnalistik dapat dilacak jauh ke belakang sejak zaman penjajahan Belanda. Menurut guru Saya, di Indonesia jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744, ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang . Pada 1776, juga di Jakarta, terbit surat kabar Vendu Nieves yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang pada umumnya merupakan kelompok kecil saja. Jurnalistik koran-koran Belanda ini, jelas membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan, disusul oleh Bromartani pada 1885, keduanya di Weltevreden, dan 18 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya Effendy, 2003:104. Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, menurut guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran Unpad Bandung itu, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia. Namanya Medan Prijaji, terbit di Bandung. Surat kabar ini diterbitkan dengan modal dari bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, 1907, berbentuk mingguan. Baru tiga tahun kemudian, 1910, berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan Man Effendy, 2003:104-105.

4. Dari Bolan Madu ke Gelap Gulita

Selanjutnya, kita mengenal perjalanan jurnalistik pers Indonesia dalam beberapa periode atau zaman. Pada tahun-tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, pers kita menikmati masa bulan madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar barn. Pada masa ini, pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Lain tidak. Bagi pers saat itu, tak ada togas yang paling mulia kecuali mengibarkan merah putih setinggi- tingginya. Lima tahun kemudian, atau. mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai wrong atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers, di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang, dan bukan bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui oleh masyarakat luas. Dalam era ini, pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai. 19 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak Dekrit Presiders 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit SIT. Bahkan menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian kebebasan pers Indonesia Effendy, 2003:108. Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah Paperda Jakarta Raya menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk memperoleh surat izin terbit SIT. Lebih parch lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk berafiliasi pada organisasi politik atau organisasi masc. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh Sembilan partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan barn yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 dengan nama G30S. gerakan ini berhasil ditumpas oleh rakyat bersama TNI dan mahasiswa Effendy, 2003:109-110.

5. Kebebasan Jurnalistik Pasca 1965