Plot Plot bukan jalan cerita. Jalan cerita hanyalah manifestasi, benduk Karakter

115 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s Cerita feature, dengan merujuk kepada sudut pandang tersebut, umumnya lebih menyukai sudut penglihatan yang berkuasa omniscient point of view. Untuk lebih mudahnya, sebut saja sudut pandang orang ketiga. Dengan sudut pandang orang ketiga, wartawan sebagai penulis feature, tahu tentang segalanya. la, seperti ditulis Surnardjo, bisa menceritakan ape saja yang is perlukan untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkan. la bisa keluar masuk pikiran para tokohnya. la bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, jalan pikiran para pelaku cerita Sumardjo, 2004:29. Sebagian kecil wartawan, menyukai sudut pandang orang pertama dengan memerankan tokoh aku. Sudut pandang man y pun yang dipilih, sesungguhnya bergantung pada selera wartawan atau reporter, redaktur, Serta sifat dan bobot materi cerita yang ingin disampaikan kepada khalayak pembaca, pendengar, pemirsa.

3. Plot Plot bukan jalan cerita. Jalan cerita hanyalah manifestasi, benduk

wadag, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Plot ibarat gunung es, sebagian besar darinya tidak pernah nampak. Dengan mengikuti jalan cerita make kite dapat temukan plotnya. Jalan cerita memuat kejadian. Tiap suatu kejadian ada karena ada sebabnya, ada alasannya. Sesuatu yang menggerakkan cerita adalah plot, yaitu segi rohaniah Bari kejadian. Suatu kejadian merupakan cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Suatu kejadian berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan, dalam hal ini konflik. Intisari plot memang konflik. Plot itu sendiri sering dikupas menjadi lima element pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal Sumardjo, 2004:15-16. Feature yang baik harus memiliki plot. Namun plot pada feature, dalam beberapa hal berbeda secara mendasar dengan plot pada cerpen. Pada cerpen misalnya, plot yang baik mensyaratkan adanya pemunculan konflik. Setelah itu dilukiskan bagaimana konflik itu memuncak hingga mencapai klimaksnya. Pada feature tidak demikian. Feature tidak mewajibkan pemunculan dan penajaman konflik dalam rangkaian adegan cerita. Asumsinya sederhana. Feature mengangkat suatu situasi, keadaan, atau aspek kehidupan yang sifatnya faktual objektif. Tidak semua 116 | M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s aspek kehidupan yang diangkat dalam cerita feature unsur konflik. Jadi, hanya pada peristiwa tertentu saja unsur konflik dan kilmaks itu diperlukan atau dihadirkan.

4. Karakter

Sebagai cerita, setiap feature, seperti juga cerita pendek, harta memiliki karakter atau watak. Dalam fiksi, tulis Sumardjo, mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian si penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kalau karakter tokoh lemah, maka menjadi lemahlah seluruh cerita. Tiap tokoh semestinya mempunyai kepribadian sendiri. Seorang penulis yang cekatan, hanya dalam satu adegan saja sanggup memberikan pada kita seluruh Tatar belakang kehidupan seseorang. p enulis yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh ceritanya, akan dengan sendirinya meyakinkan kebenaran ceritanya. Kita bisa m en ge nal i ka rakt er dal am s ebua h ce ri t a: a m el al ui apa ya n g diperbuatnya, tindakan- tindakannya, b melalui ucapan-ucapannya, c melalui penggambaran fisik tokoh seperti bentuk tubuh, wajahnya, dan cara berpakaian, d melalui pikiran-pikirannya, dan e melalui penerangan langsung Sumardjo, 2004:18-21. Begitu juga dalam feature. Suatu cerita feature disebut baik atau lebih jauh lagi berkualitas tinggi, apabila karakter tokohnya dilukiskan dengan jelas, tegas, ringkas, dan spesifik. Setiap orang punya karakter atau kepribadian masing-masing, yang sekaligus membedakan dirinya dengan orang lain. Seperti ditegaskan Lajos Egri, pengarang keturunan Hongaria dalam karyanya The Art of Dramatic Writing, tokohlah yang menentukan segala-galanya dalam cerita. Pengarang tidak perlu pegang kemudi. la hanya membiarkan saja tokoh-tokoh cerita yang dipilihnya itu hidup dan bergerak sendiri menurut wataknya masing-masing, dan menciptakan situasi, membuat masalah, menimbulkan ketegangan, mencetuskan klimaks, dan akhirnya menutup cerita Dipenogoro, 200 : 51.

5. Gaya